Translate

Jumat, 01 November 2013

DELIK KESUSILAAN

DELICT KESUSILAAN PENERAPAN PASAL 293 KUH PIDANA.
Abstrak Hukum:
Dari putusan MA-RI tersebut diatas dapat dicatat  “Abstrak hukum” demikian:
“Rayuan Pria berupa janji untuk mengawini si gadis, sehingga sigadis bersedia digauli oleh pria ini, adalah merupakan suatu perbuatan yang dinilai telah memenuhi salah satu unsur ex pasal 293 (1) KUHPidana berupa: menyalahgunakan kelebihan (pengaruh)………. Dan seterusnya. 

Pengadilan Negeri Manado: No. 168/Pid.S/1986, tgl. 24 Juni 1986.
Mahkamah Agung RI: No. 1330.K/Pid/1986, tanggal 22 Desember 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 45. Juni 1989; hal. 63).

PROBLEMA JURIDIS PENERAPAN DELICT ZINA
      Abstrak Hukum:
Bahwa dalam menghadapi kasus “perbuatan zinah” ex pasal 284 KUHP, Hakim pertama dengan mendasarkan dirinya pada putusan MA RI No. 561.K/Pid/1982, serta putusan MA RI pada tahun berikutnya, telah diputuskan bahwa Pengaduan dan dakwaan jaksa ex pasal 284 KUHP adalah “tidak dapat diterima” dan menjadi “batal” bilamana hal tersebut tidak diikuti dengan gugat perceraian antara suami-istri yang bersangkutan. (Vide Putusan MA RI No. 1080.K/Pid/1987 tgl 21 september 1989 Varia Peradilan No. 59).
Bahwa pendirian MA tersebut diatas nampaknya sudah mulai ditinggalkan. Hal mana ternyata dalam putusannya terhadap perkara yang dihadapinya sekarang ini, yang berpendirian sebagai berikut:
- Bahw pasal 284 KUHP berlaku juga bagi seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW.
- Untuk dapat “diindahkannya pengaduan” ex pasal 284 KUHP, tidak berarti harus terlebih dulu ada perceraian perkawinan antara suami-istri yang bersangkutan.  
Dari putusan MA RI terhadap kasus yang diselesaikan sekarang ini, kita dapat menarik “Abstrak hukum” yang intinya demikian: bahwa pengaduan suami isteri satu terhadap lainnya, karena dakwaan melakukan perbuatan zina, untuk dapat diindahkannya pengaduan tersebut, tidak harus diikuti dengan tindakan perceraian perkawinan sebelumnya.
Bahwa putusan MA RI terakir ini menunjukkan adanya perobahan pendirian terhadap kasus perzinahan yang pernah diputus pada tahun-tahun sebelumnya.

PN Waingapu No. 36/Pid/B/1987, tgl 18 September 1987. 
MA RI No. 135.K/Pid/1988, tgl 28 Februari 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 62 November 1990; hal. 75).

PENERAPAN DELICT MERUSAK KESUSILAAN UMUM
      Abstrak hukum:
Bahwa perbuatan seorang pemuda yang merayu seorang gadis disuatu “Taman Kota” pada remang-remang malam hari, dengan macam-macam rayuan khas selera laki-laki. Gadis kemudian menyerah pada pemuda tersebut untuk dicumbui dan digauli ditempat Taman Kota itu pula. Meskipun ditempat tersebut gelap, sepi dan tidak ada orang lain yang melihatnya, maka perbuatan pemuda tersebut adalah merupakan perbuatan: sengaja merusak kesusilaan (kesopanan) umum, sebagaimana yang dimaksudkan pasal 281 (1) KUHP.
Bahwa untuk menerapkan ketentuan ex pasal 281 (1) KUHP adalah tidak diperlukan bahwa perbuatan “a susila” itu, dilihat oleh orang lain, sehingga orang lain menjadi tersinggung “rasa malunya” atau menimbulkan “rasa jijiknya”. Hal yang demikian bukan merupakan unsur delict ex pasal 281 (10) KUHP.
Disamping itu, kita dapat mencatat hal yang menarik dari kasus ini yaitu: batasan dan pengertian “kesusilaan” masyarakat Indonesia dewasa ini. Hal ini nampak adanya perbedaan pendirian antara judex facti dengan Mahkamah Agung tentang batasan dan pengertian “kesusilaan” tersebut. Apakah karena pengaruh modernisasi dan globalisasi disegala bidang kehidupan, maka pengertian kesusilaan masyarakat Indonesia menjadi bisa bergeser dari pengertian tradisionalnya? hal ini perlu renungan dan kajian.

Mahkamah Militer II-10-Semarang: No. 010/K/093-M.II-10/POL/I/1989, tgl 17 Januari 1989.
Mahkamah agung RI: No. 13.K.K/MIL/1989, tgl 21 April 1990.(Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 64 Januari 1991; hal. 36).

WANITA TUNA SUSILA
Abstrak Hukum:
Tidak dapat dibenarkan adanya pendirian bahwa keterangan yang diberikan dibawah sumpah dipersidangan Pengadilan, oleh para saksi yang berprofesi sebagai Wanita Tuna Susila (WTS) itu adalah keterangan yang diragukan dan tidak diyakini akan kebenarannya oleh Hakim. Alasannya karena Wanita Tuna Susila tidak akan menyadari apa arti dari sumpah yang diucapkannya itu.
Benar atau tidaknya keterangan yang diberikan oleh saksi dibawah sumpah itu adalah tidak tergantung pada profesi orang yang bersangkutan. Mahkamah Agung dapat menerima sebagai sesuatu yang benar, keterangan dibawah sumpah yang diberikan oleh para saksi yang berprofesi sebagai Wanita Tuna Susila.
Mengenai nilai kebenaran keterangan saksi, maka Hakim harus memperhatikan ketentuan pasal 185 (6) KUHAP. 

Pengadilan Negeri Simalungun: No. 189/Pid/1985/PN. Sim, tanggal 15 Januari 1986
Mahkamah Agung RI: No. 664.K/Pid/1986, tanggal 29 November 1990.     (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 71 Agustus 1991; hal. 56)

PUTUSAN JUDEX FACTI MELANGGAR UNDANG-UNDANG KASUS KESUSILAAN
Abstrak Hukum.
Dari kasus ini nampak kepada kita, bahwa judex facti, Hakim Pertama yang putusannya dibenarkan oleh Hakim Banding, ternyata putusan tersebut dinilai Mahkamah Agung, sebagai putusan yang melanggar Undang-Undang No.8/1981, ex pasal 153 (3) (4) yang menentukan bahwa Hakim wajib (Imperatip) untuk melakukan persidangan dengan pintu tertutup, bilamana perkara yang diperiksanya itu mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan. Ketentuan ini, bila dilanggar oleh Hakim, menimbulkan akibat hukum berupa: putusan Hakim adalah batal demi hukum.
“Hakim dalam melakukan pemeriksaan persidangan yang menyangkut perkara pidana kesusilaan, maka ia wajib menyatakan persidangan dengan pinntu tertutup”. Dilanggarnya aturan hukum ini (ex pasal 153 (3) (4), Undang-Undang No.8/1981), maka berakibat putusan Hakim yang bersangkutan menjadi batal demi hukum.
Persidangan Pengadilan dengan pintu tertutup; juga wajib dilakukan oleh Hakim, bila ia memeriksa perkara pidana yang terdakwanya adalah ank-anak.

Pengadilan Negeri di Banjarnegara. No.5/Pid/B/1990/PN. Bjn, tanggal 5 Mei 1990.
Pengadilan Tinggi Jawa  Tengah di Semarang. No. 279/Pid/1990/PT. Smg, tanggal 17 Juli 1990
Mahkamah Agung RI No.1866.K/Pid/1990, tanggal 7 Februari 1991. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII, No. 77. Februari 1992; hal.  77). 

SALAH MENERAPKAN DELICT SUSILA
Abstrak Hukum:
Seorang buruh wanita, di samping tugasnya sebagai buruh pada pabrik, ia masih dapat tugas tambahan sebagai pembantu rumah tangga majikannya. Bila buruh wanita yang masih dibawah umur ini lalu disetubuhi oleh suami majikannya pada saat buruh wanita ini sedang melakukan pekerjaan sebagai rumah tangganya, maka disini terdapat hubungan “majikan dan bawahannya”. Karena itu ex pasal 294 (1) KUHPidana dapat diterapkan terhadap kasus tersebut.

Pengadilan Negeri Kodya Blitar: No.60/Pid/B/1990/PN. Blt, tanggal 22 November 1990.
Mahkamah Agung RI: No. 384.K/Pid/1991, tanggal 28 Juni 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX, No.99. Desember 1993; hal. 5).

DELIK KESUSILAAN
Abstrak hukum:
Hubungan seks atau persetubuhan yang dilakukan berulang kali antara pria dan wanita di luar pernikahan yang sah, tidak dapat dikwalifisir sebagai perbuatan pidana perkosaan ex pasal 285 KUH Pidana.
Untuk membuktikan fakta adanya persetubuhan, adalah tidak mungkin hanya terpaku pada saksi mata saja, maka adanya bukti petunjuk, cukup memadai untuk membentuk keyakinan hakim akan terbuktinya fakta tersebut.
Persetubuhan di luar pernikahan yang sah antara pria dengan wanita yang dilakukan di tempat umum (seperti: pemandian umum, gardu jaga), maka terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana: “dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan” ex pasal 281 (1) KUH Pidana.
Kasus semacam, dapat pula didakwa perbuatan pidana adat melanggar tata susila, yang landasan hukumnya diatur dalam pasal 5 (3) sub “b” Undang-Undang darurat No. 1 tahun 1951.

Pengadilan Negeri di Bondowoso: No. 07/Pid/B/1987/PN.Bdw tanggal 2 Februari 1988.
Mahkamah Agung RI: No. 340 K/Pid/1990 tanggal 24 Februari 1994. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX No. 107 Agustus 1994; hal. 71).

DELIK KESUSILAAN
Abstrak hukum:
Hubungan seks atau persetubuhan yang dilakukan berulang kali antara pria dan wanita di luar pernikahan yang sah, tidak dapat dikwalifisir sebagai perbuatan pidana perkosaan ex pasal 285 KUH Pidana.
Untuk membuktikan fakta adanya persetubuhan, adalah tidak mungkin hanya terpaku pada saksi mata saja, maka adanya bukti petunjuk, cukup memadai untuk membentuk keyakinan hakim akan terbuktinya fakta tersebut.
Persetubuhan di luar pernikahan yang sah antara pria dengan wanita yang dilakukan di tempat umum (seperti: pemandian umum, gardu jaga), maka terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana: “dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan” ex pasal 281 (1) KUH Pidana.
Kasus semacam, dapat pula didakwa perbuatan pidana adat melanggar tata susila, yang landasan hukumnya diatur dalam pasal 5 (3) sub “b” Undang-Undang darurat No. 1 tahun 1951.

Pengadilan Negeri di Bondowoso: No. 07/Pid/B/1987/PN.Bdw tanggal 2 Februari 1988.
Mahkamah Agung RI: No. 340 K/Pid/1990 tanggal 24 Februari 1994. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX No. 107 Agustus 1994; hal. 71).

MENYERANG KEHORMATAN SUSILA KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN
      Abstrak Hukum:
Dalam menerapkan pasal 289 K.U.H.P., maka unsur delict berupa, “Kekerasan” atau “ancaman kekerasan memaksa orang lain….”, harus ditafsirkan secara luas, yaitu tidak hanya berupa kekerasan phisik (lahiriah), melainkan juga termasuk kekerasan dalam arti psychis (kejiwaan)-psychische dwang-. paksan kejiwaan tersebut, sedemikian rupa, sehingga korban menjadi tidak bebas lagi sesuai kehendaknya, yang akhirnya korban menuruti saja kemauan si pemaksa tersebut.
Judex facti dalam menghadapi Dakwan ex pasal 335 K.U.H.P., maka unsur delict dari pasal ini, pihak Jaksa Penuntut Umum harus menguraikan secara rinci, cermat dalam surat dakwaannya. Bilamana tidak, maka Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut adalah obscuur Libel. Akibat hukumnya; Judex facti harus menyatakan Dakwaan Jaksa, tidak dapat diterima oleh Pengadilan.
Sebutan kejahatan atau kwalifikasi ex pasal 289 K.U.H.P. adalah “Menyerang Kehormatan Susila”.

Pengadilan Negeri di Bale Bandung: No.08/Pid/B/1993/PN.BB, tgl. 23 September 1993. 
Mahkamah Agung RI: No.552.K/Pid/1994/tgl 28 September 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No. 121, Oktober 1995; hal. 73).

DELICT KESUSILAAN PENERAPAN PASAL 293 KUHP.
Abstrak hukum:
Meskipun tiada hubungan langsung antara seorang anak majikan dengan buruh Pembantu Rumah Tangga dari orang tuanya, maka anak majikan dinyatakan bersalah melakukan Tindak Pidana Ex Pasal 293 (1) KUHP, karena Terdakwa sebagai anak dari majikan telah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan dimana saksi korban yang baru berusia 15 tahun tersebut adalah Pembantu Rumah Tangga orang tuanya Terdakwa. Dalam status yang demikian itu, maka Terdakwa sebagai anak majikan mempunyai otoritas wibawa terhadap Pembantu Rumah Tangga orang tuanya (Saksi Korban).
Kwalifikasi ex Pasal 293 (1) KUHP sebagai berikut: Dengan menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan dengan sengaja menggerakkan orang lain yang diketahuinya dibawah umur untuk membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia.

Pengadilan Negeri di Medan: No. 550 / Pid. B / 1992 / PN. Mdn, tanggal 10 Pebruari 1993.
Mahkamah Agung RI: No. 1304. K / Pid / 1993, tanggal 27 April 1995. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XII, No. 134, November 1996; hal. 66) 

BUKAN PERKARA PIDANA
Abstrak Hukum:
Penjual tanah yang tidak mau menyerahkan tanah yang dijualnya, dengan alasan pembeli belum menyerahkan uangnya, merupakan perkara wanprestasi yang masuk ruang lingkup perdata dan bukan perkara pidana. 

Pengadilan Negeri Raba Bima: No. 48/Pid.B/1996/PN. Rbi, tanggal 24 Juli 1996. 
Pengadilan Tinggi Mataram: No. 90/Pid/1996/PT. Mtr, tanggal 18 Maret 1997.
Mahkamah Agung RI: 1263 K/Pid/1997, tanggal 19 Januari 1998. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIV No. 163 April 1999; hal. 59).

BUKAN KASUS PIDANA MELAINKAN PERKARA PERDATA
Hakim salah menerapkan hukum
Abstrak hukum:
Perbuatan terdakwa yang belum/tidak membayar hutangnya berupa 93 buah invoice atau Airway Bill, dalam rangka pesanan space cargo pengiriman ikan yang diexport melalui jasa freight forwarding PT. Translink, merupakan suatu perbuatan wanprestasi suatu perjanjian, dalam ruang lingkup hukum perdata dan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum dalam lingkup Hukum Pidana.
Keterangan hanya satu orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya, ex pasal 185 ayat (2) KUHAP. Unus testis nullus testis. 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 502/Pid.B/1999/PN.Jkt.Pst, tanggal 16 Februari 2000. 
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 66/Pid/2000/PT. DKI, tanggal 23 Mei 2000. 
Mahkamah Agung RI (Kasasi): No. 1720.K/Pid/2000, tanggal 29 November 2001.
Mahkamah Agung RI (Peninjauan Kembali): No. 42-PK/Pid/2002, tanggal 10 Oktober 2002.  (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVIII No.215 Agustus 2003; hal. 91).


Tidak ada komentar: