Translate

Rabu, 28 November 2018

HUKUM PERJANJIAN




I. Perjanjian adalah :suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau
                                      dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan 
                                      sesuatu hal, Menimbulkan Perikatan.
      Perikatan adalah :   suatu perhubungan hukum antara orang atau 2 pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.                                 
     Unsur-unsur perjanjian :
     1.  Hubungan hukum;
     2.  Antara dua orang atau lebih;
3.    Tentang suatu prestasi;
4.  yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain.

II.  Syarat sah perjanjian menurut pasal 1320 BW :
     1.  sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;  (unsur subyektif)
     2.  kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
     3.  suatu hal tertentu;        (unsur obyektif)
     4.  suatu sebab yang halal.

     Ad.1. Sepakat.
              Bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, “setuju”, atau “seia sekata” mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara bertimbal-balik.

     Ad.2. Cakap.
              Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau “akil balig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.
               Dalam pasal 1330 BW, disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian  :
              1.  orang-orang yang belum dewasa;
              2.  mereka yang dibawah pengampuan;      
3.    perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

     Ad.3. Hal tertentu.
              Suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.

     Ad.4. Sebab yang halal.
              Sebab yang halal artinya adalah isi dari perjanjian itu sendiri yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Batalnya suatu perjanjian :

1.  Batal demi hukum/null and void.
          Perjanjian batal demi hukum apabila syarat obyektif :
          a.  hal tertentu
          b.  sebab yang halal
          tidak terpenuhi. 
          Dalam hal demikian, maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian atau tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat satu sama lain, telah gagal. Pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain dimuka hakim, karena dasar hukumnya tidak ada.

     2.  Dapat dimintakan pembatalan / vernietigbaar.
          Perjanjian dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak apabila syarat subyektif :
          a.  sepakat
          b.  cakap
          tidak terpenuhi.
          Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu bersifat mengikat, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, perjanjian tersebut tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.

III.   Kekuatan hukum perjanjian :

Menurut Pasal 1338:
 Ayat (1) BW :
                   Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ayat (2) BW :
                   Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Ayat (3) BW :
                   Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.


IV.  Wanprestasi adalah : Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.    
          Macam wanprestasi :        
1.  tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.  melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.     melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4.     melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

          Akibat hukum wanprestasi :
1.  membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi.
          2.  pembatalan perjanjian;
          3.  peralihan risiko;
          4.  membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim;
    
     Ad.1.  Ganti rugi
              unsur ganti rugi :
              a.  Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak.
             b.  Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian si debitur.
            c.  Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
     Ad.2.  Pembatalan perjanjian
              Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali kepada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian.
  Ad.3.  Peralihan resiko :     Peralihan kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.

     Ad.4.  Membayar biaya perkara
              Membayar biaya perkara sebagai sanksi bagi seorang debitur yang lalai, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara. Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di muka Hakim.
  

V.   Pembelaan-pembelaan atas tuduhan wanprestasi

1.   Overmacht :    suatu keadaan yang memaksa.
                                   Keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur dan memaksa dalam arti bahwa debitur ini terpaksa tidak dapat menepati janjinya.
                                      Overmacht menjadi landasan hukum yang “memaafkan” kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht mencegah debitur menanggung akibat dan resiko perjanjian.
                                      Overmacht merupakan dasar hukum yang mengesampingkan/menyingkirkan azas yang terdapat pada Pasal 1239 BW : setiap wan prestasi yang menyebabkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi (schadevergoeding)
                   Unsur-unsur overmacht :
1.  Sebab luar atau suatu sebab di luar diri debitur;
  2.  Sebab luar itu adalah sebab luar yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh debitur (Pasal 1244 BW).
              Overmacht menurut Pasal 1244 dan 1245 BW telah ditetapkan sebagai alasan hukum yang “membebaskan” debitur dari kewajiban melaksanakan “pemenuhan” (nakoming) dan ”ganti rugi” (schadevergoeding) sekalipun debitur telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau onrechtmatig.

 
          Akibat overmacht :
1.  Pembebasan debitur membayar ganti rugi;
  2.  Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi.
              Ad.1.  Pada akibat pembebasan membayaran ganti rugi, hak kreditur untuk menuntut “gugur untuk selama-lamanya”.
                        Jadi pembebasan ganti rugi sebagai akibat overmacht adalah“pembebasan mutlak”.
  Ad.2.  Pembebasan pemenuhan bersifat relatif dan pada umumnya hanya bersifat menunda saja, selama keadaan overmacht masih menghalangi debitur melakukan pemenuhan prestasi. Apabila overmacht hilang, kreditur kembali dapat menuntut pemenuhan prestasi. Jadi pemenuhan prestasi tidak gugur selama-lamanya.
2.   Exceptio non adimpleti contractus
          Pembelaan si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi memajukan ke muka hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian bertimbal balik dianggap ada suatu azas bahwa kedua belah pihak itu harus sama-sama melakukan kewajibannya.
3.   Pelepasan Hak.
          Suatu sikap dari pihak kreditur darimana pihak debitur boleh menyimpulkan bahwa kreditur itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi.


VI.  Hapusnya Perikatan

1.        Pembayaran.
2.        Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3.        Pembaharuan hutang/Novasi.
4.        Perjumpaan hutang atau kompensasi
5.        Pencampuran hutang.
6.        Pembebasan hutang.
7.        Musnahnya barang yang terhutang
8.        Kebatalan atau pembatalan.
9.        Berlakunya suatu syarat batal.
10.     Lewatnya waktu.
  Ad.1.  Pembayaran
              Pembayaran ini dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Pembayaran harus dilakukan kepada kreditur atau seorang yang dikuasakan olehnya atau juga seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi kreditur.
     Ad.2.  Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
              Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si kreditur menolak pembayaran, maka si debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yaitu barang atau uang yang akan dibayarkan disimpan atau dititipkan kepada panitera pengadilan negeri dengan demikian hapuslah utang piutang itu. Barang atau uang tersebut yang sudah dalam simpanan kepaniteraan pengadilan negeri menjadi tanggungan atau risiko si kreditur dan biaya yang dikeluarkan harus dipikul oleh si debitur
       Ad.3.  Pembaharuan hutang/Novasi.
                   Menurut pasal 1413 BW ada 3 (tiga) macam jalan untuk menjalankan pembaharuan hutang/novasi yaitu :
                   a.  Novasi obyektif, apabila seorang yang berhutang membuat suatu perikatan hutang baru guna orang menghutangkan kepadanya yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya.
b.    Novasi subyektif,
1.    apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang berhutang lama, yang oleh si kreditur dibebaskan dari perikatannya.
2.    Apabila sebagai akibat dari perjanjian baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa si debitur dibebaskan dari perikatannya.
        Ad.4. Perjumpaan hutang atau kompensasi
                 Adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan hutang piutang secara bertimbal balik antara kreditur dan debitur.
       Ad.5.  Pencampuran hutang.
                 Apabila kedudukan sebagai orang yang berpiutang (kreditur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu pencampuran hutang dengan mana hutang piutang itu dihapuskan.


       Ad.6   Pembebasan hutang.
                 Bahwa apabila si  berpiutang dengan  tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya untuk pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan yaitu hubungan hutang piutang hapus, perikatan disini hapus karena pembebasan. Pembebasan suatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
       Ad.7.  Musnahnya barang yang terhutang.
                 Jika barang tertentu yang menjadi obyek dari perjanjian musnah tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
       Ad.8.  Kebatalan atau pembatalan.
                 Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada perikatan hukum yang dilahirkan karenanya dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dapat dihapus.
       Ad.9.  Berlakunya suatu syarat batal.
                 Dalam hukum perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Dengan demikian, maka syarat batal itu mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi.
     Ad.10.   Lewatnya waktu.
                 Menurut pasal 1946 BW yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.


Tidak ada komentar: