Translate

Rabu, 28 November 2018

Tentang Hukum Perusahaan


Sumber Hukum Perusahaan
 Sumber hukum perusahaan adalah setiap pihak yang menciptakan kaidah atau ketentuan hukum perusahaan. Dengan demikian hukum perusahaan itu terdiri dari kaidah atau ketentuan yang tersebar dalam perundang-undangan, kontrak, yurisprudensi dan kebiasaan mengenai perusahaan.

Bentuk-Bentuk Perusahaan
Bentuk-bentuk perusahaan atau badan usaha yang ada sekarang ini sebagian besar adalah peningalan masa lalu. Secara garis besar bentuk perusahaan dapat dibagi menjadi 3, antara lain:

  1. Ditinjau dari jumlah pemilik modalnya.
A. Usaha perseorangan
B. usaha dalam bentuk institusi atau badan (persekutuan)

  1. Ditinjau dari segi himpunannya.
A. Himpuan orang.
B. Himpunan modal.

  1. Ditinjau dari status hukum.
A. Bentuk usaha atau perusahaan bukan badan hukum.
·         Perusahaan Perseorangan, bentuknya Perusahaan Dagang atau Usaha Dagang
·         Persekutuan, bentuknya Persekutuan Perdata, Firma, Persekutuan Komanditer (CV)
B. Bentuk usaha atau perusahaan badan hukum
·         Maskapai Andil Indonesia
·         Perseroan Terbatas (PT)
·         Koperasi
·         Badan Usaha Milik Negara (Persero, Perum)
Pada dasarnya, sebagian besar bentuk-bentuk perusahaan yang ada bentuk asalnya adalah perkumpulan. Perkumpulan yang dimaksudkan adalah perkumpulan dalam arti luas, dimana tidak empunyai kepriadian sndiri dan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Kpentingan bersama
  2. Kehendak bersama
  3. Tujuan bersama
  4. Kerja sama
Keempat unsur ini ada pada tiap-tiap perkumpulan seperti, Persroan Perdata, Firma, Koperasi atau Perseroan Terbatas. Namun tentu saja masing-masing punya unsur pembeda.
Mengingat rumusan badan hukum tidak ditemui dalam Undang-undang, maka para ahli hukum mengelompokkan perusahaan sebagai badan hukum jika memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Adanya pemisahan harta kekayaan antara perusahaan dan harta pribadi
  2. Mempunyai tujuan tertentu
  3. Mempunyai kepentingan sendiri
  4. Adanya organisasi yang teratur
  5. Adanya pengakuan oleh peraturan perundang-undangan
  6. Adanya pengesahan dari pemerintah
Perseroan Terbatas
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas disebutkan perseroan terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya tebagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan undang-undang ini serta peraturan pelaksananya. Dari definisi tersebut maka dapat dilihat unsur-unsur dari perseroan terbatas antara lain,
  • PT merupakan badan hukum
  • PT merupakan persekutuan modal
  • Didirikan berdasarkan perjanjian
  • Melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang terbagi dalam saham-saham.
Menurut pasal 7 ayat (6) Jo. Pasal 9 UU PT 1995 atau Pasal 7 ayat (4)  Jo Pasal 9 ayat 1 UU 40 tahun 2007 menyatakan bahwa perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan. 

Pendirian Peseroan Terbatas (Pasal 7 UU. No. 40 Tahun 2007)
 Menurut KUHD pendirian perseroan terbatas dilakukan dengan Akta Otentik. Akta pendirian yang otentik tersebut kemudian disampaikan terlebih dulu kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapat pengesahan. Pengesahan baru dapat dibrikan Menteri apabila syarat-syarat dalam anggaran dasar perseroan tidak bertentangan dengan kepentingan umum maupun asusila. Setelah akta pendirian disahkan maka selanjutnya para pendiri mendaftarkannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dan selanjutnya diumumkan dalam Berita Negara.
Akta pendirian tersebut sekurang kurangnya harus memuat (Pasal 8):
  • Angaran dasar
1.    Nama dan tempat kedudukan persero
2.    Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan
3.    Jangka waktu berdirinya persero
4.    Besarnya jumlah modal dasar
5.    Jumlah saham
6.    Nama jabatan dan jumlah anggota direksi dan dewan komisaris
7.    Penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS
8.    Tata cara pengangkatan, penghentian dan penggantian angota direksi dan dewan komisaris
9.    Tata cara penggunaaan laba dan pembagian deviden
10. Ketentuan lain yang tidak bertentangan dengan uu

  • Keterangan mengenai,
    1. Nama lengkap, tempat, tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan pendiri perseroan
    2. Nama lengkap, tempat, tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan anggota direksi, dan dewan komisaris yang pertama kali diangkat
    3. Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian sham, rincian jumlah saham dan nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor.
Dalam pasal 10 dijelaskan bahwa permohonan memperoleh keputusan menteri tentang pengesahan badan hukum perseroan harus diajukan paling lambat 6o hari terhitung sejak tanggal akata pendirian ditandatangani. Dan jika telah lewat waktu maka akta pendirian tersebut menjadi batal.

Modal dan Saham Perseroan Terbatas.
Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nominal saham. Namum tidak menutup kemungkinan peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal mengatur modal perseroan yang terdiri atas saham tanpa nilai nominal. Dalam UU No 40 tahun 2007 pasal 32 ayat 1 diatur bahwa modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 50 juta. Namun jumlah ini bukan ketentuan yang pasti, karena undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu ( perbankan, asuransi, freight forwarding) dapat menentukan jumlah minimum modal perseroan yang lebih besar daripada modal ketentuan modal dasar ebagaimana yang dimaksud pada pasal 32 ayat 1.

Pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status dan hukum perseroan.
Meski pada dasarnya perseroan didirikan untuk jangka waktu yang tidak terbatas namun tidak menutup kemungkinan perseroan dibuarkan. Pasal 142 uu no 40 tahun 2007, pembubaran dapat terjadi karena:
  1. Bedasarkan keputsan RUPS
  2. Karena jangka waktu berdirinya dalam AD sudah berakhir
  3. Berdasarkan penetapan pengadilan
  4. Dengan dicatnya kepailitan berdsarkan keputusan pengadilan niaga yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
  5. Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam uu tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
  6. Karena dicabutnya izin usaha perseroan sehingga perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan uu.
Menurut pasal 142 setiap terjadi pembuaran PT wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan likuidator atau kurator dan perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali hal-hal mengenai likuidasi. Bila pembubaran Pt terjadi atas keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam AD telah berakhir atau karena dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tiak menunjuk likuidator maka direksi bertindak sebagai likuidator.
Status badan hukum tidak hilang sat pemubaran PT melainkan saat selesainya likuidasi dan pertanggung jawaban likuidator diterima RUPS.
Rapat Umum Pemegang Saham
Adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu perseroan dan sekaligus memegang segala wewenang yang tidak di serahkan kepada direksi dan komisaris. RUPS diadakan di tempat perseroan melakukan kegiatan usahanya. RUPS terdiri atas dua macam,
  1. RUPS tahunan.
RUPS tahunan diadakan dalam waktu paling lambat 6 bulan setelah tahun buku. RUPS ini diselenggrakan oleh direksi atau atas permintaan salah satu pemegang saham.
  1. RUPS lainnya.
RUPS ini diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan. RUPS ini dapat diselenggarakan atas permintaan para pemegang saham dimana syarat dan tata cara pelaksanaannya sama seperti RUPS tahunan.

Direksi
Adalah organ perseroan yang berwenang dan bertangung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan baik di dalam dan di luar pengadilan.
Dalam pasal 97 uu no. 40 tahun 2007 disebutkan 3 tanggung jawab pokok direksi, antara lain:
1.    bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan dengan itikad baik
2.    bertanggunjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya
3.    bertanggungjawab secara renteng dalam hal direksi terdiri atas dua orang atau lebih atas kerugian yang sama dalam poin 2
terhadap keruian-kerugian tertentu angota direksi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban apabila dapat membuktikan:
1.    kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
2.    telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan dan tujuan persero
3.    tidak punya benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian
4.    telah mengambil keputusan tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut

Dewan Komisaris
Ketentuan yang berkaitan dengan dewan komisaris diatur dalam pasal 1 ayat 6, pasal 109 sampai pasal 121. Dewan komisaris adalah organ yang bertugas melakukan pengawasan secara umum atau khusus sesuai dengan AD serta memberi nasihat pada direksi.

Tentang FIDUSIA


Fiduciae/Fidusia
Fidusia berasal dari kata fiduciae eigendom overdraagh yang artinya pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia seperti termaktub dalam UU No 44 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya.

PEMBERI Fidusia dan PENERIMA Fidusia
Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, yang memiliki benda secara hutang dengan pembayaran diangsur atau yang akan menjadi obyek penjaminan, sering kita sebut sebagai Debitur. Debitur adalah pihak yang mempunyai hutang karena perjanjian atau undang-undang.
Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia, sering kita sebut sebagai Kreditur. Kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.
contohnya Lembaga Leasing, Bank dan lain lain selaku Kreditur.


Bentuk, Isi Perjanjian Fidusia dan Lahirnya Jaminan Fidusia
UU Fidusia menegaskan bahwa untuk perjanjian fidusia harus tertulis, dibuat secara Notariil dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia.
Akta Notaris merupakan akta otentik (dibuat oleh pejabat) memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat, para pihak beserta para ahli waris atau para pengganti haknya. Akta otentiklah yang dianggap paling menjamin kepastian hukum berkenaan dengan obyek jaminan fidusia.
Isi akta perjanjian jaminan fidusia paling tidak memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 UU Fidusia. (* lihat lampiran contoh akta Perjanjian Jaminan Fidusia secara Notariil)
Jaminan Fidusia berdasarkan UU Fidusia lahir sejak pada tanggal jaminan fidusia dicatat dalam Buku Daftar Fidusia. Adapun bukti bagi kreditur bahwa ia merupakan pemegang jaminan fidusia adalah Sertipikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran dalam Buku Daftar Fidusia.
Pasal 28 UU Fidusia, mengatur bahwa apabila atas benda/barang yang sama yang menjadi obyek jaminan fidusia dibuat lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, maka kreditur yang lebih dahulu mendaftarkannya adalah Penerima Fidusia. Melalui keharusan pendaftaran jaminan fidusia (pasal 19 UU Fidusia) lebih memberikan perlindungan bagi kreditur (Lembaga Leasing, Bank, dll).

Pendaftaran Jaminan Fidusia
harus kesepakatan kedua belah pihak. Menurut pasal 13 UU Fiducia.
(1) Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia.
(2) Pernyataan pendaftaran sebagaimana dalam ayat 1 (satu)  memuat :
·         identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
·         tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris  yang
·         memuat akta Jaminan Fidusia;
·         data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
·         uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
·         nilai penjaminan; dan
·         nilai Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
(3) Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Perundang-undangan  dan HAM RI di setiap ibukota propinsi yang kemudian menerbitkan dan menyerahkan Sertipikat Jaminan Fidusia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Jadi seyogyanya perjanjian penjaminan fiducia dilakukan setelah akad kredit (perjanjian pokok) ditanda tangani.

Tanggung Jawab atas Obyek Jaminan Fidusia
Oleh karena Pemberi Fidusia (debitur) tetap menguasai dan sepenuhnya memperoleh manfaat fisik benda yang menjadi jaminan fidusia maka bertanggung jawab atas semua resiko yang timbul berkaitan dengan pemakaian dan keadaan benda/barang yang dimaksud.
Pengalihan, gadai atau menyewakan obyek jaminan fidusia harus dengan persetujuan tertulis dari Penerima Fidusia (kreditur), pelanggaran hal tersebut diancam dengan pidana penjara dan denda (pasal 36 UU Fidusia).

Eksekusi Jaminan Fidusia
Bagaimana sifat dari jaminan fiducia jika debitur wanprestasi? Sertipikat Jaminan Fiducia mempunyai title eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap (pasal 15 UU Fidusia), artinya tanpa putusan pengadilan bisa dilaksanakan eksekusinya. Lelang bisa dilakukan sendiri tanpa bantuan putusan pengadilan layaknya hak Tanggungan.

Hapusnya atau Berakhirnya Jaminan Fidusia
Karena jaminan fidusia merupakan perjanjian aksesor (mengikuti) dari perjanjian pokok maka demi hukum jaminan fidusia hapus atau berakhir apabila hutang yang bersumber pada perjanjian pokok dan yang dijamin dengan fidusia hapus/selesai/lunas.
Pengalihan hak kepemilikan obyek jaminan fidusia tersebut sebagai jaminan atas kepercayaan maka hak kepemilikan tersebut dengan sendirinya akan kembali bila hutang telah lunas.

Contoh Praktek:
Orang pribadi membeli sepeda motor dengan mengangsur (kredit), hal tersebut  merupakan  suatu bentuk perjanjian perdata.
Apabila beli motor dengan mengangsur kemudian atas barang tersebut dipasang jaminan fiducia dengan Akta Notaris serta melaksanakan Pendaftaran Jaminan Fidusia maka sudah berbeda dalam hal praktek penanganan, karena UU No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dengan tegas mengatur ketentuan pidana dari pelanggaran terhadap jaminan fidusia.
Resiko dalam hal debitur diam-diam mengalihkan jaminan fidusia tersebut kepada pihak lain, itu jelas melanggar UU. Demikian juga dengan POLRI, sebagai alat Negara yang bekerja awal dalam hal apabila terjadi tindak pidana, Instansi tersebut wajib mensyaratkan adanya Sertipikat Jaminan Fidusia untuk menindak lanjuti prosedur yang berlaku.
Sehingga untuk lebih menjamin dan memberikan kepastian Hukum Perusahaan Leasing, Bank (Penerima Fidusia) atas sepeda motor tersebut Jaminan Fidusia sangatlah diperlukan.
Melalui keharusan pendaftaran jaminan fidusia (pasal 19 UU Fidusia) lebih memberikan perlindungan bagi Penerima Fidusia (Lembaga Leasing, Bank, dll).


HUKUM PERJANJIAN




I. Perjanjian adalah :suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau
                                      dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan 
                                      sesuatu hal, Menimbulkan Perikatan.
      Perikatan adalah :   suatu perhubungan hukum antara orang atau 2 pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.                                 
     Unsur-unsur perjanjian :
     1.  Hubungan hukum;
     2.  Antara dua orang atau lebih;
3.    Tentang suatu prestasi;
4.  yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain.

II.  Syarat sah perjanjian menurut pasal 1320 BW :
     1.  sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;  (unsur subyektif)
     2.  kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
     3.  suatu hal tertentu;        (unsur obyektif)
     4.  suatu sebab yang halal.

     Ad.1. Sepakat.
              Bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, “setuju”, atau “seia sekata” mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara bertimbal-balik.

     Ad.2. Cakap.
              Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akil balig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.
               Dalam pasal 1330 BW, disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian  :
              1.  orang-orang yang belum dewasa;
              2.  mereka yang dibawah pengampuan;      
3.    perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

     Ad.3. Hal tertentu.
              Suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.

     Ad.4. Sebab yang halal.
              Sebab yang halal artinya adalah isi dari perjanjian itu sendiri yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Batalnya suatu perjanjian :

1.  Batal demi hukum/null and void.
          Perjanjian batal demi hukum apabila syarat obyektif :
          a.  hal tertentu
          b.  sebab yang halal
          tidak terpenuhi. 
          Dalam hal demikian, maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian atau tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat satu sama lain, telah gagal. Pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain dimuka hakim, karena dasar hukumnya tidak ada.

     2.  Dapat dimintakan pembatalan / vernietigbaar.
          Perjanjian dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak apabila syarat subyektif :
          a.  sepakat
          b.  cakap
          tidak terpenuhi.
          Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu bersifat mengikat, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, perjanjian tersebut tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.

III.   Kekuatan hukum perjanjian :

Menurut Pasal 1338:
 Ayat (1) BW :
                   Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ayat (2) BW :
                   Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Ayat (3) BW :
                   Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.


IV.  Wanprestasi adalah : Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.    
          Macam wanprestasi :        
1.  tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.  melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.     melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4.     melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

          Akibat hukum wanprestasi :
1.  membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi.
          2.  pembatalan perjanjian;
          3.  peralihan risiko;
          4.  membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim;
    
     Ad.1.  Ganti rugi
              unsur ganti rugi :
              a.  Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
             b.  Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian si debitur.
            c.  Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
     Ad.2.  Pembatalan perjanjian
              Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian.
  Ad.3.  Peralihan resiko :     Peralihan kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

     Ad.4.  Membayar biaya perkara
              Membayar biaya perkara sebagai sanksi bagi seorang debitur yang lalai, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara. Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di muka Hakim.
  

V.   Pembelaan-pembelaan atas tuduhan wanprestasi

1.   Overmacht :    suatu keadaan yang memaksa.
                                   Keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur dan memaksa dalam arti bahwa debitur ini terpaksa tidak dapat menepati janjinya.
                                      Overmacht menjadi landasan hukum yang “memaafkan” kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht mencegah debitur menanggung akibat dan resiko perjanjian.
                                      Overmacht merupakan dasar hukum yang mengesampingkan/menyingkirkan azas yang terdapat pada Pasal 1239 BW : setiap wan prestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi (schadevergoeding)
                   Unsur-unsur overmacht :
1.  Sebab luar atau suatu sebab di luar diri debitur;
  2.  Sebab luar itu adalah sebab luar yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh debitur (Pasal 1244 BW).
              Overmacht menurut Pasal 1244 dan 1245 BW telah ditetapkan sebagai alasan hukum yang “membebaskan” debitur dari kewajiban melaksanakan “pemenuhan” (nakoming) dan ”ganti rugi” (schadevergoeding) sekalipun debitur telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau onrechtmatig.

 
          Akibat overmacht :
1.  Pembebasan debitur membayar ganti rugi;
  2.  Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi.
              Ad.1.  Pada akibat pembebasan membayaran ganti rugi, hak kreditur untuk menuntut “gugur untuk selama-lamanya”.
                        Jadi pembebasan ganti rugi sebagai akibat overmacht adalah“pembebasan mutlak”.
  Ad.2.  Pembebasan pemenuhan bersifat relatif dan pada umumnya hanya bersifat menunda saja, selama keadaan overmacht masih menghalangi debitur melakukan pemenuhan prestasi. Apabila overmacht hilang, kreditur kembali dapat menuntut pemenuhan prestasi. Jadi pemenuhan prestasi tidak gugur selama-lamanya.
2.   Exceptio non adimpleti contractus
          Pembelaan si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi memajukan ke muka hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian bertimbal balik dianggap ada suatu azas bahwa kedua belah pihak itu harus sama-sama melakukan kewajibannya.
3.   Pelepasan Hak.
          Suatu sikap dari pihak kreditur darimana pihak debitur boleh menyimpulkan bahwa kreditur itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi.


VI.  Hapusnya Perikatan

1.        Pembayaran.
2.        Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3.        Pembaharuan hutang/Novasi.
4.        Perjumpaan hutang atau kompensasi
5.        Pencampuran hutang.
6.        Pembebasan hutang.
7.        Musnahnya barang yang terhutang
8.        Kebatalan atau pembatalan.
9.        Berlakunya suatu syarat batal.
10.     Lewatnya waktu.
  Ad.1.  Pembayaran
              Pembayaran ini dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Pembayaran harus dilakukan kepada kreditur atau seorang yang dikuasakan olehnya atau juga seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi kreditur.
     Ad.2.  Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
              Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si kreditur menolak pembayaran, maka si debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yaitu barang atau uang yang akan dibayarkan disimpan atau dititipkan kepada panitera pengadilan negeri dengan demikian hapuslah utang piutang itu. Barang atau uang tersebut yang sudah dalam simpanan kepaniteraan pengadilan negeri menjadi tanggungan atau risiko si kreditur dan biaya yang dikeluarkan harus dipikul oleh si debitur
       Ad.3.  Pembaharuan hutang/Novasi.
                   Menurut pasal 1413 BW ada 3 (tiga) macam jalan untuk menjalankan pembaharuan hutang/novasi yaitu :
                   a.  Novasi obyektif, apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang menghutangkan kepadanya yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b.    Novasi subyektif,
1.    apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang berhutang lama, yang oleh si kreditur dibebaskan dari perikatannya.
2.    Apabila sebagai akibat dari perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si debitur dibebaskan dari perikatannya.
        Ad.4. Perjumpaan hutang atau kompensasi
                 Adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang piutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitur.
       Ad.5.  Pencampuran hutang.
                 Apabila kedudukan sebagai orang yang berpiutang (kreditur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu pencampuran hutang dengan mana hutang piutang itu dihapuskan.


       Ad.6   Pembebasan hutang.
                 Bahwa apabila si  berpiutang dengan  tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya untuk pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan yaitu hubungan hutang piutang hapus, perikatan disini hapus karena pembebasan. Pembebasan suatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
       Ad.7.  Musnahnya barang yang terhutang.
                 Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
       Ad.8.  Kebatalan atau pembatalan.
                 Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada perikatan hukum yang dilahirkan karenanya dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dapat dihapus.
       Ad.9.  Berlakunya suatu syarat batal.
                 Dalam hukum perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Dengan demikian, maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
     Ad.10.   Lewatnya waktu.
                 Menurut pasal 1946 BW yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.