TINDAK PIDANA SUBVERSI.
Abstrak Hukum:
• “Tindak Pidana Subversi sesuai dengan Undang-Undang No. 11/PNPS/1963, menentukan sebagai elemen/unsur adanya latar belakang politik, tetapi hal tersebut oleh Pembuat Undang-Undang tidak dirumuskan sebagai bagian yang essensil dari tindak pidana subversi, karena tentang latar belakang politik tersebut diuraikan dalam memori penjelasannya.
• Istilah “politik” sesuai dengan memori penjelasan Undang-Undang No.11/PNPS/1963, harus dipandang dalam arti yang luas yaitu: bukan semata-mata sebagai practical politics (partai politik), melainkan sebagai kebijaksanaan Negara baik dibidang ekonomi (politik ekonomi), bidang sosial (politik sosial) maupun dalam bidang kebudayaan (politik kebudayaan).
Apakah suatu tindak pidana yang didakwakan sebagai tindak pidana subversi dapat merusak atau merong-rong Kekuasaan Negara atau kewibawaan Pemerintah yang sah atau Aparatur Negara atau mengganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industri, distribusi, perdagangan, Koperasi … dan seterusnya, Mahkamah Agung memperhatikan perumusan sebagai berikut: “Suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi maupun berfungsinya negara atau hak-hak penduduk yang timbul dari berfungsinya Negara”.
• Mahkamah Agung RI: No. 346 K/KR/1980, tanggal 25 Januari 1984. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No. 5 Februari 1986; hal. 30).
PERTIMBANGAN HUKUM YANG BERTENTANGAN DENGAN AMAR PUTUSAN
Abstrak Hukum:
• Terdakwa Timsar Zubil al. Sudirman (27) oleh Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya telah menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan subversi dan menghukum terdakwa dengan hukuman mati.
• Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut, tidak diajukan permohonan banding atau kasasi, melainkan telah diajukan permohonan peninjauan kembali, baik yang diajukan oleh isteri Terpidana maupun oleh Terpidana sendiri.
• Permohonan peninjauan Kembali tersebut didasarkan atas alasan bahwa dalam pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri dinyatakan ada hal-hal yang meringankan, akan tetapi dalam amar putusannya telah dijatuhkan hukuman maksimal yaitu pidana mati. Hal ini merupakan kekhilafan dari Hakim.
• Mahkamah Agung RI dalam putusannya atas permohonan Peninjauan Kembali tersebut:
• Menyatakan tidak dapat menerima permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri Terpidana dengan pertimbangan, karena ia sebagai istri masih belum menjadi ahli waris berhubung terpidana masih hidup. Sehingga ia sebagai istri belum berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Negeri terhadap suaminya (terpidana).
• Menyatakan menerima permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Terpidana dengan dasar pertimbangan yang pada pokoknya menunjuk pasal 263 (2) huruf c jo pasal 266 (2) huruf b (4) KUHAP
• Mahkamah Agung RI menilai, karena terdapat pertentangan antara pertimbangan hukum judex Facti dengan Amar putusannya, maka alasan permohonan Peninjauan Kembali (Terpidana) dapat dibenarkan dan Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan.
• Mahkamah Agung RI mengadili sendiri atas kasus tersebut dengan menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana Subversi dan mengubah hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup.
• Pengadilan Negeri Medan: No. 1457/KTS/1977, tanggal 7 Maret 1978
• Mahkamah Agung RI: No. 1 PK/Pid/186, tanggal 19 September 1986. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 14, November 1986; hal. 65).
MASALAH YURIDIS PENYELUNDUPAN DAN SUBVERSI
Abstrak Hukum:
• Dari kasus ini dapat diangkat abstrak hukum sebagai berikut:
• Bahwa Latar Belakang dan tujuan politik adalah merupakan unsur esensiil yang terdapat dalam Tindak Pidana Subversi. UU No.11/PNPS/1963. Unsur yang esensiil ini harus dibuktikan dalam persidangan yang memeriksa perkara terdakwa yang dituduh melakukan delict tersebut. Hal ini sudah merupakan “Jurisprudensi Tetap” dari Mahkamah Agung RI – (MARI No.89.K/Kr/1968 tgl. 22 Februari 1969 dan putusan MARI tahun berikutnya).
• Bilamana dalam dakwaan Tindak Pidana Subversi ini, “unsur latar belakang politik” tersebut, tidak dapat dibuktikan, maka putusan Hakim adalah Membebaskan terdakwa, bukan putusan yang amarnya berbunyi melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
• Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 18/Pid.Subs/1976, tgl. 5 Februari 1977.
• Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 16/1978/Pid, tgl 1 Mei 1980.
• Mahkamah Agung RI: No.577.K/Kr/1980 tgl. 7 Februari 1983. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 47. Agustus 1989; hal. 7).
MASALAH JURIDIS PENYELUNDUPAN DAN SUBVERSI
Abstrak Hukum:
• Dari putusan Mahkamah Agung diatas kita dapat mencatat beberapa hal yang penting:
• Bahwa tindak pidana subversi, UU No. 11/1963/PNPS menentukan adanya unsur “latar belakang politik”. Tetapi menurut Undang-Undang ini, unsur tersebut tidak dirumuskan sebagai bagian esensiil dari tindak pidana subversi, sebabnya ia hanya diuraikan dalam memori penjelasan Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu bila unsur ini tidak terbukti, maka amar putusan seharusnya: “Lepas dari segala tuntutan hukum”.
• Latar belakang politik, dalam UU No. 11/1963/PNPS, sesuai dengan Memori Penjelasan, maka pengertian “politik” disini, haruslah diartikan secara luas yaitu: bukan hanya semata-mata sebagai “practical politics” atau partai politik, melainkan harus dipandang juga sebagai suatu kebijaksanaan Negara atau Pemerintah dibidang perekonomian (politik ekonomi) maupun dalam bidang sosial (politik sosial).
• Bahwa perbuatan terdakwa dalam kasus ini, selain merupakan Tindak Pidana Ekonomi juga termasuk dalam Tindak Pidana Subversi, karena kejahatan tersebut dilakukan oleh terdakwa secara teroganisir rapi, melibatkan unsur orang dalam Bea Cukai, sehingga sebagai aparatur negara tidak berdaya lagi melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan undang – undang. Akibat yang ditimbulkannya selain kerugian uang negara bermiliyard rupiah, juga mengacaukan kebijaksanaan Pemerintah dibidang perekonomian Negara.
• Bahwa permohonan kasasi terhadap “putusan bebas” yang diberikan oleh Pengadilan Tinggi, dapat diterima oleh Mahkamah Agung, karena “bebas” ini merupakan putusan “bebas tidak murni”.
• Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 12/Subv/1977 tgl. 8 November 1977.
• Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 2/79/PT/subv. tgl. 25 Okt. 1979
• Mahkamah Agung RI: No. 346.K/Kr/1980, tgl. 26 Jauari 1984. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 49. Oktober 1989; hal. 83).
KRITIK YANG SUBVERSI
Abstrak Hukum:
• Klompok study sosial bersifat ilmiah yang kegiatannya menyelenggarakan diskusi-diskusi dengan berbagai macam tema diskusi. Topik diskusi ini membahas kenyataan sosial yang ada dewasa ini, dengan melancarkan kritik-kritik sosial, yang cukup tajam atau vokal terhadap pemerintah. Bilamana kritik sosial yang vokal tersebut, dipublisir untuk masyarakat, maka akan dapat menimbulkan akibat terganggunya stabilitas nasional berupa: tumbuhnya rasa permusuhan, pertentangan, perpecahan, kekacauan di kalangan masyarakat luas. Kemungkinan akan timbulnya akibat ini, disadari penyaji makalah dalam diskusi tersebut. Kritik sosial yang tidak dapat dibenarkan dalam tatanan masyarakat Indonesia adalah:
- Kritik yang tidak rasional.
- Kritik sosial yang disampaikan secara tidak sopan.
- Kritik yang bersifat konfrontatif.
- Kritik yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.
- Kritik yang merusak kesatuan dan persatuan rakyat.
- Kritik yang bertentangan dengan pancasila.
- Kritik yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan penyaji makalah diskusi, ternyata terpengaruh oleh buku novel karya Pramudya Ananta Toer, yang dilarang oleh Pemerintah, karena berisi ajaran Komunisme. Maka segala kegiatan diskusi kelompok study sosial yang melahirkan kritik sosial, yang memenuhi criteria tersebut diatas, adalah merupakan: Tindak Pidana Subversi, ex pasal 1 ayat 1 sub c jo pasal 13 UU 11/PNPS/1963.
• Apakah masih diperlukan tambahan alat bukti ataukah tidak, disamping bukti yang sudah diajukan di persidangan; hal itu adalah wewenang dari Hakim Ketua Sidang.
• Bahwa menurut Fatwa Mahkamah Agung RI tanggal 22 September 1990, tentang: “Kewajiban Hakim” untuk mendengar para saksi baik a’charge maupun saksi a’decharge, yang diajukan oleh Jaksa atau Terdakwa, sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 160 ayat (1) huruf “c” KUHAP, maka menurut pendirian Mahkamah Agung: perkataan “wajib” dalam pasal tersebut diatas, harus diartikan: sepanjang terhadap para saksi yang telah disetujui oleh Hakim Ketua untuk didengar keterangannya dalam persidangan pengadilan.
• Pengadilan Tinggi berwenang untuk terus memeriksa secara tuntas perkara yang dimohon banding dengan tidak tergantung pada: ada atau tidak adanya memori banding yang diajukan oleh pemohon banding.
• Pengadilan Negeri di Jogjakarta: No. 02/Pid/Sus/1989/PNYK, tanggal 7 September 1989.
• Pengadilan Tinggi Propindi Daerah Istimewa Yogyakarta: No. 71/Pid/1989/PTY, tanggal 18 Oktober 1989.
• Mahkamah Agung RI: No.85 K/Pid/1990, tanggal 26 Februari 1990 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 63; Desember 1990; hal. 26).
LOTERIJ BUNTUT SUBVERSI
Abstrak Hukum:
• Seseorang yang mengusahakan dan sekaligus bertindak sebagai Bandar “Loterij Buntut”, diselenggarakan tanpa izin dari Pemerintah cq Departemen Sosial RI, yang cara kerjanya diorganisir secara tertutup dan pelaksanaannya dilakukan dengan membonceng. Undian Resmi yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI: SDSB. Loterij buntut tersebut, dapat merongrong kebijaksanaan Pemerintah dalam mengumpulkan dana dari masyarakat untuk pembinaan prestasi Olahraga Nasional. Maka perbuatan mengusahakan “Loterij buntut” (dan bertindak sebagai Bandar) adalah termasuk tindak pidana Subversi.
• Kwalifikasi delict dalam pasal 1 ayat 1 sub 1.b jo 13 UU 11/PNPS/1963 adalah SUBVERSI.
• Rumusan pengurangan hukuman dengan masa tahanan oleh MA RI dirumuskan sebagai berikut:
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
• Pengadilan Tinggi berwenang mengambil alih pertimbangan putusan Hakim pertama, bila dinilainya sudah benar dan tepat.
• Pengadilan Negeri Yogyakarta: No. 03/Pid/sus/1989. PNyk, tgl 25 Oktober 1989.
• Pengadilan Tinggi Yogyakarta: No. 81/Pid/1989/PTY, tgl 6 Desember 1989.
• Mahkamah Agung RI: No. 408. K/Pid/1990, tgl 19 Juni 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 64 Januari 1991; hal. 5)
TINDAK PIDANA SUBVERSI HUKUMAN NIHIL
Abstrak Hukum:
• Pada tahun 1984 seseorang telah dijatuhi hukuman penjara selama 19 tahun karena dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dalam putusannya tanggal 15 Mei 1984 No. 055/Pid/B/1984 jo Mahkamah Agung RI No.1291.K/Pid/1985.
• Pada tahun 1986, orang yang sama pula oleh Hakim Pengadilan Negeri lainnya, yakni Jakarta Pusat, dalam putusannya tanggal 4 September 1986 dijatuhi hukuman penjara selam 20 tahun, karena dipersalahkan melakukan tindak pidana yang sama yakni Subversi, yang dilakukan sebelum ia dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (1984).
• Putusan Hakim yang belakangan ini (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) merupakan putusan judex facti yang salah menerapkan hukum, ex pasal 71 (1) jo pasal 12 (4) KUHPidana.
• Berdasar pada pasal 71 (1) KUHPidana ditentukan bahwa jika seseorang sesudah dijatuhi hukuman, lalu dipersalahkan pula berbuat kejahatan yang dilakukan sebelum ia dihukum itu, maka hukuman yang terdahulu itu, adalah turut diperhitungkan seperti kalau perkara-perkara itu diadili secara serentak. Dikaitkan dengan pasal 12 (4) KUHPidana, ditentukan bahwa “penjara sementara” itu tidak boleh melebihi 20 tahun.
• Berpegang pada ketentuan ex pasal 71 (1) jo pasal 12 (4) KUHPidana, maka “hukum penjara” terhadap “terdakwa yang sama” dalam perkara yang belakangan (1986) adalah Nihil, karena hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim dalam perkara terdahulu (1984) adalah sudah mendekati maksimum hukuman “Penjara Sementara” yang diperbolahkan oleh Undang-Undang (ex Pasal 12 (4) KUHPidana).
• Dalam menghadapi kasus semacam ini, maka Mahkamah Agung RI menggariskan, bahwa judex facti tidak perlu lagi memberikan hukuman penjara dan cukup hanya menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah atas delict yang didakwakan, bila hukuman terdahulu sudah maksimum atau mendekati maksimum yang diizinkan Undang-Undang.
• Pengadilan Negeri Jakarta Barat: No.055/Pid/B/1984PNJB, tanggal 15 Mei 1984.
• Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No.051/Pid/B/1986/PN.JP – tanggal 4 September 1986.
• Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No.02/Pid/Subv/1988/PT.DKI, tanggal 29 Februari 1988.
• Mahkamah Agung RI: No.1177.K/Pid/1986, tanggal 18 Maret 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No.93. Juni 1993; hal. 5).
PENGIBARAN BENDERA PAPUA MERDEKA MERUPAKAN TINDAK PIDANA MAKAR
MA-RI ROBAH BERATNYA PEMIDANAAN
Abstrak Hukum:
• Setiap putusan Judex facti dalam mengadili perkara pidana wajib menyebutkan dan mencantumkan dalam putusannya pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum untuk pemidanaannya terhadap terdakwa. Tidak cukup hanya menyebutkan “undang-undang yang bersangkutan”. Bila terjadi demikian, maka putusan Judex facti tersebut adalah batal demi hukum. Selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dalam pemeriksaan ditingkat kasasi.
• Beberapa orang bersama-sama dan bersekutu satu sama lain, membuat “Bendera Papua Merdeka”, kemudian dikibarkan diatas Tower Air Kota Biak – Irian Jaya selama beberapa hari diikuti pula dengan pembuatan dan penggelaran diberbagai tempat beberapa poster/spanduk agar diketahui oleh khalayak ramai, yang isinya antara lain sebagai berikut:
- Dengan Tiga Nama – Bapak Anak dan Roh Kudus – Papua Barat Merdeka.
- Rakyat Papua Barat ingin merdeka.
- “Freedom”, - “Kini saatnya Papua Barat Merdeka”.
- We are Nation of West Papua standing with Agreement of New York 15-8-1962. Kami Bangsa Papua.
Pengibaran Bendera Papua merdeka dan penggelaran beberapa spanduk diatas disertai adanya “Sumpah Perjuangan Papua Barat dalam mencapai Kemerdekaan”, maka semua perbuatan para terdakwa tersebut, berniat untuk memisahkan Propinsi Irian Jaya dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi “Papua Barat Merdeka”, sehingga perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana ex pasal 106 jo Pasal 55 (1) ke 1 jo pasal 64 (1) KUH Pidana yaitu: “Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Makar, secara berlanjut”.
• Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana seperti dalam kasus ini berwenang untuk menilai dan/atau meninjau kembali pemidanaan (berat ringannya pidana) yang dijatuhkan oleh Judex facti terhadap terdakwa, yang dalam kasus ini, dengan menggunakan alasan “dalam Era Reformasi”, mendorong Mahkamah Agung merubah pemidanaan yang dinilainya amat berat menjadi pidana yang lebih ringan.
• Putusan Mahkamah Agung yang telah menilai berat ringannya pemidanaan terhadap terdakwa yang dijatuhkan oleh Judex facti dalam kasus diatas, adalah merupakan perubahan atas “Yurisprudensi tetap” yang selama ini diikuti tentang masalah pemidanaan yaitu (berat ringannya pidana) adalah wewenang Judex facti dan tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi Mahkamah Agung. Vide putusan Mahkamah Agung No. 857. K/Pid/1982 – No.797. K/Pid/1983 – No. 57.K/Pid/1983 – No. 1432.K/Pid/1999.
• Perubahan Yurisprudensi tentang pemidanaan seperti kasus ini, memang telah terjadi dan diawali dengan adanya putusan MA-RI No.143.K/Pid/1993, yaitu MA-RI memperberat pidana, karena pidana yang dijatuhkan oleh Judex facti dinilai tidak proporsional bertentangan dengan prinsip edukasi, koreksi, prefentif dan represif pemidanaan vide: v.p. No. 156/tahun 1998.
• Pengadilan Negeri Biak: No. 54/Pid.B/1998/PN.Biak, tanggal 4 Februari 1999
• Pengadilan Tinggi Irian Jaya di Jayapura: No. 12/Pid.B/1999/PT. IRJA, tanggal 17 Mei 1999.
• Mahkamah Agung RI: No. 908 K/Pid/1999, tanggal 19 November 1999. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVI No.189 Juni 2001; hal. 4).
“FRONT KEDAULATAN MALUKU”
“REPUBLIK MALUKU SELATAN” DELIK MAKAR
Abstrak Hukum:
• Terdakwa telah mendirikan Organisasi Sosial bernama “FKM” = Front Kedaulatan Maluku” yang berkedudukan di Ambon, Maluku dengan susunan Pengurus Pusat yang terdiri dari Pimpinan Eksekutif (Terdakwa) – Pimpinan Legislatif dan Judikatif serta Sekretariat Jendral. Selanjutnya dibentuk beberapa “Cabang FKM” diberbagai kota di dalam Negeri dan di Luar Negeri.
• “Organisasi FKM” tersebut dibentuk sebagai wadah, dalam rangka usaha untuk memperjuangkan pengembalian Kedaulatan Republik Maluku Selatan (RMS) sebagai suatu Negara yang sah dan berdaulat, lepas/terpisah dari Wilayah Negara Kesatuan RI (Separatisme).
• Kegiatan yang dilakukan oelh Terdakwa selaku pimpinan eksekutif “FKM” dan kawan-kawannya dalam usaha mewujudkan tujuan “FKM” antara lain:
1. Membuat surat-surat tentang tujuan “FKM” kembalinya RMS sebagai Negara yang sah terpisah dari NKRI; surat tersebut ditujukan kepada Pejabat-Pejabat di Dalam Negeri maupun Badan-Badan Internasional.
2. Mengadakan pertemuan-pertemuan untuk memberikan Pengarahan kepada para anggota/simpatisan FKM
3. Mempersiapkan HUT proklamasi “RMS” yang ke 52 dengan membagi-bagikan “Surat Terbuka” dan menyerahkan “Bendera RMS”.
4. Mengibarkan “Bendera RMS” diberbagai desa dan kecamatan Maluku Tengah sewaktu HUT RMS ke 52 tersebut.
• Semua perbuatan terdakwa dan kawan-kawannya tersebut diatas, telah memenuhi semua unsur delik “Tindak Pidana Makar”, secara bersama-sama dan berlanjut. Ex pasal 106 jo pasa 55 ayat (1) jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
• Pengadilan Negeri Jakarta Utara: No. 906/PID.B/2002/PN.Jkt.Ut, tanggal 28 Januari 2003.
• Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No.44/PID/2003/PT. DKI, tanggal 10 April 2003.
• Mahkamah Agung RI: No.1180.K/Pid/2003, tanggal 29 Oktober 2003.
(Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIX No. 224 Mei 2004; hal. 4).
“PROBLEM YURIDIS DELIK MAKAR” KASUS JAMA’AH AL. ISLAMIYAH ABU BAKAR BA’ASYIR.
Abstrak Hukum:
• Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir didalam persidangan Pengadilan Negeri dengan Dakwaan sebagai berikut:
Dakwaan Kesatu:
Primair: Pasal 107 (2) KUHPidana “Makar” dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah yaitu untuk mewujudkan niat mendirikan “Negara Islam Indonesia” yang menggantikan Pemerintah N.K.R.I yang sah berdasar UU Dasar 1945.
Subsidiair Pasal 107 (1) jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana “Turut serta melakukan Tindak Pidana Makar” yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pemerintah untuk mewujudkan niat mendirikan Negara Islam Indonesia” yang menggantikan Pemerintah N.K.R.I. yang sah berdasar UU Dasar 1945.
Dakwaan Kedua: pasal 266 (1) KUHPidana.
“Memasukkan keterangan palsu tentang kewarganegaraan Terdakwa sebagai WNI ke dalam Akta Otentik yaitu: KTP atas nama Terdakwa ………dst…….dst.
Dakwaan Ketiga: Pasal 263 (1) KUHPid
“Membuat Surat Palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak…… dst………..dst………….dst.
Dakwaan Keempat:
Primair: Pasal 53 UU No.9/tahun 1992 (Kimigrasian).
Subsidiair: Pasal 84 UU No.9/tahun 1992 (Keimigrasian).
• Requisitoir Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana:
a. Dakwaan Kesatu Primair: Pemimpin dan Pengatur Makar – pasal 107 (2) KUHPidana.
b. Dakwaan Kedua – Menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam Akta Otentik Pasal 266 (1) KUHPidana;
c. Dakwaan Ketiga: Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) KUHPidana.
d. Dakwaan Keempat: Selaku Orang Asing berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah, pasal 53 UU No.9/tahun 1992 keimigrasian.
• Menuntut Terdakwa dengan Pidana Penjara 15 tahun.
• Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat:
Terdakwa dinyatakan terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah:
a. Dakwaan Kesatu Subsidiair: Turut Serta Makar pasal 107 (1) jo 55 (1) ke 1 KUHPidana.
b. Dakwaan Ketiga: membuat Surat Palsu pasal 263 (1) KUHPidana.
c. Dakwaan keempat Subsidiair: Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan Pejabat Imigrasi……….dst……….dst. pasal 48 UU No.9/tahun 1992.
d. Dakwaan yang lain dinyatakan tidak terbukti.
• Terdakwa dipidana: 4 (empat) tahun penjara.
• Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta:
Terdakwa dinyatakan terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah:
a. Dakwaan Ketiga: membuat Surat Palsu, pasal 263 (1) KUHPidana.
b. Dakwaan Keempat: Subsidiair:
Masuk ke Wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi ….dst. Pasal 48 UU No.9/tahun 1992 (Keimigrasian).
c. Dakwaan yang lain:
1. Dakwaan Kesatu Primair: Pimpinan dan Pengatur Makar pasal 107 (2) KUHPid.
2. Dakwaa Kesatu Subsidiair (Turut Serta Makar) pasal 107 (1) jo 55 (1) ke 1 KUHPid.
3. Dakwaan Keempat Primair (sebagai Orang Asing berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah.
Dinyatakan tidak terbukti.
• Terdakwa dipidana 3 (tiga) tahun penjara.
• Mahkamah Agung dalam putusan Kasasinya yang pertimbangan hukumnya sependapat denganpertimbangan Hukum Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebutmenyatakan terdakwa tidak terbukti: melakukan tindak Pidana Makar atau Turut Serta Melakukan Makar, ex pasal 107 (2) KUHP subs. Pasal 107 (1) jo 55 (1) ke 1 KUHpid. (Dakwaan Kesatu Primasir dan Subsidiair).
• Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana:
a. Membuat Surat Palsu (Dakwaan Ketiga).
b. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia tanpa melalui Pemeriksaan Pejabat Imigrasi …………….dst……………… (Dakwaan Keempat Subsidiair).
• Abstrak hukum yang dapat diangkat dari putusan Mahkamah Agung yang membenarkan pertimbangan hukum putusan Pengadilan Tinggi DKI tersebut adalah sebagai berikut:
Menyetujui/memberi restu atas rencana peledakan bom di Gereja di beberapa tempat di Indonesia, peledakan bom di Paddy’s Club dan Sari Café di Bali serta Mall di Atrium Plaza dan penyerangan atas kepentingan Amerika Serikat di Singapore.
Menyetujui/merestui keberangkatan saksi Suyadi Mas’ud – Utomo Pamungkas dll ke Afghanistan dan Mindanao Philipina (jihad).
Dakwah-Dakwah oleh Terdakwa.
Bukan merupakan perbuatan pelaksanaan niat untuk menggulingkan pemerintah yang sah sebagai MAKAR, sebagaimana yang disebutkan dalam: Dakwaan Kesatu Primair: Pemimpin dan Pengatur Makar, ex pasal 107 (2) KUHPid dan Dakwaan Kesatu Subsidiair: Turut Serta Makar, ex pasal 107 (1) jo pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana, karena sasaran/target peledakan bom-bom termaksud bukan ditujukan kepada symbol-symbol Negara RI atau Pemerintah atau Pimpinan Pemerintah yang sah. Peledakan bom-bom tersebut adalah terorisme bukan makar.
• Dari segi lain, judex facti salah dalam menerapkan hukum tentang penjatuhan pidana/hukuman kepada Terdakwa. Judex facti tidak memberi pertimbangan yang cukup tentang hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan seperti yang ditentukan dalam pasal 97 (1) huruf “f” KUHAP. Karena salah menerapkan hukum tersebut, maka konsekwensi yuridisnya putusan judex facti – Pengadilan Tinggi – a’quo dibatalkan oleh Mahkamah Agung kemudian mengadili sendiri perkara ini.
• Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No.547/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst, tanggal 01 September 2003
• Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No.168/Pid/2003/PT.DKI, tanggal 21 Oktober 2003.
• Mahkamah Agung RI: No. 29.K/Pid/2004, tanggal 3 Maret 2004 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIX, No.225. Juni 2004; hal. 4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar