Translate

Jumat, 01 November 2013

PEMALSUAN & KETERANGAN PALSU

KASUS UANG PALSU PUTUSAN HAKIM PIDANA YANG ONVOLDOENDE GEMOTIVEERD
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri Pontianak:
Dalam putusannya telah menyatakan terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana, ex pasal 245 KUHP. Dan memberikan pidana penjara kepada terdakwa selama dua tahun.

Pengadilan Tinggi Pontianak:
Dalam putusan ditingkat banding telah memperbaiki putusan Hakim Pertama, yang amarnya antara lain berbunyi sebagai berikut:
Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Pontianak yang dimohonkan Banding, baik, pertimbangan maupun amarnya, hingga seluruh amar putusan tersebut menjadi sebagai berikut:
Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan dengan sengaja mengedarkan uang kertas yang asli dan tidak dipalsu, pada hal waktu diterimanya diketahui bahwa tidak asli dan palsu, pasal 245 KUHP.
Menjatuhkan pidana penjara atas diri terdakwa: selama dua tahun enam bulan.

Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan ditingkat kasasi telah membatalkan putusan judex facti (Pengadilan Tinggi), karena dinilai putusan judex facti ini, telah salah menerapkan hukum, yaitu:
Bahwa keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi yang intinya menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Pontianak tidak menerapkan pasal 197 (1) sub –c-e (2) KUHP, dapat diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung RI.
Bahwa Pengadilan Tinggi tersebut dalam putusannya ditingkat banding, telah memperbaiki hukuman  pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh Pengadilan Negeri, tanpa memberikan pertimbangan yang cukup (onvoldoende Gemotiveerd) dan tidak pula memberikan alasan-alasan, apakah sebabnya pidana yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri tersebut dipandang terlalu ringan.
Bahwa berdasar atas pertimbangan ini, Mahkamah Agung RI kemudian mengadili sendiri kasus ini.

Pengadilan Negeri Pontianak: No. 24/Pid/B/1985, tanggal 4 Agustus 1985.
Pengadilan Tinggi Pontianak: No.42/Pid/1985, tanggal 25 Oktober 1985.
Mahkamah Agung RI: No.1545.K/Pid/1985, tanggal 26 Februari 1986. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun II No. 20 Mei 1987; hal. 88).

PEMALSUAN AKTA HIPOTIK
– Kasus Hutang Piutang Melalui Notaris – 
Abstrak Hukum:
Bahwa dalam putusan judex facti – Hakim Pertama yang telah membebaskan terdakwa dari segala dakwaan (Vrijspraak), ternyata, Hakim tidak mencantumkan dalam putusannya “Hak Rehabilitasi” dari terdakwa, sebagaimana yang diperintahkan dalam pasal 97 (1) (2) KUHAP.
Bahwa Hakim Pertama dalam usaha membuktikan, apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur delict yang didakwakan; dilakukan dengan cara menarik perbuatan terdakwa kedalam “konstruksi Juridis” yang ada dalam hukum perdata barat – Burgerlijk Wetboek yaitu lembaga hukum “subrogasi” ex pasal 1400 B.W. tentang penggantian Kreditur. Dengan konstruksi yang demikian ini, Judex facti pada suatu titik kesimpulan, bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi semua elemen yang disyaratkan dalam delict yang didakwakan. Sehingga terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan. Cara pembuktian yang ditempuh oleh Hakim Pertama ini, nampaknya tidak dapat diterima oleh MA-RI yang lebih condong menafsirkan delict tersebut secara formil.

Pengadilan Negeri Ujung Pandang: No.90/Pid.B/1985, tanggal 5 Mei 1986.
Mahkamah Agung RI: No.1131.K/Pid/1986, tanggal 19 November 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IV. No. 40 Januari 1989; hal. 5). 

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DIPALSUKAN
      Abstrak Hukum:
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut di atas telah dipalsukan, sehingga amar putusannya berbunyi yang pada pokoknya sebagai berikut: Terdakwa tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan. Barang bukti 146 ton rotan dikembalikan kepada terdakwa.
Kepalsuan surat putusan MA RI ini terungkap beberapa waktu lamanya, setelah advokat terdakwa mengadakan konferensi pers yang memberikan informasi bahwa putusan MA telah membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Kejaksaan sempat mengeksekusi putusan MA yang palsu ini.
Setelah kasus ini menjadi isu nasional, maka Direktur Pidana MA turun ke Surabaya menemui Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, sambil membawa “asli putusan MA” untuk meneliti turunan putusan MA yang tersimpan di PN. Akhirnya ketahuan putusan yang ada disimpan di PN Surabaya adalah putusan MA yang palsu. Dengan memakai putusan asli MA RI akhirnya terdakwa Toni Goritman di-eksekusi oleh pihak Kejaksaan sesuai dengan amar putusan MA RI yang asli.

Pengadilan Negeri di Surabaya: No. 07/Pid.B/Ek/1988, tgl 21 Juni 1989.
Mahkamah Agung RI: No. 1805.K/Pid/1989, tgl 21 Maret 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 64 Januari 1991; hal. 57)

MASALAH JURIDIS PEMALSUAN MERK = SUBVERSI =
Abstrak hukum:
“Orang yang melakukan perbuatan memalsukanobat anti hama tanaman pangan”, dengan memakai kemasan dan merk meniru yang asli, selanjutnya barang tersebut diedarkan dan dijual kepada masyarakat petani di beberapa daerah. Perbuatan ini dilakukannya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat. Karena peredaran barang yang palsu ini terbukti belum mengganggu Program pemerintah dibidang pangan, maka perbuatan tersebut belum dapat dikwalifisir sebagai kejahatan SUBVERSI, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 11/PNPS/1963.
Delict yang dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut adalah delict ex pasal 256 (1) KUH Pidana yang dirumuskan sebagai berikut: “memalsukan merk yang asli dengan maksud untuk memakai barang itu seolah-olah merknya asli dan tidak palsu”.
Putusan judex facti yang dalam pertimbangan hukumnya berpendirian bahwa terdakwa (karena tidak terbukti kesalahannya) harus dibebaskan dari “Dakwaan Subsidair” dan “Dakwaan Lebih Subsidair”, maka judex facti dalam Diktum (Amar) putusannya, masalah tersebut harus dengan tegas diberikan putusan yang menyebutkan tentang pembebasan terdakwa dari “Dakwaan Subsidair” dan “Dakwaan Lebih Subsidair”. Bila hal ini tidak diindahkan maka putusan judex facti tersebut akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI, seperti halnya dalam kasus ini.  

Pengadilan Negeri di Garut: No. 7/Pid/B/1990, tanggal 16 Juni 1990.
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 254/Pid/1990/PT.Bdg, tanggal 15 September 1990. 
Mahkamah Agung RI: No. 2314.K/Pid/1990, tanggal 10 April 1991. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII No. 75 Desember 1991; hal. 41).

PENERAPAN DELIK PEMALSUAN SURAT
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat abstrak hukum sebagai berikut:
Penerapan ex pasal 263 (1) KUHPidana dimana salah satu unsurnya berbunyi: bilamana pemakaiannya dapat menimbulkan suatu kerugian, haruslah ditafsirkan bahwa timbulnya kerugian itu tidak perlu harus sudah terjadi atau betul-betul terjadi; akan tetapi sudah cukup apabila pemakaian surat yang dipalsukan itu, ada kemungkinan akan dapat menimbulkan kerugian. Dalam delict ini tidak disyaratkan keharusan timbulnya kerugian yang nyata, melainkan juga sudah cukup bila hanya kemungkinan akan timbulnya suatu kerugian.

Pengadilan Negeri di Lumajang: No. 01/Pid/B/1988, tanggal 4 Mei 1988.
Mahkamah Agung RI: No. 1778.K/Pid/1988, tanggal 20 April 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No. 86. November 1992; hal.  54).




PEMALSUAN SURAT PENGAMBILAN UANG BANK
Abstrak Hukum:
Surat Keterangan Kepala Desa yang berisikan suatu fakta kejadian yang ditanda tangani oleh Kepala Desa. Surat ini dimaksudkan untuk digunakan mengurus/menyelesaikan suatu kepentingan (hak) seseorang. Bilamana kemudian ternyata bahwa Surat Keterangan tersebut dibuat dan ditanda tangani oleh seseorang yang tidak berhak atau bukan menjabat sebagai Kepala Desa, maka Pembuatan Surat Keterangan yang demikian itu dikualifikasikan sebagai kejahatan PEMALSUAN SURAT ex pasal 263 KUHPidana.
Seseorang datang ke suatu Bank dengan maksud untuk mengambil uang simpanan milik orang lain tanpa menunjukkan buku simpanan Bank. Ia hanya menunjukkan dua surat berupa 1). Surat Keterangan Kematian pemilik uang dari Kantor Kecamatan; 2). Surat Laporan Kepolisian tentang hilangnya buku simpanan uang. Petugas Bank disamping kedua surat itu, masih minta surat tambahan berupa Surat Keterangan Ahli Waris, agar uang simpanan Bank di Bank tersebut dapat diambil. Orang ini pulang dari Bank tanpa hasil. Selanjutnya orang ini tidak pernah datang lagi ke Bank untuk meneruskan niatnya mengambil uang di Bank. Orang ini belum pernah menerima uang sepeserpun dari Bank tersebut. 
Perbuatan orang yang tidak berhasil mengambil uang dari Bank tersebut, bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan karena tidak mungkinnya orang itu memperoleh Surat Ahli Waris. Dengan fakta ini, maka perbuatan orang tersebut sudah merupakan delict “PERCOBAAN PENIPUAN” ex Pasal 378 jo 53 KUHPidana. 

Pengadilan Negeri Sinabang: No.3/Pid/B/1990, tanggal 23 Agustus 1990.
Mahkamah Agung RI: No.2006.K/Pid/1990, tanggal 10 Juni 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX, No.98. November 1993; hal. 55).

PEMALSUAN AKTA OTENTIK KASUS NOTARIS - PPAT
Abstrak Hukum:
Seseorang yang melakukan perbuatan hukum untuk/atas nama orang lain, harus disadari adanya “kuasa” dari orang lain itu. Kuasa ini, baik berbentuk tertulis ataupun secara lesan (kecuali untuk orang di bawah perwalian atau curatele dilakukan oleh walinya (curatornya).
Yang dimaksud “Kuasa Lesan” adalah pemberian kuasa secara lesan dihadapan Pejabat yang bersangkutan i.c Notaris – PPAT sendiri.
Adalah bukan wewenang Notaris untuk menilai keahliwarisan menurut Hukum adat, apalagi Notaris tersebut menganggap bahwa seseorang itu adalah anak angkat (tanpa ada bukti apapun) dan berhak untuk/atas nama ibu angkatnya, menjual tanah miliknya (tanpa ada kuasa dari pemiliknya/yang berhak).
Seseorang dihadapan Notaris PPAT menyatakan dan mengakui bahwa ia adalah anak angkat yang telah menerima kuasa lesan dari Ibu angkatnya untuk menjual tanah milik Ibu angkatnya tersebut. Notaris PPAT lalu membuat Akta jual beli tanah yang dimaksudkan oleh para pihak tersebut. Kemudian ternyata, bahwa pembuatan Akta jual beli tersebut isinya adalah tidak benar, karena:
1. Tidak ada bukti kuasa dari pemilik tanah
2. Tidak ada bukti surat/akta pengangkatan anak.
3. Tidak ada pembayaran uang sesenpun dari pihak pembeli kepada penjual tanah
4. Jal-beli tanah tersebut merupakan jual beli pura-pura.
Perbuatan Notaris PPAT yang demikian itu, dikualifikasikan sebagai kejahatan: Pemalsuan Akta Authentik.

Pengadilan Negeri Ujung Pandang: No. 134/B/1987/PN. Uj.Pdg tanggal 22 September 1988
Mahkamah Agung RI: No. 775.K/Pid/1989 tanggal 30 September 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX No. 101 Februari 1994; hal. 5)

DELICT PEMALSUAN SURAT RESTITUSI PAJAK
Abstrak hukum:
Dalam persidangan tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku yang membuat surat palsu atau memalsukan Surat Kuasa tersebut. Namun terbukti, bahwa terdakwa telah menggunakan “Surat Kuasa” tersebut beberapa kali untuk mengurus dan mengambil uang restitusi pajak yang menjadi hak perusahaan, dimana terdakwa bekerja, padahal pimpinan perusahaan tidak pernah memberi Surat Kuasa kepada terdakwa untuk maksud tersebut. Dengan Surat Kuasa ini, uang Restitusi Pajak berhasil diurus dan dicairkan serta diterima oleh terdakwa dan tidak pernah dilaporkan kepada perusahaannya. Uang tersebut ternyata dipergunakan untuk kepentingan diri pribadi terdakwa, sehingga perusahaan dirugikan karenanya;
Perbuatan terdakwa yang demikian ini harus ditafsirkan (dianggap) bahwa terdakwa sejak semula telah mengetahui bahwa Surat Kuasa tersebut adalah palsu yang pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian;
Karena itu, terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana ex pasal 263 (2) Jo. 64 KUH Pidana, yang kwalifikasinya dirumuskan demikian;
“Dengan sengaja menggunakan surat palsu, seolah-olah asli dan tidak dipalsukan, yang mendatangkan kerugian, dilakukan berturut-turut dalam perbuatan berlanjut”.

Pengadilan Negeri di Sidoarjo: No. 63/Pid/B/1990/PN. Sda, tanggal 24 April 1991.
Mahkamah Agung RI: No. 1522 K/Pid/1991 tanggal 9 Juni 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun X No. 109 Oktober 1994; hal. 5).

KASUS KREDIT CARD PALSU
     Abstrak Hukum:
Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya mendakwa bahwa Terdakwa melakukan kejahatan ex pasal 263 (2) jo pasal 65 (1) KUHP. (Concurcus Realis). Namun dalam persidangan judex facti menilai bahwa perbuatan Terdakwa yang terbukti adalah pasal 263 (2) jo Pasal 64 (Voorgezette handeling), meskipun pasal 64 KUHP ini tidak dirumuskan dalam Surat Dakwaan Jaksa.
Putusan judex facti yang mempersalahkan Terdakwa ex pasal 263 (2) jo pasal 64 KUHP tersebut adalah tidak merupakan putusan yang salah menerapkan hukum atau melanggar pasal 143 (2) huruf “b” KUHP. Alasannya karena baik pasal 64 maupun pasal 65 KUH Pidana tersebut, hanyalah merupakan penentuan maksimum pidana, in case, walaupun pasal 64 KUH Pidana tidak didakwakan, maka putusan judex facti dapat dibenarkan, karena ancaman pidananya lebih rendah, akan tetapi tetap mengenai perbuatan materiil yang didakwakan.
Terdakwa yang dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum didakwa sebagai “pelaku”, maka dalam dakwaan tidak perlu menyebutkan pasal 55 (1) KUH Pidana.
Berat ringannya pidana yang diberikan judex facti yang bersangkutan dan tidak tunduk pada Kasasi.
Masalah Recidive, yang dilafalkan dalam kalimat: …….., yang dilakukan sebelum lampau masa 5 (lima) tahun setelah di hukum melakukan pidana sejenis, “adalah tidak perlu dirumuskan didalam amar putusan”, sudah cukup disebutkan dalam pertimbangan hukumnya saja.

Pengadilan Negeri di Batam: No. 82/Pid/B/1993/PN BTM, tanggal 04 Maret 1994. 
Pengadilan Tinggi Riau di Pekanbaru: No. 11/Pid/1994/PT. R, tanggal 10 Mei 1994.
Mahkamah Agung R.I: No. 863 K/Pid/1994, tanggal 10 Agustus 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun X, No. 113, Februari 1995; hal. 55). 

KASUS PERKAWINAN DENGAN SURAT PALSU
      Abstrak Hukum:
Terdakwa yang menerima blanco kosong model Na, untuk persyaratan pernikahan, yang sudah ditanda tangani oleh Sekretaris Desa dan telah diberikan pula stempel desa, kemudian Terdakwa sendiri yang mengisi blanco tersebut dengan menulis dalam blanco: bahwa status terdakwa adalah “jejaka” pada hal sebenarnya ia adalah “duda”
Hal ini dilakukan oleh Terdakwa karena Sekretaris Desa tersebut tidak berani memenuhi keinginan Terdakwa agar dirinya dicantumkan sebagai jejaka, untuk mempermudahkan pelaksanaan pernikahannya.
   Perbuatan Terdakwa ini, dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana ex pasal 266 (1) Jo. 55 ke 1 KUHP.

Pengadilan Negeri Di Bogor: No. 387/Pid/B/1991/PN. Bgr, tanggal 6 Juli 1992.
Mahkamah Agung Republik Indonesia: No. 1360 K/Pid/1992, tanggal 18 Juli 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun X, No. 117, Juni 1995; hal. 105)

KETERANGAN PALSU DALAM AKTA NOTARIS 
      Abstrak Hukum:
Seseorang (Tamin, Saksi Pengenal Notaris) mengetahui bahwa sebidang tanah telah diperjanjikan untuk dijual oleh Kuasa Pemilik (Djoefri) kepada seseorang lain (So Peh Sui), sehingga terbit Akta Notaris Nomor 22.
Pada tahun berikutnya, kuasa pemilik (Djoefri) membuat lagi perjanjian untuk jual beli dengan orang lainnya lagi (Ny. Oei Soei Lian), sehingga terbit Akte Notaris Nomor 101.
Penerbitan Akte kedua kali ini (Akte Nomor 101) dapat terjadi karena baik kuasa pemilik (Djoefri) maupun Tamin (saksi Pengenal), dimana mereka telah mengetahui dan ikut berperan serta dalam Akta Nomor 22, ternyata kedua orang ini tidak memberikan keterangan yang tidak benar kepada Notaris yang membuat Akta 101.
Dengan adanya Akta Notaris Nomor 101 yang terbitnya belakangan, maka yang berhak atas tanah adalah yang tercantum dalam Akta Notaris Nomor 22 yang diterbitkan sebelumnya. Perbuatan kedua orang tersebut (Kuasa Penjual dan Saksi Penjual) termasuk kwalifikasi delict:
“Menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam Akta Otentik”, Ex Pasal 266 (I) Jo 55 (I) Ke I KUHP.

Pengadilan Negeri di Medan: Nomor: 418/Pid/B/1994/PN.Mdn, tanggal 28 September 1994.
Mahkamah Agung Republik Indonesia: Nomor 268.K/Pid/1995, tanggal 29 Juni 1995. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No.122, November 1995; hal. 41)

PENETAPAN AHLI WARIS BERDASARKAN KETERANGAN PALSU
      Abstrak Hukum:
Adjis mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk memperoleh “Penetapan Ahli Waris”. Dalam surat permohonan maupun dalam keterangannya dibawah sumpah, dimuka persidangan, pemohon menyatakan dimuka Hakim, bahwa pemohon satu-satunya ahli waris dari ayahnya almarhum Dulgani. Keterangan pemohon ini dikuatkan dengan dua orang saksi yang memberikan keterangan disidang dibawah sumpah. Kenyataannya, pemohon masih mempunyai ibu dan saudara-saudara kandung yang masih hidup, namun diterangkannya bahwa keduanya telah meninggal dunia. Perbuatan Pemohon itu termasuk dalam kwalifikasi kejahatan ex pasal 242 (1) KUHP Dengan sengaja memberikan keterangan palsu dibawah sumpah dalam keadaan dimana undang-undang mengikatkan akibat hukum pada keterangan itu.

Pengadilan Negeri Sekayu: No. 95/Pts.Pid/B/1992/Pn.Sekayu, tanggal 28 Juli 1992. 
Mahkamah Agung RI: Reg. No. 521.K/Pid/1993. Tgl 30 Jan 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No.123, Desember 1995; hal. 5).

MENGEDARKAN UANG RI PALSU
Abstrak Hukum:
Kwalifikasi perbuatan pidana ex pasal 245 jo 55 (1) ke 1 KUHPidana adalah: “dengan sengaja mengedarkan mata uang seperti mata uang yang asli dan tidak ditiru, yang pada waktu diterima olehnya diketahui palsu”. 

Pengadilan Negeri di Kota Baru: No. 35/Pid.B/1996/PN.KTB, tanggal 21 Oktober 1996. 
Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan di Banjarmasin: No. 64/Pid/1996/PT. Bjm, tanggal 18 Februari 1997. 
Mahkamah Agung RI: No. 541 K/Pid/1997, tanggal 13 Agustus 1997. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.151 April 1998; hal. 58).

PROBLEMA JURIDIS S.T.N.K. YANG ASPAL
Abstrak hukum:
Terdakwa sejak semula dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar (palsu) kepada pejabat Dinas LLAJR tentang keadaan mobilnya. Dengan mengacu pada keterangan terdakwa yang tidak benar tersebut, maka Dinas LLAJR menerbitkan “Surat Keterangan” tentang perobahan bentuk mobil untuk memperoleh STNK yang baru di Polisi. Pihak SAMSAT Kepolisian bersandar pada “Surat Keterangan” DLLAJR yang isinya tidak benar tersebut, kemudian diterbitkan STNK yang baru untuk mobil terdakwa. Isi dari STNK yang baru ini adalah juga tidak benar atau palsu. Meskipun STNK dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, karena isinya palsu, maka terdakwa yang memakai STNK baru ini perbuatannya dikwalifisir sebagai perbuatan pidana: menggunakan surat palsu, ex pasal 263 (2) KUH Pidana. 

Pengadilan Negeri di Palopo: No. 28/Pid.B/1996/PN.Plp, tamnggal 2 September 1996. 
Mahkamah Agung RI: No. 7779 K/Pid/1996, tanggal 22 Januari 1998. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIV No.160 Januari 1999; hal. 79). 

AKTA KELAHIRAN YANG PALSU
TUNTUTAN JAKSA GUGUR
Abstrak Hukum:
Hak Jaksa untuk menuntut terdakwa yang didakwa melakukan perbuatan pidana ex pasal 266 jo 277 KUH Pidana, Penuntutan menjadi gugur karena kadaluarsa berdasar pasal 78 (3) KUH Pidana, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut terjadi pada tahun 1964, sedangkan Penunutan Jaksa terhadap terdakwa dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum pada bulan Februari 1984, sehingga melebihi/melewati waktu 12 tahun bagi kejahatan yang didakwakan kepada terdakwa tersebut. 

Pengadilan Negeri Magelang: No. 09/1984.Pid, tanggal 12 Juni 1984. 
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang: No. 137/1984/Pid/PT. Smg, tanggal 7 Nopember 1984. 
Mahkamah Agung RI (Kasasi): No. 726 K/Pid/1985, tanggal 23 Mei 1987.
Mahkamah Agung RI (Peninjauan Kembali): No. 01.Pk/Pid/1998, tanggal 11 Januari 1999. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIV No.168 September 1999; hal. 64).

“HAKIM SALAH MENERAPKAN HUKUM PEMBUKTIAN”
Abstrak Hukum:
Dalam persidangan terbukti fakta bahwa Terdakwa II dan III bersama-sama dengan terdakwa I telah mengajukan “Surat yang dipalsukan” tersebut sebagai alat bukti dalam pemeriksaan gugatan perdata di Pengadilan Negeri No.162/Pdt/.G/1998/PN.Bdg dalam rangka untuk meneguhkan gugatannya agar gugatannya dikabulkan oleh Hakim.
Perbuatan terdakwa II dan III yang demikian itu mengandung arti, bahwa mereka berdua mempunyai keinsyafan/kesadaran yang sama dengan terdakwa I untuk menggunakan surat Palsu tersebut sebagai alat bukti dalam persidangan.
Keadaan yang demikian ini, maka pasal 55 (1) KUHPidana tentang “pernyataan atau mededadershap” dapat diterapkan terhadap terdakwa II dan III tersebut, ex pasal 263 (2) jo pasal 55 (1) KUHPidana.
Syarat utama pasal ini adalah adanya keinsyafan atau kesadaran bersama diantara mereka.
Judex facti – Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum pembuktian, karena menurut ketentuan pasal 67 KUHAP, suatu putusan bebas (Vrijspraak) menurut pasal 191 KUHAP adalah bila kesalahan terdakwa atas perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. 

Pengadilan Negeri Bandung: No. 04/Pid.B/2000/PN.Bdg, tanggal 30 Agustus 2000. 
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 372/Pid/2000/PT.Bdg, tanggal 17 Januari 2001. 
Mahkamah Agung RI: No. 805 K/Pid.2001, tanggal 29 April 2002. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVIII No.206 November 2002; hal. 48).

PENERAPAN HUKUM PASAL 266 K.U.H.PIDANA
Hakim Salah Menerapkan Hukum
Abstrak Hukum:
Unsur delik ex pasal 266 ayat (1) KUH Pidana antara lain disebutkan: menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam “akta authentik” unsur delik akta authentik ini haruslah diartikan sebagaimana yang ditentukan didalam pasal 165 H.I.R jo pasal 1868 BW. KUHPerdata: bahwa yang dimaksud dengan akta authentik adalah akta yasng dibuat oleh Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Oleh karena “Certificate of Appraisal”, tidak dibuat oleh Pejabat Umum, melainkan dibuat oleh suatu perusahaan penilai, PT. Kharisma, maka Certificate of Appraisal a’quo secara yuridis tidak dapat digolongkan sebagai akta authentik, sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 165 H.I.R. jo pasal 1868 B.W. sehingga dalam kasus diatas, meskipun “Certificate of Appraisal” mengandung isi/keterangan yang tidak benar/palsu, yang kemudian dimasukkan/dicantumkan dalam Akta Notaris Perjanjian Hutang/Kredit, maka perbuatan Terdakwa yang memasukkan/atau menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam Certificate of Appraisal, adalah tidak dapat dikualifikasikan sebagai “Perbuatan Pidana (Strafbaar feit)” ex pasal 266 ayat (1) KUHPidana. 

Pengadilan Negeri di Bandung: No. 870/Pid/B/2002/PN.Bdg, tanggal 12 September 2002. 
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 324/Pid/2002/PT. Bdg, tanggal 23 Oktober 2002. 
Mahkamah Agung RI: No. 1893-K/Pid/2002, tanggal 27 Februari 2003. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIX No. 218 November 2003; hal. 41). 


Tidak ada komentar: