Translate

Jumat, 01 November 2013

YURISPRUDENSI (Hukum Acara Pidana)

HUKUM ACARA PIDANA
Abstrak Hukum:
Putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa, bilamana merupakan pembebasan murni, sesuai dengan ketentuan pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Sebaliknya, bilamana pembebasan itu didasarkan pada:
Penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan.
Atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Mahkamah Agung atas dasar pendapatnya, bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni, sehingga permohonan kasasi dapat diterima.
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa pemohon kasasi yang tidak dapat membuktikan atau mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murninya putusan bebas tersebut, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa tidak dapat diterima. 

Pengadilan Negeri di Subang: No. 58/Pid-B/1983/PN. Sbg, tanggal 2 Pebruari 1984.
Mahkamah Agung RI: No. 321 K/Pid1984, tanggal   28 Januari 1985. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I  No. 2, Nopember 1985. hal.). 

PUTUSAN BEBAS & KASASI.
Abstrak Hukum:
Berdasarkan pasal 67 jo. 244 KUHP terhadap putusan bebas Pengadilan Negeri tidak dapat dimintakan banding, maka terhadap putusan tersebut secara langsung dapat dimintakan kasasi.
Namun meskipun permohonan kasasi yang dimajukan Jaksa masih dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh Undang-Undang, akan tetapi karena risalah kasasinya baru diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat telah melewati tenggang waktu 14 hari sebagaimana ditentukan dalam pasal 248 (4) KUHAP oleh karena itu hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur, dan dengan demikian permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. (A.S). 

Pengadilan Negeri: No. 118/Pid/1983, tanggal 22 Februari 1984
Mahkamah Agung RI: No. 1008 K/Pid/1984, tanggal 30 Juni 1985. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No.4 Januari 1986; hal. 32).

PUTUSAN PENGADILAN TINGGI MEDAN.
Abstrak Hukum:
Meskipun Jaksa Penuntut Umum yang bersidang telah menyatakan menerima putusan Pengadilan Negeri Medan tgl 31 Oktober No. 317/KTS/1983/PN-Medan pada tanggal 2 Nopember 1983 secara tertulis dan tidak pernah mencabut atau membatalkannya, namun pernyataan banding yang dimajukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Medan tanggal 14 Nopember 1983 terhadap putusan tersebut adalah sah dan oleh karenanya dapat diterima Pengadilan Tinggi Medan dengan alasan bahwa Kejaksaan merupakan Lembaga yang satu tidak terpisahkan dalam pengertian pengawasan atasan baik langsung atau bukan masih tetap dilakukan (een en’ ondeelbaar berdasarkan UU Pokok Kejaksaan No. 13 Tahun 1961).
Bahwa tenggang waktu berpikir bagi Terdakwa atau Jaksa Penuntut Umum selama tujuh hari terhadap putusan Pengadilan Negeri harus ditafsirkan boleh berubah sikap, yakni bila sudah menerima putusan, membatalkan penerimaan putusan itu untuk memohon banding, ataupun sebaliknya bila telah bermohon banding berobah dan mencabut permohonan banding itu. Pertimbangan Pengadilan Tinggi Medan ini dibenarkan oleh Mahkamah Agung dengan putusannya No. 343 K/Pid/1984 tanggal 11 Juni 1985. (A.S).  

Pengadilan Negeri: No. 317/KTS/1983/PN.Mdn, tanggal 31 Oktober 1983.
Pengadilan Tinggi: No. 201/Pid/1983/PT. Mdn, tanggal 15 Februari 1984.
Mahkamah Agung RI: No. 3343 K/Pid/1984., tanggal 11 Juni 1985. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No.4 Januari 1986; hal. 42).

PERMOHONAN KASASI DAN KASASI PIHAK (Partijcassatie).
Abstrak Hukum:
Permohonan Kasasi terhadap Putusan bebas oleh Pengadilan Negeri yang dimajukan Jaksa tetapi tidak nyata bahwa Jaksa tersebut mendapat Kuasa Khusus dari Jaksa Agung untuk mengajukan Kasasi Jabatan, harus dianggap sebagai permohonan kasasi pihak (Partij Cassatie);
Bahwa meskipun pasal 244 KUHAP menentukan terhadap putusan Perkara Pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas;
Namun Mahkamah Agung berpendapat bahwa selaku Badan Peradilan Tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang diseluruh wilayah Negara diterapkan secara tepat dan adil, Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Bawahannya itu yang membebaskan terdakwa yaitu menentukan sudah tepat dan adilkah putusan Pengadilan bawahannya itu;
Bahwa untuk itu pemohon Kasasi harus dapat membuktikan didalam Memori Kasasinya bahwa Pengadilan Negeri telah:
a. Keliru didalam menafsirkan terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan, bukan didasarkan tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan kepadanya; atau
b. Bahwa pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan lepas dari tuntutan hukum; bukan pembebasan murni; atau 
Apabila dalam menjatuhkan itu Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya; (A.S). 

Pengadilan Negeri: No. 5/1983/Pid. AB., tanggal 30 Juni 1983.
Mahkamah Agung RI: No. 705 K/Pid/1983, tanggal 8 September 1984 (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No. 5 Februari 1986; Hal. 51).

PERBUATAN PIDANA YANG TIDAK DIDAKWAKAN BATAL DEMI HUKUM
Abstrak Hukum:
Pengadilan Tinggi Palembang mempertimbangkan karena terhadap Terdakwa II/Pembanding hanya didakwakan melakukan perbuatan-perbautan yang diuraikan dalam dakwaan primair dan subsidiair saja, mkaa putusan Pengadilan Negeri Palembang yang mempermasalahkan terdakwa II/Pembanding atas perbautan yang tidak didakwakan terhadapnya yaitu terhadap dakwaan lebih subsidiair adalah batal demi hukum;
Putusan ini dalam tingkat kasasi atas permohonan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Palembang telah dinyatakan tidak dapat diterima berdasarkan pertimbangan: 
Bahwa pemohon kasasi tidak dapat mengajukan alsan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letaknya sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut;
Bahwa disamping itu, Mahkamah Agung tidak melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi dengan telah melampaui batas wewenangnya.

PN Palembang: No.337/PTS-PID/1982, tgl.13 Febriari 1982. 
PT Palembang: No.4/1983. PT. Tgl. 22 Januari 1983.
Mahkamah Agung RI: No. 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No. 6 Maret 1986; hal. 117 ).

DAKWAAN YANG OBSCURUM LIBELLUM
Abstrak Hukum:
Unsur “melawan hukum” adalah unsur (bestandeel) terpenting dalam tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) sub  “a” Undang-undang No.3 tahun 1971 yang harus dibuktikan oleh Penuntut Umum. Oleh karena penuntut umum tidak mencantumkan unsur (bestandeel) tersebut dalam dakwaannya, maka penuntut umum harus dinyatakan telah tidak cermat dalam menyusun surat dakwaannya, dan dakwaan menjadi kabur (obscurum libellum).
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka menurut pasal 143 ayat (3) KUHAP Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara pidana ini harus dinyatakan batal demi hukum. 

Pengadilan Negeri: No. 185/1985/Pid/B/PN.Jkt.Pst. tanggal 14 Oktober 1985.                                              (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No. 6 Maret 1986; hal. 137).




PUTUSAN PRA PERADILAN
Abstrak Hukum:
Meskipun menurut pasal 109 (2) tidak ada disebutkan kewajiban untuk memberitahukan tentang penghentian penyidikan kepada Pelapor, selain daripada hanya kepada Penuntut Umum, Tersangka dan Keluarganya, tetapi menurut Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedomaan Pelaksanaan KUHAP, tanggal 10 Desember 1983 pada butir 11 dinyatakan dengan tegas:
“Dalam hal Penyidik menghentikan penyidikan (Pasal 109 ayat 2), dan Penuntut Umum menghentikan Penuntutan (Pasal 140 aya 2), selain harus memberitahukan kepada Tersangka atau Keluarga atau Penasehat Hukumnya, juga kepada Saksi Pelapor atau korban, agar mereka mengetahuinya sehingga menghindarkan kemungkinan diajukannya Pra Peradilan”.
Bahwa adalah wajar apabila seseorang saksi pelapor itu mengetahui apa alasan yang menyebabkan penyidikan terhadap orang yang dilaporkannya telah melakukan tindak pidana itu, dihentikan penyidikan atau penuntutannya, dan ini ada hak dari setiap orang yang telah memenuhi prosedur hukum untuk membela hak-haknya dan kewajiban-kewajibannya menurut Undang-Undang.
Bahwa hal ini dapat pula mengurangi kesewenang-wenangan Penguasa untuk mengabaikan begitu saja laporan Pelapor, juga sekaligus dapat meningkatkan citra Kepolisian selaku penyidik dan Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dalam meningkatkan pelayanan hukum terhadap masyarakat pencari keadilan (Yustiabelen) itu demi kepastian hukum). 

Pengadilan Negeri: No. 03/1985/Pra. Pid/PN.KT.PST, tanggal 27 April 1985. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No. 8 Mei 1986; hal. 79).

BANDING ATAS PUTUSAN BEBAS TIDAK DAPAT DITERIMA
Abstrak Hukum:
Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi telah menolak permohonan kasasi dari Kejaksaan Negeri di di Waikabubak (Kasasi Partai) yang telah mengajukan keberatannya atas putusan Pengadilan Tinggi di Kupang yang dinilainya telah melakukan kekeliruan dalam menerapkan peraturan hukum, yaitu pasal 67 KUHAP. 
Mahkamah Agung RI dalam pertimbangannya berpendirian, bahwa Pengadilan Tinggi di Kupang tidak salah menerapkan hukum, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa pasal 67 KUHAP yang sudah berlaku effectief, putusan bebas oleh Pengadilan Negeri tidak tunduk pada pemeriksaan tingkat banding.
- Bahwa penjelasan pasal 233 (2) KUHAP, Panitera dilarang menerima permintaan banding terhadap putusan yang tidak dapat dibanding.
- Bahwa Jaksa seharusnya langsung mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, bukan mengajukan banding.
- Bahwa dalam perkara ini ternyata panitera menerima permohonan banding dan mengirim berkas perkaranya ke Pengadilan Tinggi di Kupang, maka tindakan Pengadilan Tinggi ini yang telah memutus perkara tersebut dengan tidak menerima permohonan banding, adalah sudah benar dan tidak salah dalam menerapkan hukum. 

Pengadilan Negeri Waikabubak: No. 41/Pid/1983, tanggal 28 Agustus 1983.
Pengadilan Tinggi Kupang: No. 28/Pid/B/1984, tanggal 29 September 1984. 
Mahkamah Agung RI: No. 170 K/Pid/1985, tanggal 27 Mei 1986. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 18 Maret 1987; hal. 60). 

PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG TIDAK SAH
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri di Ende dalam Proses Pra Peradilan terhadap Termohon, Kepala Kepolisian Resort di Ende, telah memberikan putusan yang diktumnya pada pokoknya sebagai berikut:
- Menetapkan, menyatakan, bahwa penangkapan dan penahanan yang telah dilakukan oleh Penyidik, Kepala Kepolisian RI Resort di Ende, terhadap tersangka Ahmad Keli alias Melki, adalah tidak sah dan memerintahkan agar dia segera dibebaskan dari tahanan Penyidik.
- Menetapkan, agar kepada Tersangka tersebut dibayarkan ganti kerugian dalam bentuk uang sejumlah 12 hari x Rp 2.000,- dan Rehabilitasi dalam bentuk uang 12 hari x Rp 1.000,- sehingga seluruhnya berjumlah Rp. 36.000,- 
Putusan Hakim dalam Pra Peradilan tersebut di atas, didasari pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut:
- Bahwa terhadap Tersangka yang diduga melakukan tindak pidana tersebut, bukan tergolong: tertangkap tangan karena sebelumnya Penyidik telah menerima laporan tentang hal tersebut dari pelapor. Penyidik tidapat serta merta melakukan tindakan penyidikan dengan memakai upaya paksa berupa Penangkapan, melainkan Penyidik wajib dengan segera melakukan tindakan Penyidikan, pasal 102 (1) dan (3) KUHAP.
- Bahwa karena Penyidik dalam kasus ini terbukti tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu, langsung melakukan tindakan penyidikan dengan melakukan penangkapan terhadap Tersangka, maka penangkapan in kasu, adalah tidak sah. 
- Bahwa berdasar atas alasan hukum ini, Hakim memberikan putusan Pra Peradilan yang diktumnya seperti disebut di atas tadi. 

Pengadilan Negeri Ende: Pra Peradilan No. 1/Pid/Pr/87, tanggal 10 Februari 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 19 April 1987; hal. 60). 

PUTUSAN PERKARA PIDANA YANG SALAH
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
Terdakwa I dan II, dihadapan Majelis Pengadilan Negeri Jantho, Aceh, telah didakwa melakukan perbuatan pidana:
I, Pertama : - Primair: ex pasal 365 (1) KUHP.
- Subsidiair: ex pasal 363 (1) ke 4 jo pasal 64 KUHP.
II, Kedua : ex pasal 216 (1) jo pasal 55 KUHP.

Pengadilan Negeri: dalam putusannya telah menyatakan para terdakwa I dan II sebagai berikut:
Tidak terbukti bersalah pada:
Dakwaan I, Pertama, Primair: ex pasal 365 (1) KUHP.
Dakwaan II, Kedua, Primair: ex pasal 216 (1) jo Pasal 55 KUHP. 
Membebaskan para terdakwa dari dakwaan tersebut.
Terbukti bersalah melakukan kejahatan pada: dakwaan I, Pertama, Subsidiair: ex pasal 365 sub 4 e. jo 64 KUHP.

Pengadilan Tinggi Banda Aceh:
Dalam pemeriksaan tingkat Banding memberikan putusan yang amarnya sebagai berikut:
Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jantho, tanggal 13 Juli 1985, No.10/Pid/B/1985 yang dimohonkan banding sehingga amar lengkapnya:
Menyatakan terdakwa I dan II bersalah melakukan kejahatan: pencurian yang dilakukan dua orang bersama-sama (pasal 363 (1) ke 4 KUHP).

Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan kasasi, telah membatalkan putusan judex facti Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, karena dinilai judex facti telah salah dalam menerapkan hukum, dengan pertimbangan juridis yang pokoknya sebgai berikut:
Bahwa judex facti (Pengadilan Negeri) telah memutus bahwa terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 365 sub 4. e. jo 64 KUHP, sebagaimana diuraikan dalam dakwaan Pertama subsidiair, pada hal dakwaan Pertama subsidiair tersebut, adalah mengenai dakwaan pasal 363 (1) ke-4 KUHP jo pasal 64 KUHP.
Bahwa putusan Pengadilan Tinggi, (Yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri), juga salah, karena tidak lengkap ialah, bahwa Pengadilan Tinggi tidak memberi putusan terhadap dakwaan Pertama primair dan dakwaan kedua.
Bahwa putusan Pengadilan Tinggi telah salah pula, karena Pengadilan Tinggi dalam amar putusannya disebutkan: memperbaiki putusan Pengadilan Negeri tanggal 13 Juli 1985, sedangkan putusan Pengadilan Negeri dalam kasus ini: adalah tanggal 13 Juni 1985.
Bahwa niat untuk memiliki dengan melawan hukum, tidak terbukti, sehingga berdasar atas alasan diatas, Mahkamah agung dalam mengadili sendiri kasus ini: membebaskan terdakwa dari dakwaan pertamasubsidiair. 

Pengadilan Negeri Jantho: No. 10/Pid.B/1985. tgl. 13 Juni 1985. 
Pengadilan Tinggi Banda Aceh: No. 34/Pid.B/1985, tgl. 15 Agustus 1985.
Mahkamah Agung RI: No. 1416.K/Pid/1985, tgl 5 Pebruari 1986. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun II No. 20 Mei 1987; hal. 66).

KASUS JOHNI SEMBIRING TERDAKWA DIBEBASKAN KARENA ALIBI 
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
Terdakwa Johni Sembiring (51) dalam Persidangan Pengadilan Negeri di Bogor, telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum melakukan perbuatan pidana sebagai berikut:
Kesatu: primair pasal 340 jo 55 (1) ke 1 KUHP; subsidiair pasal 338 jo 55 (1) ke 1 KUHP,
Kedua: pasal 1 (1) Undang-Undang No.12/Drt/1951

Pengadilan Negeri Bogor:
Dalam putusannya menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana kejahatan:
Sengaja dan dengan direncanakan terlebih dulu menghilangkan jiwa orang lain secara bersama-sama. (pasal 340 jo 55 (1) ke 1 KUHP.
Dengan tanpa hak memiliki membawa, menguasai, menyimpan, menggunakan senjata api atau bahan peledak (pasal (1) Undang-Undang No.12/Drt/1951).
Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama 12 tahun.
Menetapkan waktu menjalani putusan ini lamanya terdakwa dalam tahanan sementara akan dikurangkan dari hukuman tersebut.

Pengadilan Tinggi Bandung:
Pengadilan tinggi ditingkat banding dalam putusannya telah membatalkan putusan Hakim Pertama, selanjutnya mengadili sendiri kasus ini, dengan amar putusan bahwa kesalahan Terdakwa atas dakwaan kesatu dan kedua tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, karena itu terdakwa harus dibebaskan.
Bahwa saksi utama istri korban yang menyaksikan penembakan suaminya Letkol Steven Adam, sama sekali tidak memberi keterangan yang dapat memberi petunjuk akan keterlibatan Terdakwa dalam kasus ini.
Bahwa saksi a de charge, pembantu rumah tangga terdakwa, membuktikan: alibi Terdakwa, bahwa pada tanggal 28 Mei 1983, Terdakwa dengan istrinya pergi ke rumah Ny. Juliana Sembiring untuk menghadiri pesta ulang tahun, mulai jam 21.00 sampai dengan jam 23.30.
Bahwa menurut pendapat Hakim Banding, waktu antara jam 23.00 sampai jam 1.00 (kurang lebih 2 jam) adalah sangat pendek untuk mempersiapkan suatu kejahatan yang dilakukan bersama-sama dengan para Terdakwa lainnya yang tempat tinggalnya satu sama lain berjauhan.
Bahwa berdasar keterangan saksi tersebut di atas, Hakim Banding berpendirian bahwa alibi Terdakwa tersebut dapat diterima.
Bahwa dengan alsan ini, maka Terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan penembakan terhadap saksi korban, Letkol steven Adam, karena itu Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan kesatu.
Bahwa karena tidak adanya saksi yang dapat menerangkan bahwa Terdakwa telah menerima dan mempergunakan senjata api pistol tersebut, maka dakwaan kedua ini juga tidak terbukti.
Dengan pertimbangan hukum seperti yang intinya diuraikan di atas, Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah membebaskan Terdakwa.

Mahkamah Agung RI:
Putusan Hakim Banding tersebut di atas, oleh Jaksa Penuntut Umum telah dimohonkan Kasasi. Dan Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa permohonan kasasi Jaksa pada Kejaksaan Negeri di Bogor, tidak dapat diterima. Putusan Mahkamah Agung ini didasari pertimbangan hukum yang pada intinya sebagai berikut:
Bahwa pemohon Kasasi, Jaksa, tidak dapat membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut adalah merupakan pembebasan tidak murni.
Bahwa Mahkamah Agung tidak melihat putusan tersebut melampaui batas wewenangnya.
Bahwa berdasar ata pasal 244 KUHAP Undang-Undang No. 8/1981. maka permohonan kasasi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. 

Pengadilan Negeri Bogor: No. 289/Pid/B/1984, tanggal 25 Maret 1985.
Pengadilan Tinggi Bandung: No. 58/Pid/B/1985, tanggal 31 Juli 1985.
Mahkamah Agung RI: No. 1454 K/Pid/1985, tanggal 19 Maret 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 21 Juni 1987; hal. 88). 

PERTIMBANGAN PUTUSAN PIDANA YANG SALING BERTENTANGAN
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri:
Terdakwa Fadil dalam persidangan Pengadilan Negeri Pamekasan, oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa melakukan perbuatan pidana:
- Pertama: Primair, pasal 55 (1) ke 1 jo, pasal 338 KUHP.
Subsidiair, pasal 55 (1) ke 1 jo 56 (1) (2) jo 354 (2) KUHP
Lebih Subsidiair, pasal 55 (1) ke 1 jo 56 (1) (2) jo 351 (3) KUHP 
- Kedua: pasal 2 (1) (2) UU No.12/Drt/1951.
Jaksa dalam requisitoirnya menyatakan bahwa terdakwa bersalah atas dakwaan Pertama Primair, ex pasal 55 (1) ke 1 jo pasal 338 KUHP dan dakwaan Kedua, ex pasal 2 (1) UU Darurat No.12/1951 dan menuntut agar terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 12 tahun dipotong tahanan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pamekasan dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan: sengaja menganjurkan orang lain melakukan pembunuhan berdasar pasal 55 (1) ke 2 jo pasal 338 KUHPidana dengan memberikan pidana penjara selama satu tahun potong tahanan. Terhadap dakwaan kedua, terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan.

Pengadilan Tinggi Surabaya:
Dalam putusan bandingnya telah membatalkan putusan Hakim Pertama yang dimohonkan banding dan selanjutnya mengadili sendiri kasus ini dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya:
Dakwaan pertama Primair dan Subsidiair tidak terbukti, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan ini.
Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah atas dakwaan pertama lebih Subsidiair, yaitu melakukan penganiayaan yang berakibat matinya orang, dan menjatuhkan pidana penjara selama 10 bulan penjara dipotong selama dalam tahanan sementara.

Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan Kasasi atas permohonan Jaksa selaku pemohon kasasi partai, telah menerima dan membenarkan keberatan hukum yang diajukan oleh Jaksa yang pada intinya Hakim Pengadilan Tinggi dalam putusannya telah salah menerapkan hukum.
Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya tersebut pada intinya sebagai berikut:
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang mempersalahkan terdakwa atas dakwaan pertama Lebih Subsidiair, didasari oleh pertimbangan yang saling bertentangan, sebab Pengadilan tinggi telah mempertimbangkan bahwa kematian si korban adalah menjadi tanggung jawab teman-teman terdakwa, namun dilain pihak, telah mempertimbangkan pula bahwa terdakwa terbukti pula melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.
Dengan alasan ini putusan Pengadilan Banding tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini dengan amar putusan sebagai berikut: terdakwa dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana: “turut serta melakukan penganiayaan berat yang mengakibatkan orang mati” berdasar atas dakwaan pertama Subsidiair, dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun dipotong selama berada dalam tahanan sementara. 

Pengadilan Negeri Pamekasan: No. 06/Pid.B/1986, tanggal 1 Nopember 1986.
Pengadilan Tinggi Surabaya: No. 332/Pid/1986/PT. Sby, tanggal 22 Desember 1986.
Mahkamah Agung RI: No. 330 K/Pid/1987, tanggal 25 April 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.25 Oktober 1987; hal. 37). 

PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BATAL DEMI HUKUM
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri:
Bahwa para terdakwa I dan II dalam Persidangan Pengadilan Negeri di Palembang telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut:
Dakwaan Primair: pasal 317 (1) jo pasal 55 KUHPidana.
Dakwaan Subsidiair: pasal 310 (1) (2) jo pasal 55 KUHPidana.
Bahwa Jaksa dalam tuntutan hukumnya (requisitir) manuntut agar para terdakwa I dan II dinyatakan bersalah melanggar Dakwaan Primair, ex pasal 317 (1) jo pasal 55 KUHPidana.
Bahwa Pengadilan Negeri dalam putusannya atas kasus pidana ini menyatakan kesalahan Terdakwa I dan II tentang Dakwaan Primair ex pasal 31 (1) jo pasal 55 KUHPidana tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, karena itu para terdakwa dibebaskan dari dakwaan ini. Akan tetapi mengenai dakwaan subsidiair, Hakim Pertama ini dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa I telah terbukti sah dan meyakinkan melakukan delict dalam dakwaan subsidiair tersebut, sedang terdakwa II, tidak terbukti, sehingga terhadap terdakwa II dibebaskan dari dakwaan ini.

Pengadilan Tinggi Palembang:
Hakim Banding dalam memeriksa dan mengadili permohonan banding kasus ini telah memberikan putusan yang diktumnya pada pokoknya menyatakan bahwa putusan Hakim Pertama diperbaiki sekedar hanya mengenai dimuatnya pasal-pasal KUHPidana dalam diktum putusan Pengadilan Hakim Pertama tersebut, selebihnya diperkuat.

Mahkamah Agung RI:
Dalam pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung telah memberikan putusan atas kasus pidana ini dengan menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Palembang adalah batal demi hukum dan selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini dengan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa I tersebut telah terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan: “Penistaan Dengan Tulisan”.
Bahwa yang menjadi pertimbangan yuridis atas putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, pada intinya dapat disarikan sebagai berikut: bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah salah dalam menrapkan huku, yaitu telah tidak mengindahkan dan tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam pasal 197 (1) huruf e Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu dalam putusan Pengadilan Tinggi ini tidak dimuat “Tuntutan Pidana” sebagaimana yang termuat didalam “Surat Tuntutan” sehingga berdasar pada pasal 197 (2) jo (1) huruf e KUHAP, putusan Pengadilan Tinggi tersebut oleh Mahkamah Agung dinyatakan adalah batal demi hukum. Dan selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri kasus pidana ini.
Bahwa Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili sendiri kasus ini, setelah memeriksa berkas Berita Acara Persidangan dan bukti-bukti telah memberikan putusan yang didasarkan atas pertimbangan hukum yang sama dengan pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri yang oleh Mahkamah Agung pertimbangan Hakim Pertama tersebut dinilai sudah tepat dan benar.
Bahwa dengan alasan diatas, maka Mahkamah Agung memberikan putusan yang amar putusannya seperti disebut dimuka tadi. 

Pengadilan Negeri: No. 313/Pid/B/1984, tanggal 19 Februari 1985.
Pengadilan Tinggi Palembang: No. 21/Pid/1985, tanggal 17 Mei 1985.
Mahkamah Agung RI: No. 885 K/Pid/1985, tanggal 23 Juni 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.25 Oktober 1987; hal. 65). 

PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
Terdakwa, oleh Jaksa Penuntut Umum, telah diajukan ke depan Sidang Pengadilan Negeri di Bandung, didakwa melakukan perbuatan pidana:
- Primair: pasal 317 (1) KUHPidana.
- Subsidiair: pasal 311 (1) KUHPidana.
- Lebih Subsidiair: pasal 310 (2) KUHPidana.
Jaksa dalam melakukan requisitoir, menuntut agar terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindakan pidana ex pasal 317 (1) KUHPidana (dakwaan primair) dan agar terdakwa dipidana penjara selama satu tahun.
Pengadilan Negeri:
Hakim Pertama dalam memeriksa dan mengadili kasus di atas telah memberikan putusan yang intinya sebagai berikut: bahwa berdasar atas keyakinan dan bukti yang sah, terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Primair, Subsidiair atau Lebih Subsidiair. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan tersebut.
Atas putusan Pengadilan Negeri ini, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung RI.
Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan kasasi atas kasus ini, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Hakim Pertama yang dinilainya telah salah menerapkan hukum. Putusan tersebut didasari pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut:
Bahwa putusan Hakim Pengadilan Negeri Bandung tersebut ternyata tidak memuat dakwaan sebagaimana yang diharuskan dalam pasal 197 (2) huruf C, jo pasal 143 KUHAP. Sehingga berdasar atas pasal 197 (2) KUHAP, putusan Hakim Pengadilan Negeri Bandung tersebut adalah batal demi hukum.
Bahwa karena itu, maka Mahkamah Agung akan mengadili sendiri kasus ini dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Bahwa dalam dakwaan primair, terdakwa didakwa melakukan perbuatan pidana ex pasal 317 (1) KUHPidana.
Bahwa didalam sidang, telah terungkap terdakwa membuat surat pengaduan ke Kejaksaan atas diri saksi Benny yang menurut terdakwa saksi tersebut telah melakukan penyelewengan di PT. Ganatex.
Bahwa pengaduan tersebut ternyata tidak benar (palsu). Surat pengaduan selain ke Kejaksaan, dikirimkan pula kepada instansi-instansi lainnya, sehingga saksi tercemar kehormatannya/nama baiknya.
Bahwa dengan alasan hukum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur-unsur delict pasal 317 (1) KUHPidana (Dakwaan Primair), sehingga terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana: mengadu secara memfitnah. 

Pengadilan Negeri Bandung: No. 4/84/Pid/B.08.04/Bdg, tanggal 19 Februari 1985. 
Mahkamah Agung RI: No. 607 K/Pid/1985, tanggal 22 April 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 27 Desember 1987; hal. 69). 





PUTUSAN YANG MELANGGAR HUKUM ACARA.
KASUS CALO KENDARAAN UMUM
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri
Di dalam persidangan, terdakwa didakwa melakukan perbuatan pidana pelanggaran terhadap Pasal 19 jo 26 PERDA DKI Jakarta No. 3/1972 yaitu terdakwa telah bertindak sebagai CALO pencari penumpang kendaraan penumpang umum bus disuatu terminal.
Hakim dalam putusannya telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan “pekerjaan sebagai calo” dan menghukum terdakwa dengan hukuman denda Rp. 10.000,- subsidair sepuluh hari kurungan serta harus membayar ongkos perkara Rp. 500,-.
Atas putusan tersebut, terdakwa tidak menerima dan memohon pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan Kasasi atas kasus ini, Mahkamah Agung membatalkan putusan Yudex Facti-hakim pertama-yang dinilai telah salah dalam menerapkan hukum. Selanjutnya menghadiri sendiri kasus ini dengan menyatakan bahwa tuntutan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa tersebut, tidak dapat diterima.
Putusan MARI ini didasari oleh pertimbngan hukum yang pada intinya: 
- Bahwa pengadilan negeri telah salah menerapkan hukum, karena hakim telah memeriksa dan mengadili tindak pidana pelanggaran PERDA DKI Jakarta No. 3/1972 dengan memakai ACARA CEPAT, padahal menurut Hukum Acara Pidana, KUHAP, Pasal 205, Acara Cepat ini hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan maksimal 3 bulan atau denda Rp. 7.500,-.
- Bahwa Tindak Pidana Pelanggaran PERDA DKI No. 3/1972 ini ancaman pidananya adalah 6  (enam) bulan kurungan atau denda Rp. 50.000,-. Terhadap tindak Pidana Ini hukum acara yang harus digunakan adalah ACARA BIASA atau ACARA SINGKAT, bukan dengan memakai acara Cepat, seperti dalam kasus ini.
- Bahwa dengan pertimbangan hukum ini, maka MARI setelah membatalkan putusan hakim pertama, selanjutnya mengadili sendiri perkara ini dengan Amar Putusan seperti yang disebut di atas. 

Pengadilan Negeri Jakarta Timur: No. 304/Pid/C, tanggal 28 Maret 1985. 
Mahkamah Agung RI: No. 619 K/Pid/1985, tanggal 9 Juli 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.28; Januari 1988; hal. 76)

TERDAKWA MENARIK KEMBALI PENGAKUANNYA BAGAIMANA HUKUMNYA
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri 
Di dalam sidang, terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum melakukan perbuatan pidana yang dirumuskan sebagai berikut:
- Primair: pasal 340 jo 55 jo 56 KUHPidana.
- Subsidiair: pasal 338 jo 55 jo 56 KUHPidana.
- Subsidiair lagi: pasal 353 (3) jo 55 jo 56 KUHPidana.
- Lebih Subsidiair lagi: pasal 351 (3) jo 55 jo 56 KUHPidana.
Bahwa Jaksa dalam requisitoirnya menuntut agar terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan delict dalam dakwaan primair, ex pasal 340 jo 55 jo 56 KUHPidana.
Bahwa Hakim Pertama dalam memeriksa dan mengadili kasus ini memberikan putusan yang menyatakan bahwa terdakwa tersebut, tidak terbukti bersalah melakukan delict seperti yang didakwakan dalam dakwaan Primair-Subsidiair-subsidiair lagi dan lebih subsidiair lagi. Membebaskan terdakwa dari semua tuntutan tersebut.
Putusan Hakim Pertama ini didasari oleh alasan bahwa keterangan para saksi adalah sangat meragukan serta tidak dapat dipercaya, sehingga dalam kasus ini tidak ada keterangan para saksi dan petunjuk sebagai alat bukti yang sah seperti dalam pasal 184 jo 183 KUH Acara Pidana. Pendirian Hakim ini juga mengaitkannya dengan asas hukum geen straf zonder schuld, serta pasal 6 (2) Undang-Undang No. 14/1970. Dengan alasan ini maka terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan tersebut.
  

Mahkamah Agung RI:
Setelah kasus ini diperiksa, maka Majelis Mahkamah Agung RI dalam putusannya telah membatalkan putusan judex facti yang dinilai salah menerapkan hukum atas kasus ini. Selanjutnya Mahkamah Agung RI mengadili sendiri kasus ini dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan delict: “turut serta melakukan pembunuhan” dan memberi pidana penjara selam 6 (enam) tahun.
Bahwa putusan ini didasari olel pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut:
Bahwa putusan yang diberikan oleh Hakim Pengadilan negeri tersebut tidak sempurna dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd), sehingga menimbulkan penafsiran yang keliru mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yaitu Hakim ternyata tidak mempertimbangkan dalam putusannya tentang bukti petunjuk, yang dapat diambil dari keterangan terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan oleh Penyidik serta keterangan dari para saksi.
Bahwa terdakwa yang mencabut/menarik kembali keterangannya di muka penyidik dengan alasan bahwa keterangannya itu diberikan dalam keadaan terpaksa karena terdakwa telah dipukuli oleh penyidik, tidak dapat dibenarkan oleh Majelis Mahkamah Agung, sebab menurut hasil pemeriksaan di muka persidangan Pengadilan Negeri ternyata tidak terdapat bukti-bukti bahwa terdakwa sewaktu diperiksa penyidik telah diperlakkukan tindak kekerasan atau dipukuli.
Bahwa pencabutan keterangan atau pengakuan oleh terdakwa yang tidak beralasan tersebut adalah merupakan bukti petunjuk akan kesalahan terdakwa.
Bahwa disamping itu, mengingat pula adanya keterangan saksi yang melihat terdakwa mengangkat tubuh korban dan meletakkannya di pinggir jalan. Keterangan saksi ini juga merupakan bukti petunjuk tentang adanya kesalahan terdakwa.
Bahwa berdasar atas pertimbangan ini, Mahkamah Agung berpendirian bahwa perbuatan terdakwa memenuhi elementen pasal 338 KUHPidana, sehingga terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan subsidiair, turut serta melakukan pembunuhan. 

Pengadilan Negeri Gunung Sitoli: No. 170/Pid.B/84, tanggal 23 April 1985. 
Mahkamah Agung RI: No. 1043 K/Pid/1985, tanggal 19 Agustus 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 29; Februari 1988; hal. 42). 

MASALAH YURIDIS SURAT DAKWAAN JAKSA
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri 
Dalam persidangan Pengadilan negeri, terdakwa oleh Jaksa telah didakwa melakukan perbuatan pidana dengan materi kelakuan sebagai berikut:
Primair: 
Pada tanggal 24 Oktober 1984 – setidak-tidaknya bulan Oktober 1985, di Jalan Kali Jangkung Pemalang, setidak-tidaknya diwilayah Hukum Pengadilan Negeri Pemalang, sengaja merusak kehormatan atau nama baik saksi Nyonya S. dengan menuduhnya melakukan suatu perbuatan dengan maksud agar tuduhan tersebut dengan nyata akan tersiar …….. dan seterusnya.
Subsidiair:
Pada waktu dan tempat serta perbuatan seperti tersebut dalam dakwaan primair, terdakwa melakukan penghinaan ringan terhadap diri saksi Nyonya S. 
Jaksa dalam rekuisitoirnya menuntut agar terdakwa dibebaskan dari dakwaan primair dan menyatakan bersalah dalam dakwaan subsidiair dengan diberi hukuman denda Rp 5.000,- /subsidiair 7 hari kurungan. 
Hakim Pertama dalam putusan menyatakan bahwa dakwaan pada primair dan subsidiair yang diajukan oleh Jaksa terhadap terdakwa adalah batal demi hukum. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan.
Putusan Hakim Pertama ini didasari oleh pertimbangan yang intinya bahwa, “kalimat setidak-tidaknya” dalam surat dakwaan Jaksa adalah konvensional yang kurang tepat dalam cakrawala pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 
Mahkamah Agung RI
Dalam putusan kasasi atas kasus ini, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan judex facti yang dinilainya telah salah dalam menerapkan hukum terhadap kasus ini. Selanjutnya MARI memeriksa dan mengadili sendiri kasus ini dengan amar putusan membebaskan terdakwa dari dakwaan primair dan mempersalah terdakwa atas dakwaan subsidiair.
Putusan ini didukung oleh pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut: 
Bahwa surat dakwaan yang memuat kalimat/kata-kata: setidak-tidaknya adalah sah dan tidak dianggap sebagai batal demi hukum. Hal ini adalah demi untuk menanggulangi hari – tanggal – bulan – tahun – yang disebutkan dalam surat dakwaan itu, kurang tepat, hal mana masih dapat dijangkau oleh adanya kalimat / kata-kata: “setidak-tidaknya tersebut”. Hal ini bukannya mengurangi kepastian hukum dari surat dakwaan dan begitu pula tidak mengurangi hak terdakwa untuk membuktikan bahwa fakta yang didakwakan itu tidak terbukti secara materiil. 
Bahwa Pengadilan Negeri juga salah dalam menerapkan hukum karena apabila Pengadilan Negeri berpendapat bahwa dakwaan jaksa adalah batal demi hukum, maka Hakim dalam memberi putusannya, bukan dengan dictum: membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut akan tetapi melainkan seharusnya Hakim memberi putusan dengan dictum yang berbunyi menyatakan bahwa dakwaan jaksa tidak dapat diterima.
Bahwa Mahkamah Agung dalam kasus ini berpendirian bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana: penghinaan ringan, ex pasal 315 KUHPidana (dakwaan subsidiair).  

Pengadilan Negeri Pemalang: No. 17/1985/Pid.B., tanggal 10 Juni 1985. 
Mahkamah Agung RI: No. 971 K/Pid/1985, tanggal 31 Agustus 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 29; Februari 1988; hal. 76). 

PERADILAN IN ABSENSIA SURAT DAKWAAN JAKSA DAN PUTUSAN HAKIM DIBATALKAN
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri/Ekonomi
Pengadilan Negeri/Ekonomi Jakarta Utara telah memeriksa dan mengadili perkara Tindak Pidana Ekonomi – kasus penyelundupan barang import yang didakwakan kepada terdakwa Frans Limasnax.
Bahwa terdakwa tersebut sejak pemeriksaan pendahuluan/penyidikan sampai dengan pemeriksaan dalam persidangan Pengadilan, tidak pernah hadir, karena sejak semula melarikan diri.
Bahwa di luar hadir terdakwa – in absensia – Hakim Pengadilan Ekonomi Jakarta Utara telah memeriksa perkara tindak pidana Ekonomi terhadap terdakwa tersebut, secara in absensia, dengan dakwaan yang intinya: primair: terdakwa baik sendiri atau bersama sama, pada Desember 1985 di Tanjung Priok, terdakwa telah memasukkan (import) atau berusaha memasukkan (import) barang-barang electronic dari Singapura ke Indonesia tanpa mengindahkan ketentuan Rechten Ordonantie dan Reglemen yang terlampir padanya, sehingga negara dirugikan k.l., 48 juta, ex pasal 26.b.RO jo U.U.7/Drt/1955 jo UU 21/PNPS/1959 jo pasal 55 KUHPidana.
Subsidiair: pada waktu dan tempat seperti dalam dakwaan primair, dengan sengaja memberitahukan secara tidak benar tentang jumlah, jenis dan harga barang-barang dalam Surat Pemberitahuan Masuknya Barang (PP UD), sehingga Negara dirugikan kl. 48 juta, ex pasal 25. I.I.C.RO jo UU 7/Drt/1955jo UU 21/PNPS//1959 jo pasal 55 KUHPidana.
Bahwa pemeriksaan perkara atas terdakwa in absensia ini, selama persidangan hadir penasehat hukum Terdakwa.
Bahwa setelah Hakim Pertama memeriksa perkara ini dengan mendengar sejumlah saksi dan melihat barang bukti, pada akhirnya memberikan putusan sebagai berikut:
Memutuskan perkara terdakwa Frans Limasnax secara in absensia.
Menyatakan terdakwa tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana: memasukkan barang kedalam daerah pabean tanpa dilindungi surat yang sah (dakwaan Primair)
Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama dua tahun dan denda Rp 5.000.000,- subsidiair 3 bulan kurungan.
Menetapkan barang bukti dirampas untuk Negara.
Pengadilan Tinggi Ekonomi
Bahwa atas putusan Pengadilan Negeri/Ekonomi di atas, Pihak Penasehat hukum terdakwa menyatakan banding dan Pengadilan Tinggi setelah memeriksa kasus tersebut memberikan putusan yang intinya sebagai berikut:
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri/Ekonomi yang dimohon banding.
Mengadili sendiri dengan menyatakan:
Membatalkan surat dakwaan Jaksa Penuntut umum dalam perkara Tindak Pidana Ekonomi terhadap Terdakwa in absensia, tersebut.
Memerintahkan agar Ketua Pengadilan Negeri mengembalikan surat dakwaan beserta berkas perkaranya kepada Kejaksaan untuk diproses kembali sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Darurat No.7/1995 jo Perpu 15/1962.
Mahkamah Agung RI
Bahwa atas permohonan Jaksa, Mahkamah Agung dalam putusannya telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa tersebut, karena menurut penilaiannya putusan judex facti Pengadilan Tinggi Ekonomi tidak salah dalam menerapkan hukum. Sedang putusannya pun sudah benar dan tepat.
Bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut diatas didasari oleh pertimbangan hukum yang pada pokoknya dapat disarikan sebagai berikut:
Bahwa dalam perkara ini, terdakwa telah dipanggil oleh Penyidik, untuk diperiksa di tempat penyidikan. Dan terdakwa telah dipanggil pula oleh Pengadilan guna diperiksa dan diadili dalam suatu pemeriksaan sidang Pengadilan, terdakwa tidak pernah hadir memenuhi Panggilan.
Bahwa akan tetapi ternyata, bahwa proses pemanggilan terhadap diri terdakwa tersebut, ternyata belum dilakukan sebagaimana mestinya menurut perintah ketentuan undang-undang ex pasal 16 ayat 7 jo ayat 8 UU. UU No.7/Drt/1955 jo UU No.15/Perpu/1962 jo UU No.7/1969., demikian pula putusan yang telah diberikan oleh Hakim Pengadilan Negeri/Ekonomi tersebut ternyata belum diumumkan menurut ketentuan pasal 6 UU No.7/Drt/1955 jo UU No.15/Perpu/1962 jo UU No. 7/1969.
Bahwa berdasarkan atas pertimbangan di atas, maka Putusan Pengadilan Tinggi yang telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri/Ekonomi serta mengadili sendiri tersebut adalah sudah tepat dan benar. 

Pengadilan Negeri/Ekonomi Jakarta Utara: No. 40/B.Ek/Pid/1986, tanggal 3 Juni 1986.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 07/Pid.Ek/1986, tanggal 18 September 1986. 
Mahkamah Agung RI: No. 2026 K/Pid/1986, tanggal 29 Agustus 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 30; Maret 1988; hal. 60).





BATAL DEMI HUKUM PUTUSAN HAKIM YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri
Didalam Persidangan Pengadilan Negeri, terdakwa oleh Jaksa Penuntut umum telah didakwa melakukan perbuatan pidana yaitu:
Primair: pasal 64-65-jo 363 (1) ke 3-4-5 KUHP.
Subsidiair: 64-65-66 jo 363 (1) ke 3-4-5 KUHP.
Jaksa dalam requisitoirnya telah menuntut agar Pengadilan menyatakan terdakwa bersalah dalam melakukan delict seperti yang didakwakan dalam dakwaan primair, ex pasal 64-65 jo pasal 363 (1) 3-4-5 KUHPidana dan dimohon agar terdakwa tersebut dijatuhi hukuman penjara salama 6 tahun dipotong selama terdakwa berada dalam tahanan sementara.
Hakim Pertama dalam memeriksa dan memutus kasus ini memberikan putusan yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan primair ex pasal 64-65 jo pasal 363 (1) ke 3-4-5 KUHPidana dan memberikan hukuman penjara selama 2 tahun dikurangi masa tahanan sementara.

Pengadilan Tinggi
Hakim Banding dalam menyelesaikan kasus ini telah memberikan putusan berupa membatalkan putusan Hakim Pertama dan memerintahkan agar perkara ini diperiksa kembali oleh Hakim Pertama.
Bahwa berdasar atas pasal 15 Undang-Undang No.14/1970 telah ditentukan bahwa semua Pengadilan harus memeriksa dan memutus perkara pidana dan perdata, sekurang-kurangnya dengan tiga orang Hakim, kecuali Undang-Undang menentukan lain.
Bahwa bila ada suatu Pengadilan Negeri terdapat kekurangan Hakim, maka dibuka kemungkinan untuk menyimpang dari ketentuan Undang-Undang tersebut yaitu memeriksa dan memutus dengan Hakim Tunggal setelah memperoleh izin tertulis dari Mahkamah Agung RI.
Bahwa dalam kasus ini ternyata bahwa izin tertulis yang telah diberikan oleh Mahkamah Agung RI kepada Pengadilan Negeri Surakarta, untuk memeriksa dan memutus perkara pidana dengan Hakim Tunggal, hanya terbatas pada perkara pidana yang bersifat ringan saja.
Bahwa izin dari Mahkamah Agung RI tersebut tidak termasuk perkara pidana yang diperiksa dengan acara biasa/tolakan.
Bahwa oleh karena pemeriksaan perkara ini ternyata dilakukan oleh Hakim Tunggal, maka hal tersebut telah menyimpang dari atau melanggar ketentuan Undang-Undang serta surat Izin Mahkamah Agung RI, sehingga Hakim Banding berpendirian bahwa pemeriksaan dan putusan Hakim Pertama harus dibatalkan dan selanjutnya memerintahkan kepada Pengadilan Negeri Surakarta untuk memeriksa kembali perkara ini dengan susunan Hakim Majelis.

Mahkamah Agung RI:
Dalam pemeriksaan kasasi atas kasus ini, Mahkamah Agung telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena Judex Facti dinilai tidak salah dalam menerapkan hukum, hanya terdapar kekeliruan dalam memberikan sebutan dalam amar putusannya.
Dalam putusannya, Mahkamah Agung berpendirian bahwa Hakim Tinggi Semarang telah salah dalam memberikan sebutan dalam “Amar Putusannya” yang berbunyi: membatalkan pemeriksaan dan putusan Pengadilan Negeri Surakarta.
Bahwa dengan pertimbangan ini Mahkamah Agung dalam mengadili sendiri kasus ini memberikan putusan yang berbunyi: Menyatakan batal demi hukum pemeriksaan dan putusan Pengadilan Negeri.

Pengadilan Negeri Surakarta: No. 68/Pid.B/86, tanggal 14 Mei 1986.
Pengadilan Tinggi Semarang: No. 732/Pid.B/1986, tanggal 15 Oktober 1986.
Mahkamah Agung RI: No. 622 K/Pid/1987, tanggal 11 Juni 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 31; April 1988; hal. 21).

DAKWAAN JAKSA YANG OBSCUUR LIBELLUM BATAL DEMI HUKUM
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri
Dalam persidangan, terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum, didakwa melakukan perbuatan pidana, ex pasal 360 ayat KUHPidana, dengan materi kelakuan yang pada pokoknya demikian, bahwa terdakwa pada waktu dan ditempat seperti yang disebut dalam surat dakwaan, karena kelalaiannya atau kurang hati-hati, telah menyebabkan saksi M. Amin, menderita luka … dan seterusnya sebagaimana bunyi visum et repertum dokter Rumah Sakit Gatot Subroto, yaitu sewaktu terdakwa mengemudikan motor vespa … dan seterusnya, telah menabrak saksi korban sehingga menderita luka dan dirawat dirumah sakit tersebut selama dua setengah bulan.
Hakim Pertama dalam memeriksa dan mengadili kasus ini, setelah mendengar para saksi, keterangan terdakwa dan membaca visum et repertum, berpendapat, bahwa terdakwa berdasar bukti dan keyakinan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa  ex pasal 360 ayat 1 KUH Pidana, karena memberikan pidana kepada terdakwa selama satu tahun penjara.

Pengadilan Tinggi:
Hakim Banding dalam mengadili kasus ini memberikan putusan berupa menguatkan putusan Hakim Pertama, dengan alasan bahwa apa yang telah dipertimbangkan dan diputus oleh Hakim Pertama adalah sudah tepat dan benar serta dijadikan pertimbangannya Hakim Banding.

Mahkamah Agung RI:
Atas putusan Hakim Banding yang memperkuat putusan Hakim Pertama diatas, Pihak terdakwa mengajukan pemeriksaan kasasi pada MA-RI.
Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI dalam memeriksa dan mengadili kasus ini, telah memberikan putusan yaitu membatalkan putusan judex facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan negeri) karena dinilai putusan judex facti tersebut telah salah dalam menerapkan hukum.
Bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut didasari oleh pertimbangan hukum yang intinya dapat disimpulkan sebagai berikut: 
Bahwa Hakim Banding dan Hakim Pertama – judex facti – tidak atau kurang teliti terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa dakwaan Jaksa yang berdasar atas ex pasal 360 ayat 1 KUHPidana, ternyata salah satu unsurnya delict yaitu: “unsur luka berat” tidak dicantumkan atau tidak diuraikan secara jelas dan lengkap dalam surat dakwaan Jaksa yang bersangkutan.
Bahwa karena itu, maka Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa ini adalah obscuur libellum yaitu Jaksa dalam surat dakwaannya tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai delict yang didakwakan terhadap terdakwa itu, khususnya mengenai uraian yang cermat tentang unsur delict “luka berat” sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 90 KUHPidana yang memberikan arti resmi menurut Undang-Undang tentang luka berat.
Bahwa karena kwalitas surat dakwaan yang obscuur libellum demikian itu, maka sesuai dengan ketentuan dalam pasal 142 (3) jo pasal 142 (2) sub “b” KUHAP, maka Surat Dakwaan Jaksa tersebut menurut hukum adalah “batal demi hukum”, hal ini tidak mengurangi hak Jaksa untuk melimpahkan lagi perkara terdakwa tersebut ke persidangan Pengadilan dengan surat Dakwaan baru yang disusun sesuai dan memenuhi persyaratan Undang-Undang, ex pasal 142 (2) sub “a” dan “b” KUHAP.
Bahwa berdasar atas alasan di atas, maka Mahkamah Agung dalam mengadili sendiri kasus ini, memberikan putusan yang menyatakan bahwa Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum. 

Pengadilan Negeri Jakarta Timur: No. 312/Pid.S/1985, tanggal 19 Agustus 1985.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 157/Pid/1985, tanggal 14 Oktober 1985.
Mahkamah Agung RI: No. 162 K/Pid/1986, tanggal 26 September 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 31; April 1988; hal. 67).

PUTUSAN HAKIM DIBATALKAN PERBERAT HUKUMAN TANPA PERTIMBANGAN
Abstrak Hukum.
Pengadilan Negeri:
Dalam sidang Pengadilan Ekonomi Tanjung Pinang, Terdakwa I, Rizal dan Terdakwa II, Rozali, didakwa melakukan perbuatan pidana yang pada pokoknya sebagai berikut: bahwa pada Juli 1987 diperairan Laut Tanjung Pinang/Tanjung Uban, para terdakwa secara bersama-sama atau bertindak sendiri-sendiri atau turut melakukan, dengan menggunakan speed boat secara sengaja telah memasukkan atau membawa masuk sejumlah barang dari daerah Pulau Batam – Bonded Wher House ke daerah Pabean Indonesia Tanjung Pinang tanpa dilindungi oleh Dokumen yang sah serta tanpa mengindahkan ordonansi Bea stb 1931/471 dan reglement yang terlampir padanya. Ex pasal 26 sub “b” Rechten Ordonantie Stb 1931/471 jo Undang-Undang 7/Drt/1955 jo Undang-Undang 8/Drt/1958 jo Undang-Undang 21/Prp/1959 jo Kepres No.22/1978 jo SKEP Menteri Perdagangan No. 471/XXX/05/1978 tgl 14 Dec 1978 jo pasal 55 KUHPidana.
Jaksa Penuntut Umum dalam requisitoirnya, menuntut agar terdakwa dinyatakan terbukti secara melakukan delict sebagaimana yang didakwakan dan mohon agar terdakwa I dijatuhi pidana satu tahun penjara dipotong tahanan sementara, ditambah dengan pidana denda Rp 10.000,- sibsidiair satu bulan kurungan; sedang terdakwa II, agar dijatuhi pidana 10 bulan penjara dipotong tahanan sementara, ditambah pidana denda Rp 5.000,- subsidiair 15 hari kurungan.
Hakim Pengadilan Negeri dalam putusannya menyatakan bahwa para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana: “secara bersama-sama memasukkan barang dari luar wilayah pabean Indonesia ke dalam wilayah pabean Indonesia tanpa mengindahkan ketentuan ordonansi Bea dan Reglement yang terlampir padanya”. Menghukum terdakwa I, Rizal dengan pidana penjara selama tujuh bulan potong tahanan dan denda Rp 10.000,- subsidiair 15 hari kurungan. Sedangkan terdakwa II, Rozali, pidana penjara tiga bulan dan 15 hari dipotong tahanan sementara dan denda Rp 5.000,- subsidiair tujuh hari kurungan.
Pengadilan Tinggi
Hakim Banding dalam putusannya telah menyetujui dan mengambil alih sebagai alasannya sendiri pertimbangan putusan Hakim Pengadilan Negeri, kecuali mengenai penghukumannya, Hakim Banding tidak sependapat, karena hukuman tersebut masih terlalu ringan, sehingga Hakim Banding memandang perlu untuk memperbaikinya; sedangkan untuk selebihnya, putusan Hakim Pertama dapat dikuatkan.
Bahwa dengan alasan hukuman masih terlalu ringan, tanpa pertimbangan lainnya, maka Hakim Pengadilan Tinggi kemudian dalam putusannya telah memperberat hukuman para terdakwa sebagai berikut:
Terdakwa I, Rizal, dengan pidana penjara selama 10 bulan dan denda Rp 10.000,-/subsidiair 15 hari kurungan
Terdakwa II, Rozali, pidana penjara 6 bulan dan denda Rp 5.000,- subsidiair 7 hari kurungan.
Menetapkan bahwa waktu menjalankan putusan ini, lamanya terdakwa dalam tahanan akan dikurangkan seluruhnya.
Mahkamah Agung RI
Bahwa atas putusan Hakim Pengadilan Tinggi terurai di atas, Pihak terdakwa I, mengajukan permohonan kasasi pada MA-RI.
Bahwa Majelis Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini memberikan putusan berupa membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Riau, yang dinilai bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut, tidak didukung oleh pertimbangan hukum yang cukup yaitu Hakim Pengadilan Tinggi telah memperberat hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa tanpa disertai alasan atau pertimbangan hukum yang cukup. (Onvoldoende gemotiveerd).
Bahwa dengan alasan ini, maka Mahkamah Agung setelah membatalkan putusan Hakim Pengadilan Tinggi, selanjutnya mengadili sendiri perkara ini dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana: ”memasukkan barang dari Luar Negeri ke dalam daerah Pabean Indonesia tanpa dilindung surat yang sah.”
Bahwa atas kesalahan ini, terdakwa I diberikan pidana penjara yang lamanya sama dengan pidana penjara serta denda yang diberikan oleh Hakim Pertama, yang dinilai oleh MA-RI sebagai pidana yang sudah tepat. 

Pengadilan Negeri Tanjung Pinang: No. 43/Pid.Ek/B/1987, tanggal 22 Oktober 1987. 
Pengadilan Tinggi Riau: No. 7/Pid.Ek/1987, tanggal 5 Desember 1987.
Mahkamah Agung RI: No.511 K/Pid/1988, tanggal 25 April 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IV No. 37, Oktober 1988; hal. 56). 

BUKAN DILEPASKAN DARI TUNTUTAN HUKUM MELAINKAN DIBEBASKAN DARI DAKWAAN
Abstrak Hukum:
Dari perkara ini dapat kita catat, bahwa dalam menghadapi kasus semacam ini, Mahkamah Agung berpendirian bahwa menerapkan pasal 48 KUHP (overmacht) jo pasal 359 KUHP, dalam kasus ini adalah tidak tepat; sehingga putusan Hakim Pertama dibatalkan. Hal lain yang perlu dicatat bahwa putusan judex facti atas “dilepasnya terdakwa dari semua dakwaan ternyata (tidak) dicantumkan hak terdakwa atas rehabilitasi, ex pasal 97 KUHAP. Kekurangan ini kemudian disempurnakan oleh Mahkamah Agung.
Dalam kasus ini, nampaknya MA-RI berpendirian, adanya “alasan pemaaf”.

Pengadilan Negeri Kraksaan: No.51/Pid.S/1985, tgl.17 Desember 1985.
Mahkamah Agung RI: No.624.K/Pid/1986, tgl. 17 Februari 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IV. No. 40 Januari 1989; hal. 75). 

MASALAH KEWENANGAN MENGADILI
– Judex facti Salah Menerapkan Hukum – 
Abstrak Hukum:
Dari perkara ini dapat dicatat bahwa meskipun kedudukan pabrik selaku penjual barang berkedudukan di Surabaya, akan tetapi oleh karena transaksi dagang ini terjadinya di Toko terdakwa yang berkedudukan di Surakarta (pesanan barang melalui salesman-penyerahan barang dan pembayarannya, di Surakarta), maka menurut Pendirian MA-RI “locus delicti” adalah di Kota Surakarta, sehingga Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.

Pengadilan Negeri di Surabaya: No.22/Pid.B/1985, tgl. 4 Juli 1985.
Pengadilan Tinggi Jawa Timur-Surabaya: No.259/Pid/85, tanggal 12 Desember 1985.
Mahkamah Agung RI: No.697/Pid/1986, tanggal 31 Maret 1988.  (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IV. No. 40 Januari 1989; hal. 85). 

SURAT DAKWAAN JAKSA BATAL DEMI HUKUM
Kasus Uang Pelicin Menjadi Pegawai Negeri.
Abstrak Hukum:
Bahwa Majelis MA-RI membatalkan putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri) karena putusan tersebut didasarkan atas hasil pemeriksaan persidangan yang bersandar pada Surat Dakwaan Jaksa yang batal demi hukum.
Bahwa dari pertimbangan MA-RI dapat disimpulkan bahwa judex facti sebenarnya telah salah menerapkan Hukum Acara Pidana, ex pasal 143 KUHAP.
Bahwa menurut pasal 143 KUHAP, telah ditentukan bahwa Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, harus memenuhi dua syarat:
Syarat formil:
1. Penyebutan identitas lengkap dari terdakwa.
2. Pemberian tanggal dan tandatangan Penuntut Umum.
Dilanggarnya syarat formil ini berakibat surat dakwaan jaksa adalah: vernietigbaar. 
Syarat materiil:
1. Surat Dakwaan harus memuat tempus delicti dan locus delicti.
2. Surat Dakwaan harus disusun secara cermat – jelas – dan lengkap tentang delict yang didakwakan.
Dilanggarnya syarat materiil ini berakibat hukum, surat dakwaan jaksa adalah: van rechtswege nietig – batal demi hukum.
Bahwa dalam menghadapi suatu Surat Dakwaan Jaksa yang disusun secara tidak jelas, tidak cermat, tidak lengkap, atau mencampur adukkan unsur delict yang berbeda atau susunan surat dakwaan yang menimbulkan ketidakjelasan/keraguan apakah dakwaan tersebut merupakan dakwaan alternatip ataukah dakwaan subsidiair ataukah dakwaan yang kumulatif, maka surat dakwaan yang demikian itu, tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana yang dikehendaki pasal 143 KUHAP dan berakibat van rechtswege neitig.
Bahwa menurut pendirian MA-RI, yang batal demi hukum ini, tidak saja “Surat Dakwaan Jaksa”, melainkan juga “Berita Acara Persidangan Pengadilan” yang didasarkan atas surat dakwaan tersebut. Hal ini dapat dipahami, karena Surat Dakwaan Jaksa merupakan landasan pemeriksaan Hakim dalam persidangan.
Bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang batal demi hukum, dalam kasus ini kita kenal dengan sebutan: obscuur libel atau kabur, melanggar pasal 143 KUHAP. Dakwaan yang cacat ini sempat lolos di tingkat pertama dan banding, tetapi tertahan ditingkat kasasi.

Pengadilan Negeri di Blora: No.13/B.Pid/1982, tanggal 26 Agustus 1982.
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, Semarang: No.79/1984.Pid.tgl. 30 Mei 1984.
Mahkamah Agung RI: No. 1289.K/Pid/1984, tgl 26 Juni 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IV. No. 41 Februari 1989; hal. 97).  

DAKWAAN JAKSA YANG BATAL DEMI HUKUM DAN PUTUSAN HAKIM YANG MENYIMPANG
Abstrak hukum.
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat ditarik konklusi:
Putusan Judex Facti dibatalkan karena putusannya telah menyimpang dari Surat Dakwaan Jaksa.
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum di nyatakan  “batal demi hukum” karena surat dakwaan seharusnya dibuat dalam bentuk dakwaan kumulatip. Disamping itu surat dakwaan harus mengandung “unsur” (luka berat) yang ada didalam delict yang didakwakan tersebut. Surat dakwaan yang demikian ini dinilai sebagai dakwaan yang disusun secara tidak jelas dan tidak lengkap.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: No.065/Pid/1987 B/PNJS, tanggal 31 Agustus 1987.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 226/Pid/1987, tanggal 19 Oktober 1987
Mahkamah Agung RI: No.2156.K/Pid/1987, tanggal 22 September 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 42. Maret 1989; hal. 41).

PRAPERADILAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN KASUS PENYELUNDUPAN
Abstrak Hukum:
Oleh karena putusan MA-RI diatas, tidak menyangkut materi pokok sengketa, melainkan hanya segi Acara saja, maka dari putusan MA-RI ini kita masih belum dapat mengetahui bagaimana pendirian MA-RI tentang pengertian hukum: “pihak ketiga” dalam Pasal 80 KUHAP. Apakah ia hanya: saksi korban/saksi penderita, ataukah semua orang yang mengetahui adanya delict tersebut dapat mengajukan Pra Peradilan tentang sah tidaknya “Penghentian Penyidikan”.

Pengadilan Negeri Surabaya: No. 12 Pid/Pra Per/1987, tanggal 3 Desember 1987.
Pengadilan Tinggi Surabaya: No.01 Pid/Pralan/1988, tanggal 26 Januari 1988.
Mahkamah Agung RI: No.920.K/Pid/1988, tanggal 23 November 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 42. Maret 1989; hal. 61).

BANDING PUTUSAN SELA MASALAH PRAEJUDICIEE GESCHIL
Abstrak Hukum:
Permohonan Banding terhadap Putusan Hakim Pertama yang bukan merupakan putusan akhir (putusan sela maksudnya), hanya dapat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tinggi bersama-sama dengan putusan akhir dari Hakim Pertama tersebut. Bila permohonan banding dari putusan sela diajukan ke Pengadilan Tinggi sebelum adanya “putusan akhir”, maka Pengadilan Tinggi harus memutus bahwa permohonan banding ini tidak dapat diterima.
Mengenai masalah keterkaitan antara segi pidana dan segi perdata dalam suatu perkara atau praejudiceel geschil, hendaknya diperiksa kembali Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1/1956 yang memberika pedomaan tentang masalah ini antara lain sebagai berikut;
Pemeriksaan perkara pidana dapat ditangguhkan untuk menunggu putusan dalam perkara perdata tentang ada/tidak adanya hak perdata.
Penangguhan ini sewaktu-waktu dapat dihentikan.
Pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh putusan Pengadilan dalam perkara perdata tentang ada/tidak adanya hak perdata tersebut.

Pengadilan Negeri di Tegal: No. 19/Pid.B/1984, tanggal 30 Juli 1984.
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang: No. 6/1984/Pid.ver/PT. Smg, tanggal 1 Februari 1985.
Mahkamah Agung RI: No. 984 K/Pid/1985, tanggal 21 Desember 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV No. 46; Juli 1989; hal. 19).

PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM
Abstrak Hukum:
Pengadilan Tinggi yang mempertimbangkan dalam putusannya bahwa Pengadilan Negeri adalah batal demi hukum, karena perkara pidana tersebut diadili oleh Hakim Tunggal yang seharusnya diadili oleh Hakim Majelis, maka Pengadilan Tinggi setelah membatalkan putusan Hakim Pertama, ia tidak boleh mengadili sendiri perkara aquo, melainkan berkas perkara harus dikembalikan kepada Pengadilan Negeri seraya memerintahkan untuk mengadili kembali perkara tersebut dengan susunan hakim majelis yang terdiri dari tiga orang Hakim.

Pengadilan Negeri Sidempuan: No. 193/Pid.B/1985, tanggal 26 Oktober 1985.
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan: No. 206/Pid.B/1985, tanggal 6 Mei 1986.
Mahkamah Agung RI: No. 1286 K/Pid/1986, tanggal 31 Oktober 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV No. 46; Juli 1989; hal. 30).  

DELICT YANG TIDAK DIDAKWAKAN DAPAT DITIMPAKAN TERDAKWA
Abstrak Hukum:
“Suatu perkara pidana yang prosedur pemeriksaan persidangannya dilakukan menurut Acara Singkat ex pasal 203 KUHAP, maka jika delik yang terbukti dalam persidangan adalah delict sejenis yang lebih ringan sifatnya, daripada delict sejenis yang didakwakan, yang lebih berat sifatnya, maka walaupun delict sejenis yang lebih ringan ini tidak didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan dan dipidana atas dasar melakukan delict yang lebih ringan ini”.

Pnegadilan Negeri Pekalongan No. 146/PS/1986, tgl. 27 Oktober 1986.
Mahkamah Agung RI No. 675.K/Pid/1987, tgl. 21 Maret 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 49. Oktober 1989; hal. 53).

SURAT DAKWAAN JAKSA DAN PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM.
Abstrak Hukum:
Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, dalam perkara ini dinilai telah melanggar ketentuan Undang-Undang No.8/1981 (KUHAP) ex pasal 143 (1) (2) (3), oleh karena itu maka Surat Dakwaan Jaksa ini, oleh Mahkamah Agung RI, dinyatakan batal demi hukum. 
Bahwa putusan Hakim Pengadilan Tinggi dalam perkara ini juga telah melanggar ketentuan undang-undang No. 8/1981 (KUHAP) ex pasal 197 ayat 1 sub – e – jo ayat 2, yang menentukan bahwa “Surat putusan pemidanaan” dari Hakim harus memuat: “Tuntutan Pidana” sebagaimana yang termuat dalam “Surat Tuntutan” (requisitoir Jaksa). Bilamana ketentuan undang-undang ini dilanggar, maka putusan Hakim tersebut, berakibat  “batal demi hukum”.
Bahwa dalam perkara ini, ternyata Surat Putusan Hakim Pengadilan Tinggi, tidak memuat atau mencantumkan “Surat Tuntutan Jaksa” seperti yang diwajibkan oleh undang-undang, sehingga oleh Mahkamah Agung RI, putusan Hakim tersebut dinyatakan  “batal demi hukum”.
Bahwa dengan adanya Putusan MA-RI yang menyatakan “batal demi hukum”, baik “Surat Dakwaan jaksa” maupun “Surat Putusan Hakim” seperti dalam kasus ini, maka kini timbul problema yuridis yaitu apakah perkara terdakwa ini dapat diartikan sudah berakir disini, ataukah perkara ini masih dapat diajukan lagi untuk diadili setelah Surat Dakwaan Jaksa dan Putusan Hakim tersebut diperbaiki? Masalah yang demikian ini tidak diatur didalam undang-undang No. 8/1981(KUHAP). Sehingga menghadapi masalah yuridis ini, nampaknya oleh pembentuk undang-undang diserahkan pada praktek yurisprudensi yang tumbuh dari: judge made law. Namun dalam putusan MA-RI diatas, ternyata tidak menyinggung tindak lanjut dari pernyataan batal demi hukum tersebut.

Pengadilan Negeri Ujung Pandang: No. 477/Pid.S/1985, tanggal 16 Desember 1985.
Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di Jung Pandang: No. 21/Pid/1986/PT.Uj.Pdg, tanggal 30 April 1986.
Mahkamah Agung RI: No. 1303 K/Pid/1986, tanggal 30 Maret 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V, No. 51 Desember 1989; hal. 85).

DAKWAAN JAKSA DAN PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM
Abstrak Hukum:
Putusan Hakim di bidang perkara pidana, menurut undang-undang No. 8/1981 KUHAP wajib memuat semua dakwaan, sebagaimana yang terdapat dalam Surat Dakwaan Jaksa. Putusan yang melanggar ketentuan ini, diberikan akibat hukum bahwa putusan Hakim tersebut adalah batal demi hukum.
Surat Dakwaan Jaksa harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Surat dakwaan jaksa yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 143 (2) undang-undang No. 8/1981 KUHAP ini, maka Hakim harus menyatakan bahwa surat dakwaan jaksa tersebut adalah batal demi hukum.
Surat dakwaan jaksa yang oleh Hakim dinyatakan batal demi hukum, maka pihak jaksa masih berwenang untuk mengajukan lagi tuntutannya di Pengadilan Negeri. Karena itu, maka Hakim dalam putusannya disamping menyatakan batal demi hukum dakwaan jaksa, juga harus memerintahkan kepada Panitera untuk mengembalikan berkas perkara yang bersangkutan kepada Kejaksaan.

Pengadilan Negeri Sidikalang No. 36/Pid/1985 tgl 31 Juli 1985
Pengadilan tinggi Medan No. 18/Pid/B/1986, tgl 27 Februari 1986
Mahkamah Agung RI No. 1301.K/Pid/1986, tgl 31 Januari 1989 (Majalah Hukum, Varia Peradilan Tahun V No. 55, April 1990; hal. 62).

DAKWAAN JAKSA DAN PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM
      Abstrak Hukum:
Bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum, materinya wajib memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh UU No. 8/1981 (KUHAP), eks pasal 143(2) “b” KUHAP, yaitu jaksa dalam membuat surat dakwaan harus memuat uraian yang cermat dan jelas serta lengkap mengenai delict yang didakwakan kepada terdakwa. Kesalahan/kekeliruan menyebutkan unsur delict dalam surat dakwaan jaksa, dinilai sebagai termasuk melanggar pasal 143 (2) “b” KUHAP. Akibat hukum dengan dilanggarnya pasal 143 (2) “b” UU No. 8/1981 KUHAP tersebut adalah Surat Dakwaa Jaksa batal demi hukum.
Dari segi pemeriksaan dipersidangan Pengadilan, maka Berita Acara Persidangan PN yang bersandar pada Surat Dakwaan Jaksa yang batal demi hukum tersebut adalah: menjadi batal pula.
Bahwa terdakwa tidak dapat dipidana oleh Hakim PN berdasar atas Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang batal demi hukum tersebut.

PN Pinrang No. 134/Pid/S/1987, tgl 5 Januari 1988. 
Pengadilan Tinggi Ujung Pandang No. 119/Pid/1988/PT/U/Pdg, tgl 7 Juni 1988.
MA RI No. 2436.K/Pid/1988, tgl 30 Mei 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 63 Desember 1990; hal. 5)

SENGKETA KEWENANGAN MENGADILI PERADILAN UMUM & PERADILAN MILITER
Abstrak Hukum
Pada saat Hakim Pengadilan Negeri memeriksa dan mengadili perkara pidana, kemudian menemukan fakta bahwa terdakwa yang akan diadilinya itu adalah berstatus militer. Maka untuk menentukan berwenang atau tidaknya Hakim Pengadilan Negeri mengadili terdakwa tersebut, harus dipakai criteria: saat atau waktu terdakwa tersebut melakukan delict yang didakwakan kepadanya, sebagaimana yang tercantum dalam surat dakwaanya. Bila saat kejahatan itu dilakukan ternyata terdakwa maih belum berstatus militer, maka yang berwenang untuk mengadili adalah Hakim dari Peradilan Umum cq Pengadilan Negeri.

Pengadilan Negeri di Banda Aceh No. 60/Pen.Pid/1988, tgl 2 Februari 1988.     
Mahkamah Militer I-01/Banda Aceh.
MA RI No. 01/SKM/Pid/1989, tgl 30 Juni 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 63 Desember 1990; hal. 103)

DAKWAAN JAKSA DAN PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM
Abstract Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, kita dapat mengangkat “Abstrak hukum” sebagai berikut:
Bahwa Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, materinya wajib memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang No.8/1981 – (KUHAP) – Hukum Acara Pidana., eks pasal 143 (2) “b” KUHAP, yaitu Jaksa dalam membuat Surat Dakwaan harus memuat uraian yang cermat dan jelas serta lengkap mengenai delict yang didakwakan kepada terdakwa. Kesalahan /kekeliruan menyebutkan unsur delict dalam surat dakwaan Jaksa, dinilai sebagai termasuk melanggar pasal 143 (2) “b” KUHAP. Akibat hukum dengan dilanggarnya pasal 143 (2) “b” Undang-Undang No.8/1981 – (KUHAP) tersebut adalah: Surat Dakwaan Jaksa Batal demi hukum.
Dari segi pemeriksaan dipersidangan Pengadilan, maka Berita Acara Persidangan Pengadilan Negeri yang bersandar pada Surat Dakwaan Jaksa yang batal demi hukum tersebut adalah: menjadi batal pula.
Bahwa terdakwa tidak dapat dipidana oleh Hakim Pengadilan Negeri berdasar atas Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang batal demi hukum tersebut.

Pengadilan Negeri di Pinrang No. 134/Pid/S/1987, tgl 5 Januari 1988.
Pengadilan Tinggi Ujung Pandang No.119/Pid/1988/PT/U/Pdg. Tgl. 7 Juni 1988.
Mahkamah Agung RI No. 2436.K/Pid/1988, tgl 30 Mei 1990.  (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun V. No. 63, Desember 1990; hal. 5).

MASALAH KEWENANGAN MENGADILI
      Abstrak Hukum:
Terdakwa yang melakukan perbuatan pidana di Kabupaten Kerawang Ditangkap di Pekalongan. Ditahan di Rumah Tahanan Negara RUTAN – Salemba – DKI Jakarta, dan sebagian terbesar para saksi yang akan didengar di persidangan pengadilan, bertempat tinggal/berdomisili di Jakarta Barat, maka dengan memperhatikan ketentuan pasal 84 (2) Hukum acara Pidana (KUHAP) serta azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan ex pasal 4 (2) UU No. 14/1970, maka yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara para terdakwa ini adalah PN Jakarta Barat.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat: No 132/pid/B/1989 tgl 26 Februari 1990.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 01/Plw/Pid/1990, tgl 7 Mei 1990.
Mahkamah Agung RI: No. 1849.K/Pid/1990, tgl 30 Oktober 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 65 Februari 1991; hal. 5)

PRA PERADILAN MASALAH KAPAL DAGANG ASING
      Abstrak Hukum:
Untuk memenuhi permintaan pihak kepolisian RI guna menunjang kelancaran pemeriksaan yang dilakukan oleh kepolisian, maka Sahbandar Pelabuhan yang melarang sebuah kapal dagang asing yang segera akan berangkat berlayar meninggalkan Pelabuhan Tanjung Priok, maka pelarangan atau perintah penundaan keberangkatan kapal tersebut adalah tidak dapat disamakan dengan tindakan penyitaan barang terhadap kapal dagang tersebut. Karena ini tidak diperlukan Surat Penyitaan dan Izin dari Ketua Pengadilan Negeri.
Masalah penyitaan barang adalah bukan merupakan object “Pra Peradilan” sebagaimana yang diatur dalam pasal 77 KUHAP yang secara limitatif  telah menentukan masalah apa saja yang dapat menjadi object dari “Pra Peradilan”.
Pemilik kapal dagang asing ini bukanlah merupakan subject yang berhak mengajukan tuntutan ganti rugi uang menurut pasal 95 KUHAP. Disamping itu ia bukan pula subject “Pra Peradilan”.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara: No. 02/Pra-Per/Pen.pid/1988/PN.JU, tgl 10 oktober 1998.
Mahkamah Agung RI: No. 1828.K/Pid/1989, tgl 5 Juli 1990.  (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 66 Maret 1991; hal. 44)

PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM
Melanggar Asas Peradilan.
Abstrak Hukum:
Memeriksa dan mengadili seorang anak remaja yang di bawah umur, yang didakwa melakukan perbuatan pidana, maka hakim wajib mengikuti aturan tentang “Asas-asas Peradilan Anak”, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.06.UM-01-06/tahun 1983.
Bilamana hakim tidak mengikuti aturan/asas Peradilan Anak tersebut diatas, maka putusan Hakim dalam perkara ini adalah batal demi hukum. Akibatnya, Hakim wajib mengulangi pemeriksaan perkara tersebut dan memberikan putusannya dengan berpedomaan pada aturan/asas Peradilan Anak, seperti yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehakiman tersebut diatas.

Pengadilan Negeri di Curup: No. 103/Pid/B/1986/Pn.C, tanggal 27 April 1987.
Pengadilan Tinggi Bengkulu: No. 27/1987/Pid/PT. BKL, tanggal 27 Agustus 1987.
Mahkamah Agung RI: No. 432 K/Pid/1988, tanggal 4 September 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 68; Mei 1991; hal. 27).




KANDASNYA SURAT DAKWAAN JAKSA
Abstrak Hukum:
Surat Dakwaan Jaksa yang disusun dan dirumuskan dalam bentuk “Surat Dakwaan Subsidair” atau “Surat Dakwaan Pengganti”, maka dalam Dakwaan Subsidair, tidak boleh dicantumkan delik yang ancaman hukumannya jauh lebih berat daripada ancaman hukuman delik yang dicantumkan dalam Dakwaan Primair.
Surat dakwaan harus memuat unsur delik yang didakwakan dan tidak boleh memuat unsur-unsur delik lainnya yang tidak didakwakan.
Surat Dakwaan yang disusun sebagaimana diuraikan di atas, maka Surat Dakwaan Jaksa tersebut adalah melanggar ketentuan pasal 143 (3) KUHAP – UU No. 8/1981 dengan akibat: Surat Dakwaan Jaksa itu Batal Demi Hukum.
Bilamana Surat Dakwaan Jaksa adalah “batal demi hukum” karena melanggar pasal 143 (3) dari KUHAP, maka hasil persidangan pengadilan, baik berupa “Berita Acara Persidangan” maupun “putusan Hakim” yang berdasar atas Berita Acara Persidangan itu adalah: menjadi batal pula. Akibat selanjutnya, maka terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah dan dipidana berdasar atas Surat Dakwaan Jaksa yang “batal demi hukum” tersebut. 
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 143 dari KUHAP, maka Surat Dakwaan Jaksa, haruslah memenuhi dua syarat pokok yaitu: 
Syarat formil: bila dilanggar berakibat Surat Dakwaan Jaksa: vernietigbaar.
Syarat materiil: bila dilanggar berakibat Surat Dakwaan Jaksa adalah vanrechtswege neitig (batal demi hukum). 

Pengadilan Negeri Jakarta Timur: No. 556/Pid/S/1984, tanggal 29 September 1984.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 145/Pid/1984, tanggal 12 Desember 1984.
Mahkamah Agung RI: No. 779.K/Pid/1985, tanggal 22 Agustus 1990.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 70 Juli 1991; hal. 79)

DILARANG GUGAT REKONPENSI PENERAPAN PASAL 98 KUHAP
Abstrak hukum:
Untuk mengajukan “gugatan perdata ganti kerugian uang” yang pemeriksaannya ingin digabungkan dengan pemeriksaan perkara pidana, ex pasal 98 KUHAP, maka:
- Bila pihak korban yang dirugikan meninggal dunia, maka gugatan yang dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan atas nama si korban tersebut, dalam membuat  “surat kuasa” kepada Penasehat hukumnya, harus dibuat “surat kuasa khusus” (Bijzondere Schrijtelijke Machtiging), yang isinya harus menerangkan dengan jelas adanya hubungan hukum antara:
- Pemberi Kuasa dengan korban yang dirugikan yang telah meninggal dunia tersebut
- Pemberi kuasa dengan kendaraan yang rusak akibat tabrakan, yang dikendarai oleh korban yang meninggal dunia tersebut.
Dalam proses pemeriksaan “gugatan perdata ganti kerugian”, ex pasal 98 KUHAP, maka tidak diperbolehkan (dilarang) adanya “Gugatan Reconventie”. 

Pengadilan Negeri Payakumbuh: No. 8/TOL/F/1984/PN. PYK, tanggal 22 Agustus 1984.
Pengadilan Tinggi Sumatera Barat di Padang: No. 63/Pid/B/1984/PT.PDG, tanggal 27 November 1984. 
Mahkamah Agung RI: No. 489.K/Pid/1985, tanggal 29 Mei 1991. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII No. 74 November 1991; hal. 33).

MEROBAH SURAT DAKWAAN YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG DILARANG GUGAT REKONPENSI
Abstrak hukum:
Surat Dakwaan yang dibuat oleh Jaksa, yang mencampur adukkan semua unsur penyertaan delict (deelneming aan strafbaarfeit) – plegen – doen plegen – mede pleger – iutlokken – sehingga tidak dapat diketahui siapa “materiele dader” dan siapa yang menjadi “intelectuele dader” diantara para terdakwa tersebut, adalah merupakan Surat Dakwaan yang batal demi hukum, karena Surat Dakwaan ini dibuat dengan melanggar ex pasal 143 (2) – butir “b” KUHAP – UU No. 8/1981.
Dalam merobah Surat Dakwaan, maka Hakim wajib mengikuti ketentuan ex pasal 144 KUHAP. Perubahan Surat Dakwaan dalam perkara ini ternyata telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan pasal 144 KUHAP tersebut, sehingga Surat Dakwaan inipun menjadi batal demi hukum.
Dalam pasal 144 (1) KUHAP jelas ditentukan, bahwa penuntut Umum dapat mengubah Surat Dakwaan, sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
Dalam kasus ini ada dua terdakwa yang absent. Terhadap “terdakwa yang tidak hadir” karena tidak diketahui lagi domisilinya, maka pasal 154 KUHAP kiranya dapat diterapkan. Sedangkan terhadap terdakwa yang meninggal dunia, maka dapat diterapkan pasal 77 KUH Pidana. Hak melakukan Penuntutan Pidana menjadi hapus, karena meninggalnya terdakwa.
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dinyatakan batal demi hukum, karena melanggar ketentuan pasal 143 (2) – butir “b” KUHAP UU No. 8/1981, maka membawa akibat hukum:
Berita Acara Persidangan Pengadilan Negeri.
Putusan Pengadilan Negeri yang didasarkan atas Surat Dakwaan yang batal demi hukum tersebut, menjadi ikut batal menurut hukum.  
Gugat perdata ganti kerugian uang yang digabungkan pemeriksaannya dengan perkara pidana, ex pasal 98 KUHAP, adalah tidak dapat dibenarkan bila dilakukan dalam bentuk gugat Reconventie (periksa MA.RI No. 489.K/Pid/1985).
    
Pengadilan Negeri Ende: No. 23/Pid/1985/B/PN.END, tanggal 6 November 1986.
Mahkamah Agung RI: No. 296.K/Pid/1987, tanggal 15 Maret 1991. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII No. 74 November 1991; hal. 60).

PUTUSAN HAKIM BANDING ONVOLDOENDE GEMOTIVEERD
Abstrak hukum:
Hakim Banding yang merubah lamanya pidana yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama, berkewajiban untuk memberikan pertimbangan yang cukup, dengan menyebutkan keadaan yang memberatkan dan keadaan yang meringankan, sebagaimana yang diwajibkan menurut ketentuan Undang-Undang No. 8/1981 KUHAP pasal 197 (f) – yang mengatur tentang “Surat Putusan Pemidanaan”, dengan segala akibat hukumnya.
Mahkamah Agung selalu membatalkan putusan hakim yang “onvoldoende gemotiveerd”.

Pengadilan Negeri Semarang: No. 361/Pid/S/PN. Smg, tanggal 14 Agustus 1986
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang: No. 1661/Pid/1986/PT. Smg, tanggal 11 Agustus 1987.
Mahkamah Agung RI: No. 1515 K/Pid/1988, tanggal 19 Maret 1991. 
      (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII No. 74 November 1991; hal. 84).

MASALAH JURIDIS HAKIM TUNGGAL ATAU MAJELIS HAKIM, KASASI JAKSA DITOLAK
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI terhadap kasus tersebut diatas, maka dapat ditarik abstrak hukum sebagai berikut:
Dalam menafsirkan ketentuan yang diatur dalam KUHAP, maka penafsirannya harus dikaitkan dan dihubungkan dengan prinsip (dasar) yang diatur dalam “Ketentuan Pokok” tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No.14/thn 1970).
Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi berwenang untuk menjalankan “fungsi pengaturan” terhadap masalah hukum yang diatur dalam pasal 152 (1) (2) KUHAP demi untuk terwujudnya kesatuan penafsiran dan penerapan dalam melaksanakan “penyimpangan dengan batasan” yang dimungkinkan dalam pasal 152 KUHAP tersebut.
Perkara Pidana yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri oleh Kejaksaan dengan “Acara Pemeriksaan Biasa (Tolakan)”, ex pasal 152 KUHAP, maka perkara tersebut harus diperiksa oleh “Majelis Hakim”. Perkara yang demikian itu tidak diperbolehkan diperiksa oleh “Hakim Tunggal”. Bila hal ini dilanggar, maka mengakibatkan:
Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang Penunjukan “Hakim Tunggal”.
Surat Penetapan Hakim tentang hari persidangan perkara.
Berita Acara dengan putusan menjadi batal atau dinyatakan batal. Selanjutnya pemeriksaan perkara pidana tersebut harus diulang dan diputuskan kembali oleh suatu “Majelis Hakim” (sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang Hakim).
Selain itu perlu dicatat, bahwa saat ini jumlah Hakim di Indonesia sudah melebihi dari cukup, maka masalah “Hakim Tunggal” sebagai “penyimpangan dengan batasan” dalam pasal 152 KUHAP beserta penjelasannya itu, apakah masih relevan untuk dipertahankan?


Pengadilan Negeri di Palu. No.42/Pid/B/1986, tanggal 26 Februari 1987.
Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara, No.45/Pid/B/1987, tanggal 21 Januari 1988.
Mahkamah Agung RI, No.1746.K/Pid/1988, tanggal 12 Juni 1991. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII, No. 76. Januari 1992; hal. 40).

PENUNTUTAN KEJAKSAAN TIDAK DAPAT DITERIMA
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI ini dapat ditarik abstrak hukum sebagai berikut:
“Perzinahan adalah suatu delict aduan yang bersifat absolut (Absolut Klacht Delict) – ex pasal 284 KUHPidana, artinya delict ini tidak dapat diadakan penuntutan oleh Jaksa apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami yang dirugikan. Pengaduan ini tidak boleh dipecah, yaitu tidak boleh hanya laki-laki yang menzinahi istrinya saja yang harus diadukan; melainkan harus keduanya.
Jaksa Penuntut Umum yang melakukan penuntutan hanya terhadap laki-laki (pria) yang menzinahi istri orang lain, sebagai turut serta melakukan perzinahan, tanpa menuntut pula pelaku (istri) yang berbuat zinah, maka penuntutan oleh Kejaksaan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh Pengadilan.
Ada putusan lain dari Mahkamah Agung RI mengenai penerapan Pasal 284 KUHPidana yang dituangkan dalam putusannya No.52.K/Kr/1953, tanggal 15 Maret 1955 yang abstrak hukumnya sebagai berikut: Pasal 284 KUHPidana adalah merupakan suatu absolut klacht delict, karena itu pengaduan terhadap laki-laki yang melakukan perzinahan, juga merupakan pengaduan terhadap istrinya yang berzinah. Berdasar azas opportunitas, maka Jaksa berwenang melakukan penuntutan terhadap salah seorang saja diantara mereka itu. 

Pengadilan Negeri Wates: No.19/1985/Pid.B/PN. Wts, tanggal 3 April 1986.
Pengadilan Tinggi D.I. Yogyakarta: No.45/Pid/1986/PTY, tanggal 2 September 1986.
Mahkamah Agung RI: No.1677.K/Pid/1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII, No. 83. Agustus 1992; hal.  62).



PROBLEM JURIDIS KEWENANGAN MENGADILI
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas dapat diangkat abstrak hukum sebagai berikut:
Perkara pidana yang sedang diperiksa oleh Hakim dalam suatu persidangan Pengadilan, maka Hakim seharusnya memberikan putusan tentang eksepsi ini, sebelum memeriksa materi pokok perkara yang didakwakan kepada terdakwa. Bila Hakim meneruskan saja persidangannya dengan mendengar semua saksi dan terdakwa dan selanjutnya kepada Jaksa diminta requisitoirnya, maka hal ini berarti bahwa pemeriksaan terhadap perkara ini adalah sudah selesai. Hakim bukan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara ini, melainkan perkara tersebut harus diberi putusan.

Pengadilan Negeri Purwokerto: No.07/APB/1983/PN.Pwt, tanggal 21 Juni 1983.
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang: No. 125/1984/Pid/PT. Smg, tanggal 21 September 1984.
Mahkamah Agung RI: No.1092.K/Pid/1985, tanggal 9 Pebruari 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII, No. 83. Agustus 1992; hal.  75).

KANDASNYA DAKWAAN JAKSA – KASUS PROYEK TELKOM
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat “Abstrak hukum” sebagai berikut:
Jaksa Penuntut Umum yang tidak berhasil membuktikan dalam persidangan Pengadilan tentang adanya unsure “lawan hukum” (wederrechtelijk) suatu delict yang didakwakan kepada terdakwa, maka Hakim dalam dictum (amar) putusannya harus menyatakan: membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.

Pengadilan Negeri di Ambon: No. 32/Pid/B/1987/PN. AB, tanggal 9 Januari 1988.
Pengadilan Tinggi Maluku: No. 5/Pid/B/1988/PT. MAL, tanggal 29 Februari 1988.
Mahkamah Agung RI: No.48.K/Pid/1989, tanggal 16 Desember 1991. Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No. 86. November 1992; hal.  5).

SURAT DAKWAAN BATAL DEMI HUKUM
Abstrak Hukum:
Dari kasus ini, dapat dicatat hal yang menarik yaitu, Pengadilan Negeri dalam putusannya mempertimbangkan bahwa Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dinilainya sebagai Surat Dakwaan yang uraiannya tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap. Sehingga Dakwaan tersebut menjadi batal demi hukum, ex pasal 143 (2).b.(3) dari KUHAP. Akan tetapi, ternyata Hakim tersebut tetap saja melanjutkan persidangannya dan memberikan putusan (mengadili) terhadap terdakwa tersebut. Pada hal semestinya tidak demikian. Mahkamah Agung RI telah memberikan Yurisprudensi tetap mengenai masalah ini. (Vide Varia Peradilan).
Abstrak Hukum yang dapat diangkat dari  putusan Mahkamah Agung terhadap kasus ini adalah demikian:
Dalam Visum et Repertum, tidak selalu dicantumkan bahwa luka-luka yang diderita oleh korban adalah merupakan suatu luka-luka berat. Yang dicantumkan hanya sifar/jenis luka-lukanya saja. Karena itu istilah hokum “Luka Berat” yang dicantumkan didalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum harus dinilai secara objektif yaitu bahwa dari luka-luka yang diderita oleh korban itu baru dapat disimpulkan oleh Hakim bahwa luka-luka tersebut adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 90 KUHPidana.

Pengadilan Negeri di Takengon Aceh: No. 11/Pid/B/1987/PN TKN, tgl 7 Mei 1987.
Mahkamah Agung RI: No.1349.K/Pid/1987, tanggal 17 Januari 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No. 86. November 1992; hal.  32).

MASALAH YURIDIS MEMORI KASASI
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat abstrak hukum sebagai berikut:
Terdakwa mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Tinggi, dimana dalam “Memori Kasasi” yang diajukannya hanya disebutkan dengan satu kalimat: “bahwa putusan Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum”, tanpa ada alasan/uraian yuridis yang mendasari keberatan kasasi tersebut.
Pengajuan permohonan kasasi yang demikian itu harus dianggap bahwa pemohon kasasi tidak mengajukan “Memori Kasasi” dan hal ini berakibat hukum bahwa permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI.

Pengadilan Negeri di Ternate: No. No.7/Pid-B/1990, tanggal 13 Juni 1990.
Pengadilan Tinggi Maluku: No.49/Pid-B/1990, tanggal 10 Desember 1990.
Mahkamah Agung RI: No.445.K/Pid/1991, tanggal 20 Mei 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No. 86. November 1992; hal.  73).

KEKACAUAN DALAM PERTIMBANGAN HUKUM SUATU PUTUSAN HAKIM
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas dapat ditarik abstrak hukum sebagai berikut:
Suatu Putusan Hakim Pengadilan Tinggi yang didalamnya mengandung:
1. Pertimbangan hukum yang kacau, yaitu disatu bagian menyatakan, Hakim tidak yakin, tetapi dilain bagian menyatakan Hakim yakin………dst……….
2. Tidak memberikan pertimbangan hukum yang cukup dan terperinci terhadap semua alat-alat bukti untuk dapat membuktikan semua unsur delict yang didakwakan.
Maka putusan Judex facti yang demikian ini, merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Judex facti tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara: No. 026/B/Pid/1986, tanggal 13 Nopember 1986.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 06/Pid/1987/PT. DKI, tanggal 23 Januari 1987.
Mahkamah Agung RI: No. 1558.K/Pid/1987, tanggal 18 Mei 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII No. 87 Desember 1992; hal.  37).

MASALAH YURIDIS TIDAK DIPOTONG TAHANAN
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat abstrak hukum sebagai berikut:
Permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung RI, yang dalam memori kasasinya mengemukakan “keberatan kasasi” yang pada pokoknya berbunyi: “mohon agar dapat diadakan pemeriksaan ulang”, maka hal yang demikian ini adalah bukan merupakan alasan kasasi, ex pasal 30 UU No.14/1985 sehingga permohonan kasasi tersebut dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Agung RI.
Amar putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tidak perlu ditambah dengan kata-kata yang berbunyi: “tidak dipotong tahanan”, dibelakang kalimat: menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama 4 bulan.

Pengadilan Negeri: No.21/Pid.S/1988, tanggal 2 Februari 1988.
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah: No.261/Pid/1988/PT. Smg, tanggal 25 Mei 1988.
Mahkamah Agung RI: No.69.K/Pid/1989, tanggal 6 Mei 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII No. 87 Desember 1992; hal.  53).

GAGALNYA TUNTUTAN JAKSA – KASUS PENERAPAN DELICT ZINA.
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat Abstrak Hukum sebagai berikut:
Pengaduan seorang suami kepada Kepolisian bahwa seorang pria didakwa/disangka telah berbuat zina dengan isterinya, maka pengaduan kepada kepolisian ini harus ditujukan kepada kedua orang yang disangka berbuat zina tersebut, yaitu isteri si pengadu dan prianya. Demikian pula penuntutannya oleh Jaksa, kedua orang yang terlibat sebagai pelaku dan peserta delict zinah tersebut, harus dituntut oleh Jaksa. Penuntutan hanya salah seorang saja yaitu si pria tanpa menuntut si wanitanya, maka penuntutan Jaksa ini, harus dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim.
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.51/Kr/1953 tanggal 19 Maret 1955 ditentukan, bahwa pasal 284 KUHP, merupakan “absoluut Klachtdelict”, artinya pengaduan terhadap pria yang berbuat zinah, juga merupakan pengaduan terhadap isterinya yang berzinah. Keduanya harus dituntut; terkecuali, bila Jaksa menggunakan azas opportuniteitnya, berwenang untuk mengadakan penuntutan hanya terhadap salah seorang saja.
Apakah Jaksa menggunakan Azas opportuniteitnya dalam kasus ini, tidak nampak dalam berkas perkaranya.

Pengadilan Negeri di Waingapu: No. 37/Pid/B/1987/PN.Wnp, tanggal 18 September 1987.
Mahkamah Agung RI: No. 181.K/Pid/1988, tanggal 14 November 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No.88. Januari 1993; hal. 31).

GAGALNYA DAKWAAN JAKSA KASUS HUNIAN RUMAH KPR BTN
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat abstrak hukum sebagai berikut:
Bahwa pasal 167 (1) KUHPidanatidak dapat diterapkan terhadap kasus dimana rumah yang dimasuki oleh terdakwa tersebut dalam keadaan kosong tanpa penghuni.
Bahwa untuk dapat menerapkan ex pasal 167 KUH Pidana, maka rumah tersebut harus secara nyata telah dihuni atau ditempati sewaktu terdakwa memasuki rumah tersebut. Disamping unsur ini, maka unsur-unsur delict lainnya juga harus dipenuhi pula
Terdakwa telah menghuni rumah ini sejak 1983 s/d putusan Mahkamah Agung RI tahun 1992, jadi hampir 9 tahun lamanya dan gugatan perdata nampaknya akan lebih kena dari pada tuntutan pidana seperti dalam kasus ini.

Pengadilan Negeri: No.68/Pid/B/1987/PN. KRW, tanggal 28 Desember 1987.
Pengadilan Tinggi: No. 92/Pid/B/1988/PT. Bdg, tanggal 8 Juni 1988.
Mahkamah Agung RI: No.2031.K/Pid/1988, tanggal 31 Agustus 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No.91. April 1993; hal. 32).

PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM
Abstrak hukum:
Dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, terdakwa didakwa melakukan perbuatan pidana: 
ex pasal 285 (1) jo. Pasal 64 jo. 65 KUHP
ex pasal 287 (1) jo. Pasal 64 jo. 65 KUHP
ex pasal 289 jo. Pasal 64 jo 65 KUHP.
Hakim pertama memeriksa perkara terdakwa ini sampai tuntas, selesai, setelah mendengar keterangan para saksi, terdakwa, requisitoir jaksa dan pembelaan terdakwa, akhirnya hakim memberikan putusan:
Surat Dakwaan Jaksa batal demi hukum
Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan
Memulihkan hak terdakwa …….. dst.
      Pertimbangan hukum yang mendasari putusan Hakim tersebut adalah karena Jaksa dalam membuat dan menyusun surat dakwaannya, ternyata perbuatan pidana yang didakwakan, ex  pasal 285-287-289 KUH Pidana, oleh jaksa dikaitkan secara bersamaan dengan pasal 64 (Voorgezette Handeling) dan pasal 65 (Concursus Realis), padahal keduanya mempunyai aturan yang berbeda satu sama lain. Penggabungan pasal 64 jo. Pasal 65 KUH Pidana ini mengandung isi yang bertentangan satu sama lain, sehingga dakwaan jaksa menjadi kabur atau obscuur libel, yang dapat merugikan pembelaan terdakwa dalam persidangan.
       Dengan alasan juridis ini, sesuai dengan ex pasal 143 KUHAP, maka Hakim Pertama memberikan putusan bahwa Surat Dakwaan Jaksa batal demi hukum dan terdakwa harus dibebaskan.  
Dalam tingkat kasasi putusan judex facti ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena dinilai salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan yang pokoknya: bahwa amar putusan judex facti yang menyatakan bahwa Surat Dakwaan Jaksa adalah batal demi hukum, maka konsekwensi juridisnya, Hakim harus menyatakan pula bahwa terdakwa tersebut tidak dapat diperiksa dan diadili berdasar atas Surat Dakwaan yang batal tersebut.
Dalam kasus ini, ternyata hakim pertama telah selesai memeriksa materi perkaranya. Hal ini mengandung arti, bahwa Hakim Pertama telah menerima dengan baik Surat Dakwaan Jaksa. Selanjutnya Hakim lalu memeriksa materi perkara dan memberikan putusan. Namun, putusan yang diberikan oleh Hakim Pertama tersebut, tidak berdasar pada hasil pemeriksaan persidangan yang telah dilakukan oleh Hakim tersebut.
Keadaan yang demikian menurut penilaian Mahkamah Agung, bahwa Hakim Pertama masih belum memberikan putusannya terhadap materi perkara yang telah selesai tuntas diperiksanya itu. Karena belum diberikan putusan, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan judex facti dan selanjutnya memerintahkan kepada Hakim Pertama untuk membuka kembali persidangan dan memberikan putusan berdasar atas hasil pemeriksaan persidangan yang telah dilakukannya tersebut.   
Menurut pasal 143 (3) KUHAP, Surat Dakwaan Jaksa, harus memenuhi persyaratan, baik formil maupun materiil dengan sanksi bila dilanggar, maka Surat Dakwaan tersebut batal demi hukum.
Hakim yang dalam putusannya menyatakan bahwa Surat Dakwaan jaksa adalah batal demi hukum, maka bersamaan dengan diktum ini, hakim harus menyatakan pula, bahwa terdakwa tidak dapat diperiksa dan diadili berdasar atas Surat Dakwaan yang batal tersebut.
Menurut jurisprudensi, pencantuman secara bersamaan pasal 64 jo. 65 (Voorgezette handeling dan concursus realis, suatu ajaran tentang samenloop van strafbare feiten) dengan delict yang didakwakan, dapat dibenarkan, asalkan masing-masing diberikan uraian yang cermat dan jelas dalam Surat Dakwaan tersebut.   

Pengadilan Negeri di Tanah Grogol, Kalimantan: No. 21/Pts/Pid/B/1989/PN.TG, tanggal 1 November 1989.
Mahkamah Agung RI: No. 350.K/Pid/1990 tanggal 30 September 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX No. 108 September 1994; hal. 86).

SURAT DAKWAAN KEJAKSAAN BATAL DEMI HUKUM
      Abstrak Hukum:  
Dari putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, dapat diangkat “Abstrak hukum” sebagai berikut:
Surat Dakwaan yang disusun secara kumulatif yaitu:
Dakwaan ke I:
- Primair, ex pasal 351 ayat (2) KUHPidana.
- Subsidair, ex pasal 351 ayat (1) KUHPidana.  
Dakwaan ke II: ex pasal 352 (1) KUHPidana.
Baik Dakwaan ke I maupun Dakwaan ke II dilakukan oleh pelaku  yang sama (Terdakwa) dan ditujukan terhadap orang yang sama (saksi korban) serta perbuatan tersebut dilakukan pada waktu dan di tempat yang sama pula.Surat Dakwaan yang disususn demikian itu adalah tidak tepat; karena perbuatan pidana yang didakwakan dalam Dakwaan ke I sudah meliputi perbuatan-perbuatan yang didakwakan di dalam Dakwaan ke II.
Akibat Juridis dari penyusunan Surat Dakwaan yang tidak benar ini, maka Surat Dakwaan ke II tersebut, harus dinyatakan batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat-syarat penyusunan Surat Dakwaan yang benar sebagaimana yang diatur dan dimaksudkan ex pasal 143 ayat 2 K.U.H.P serta praktek peradilan berlaku saat ini.

Pengadilan Negeri Di Bau-Bau: No.89/Pid/B/1990/PN.BB, tanggal 29 Januari 1990
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara di Kendari: No. 27/Pid/B/1990/ PT.SULTRA, tanggal 4 Juli 1990.
Mahkamah Agung Republik Indonesia: No. 1052 K / Pid / 1991, tanggal 25 Oktober 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun X, No.112, Januari 1995; hal. 27).

PUTUSAN HAKIM PERTIMBANGANNYA TIDAK CERMAT
      Abstrak Hukum:
Dalam mengadili dan memutus perkara pidana, maka hakim (Judex Facti), wajib memperhatikan secara cermat semua fakta yang terbukti dipersidangan dan mempertimbangkannya dalam putusannya. Bilamana tidak, maka putusan hakim tersebut tergolong sebagai putusan yang tidak atau kurang sempurna dipertimbangkannya (Onvoldoende gemotiveerd) dan Mahkamah Agung akan membatalkan Putusan Judex facti tersebut, bila dimohonkan pemeriksaan kasasi.

Pengadilan Negeri Kabanjahe: No. 192/Pid/B/1989/PN.Kbj, tgl 21 Februari 1990.
Mahkamah Agung RI: No. 2221.K/Pid/1990, tgl. 29 Oktober 1993.  (Majalah Varia Peradilan, Tahun X, No.112, Januari 1995; hal. 43). 

KASUS LINGAH – PACAH – SUMIR PUTUSAN KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI
      Abstrak Hukum:
Keberatan kasasi berupa:
Terdakwa merasa tidak melakukan perbuatan pidana yang didakwakan serta para saksi telah memberikan keterangan yang tidak benar, merupakan keberatan kasasi mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
Alasan Peninjauan Kembali berupa:
Keterangan terdakwa ASUN dalam suatu perkara pidana yang mengakui dalam sidang, bahwa ia yang membunuh PAMOR dalam perkara pidana lainnya, dimana terdakwanya adalah LINGAH, PACAH dan SUMIR yang telah dipidana dan berkekuatan tetap, maka pengakuan ASUN tersebut, haruslah ditindaklanjuti berupa ASUN disidik, dituntut dan disidangkan terlebih dahulu sampai ada putusan Hakim terhadap ASUN tersebut.
Bilamana tidak atau belum ditindaklanjuti, maka keterangan atau pengakuan ASUN tersebut, bukan merupakan “keadaan baru” atau “novum“, ex pasal 263 (2) a K.U.H. P, sehingga Peninjauan Kembali harus ditolak.

Pengadilan Negeri Ketapang: No.36/Pid/B/1987/PN.KTP, tanggal 15 Desember 1987;
Pengadilan Tinggi Pontianak: No. 10/Pid/1998/PT.PTK, tanggal 23 Februari 1988; 
Mahkamah Agung RI (tingkat Kasasi): No. 1472 K/Pid/1988, tanggal 15 September 1988;
Mahkamah Agung RI (tingkat Peninjauan Kembali): No. 11 PK/Pid/1993, tanggal 13 Desember 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun X, No. 114, Maret 1995; hal. 5).

SEGI JURIDIS KETERANGAN SAKSI YANG DIBACAKAN DIPERSIDANGAN
Abstrak hukum:
Dalam kasus pidana, keterangan seorang saksi tidak dikukuhkan dengan sumpah pada saat dia memberikan keterangannya dihadapan penyidik. Keterangan saksi ini oleh Penyidik kemudian dituangkan didalam Berita Acara Penyelidikan. Pada saat persidangan Pengadilan Negeri, saksi tersebut tidak hadir. Hakim Ketua mengizinkan keterangan saksi yang tertuang dalam B. A. P tersebut dibacakan dipersidangan dan atas pertanyaan Hakim, ternyata terdakwa membenarkan isi keterangan saksi yang dibacakan tersebut. Secara Juridis, keterangan saksi tersebut mempunyai nilai pembuktian yang sah sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana, pasal 185 K.U.H.P.

Pengadilan Negeri: No. 34 / PID / B / 1991 / PN. ATB, tanggal 30 Juli 1991.
Mahkamah Agung: No. 1677 / K / PID / 1993, tanggal 7 Februari 1996.         (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No. 131, Agustus 1996; hal.  55).

PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM
Abstrak hukum:
Hakim Pidana yang tidak memuat surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam putusannya, merupakan pelanggaran terhadap Hukum Acara Pidana, ex Pasal 197 huruf  “c” K.U.H.A.P, sehingga putusan Hakim tersebut adalah batal demi hukum. Akibat Yuridis ini, telah diatur secara tegas dalam Pasal 197 ayat 2 K.U.H.A.P.

Pengadilan Negeri di Cilacap: No. 106 / Pid / S / 1995 / PN. CLP, tanggal 13 Juli 1995.
Mahkamah Agung RI: No. 1218 K/Pid/ 1995, tanggal 25 Maret 1996. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XII, No. 133, Oktober 1996; hal.  44).

PUTUSAN HAKIM BANDING DIBATALKAN MEMPERBERAT HUKUMAN TANPA PERTIMBANGAN 
Abstrak Hukum:
Hakim banding wajib memberikan alasan juridis yang cukup terperinci bilamana akan memperberat hukuman kepada terdakwa melebihi beratnya hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Pertama. Tanpa disertai alasan yang terperinci, maka Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi akan membatalkan putusan Hakim Banding tersebut, karena putusannya dinilai tidak cukup dipertimbangkan. 

Pengadilan Negeri Mamuju: No. 46/Pts.Pid/B/1990/PN.Mu, tanggal 12 Maret 1991.
Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan di Ujung Pandang: No. 122/Pid/1991/PT. Uj. Pdg, tanggal 19 Juni 1991.
Mahkamah Agung RI: No. 662 K/Pid1992, tanggal 17 Februari 1994 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XII No.144 September 1997; hal. 22).


HUKUMAN DIPERBERAT TANPA ALASAN PUTUSAN HAKIM DIBATALKAN
Abstrak Hukum:
Pengadilan Tinggi yang dalam putusannya memperbaiki putusan Hakim Pertama berupa: memperberat hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa, maka Hakim Banding wajib memberikan pertimbangan atau alasan yuridis yang cukup untuk mendukung diperberatnya hukuman kepada terdakwa tersebut.
Bilamana hal ini tidak dipenuhi, berakibat hukum: dibatalkannya putusan Hakim Banding oleh Mahkamah Agung ditingkat Kasasi.

Pengadilan Negeri di Balik Papan: No. 393/Pid/1989/PN. Bpp, tanggal 12 Maret 1990 
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Banjarmasin: No. 04/Pid. S/11/1990/ PT. KT. Smd, tanggal 14 Mei 1990.
Mahkamah Agung RI: No.    /1976 K/Pid/1990, tanggal 16 Mei 1994. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No. 149 Februari 1998; hal. 19).

GAGALNYA DAKWAAN JAKSA
Abstrak Hukum:
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, didalamnya tidak mengandung uraian perbuatan para terdakwa secara cermat, jelas dan lengkap sehingga tidak dapat diketahui peranan masing-masing terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa tersebut. Surat Dakwaan yang demikian itu (primair) merupakan surat Dakwaan yang kabur dan melanggar pasal 143 KUHAP sehingga berakibat batal demi hukum.
Perbuatan para Terdakwa telah terbukti merusak pagar yang dibangun oleh saksi korban atas sebidang tanah yang diakui oleh saksi korban sebagai hak miliknya. Sebaliknya para Terdakwa menyatakan juga bahwa tanah tersebut adalah hak miliknya. Karena belum ada putusan perdata yang berkekuatan tetap atas tanah tersebut, siapa pula yang berhak membangun pagar, maka perbuatan pidana yang didakwakan dalam Dakwaan Subsidiair, ex pasal 406 KUHP adalah bukan merupakan perbuatan pidana.
Para terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum. 

Pengadilan Negeri di Jakarta Selatan: No. 81/Pid/B/1985/PN. J.S, tanggal 30 Juli 1986. 
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 80/Pid/1987/PT. DKI tanggal 26 Mei 1987. 
Mahkamah Agung RI: No. 596 K/Pid/1991 tanggal 18 Juli 1994. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No. 149 Februari 1998; hal. 29).

PUTUSAN HAKIM BATAL DEMI HUKUM TERDAKWA ANAK
Abstrak Hukum:
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili terdakwa yang masih tergolong anak-anak (berumur 16 tahun), maka Hakim wajib melaksanakan persidangan secara tertutup sebagaimana diatur pasal 153 (3) KUHP. Bilamana ketentuan ini dilanggar, dalam arti Hakim melaksanakan persidangkan secara terbuka untuk umum, maka putusan Hakim tersebut adalah batal demi hukum dan Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Negeri untuk memeriksa terdakwa didalam persidangan tertutup. 

Pengadilan Negeri Grogot: No. 65/Pid-B/1989/PN. Tg, tanggal 11 Oktober 1989. 
Mahkamah Agung RI: No. 84 K/Pid/1991, tanggal 26 April 1994. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.150 Maret 1998; hal. 43).

GAGALNYA SURAT DAKWAAN
Abstrak Hukum:
Surat Dakwaan Jaksa yang mencantumkan pasal 55 secara umum, tanpa menjelaskan dan merinci ayat dan angka berapa dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa, merupakan Surat Dakwaan yang kabur, pasal 143 (2) “b” KUHAP.
Bilamana Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dinyatakan Kabur, karena Surat Dakwaan tersebut tidak memenuhi ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf  “b” KUHAP, maka putusan Hakim, bukan berupa: membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, melainkan, dakwaan Jaksa Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima. 

Pengadilan Negeri Pekan Baru: No. 292/Pid/B/1994/PN. Pbr, tanggal 18 Desember 1995. 
Mahkamah Agung RI: No. 758 K/Pid/1996, tanggal 25 Februari 1998. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun No.142/1999; hal. 55). 

PENGHENTIAN PENUNTUTAN OLEH KEJAKSAAN
Abstrak Hukum:
Putusan banding yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi atas putusan praperadilan dari Pengadilan Negeri mengenai penghentian penuntutan terhadap tersangka yang diduga melakukan perbuatan pidana adalah merupakan putusan yang bersifat putusan akhir yang tidak dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut, ex pasal 80 jo pasal 83 (2) KUHAP dengan ketentuan ini, maka permohonan kasasi perkara aquo tidak dapat diterima oleh Mahkamah agung RI.
Meskipun demikian upaya hukum luar biasa yaitu: “Peninjauan kembali” masih dimungkinkan diajukan, bilamana putusan Pengadilan Tinggi dalam kasus ini telah melanggar batas tenggang waktu yang ditentukan ex pasal 233 (2) K.U.H.A.P periksa putusan MA-RI No. 32. PK/Pid/1989. 

Pengadilan Negeri Surabaya: N07/Pid.Prap/1998/PN. Sby, tanggal 5 Desember 1998 
Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya: No. 340/Pid/1998/PT.Sby,  tanggal 7 Januari 1999. 
Mahkamah Agung RI: No. 264 K/Pid/1999, tanggal 23 Juni 1999. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XV No. 178 Juli 2000; hal. 85). 

MENGADILI PERKARA PIDANA BERTENTANGAN DENGAN K.U.H.A.P
Abstrak Hukum:
Judex facti dinilai oleh Mahkamah Agung telah melanggar Hukum Acara Pidana, karena melakukan pemeriksaan menurut Acara Pemeriksaan TIPIRING – Tindak Pidana Ringan ex pasal 205 (1) KUHAP, terhadap terdakwa yang didakwakan melakukan Tindak Pidana pasal 3093 bis KUHPidana yang diancam dengan hukuman penjara 4 tahun (UU NO.7 tahun 1974, pasal 2 ayat 2).
Hakim Judex facti seharusnya memeriksa dan mengadili perkara a’quo menurut acara Pemeriksaan Biasa atau singkat dan bukan dengan Acara TIPIRING. 

Pengadilan Negeri Sragen: No. 35/Pid/R/1996/PN. Srg, tanggal 25 April 199 
Mahkamah Agung RI: No. 879 K/Pid/1996, tanggal 31 Januari 2000 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVI No. 182 Nopember 2000; hal. 49).

TANGKAP & TAHAN WNI DI AUSTRALIA
PRA PERADILAN DITOLAK MA – RI
Kasus Ekstradisi & Hukum Internasional
Abstrak Hukum:
Permohonan pemeriksaan kasasi terhadap putusan pra peradilan, secara formil dapat diterima oleh Mahkamah Agung dengan alasan Juridis sebagai berikut:
- KUHAP – tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit melarang permohonan kasasi terhadap “putusan pra peradilan”.
- KUHAP – ex pasal 83 (1) jo 88 jo 244.
- Undang – Undang No. 14/tahun 1985, ex pasal 32.
- Undang – Undang No. 8/tahun 1994 “Pengesahan Perjanjian Ekstradisi RI dengan Australia”, berkaitan dengan berlakunya Hukum Internasional.
- Kecepatan penyelesaian perkara, tidak boleh mengabaikan upaya penegakan hukum dan keadilan, baik untuk kepentingan tersangka, pihak ketiga yang berkepentingan maupun masyarakat dan negara.
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara tersebut di atas, No. 1156K/Pid/2000, tanggal 11 Oktober 2000 dapat diangkat “Abstrak hukum” nya adalah sebagai berikut:
Permohonan kasasi terhadap “Putusan pra peradilan” dapat diizinkan dan diterima oleh Mahkamah Agung.
Putusan MA-RI tersebut diatas berbeda dengan putusan Mahkamah Agung yang sudah menjadi Jurisprudensi tetap, selama ini yaitu diawali dengan adanya
- Putusan MA-RI No. 227. K/KR/1982, tanggal 29 Maret 1983.
- Putusan MA-RI No. 680.K/Pid/1983, tanggal 10 Mei 1984.
“Pra Peradilan” mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan terhadap tersangka hanya berlaku bagi tindakan hukum penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Indonesia, bukan penangkapan dan penahanan atas perintah dan olah Polisi Federal Australia dimana tersangka saat itu berada di Australia dan proses ekstradisi sedang berlangsung.  
Dengan alasan yuridis ini, maka permohonan pra peradilan a quo, dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Agung RI. 

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan: No. 07/Pid/Prap/2000/PN. Jak. Sel, tanggal 23 Juni 2000 
Mahkamah Agung RI: No.1156 K/Pid/2000, tanggal 11 Oktober 2000. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVI No. 186 Februari 2001; hal. 37).

HAKIM SALAH MENERAPKAN HUKUM ACARA PIDANA
Kasus Penyerobotan Tanah
Abstrak Hukum:
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri, terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan surat dakwaan komulatif, terdiri dari:
- Dakwaan Kesatu: melakukan Kejahatan.
- Dakwaan Kedua: melakukan Pelanggaran.
Majelis Hakim melakukan pemeriksaan perkara ini dengan “acara pemeriksaan biasa” yang diatur dalam pasal 152 s/d 202 KUHAP.
Hasil pemeriksaan persidangan Pengadilan Negeri, terdakwa dinyatakan “bebas” dari “dakwaan kesatu”. Namun terdakwa dinilai terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pelanggaran” dalam dakwaan kedua.
Tindakan Hakim melakukan pemeriksaan dan memberi putusan atas Dakwaan kedua, berupa tindak pidana pelanggaran dengan proses “Acara Pemeriksaan Biasa” tersebut, adalah melanggar tertib Hukum Acara Pidana-KUHAP, karena Dakwaan kedua yang berisi tindak pidana pelanggaran tersebut seharusnya diperiksa dan diputus dengan proses “Acara Singkat” atau “Cepat” dengan hukuman kurungan, yang diatur dalam pasal 203 s/d 204 KUHAP atau pasal 205 s/d 210 KUHAP.
Tindakan Hukum dari Majelis Hakim yang telah melanggar tertib Acara (due process of law) tersebut, maka konsekwensi Juridisnya, sejak awal-ex tunt-penuntutan, pemeriksaan dan putusan Hakim atas Dakwaan Kedua tersebut, adalah batal demi hukum.
Perkara ini harus dikembalikan kepada kejaksaan untuk diajukan kembali ke Persidangan Pengadilan Negeri dalam proses “acara pemeriksaan singkat atau cepat”.

Pengadilan Negeri Sekayu: No. 264/Pid.B/2000/PN.Sky, tanggal 11 Oktober 2000.
Pengadilan Tinggi Palembang: No. 139/Pid/2000/PT.PLG, tanggal 11 Desember 2000. 
Mahkamah Agung RI: No. 334 K/Pid/2001, tanggal 26 Juni 2002. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVIII No. 212 Mei 2003; hal. 110).













Tidak ada komentar: