Translate

Rabu, 19 Maret 2014

Prosedur dan Persyaratan Pemecahan Sertifikat Tanah

Berdasarkan pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa antara para pihak belum menandatangani Akta Jual beli (“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), dan tanah yang menjadi obyek jual beli merupakan sebagian tanah dari keseluruhan tanah yang dimiliki oleh penjual di dalam satu sertifikat (tanah induk).
 
Pada dasarnya, membeli sebidang tanah di dalam tanah induk tidaklah rumit. Dalam praktiknya, para pihak akan terlebih dahulu membuat kesepakatan, misalnya melalui suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Dalam hal ini, penjual akan memecahkan sebidang tanah di dalam tanah induk. Kemudian, setelah dipecah dan diterbitkan sertifikat tanahnya, maka tanah tersebut akan dijual kepada pihak pembeli melalui AJB di hadapan PPAT. Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”), pemecahan sebidang hak atas tanah yang sudah terdaftar dapat dipecah hanya atas pemintaan pemegang hak yang bersangkutan. Dengan demikian, Anda perlu kembali mempelajari seluruh dokumen-dokumen jual beli tersebut, termasuk kuasa yang diberikan ke pihak ketiga. Pasalnya, kewenangan untuk mengajukan permohonan pemecahan sebidang tanah tersebut ada pada pihak penjual selaku pemegang hak atas tanah.
 
Pada hakikatnya, peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, pada saat sebidang tanah yang dibeli dari tanah induk tersebut sudah dipecahkan dan diterbitkan sertifikatnya, maka Anda dengan pihak penjual dapat menandatangani AJB di hadapan PPAT untuk keperluan pendaftarannya. Berdasarkan Lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (“Perka BPN No. 1/2010”), jangka waktu pemecahan/pemisahan satu bidang tanah milik perorangan adalah 15 (lima belas) hari. Sedangkan, persyaratan dokumen yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1.     Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup (yang memuat: identitas diri; luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon; pernyataan tanah tidak dalam sengketa; pernyataan tanah dikuasai secara fisik; alasan pemecahannya);
2.     Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3.     Fotocopy identitas pemohon (KTP, KKdan kuasa apabila dikuasakan, yangtelah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket;
4.     Sertifikat asli;
5.     Izin Perubahan Penggunaan Tanah, apabila terjadi perubahanpenggunaan tanah;
6.     Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan;
7.     Tapak kavling dari Kantor Pertanahan.
 
Demikian jawaban dan penjelasan kami atas pertanyaan Anda. Atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan PertanahanBerdasarkan pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa antara para pihak belum menandatangani Akta Jual beli (“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), dan tanah yang menjadi obyek jual beli merupakan sebagian tanah dari keseluruhan tanah yang dimiliki oleh penjual di dalam satu sertifikat (tanah induk).
 
Pada dasarnya, membeli sebidang tanah di dalam tanah induk tidaklah rumit. Dalam praktiknya, para pihak akan terlebih dahulu membuat kesepakatan, misalnya melalui suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Dalam hal ini, penjual akan memecahkan sebidang tanah di dalam tanah induk. Kemudian, setelah dipecah dan diterbitkan sertifikat tanahnya, maka tanah tersebut akan dijual kepada pihak pembeli melalui AJB di hadapan PPAT. Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”), pemecahan sebidang hak atas tanah yang sudah terdaftar dapat dipecah hanya atas pemintaan pemegang hak yang bersangkutan. Dengan demikian, Anda perlu kembali mempelajari seluruh dokumen-dokumen jual beli tersebut, termasuk kuasa yang diberikan ke pihak ketiga. Pasalnya, kewenangan untuk mengajukan permohonan pemecahan sebidang tanah tersebut ada pada pihak penjual selaku pemegang hak atas tanah.
 
Pada hakikatnya, peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, pada saat sebidang tanah yang dibeli dari tanah induk tersebut sudah dipecahkan dan diterbitkan sertifikatnya, maka Anda dengan pihak penjual dapat menandatangani AJB di hadapan PPAT untuk keperluan pendaftarannya. Berdasarkan Lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (“Perka BPN No. 1/2010”), jangka waktu pemecahan/pemisahan satu bidang tanah milik perorangan adalah 15 (lima belas) hari. Sedangkan, persyaratan dokumen yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1.     Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup (yang memuat: identitas diri; luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon; pernyataan tanah tidak dalam sengketa; pernyataan tanah dikuasai secara fisik; alasan pemecahannya);
2.     Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3.     Fotocopy identitas pemohon (KTP, KKdan kuasa apabila dikuasakan, yangtelah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket;
4.     Sertifikat asli;
5.     Izin Perubahan Penggunaan Tanah, apabila terjadi perubahanpenggunaan tanah;
6.     Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan;
7.     Tapak kavling dari Kantor Pertanahan.
 
Demikian jawaban dan penjelasan kami atas pertanyaan Anda. Atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan
Berdasarkan pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa antara para pihak belum menandatangani Akta Jual beli (“AJB”) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), dan tanah yang menjadi obyek jual beli merupakan sebagian tanah dari keseluruhan tanah yang dimiliki oleh penjual di dalam satu sertifikat (tanah induk).
 
Pada dasarnya, membeli sebidang tanah di dalam tanah induk tidaklah rumit. Dalam praktiknya, para pihak akan terlebih dahulu membuat kesepakatan, misalnya melalui suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Dalam hal ini, penjual akan memecahkan sebidang tanah di dalam tanah induk. Kemudian, setelah dipecah dan diterbitkan sertifikat tanahnya, maka tanah tersebut akan dijual kepada pihak pembeli melalui AJB di hadapan PPAT. Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”), pemecahan sebidang hak atas tanah yang sudah terdaftar dapat dipecah hanya atas pemintaan pemegang hak yang bersangkutan. Dengan demikian, Anda perlu kembali mempelajari seluruh dokumen-dokumen jual beli tersebut, termasuk kuasa yang diberikan ke pihak ketiga. Pasalnya, kewenangan untuk mengajukan permohonan pemecahan sebidang tanah tersebut ada pada pihak penjual selaku pemegang hak atas tanah.
 
Pada hakikatnya, peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, pada saat sebidang tanah yang dibeli dari tanah induk tersebut sudah dipecahkan dan diterbitkan sertifikatnya, maka Anda dengan pihak penjual dapat menandatangani AJB di hadapan PPAT untuk keperluan pendaftarannya. Berdasarkan Lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (“Perka BPN No. 1/2010”), jangka waktu pemecahan/pemisahan satu bidang tanah milik perorangan adalah 15 (lima belas) hari. Sedangkan, persyaratan dokumen yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
1.     Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup (yang memuat: identitas diri; luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon; pernyataan tanah tidak dalam sengketa; pernyataan tanah dikuasai secara fisik; alasan pemecahannya);
2.     Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3.     Fotocopy identitas pemohon (KTP, KKdan kuasa apabila dikuasakan, yangtelah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket;
4.     Sertifikat asli;
5.     Izin Perubahan Penggunaan Tanah, apabila terjadi perubahanpenggunaan tanah;
6.     Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan;
7.     Tapak kavling dari Kantor Pertanahan.
 
Demikian jawaban dan penjelasan kami atas pertanyaan Anda. Atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan
sumber : http://www.hukumonline.com/

Cara Melakukan Oper Kredit Rumah yang Aman

Proses jual beli yang teman Anda lakukan tersebut, masuk dalam kriteria Pengoperan Hak atas Tanah yang masih menjadi jaminan bank. Dalam praktik, biasanya dilakukan dengan cara yang teman Anda lakukan, atau dengan cara Oper Kredit, dimana pembeli bertindak selaku Debitor Pengganti atas Penjual (debitor yang sebelumnya).
 
Dalam kondisi seperti teman Anda di atas, maka kedudukan teman Anda selaku pembeli sudah relatif kuat tapi tidak sepenuhnya aman. Kuat karena yang menjual memang pemilik tanah dan bangunan. Kuat karena telah terjadi peralihan hak dengan cara yang dibenarkan oleh hukum pada saat ditandatanganinya akta-akta tersebut. Tidak aman karena tanpa sepengetahuan/tidak melibatkan bank, padahal ada kondisi khusus yaitu tanah dan bangunan masih dalam ‘penguasaan’ bank sebagai objek jaminan KPR.
 
Perbuatan hukum oper kredit yang dilakukan oleh para pihak seharusnya disertai dengan pemberitahuan baik lisan maupun tulisan dengan menyerahkan salinan akta-akta yang telah ditandatangani kepada bank. Jika tidak melaporkan ke bank, sampai kapanpun bank akan menggangap debitor mereka adalah si penjual, walaupun kenyataannya angsuran di bayar/dilunasi oleh teman Anda.
 
Yang terjadi kemudian, setelah teman Anda melunasi angsuran dan mau mengambil sertifikat dan dokumen lainnya, walau menunjukkan kuasa, pihak bank tetap tidak akan menyerahkannya. Segala dokumen pelunasan dansebagainya, tetap harus ditandatangani oleh orang yang namanya tercantum dalam database bank, orang yang mereka ketahui sebagai debitor mereka, yaitu si penjual tersebut.
 
Lain halnya jika para pihak secepat-cepatnya, setelah penandatanganan akta-akta, bersama-sama melaporkannya kepada bank. Atas dasar akta tersebut, bank akan mencatatkan oper kredit ke data mereka, nama temanAnda tercantum sebagai debitor yang baruSehingga setelah angsuran terakhir lunas, teman Anda, dengan menunjukkan asli kuasa pengambilan sertifikat, dapat melakukan proses administrasi yang diperlukan sebagai rangkaian “melepaskan” tanah dan bangunan sebagai objek jaminan. Pihak bank juga akan menyerahkan surat roya sebagai dasar untuk meroya/mencoret status hak jaminan yang dibebankan ke kantor pertanahan setempat. Proses roya ini dapat dibantu oleh PPAT setempat.
 
Kenapa harus melapor ke bank? Hal ini untuk menghindari itikad buruk dari penjual, karena bisa saja pada tanggal akhir pelunasan, ia mendatangi bank, menyelesaikan segala proses administrasi, bank akan menyerahkan semua dokumen terkait kepadanya dan penjual tidak menyerahkan ke teman Anda tetapi menjual kembali ke orang lain. Jika hal ini yang terjadi, bank tidak dapat disalahkan, karena tidak ada pemberitahuan oper kredit tersebut.
 
Jadi, saran saya, segeralah bersama-sama melaporkan oper kredit tersebut ke bank, jangan lupa membawa salinan dari akta-akta. Atau teman Anda dapat menggunakan cara yang kedua, yaitu: oper Kredit dengan mekanisme penggantian debitor melalui bank secara resmi.
 
Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat di artikel yang pernah saya tulis: “Sebelum Beli Rumah Secara Oper Kredit, Pelajari Dulu Untung Ruginya“ dan juga tertulis dalam buku Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Dalam Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010). 
sumber : http://www.hukumonline.com/

Selasa, 11 Maret 2014

Bolehkah Anggota Legislatif yang Sudah Menjabat Dua Kali Mencalonkan Diri Lagi?

Sebelum menjelaskan tentang pemilihan anggota legislatif seperti DPR, DPD, dan DPRD; terlebih dahulu kami akan menjelaskan tentang pemilihan Gubernur, Walikota/Bupati atau yang disebut sebagai kepala daerah. Untuk menjawabnya, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahaan Daerah (“UU Pemda”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (“UU 8/2005”) dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 12/2008”).
 
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UU Pemda, kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebutwalikota.
 
Untuk dipilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah harus memenuhi persyaratan untuk dipilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 20 UU Pemda.
 
Sebelum ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah terpilih, persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya adalah belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama (Pasal 58 huruf o UU 12/2008).
 
Merujuk Pasal 58 huruf o UU 12/2008, dapat kita ketahui bahwa apabila seseorang sudah pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, atau walikota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, ia tidak bisa mencalonkan diri lagi untuk dapat dipilih dalam pemilu berikutnya.
 
Pertanyaan Anda lainnya adalah bagaimana dengan anggota legislatif seperti DPR, DPD, DPRD yang sudah pernah menjabat 2 (dua) masa jabatan (terpilih dua kali) dalam jabatan yang sama, mencalonkan diri kembali dalam pemilu?Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU Pemilu Legislatif”), bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a.    telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b.    bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.    bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.    cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e.    berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat;
f.     setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g.    tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h.    sehat jasmani dan rohani;
i.      terdaftar sebagai Pemilih;
j.     bersedia bekerja penuh waktu;
k.    mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l.      bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n.    menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu
o.    dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
p.    dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
 
Dari sejumlah persyaratan bagi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di atas dapat kita ketahui bahwa tidak dipersyaratkan mengenai apakah yang bersangkutan bisa mencalonkan diri kembali dalam pemilu berikutnya jika sudah pernah terpilih dua kali sebelumnya. Dengan demikian, selama calon anggota DPR dan DPRD tersebut memenuhi syarat di atas, ia dapat mencalonkan diri kembali dalam pemilu berikutnya. .
 
Sedangkan, untuk mengetahui persyaratan untuk menjadi calon anggota DPD, kita mengacu pada Pasal 68 ayat (1) UU Pemilu Legislatif yang berbunyi:
 
“Perseorangan yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dapat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU Provinsi.”
 
Adapun persyaratan yang disebut dalam Pasal 12 UU Pemilu Legislatifyaitu:
a.    Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b.    bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.    bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.    cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e.    berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat;
f.     setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g.    tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h.    sehat jasmani dan rohani;
i.      terdaftar sebagai Pemilih;
j.     bersedia bekerja penuh waktu;
k.    mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
l.      bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
n.    mencalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan;
o.    mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan
p.    mendapat dukungan minimal dari Pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan.
 
Lebih lanjut persyaratan dalam Pasal 13 UU Pemilu Legislatif antara lain menjelaskan tentang persyaratan minimal jumlah dukungan dari pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan.
 
Dari sini kita dapat ketahui pula bahwa tidak ada larangan untuk mencalonkan diri kembali sebagai calon anggota DPD walaupun sudah pernah menjabat sebagai anggota DPD selama 2 (dua) kali masa jabatan. Jadi, selama orang yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD itu memenuhi persyaratan yang terdapat dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UU Pemilu Legislatif, maka ia dapat mengikuti pemilu.
 
Demikian penjelasannya, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
sumber ; http://www.hukumonline.com/

Senin, 10 Maret 2014

Cara Menghitung Pesangon Berdasarkan Alasan PHK

Secara konsep, ada dua jenis PHK, yaitu PHK secara sukarela dan PHK dengan tidak sukarela. Dalam artikel Berkembangnya Alasan-Alasan PHK dalam Praktik dijelaskan ada beberapa alasan penyebab pemutusan hubungan kerja (“PHK”) yang terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
 
PHK sukarela misalnya, yang diartikan sebagai pengunduran diri buruh tanpa paksaan dan tekanan. Begitu pula karena habisnya masa kontrak, tidak lulus masa percobaan (probation), memasuki usia pensiun dan buruh meninggal dunia. PHK tidak sukarela dapat terjadi karena adanya pelanggaran, baik yang dilakukan buruh maupun pengusaha/perusahaan.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai rincian pesangon yang didapat oleh pekerja yang mengundurkan diri dan PHK dapat dilihat dari tabel sebagai berikut.
 
 
Alasan PHK
Kompensasi
Pengaturan di UU Ketenagakerjaan
Mengundurkan diri tanpa tekanan
Berhak atas UPH
Pasal 162 Ayat (1)
Tidak lulus masa percobaan
Tidak berhak kompensasi
Pasal 154
Selesainya PKWT
Tidak Berhak atas Kompensasi
Pasal 154 huruf b
Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 161 Ayat (3)
Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 169 Ayat (1)
Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 153
PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 164 (1)
PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi.
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 164 (3)
Peleburan, Penggabungan, perubahan status danPekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 163 Ayat (1)
Peleburan, Penggabungan, perubahan status danPengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 163 Ayat (2)
Perusahaan pailit
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 165
Pekerja meninggal dunia
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 166
Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
UPH dan Uang pisah
Pasal 168 Ayat (1)
Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan)
2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
Pasal 172
Pekerja memasuki usia pensiun
opsional
Sesuai Pasal 167
Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)
1 kali UPMK dan UPH
Pasal 160 Ayat (7)
Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah
1 kali UPMK dan UPH
Pasal 160 Ayat (7)
Keterangan:
UP = Uang Pesangon; UPMK = Uang Penghargaan Masa Kerja; UPH = Uang Penggantian Hak                                 
 
 
Berikut akan kami jelaskan tentang Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak. Kewajiban pengusaha membayar uang pesangon dan uang lainnya tersebut kepada pekerjanya dalam hal terjadi PHK dapat kita jumpai pengaturannya dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yangberbunyi:
 
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
 
Lalu bagaimana cara menghitung uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja? Berikut kami akan uraikan beberapa pasal yang mengatur tentang kedua uang tersebut satu-persatu:
 
a.    Perhitungan Uang Pesangon [Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan]
Masa Kerja
Uang Pesangon yang Didapat
kurang dari 1 (satu) tahun
1 (satu) bulan upah
1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun
2 (dua) bulan upah
2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun
3 (tiga) bulan upah
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun
4 (empat) bulan upah
4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun
5 (lima) bulan upah
5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun
6 (enam) bulan upah
6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun
7 (tujuh) bulan upah
7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun,
8 (delapan) bulan upah
8 (delapan) tahun atau lebih
9 (sembilan) bulan upah
 
b.    Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja [Pasal 156 ayat (3)UU Ketenagakerjaan]
 
Masa Kerja
Uang Penghargaan Masa Kerja yang Didapat
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun
2 (dua) bulan upah
6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun
3 (tiga) bulan upah
9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun
4 (empat) bulan upah
12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun
5 (lima) bulan upah
15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,
6 (enam) bulan upah
18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun
7 (tujuh) bulan upah
21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun
8 (delapan) bulan upah
24 (dua puluh empat) tahun atau lebih
10 (sepuluh ) bulan upah
 
c.    Perhitungan Uang Penggantian Hak [Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan]
Adapun UPH terdiri dari:
a.    cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.    biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.    penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.    hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
 
Dari uraian di atas diketahui bahwa pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela tidak berhak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Ia hanya berhak mendapatkan uang penggantian hak.
 
Di samping itu, menurut Umar Kasim dalam artikel Apakah Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Mendapat Pesangon?, khusus bagi karyawan yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, maksudnya non-management committee, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UUK juga berhak diberikan Uang Pisah yang nilainya dan pelaksanaan pemberiannya, merupakan kewenangan (domain) para pihak untuk memperjanjikannya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama. Penjelasan lebih lanjut mengenai UPH bagi pekerja yang resign atau dapat Anda simak dalam artikel tersebut.
 
Sementara untuk pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapat kompensasi sesuai alasannya masing-masing sebagaimana sudah diuraikan di tabel di atas.
 
Demikian, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
sumber ;http://www.hukumonline.com/