Translate

Jumat, 29 November 2013

FIDUSIA APAKAH ADA KORUPSINYA ???


 Fidusia Sebagai Perjanjian Tambahan (Assessoir)
Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik, atau hak tanggungan, maka perjanjian fidusia juga merupakan suatu perjanjian yang assessoir (perjanjian buntutan). Maksudnya adalah perjanjian assessoir itu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok. Dalam hal ini, yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang.
Oleh karena itu, konsekuensi dari perjanjian assessoir ini adalah bahwa jika perjanjian pokok tidak sah, atau karena sebab apapun hilang berlakunya atau dinyatakan tidak berlaku, maka secara hukum perjanjian fisudia sebagai perjanjian assessoir juga ikut menjadi batal.

Sifat Jaminan Fidusia
Pasal 4 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assessoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.
Sebagai suatu perjanjian assessoir, perjanjian jaminan fisudia memiliki sifat sebagai berikut :
a.       Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;
b.      Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;
c.       Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

Apakah Fidusia Wajib Hukumnya ?
Pemberian kredit atau utang piutang dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara pemberi utang (kreditor) dengan penerima pinjaman (debitor) di pihak lain. Untuk menjamin kembalinya uang, kreditor umumnya meminta adanya suatu jaminan dalam bentuk kebendaan yang bisa berbentuk gadai, hipotek, hak tanggungan atau jaminan fidusia.
Pengertian pokok jaminan fidusia yang diatur dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia. Pengalihan hak kepemilikan atas benda tersebut didasarkan pada kepercayaan dan hak kepemilikannya tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dengan pengaturan seperti itu, penggunaan jaminan fidusia dalam transaksi pinjam meminjam telah digunakan secara luas karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan cepat sehingga penerima fidusia dapat menjalankan usahanya walau hak miliknya dijaminkan.
Pasal 11 AYAT (1) UU No. 42 tahun 1999 menyatakan :
1.       Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan;

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa apabila suatu benda telah diikat dengan Jaminan Fidusia, maka Jaminan Fidusia itu wajib didaftarkan pada kantor Departemen Hukum dan HAM.

Akibat Hukum Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan
Bahwa, dengan adanya Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan, maka secara yuridis perjanjian yang dibuat antara debitur (Pemberi Fidusia) dengan kreditur (Penerima Fidusia) adalah hanya sebatas perjanjian keperdataan yang bersifat biasa. Artinya itu pendaftaran fidusia memberikan keuntungan bagi kreditur (Penerima Fidusia) untuk melakukan upaya hukum secara mandiri, karena dalam Sertifikat Jaminan Fidusia terdapat titel eksekutorial.
Selain itu benda yang tidak diikat dengan Jaminan Fidusia, tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen) baik di dalam maupun di luar kepailitaan dan atau likuidasi. Hal tersebut sesuai dengan Ketentuan Pasal 37 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999.
Sehingga, apabila terjadi wanprestasi dari pihak debitar (Pemberi Fidusia) maka kreditur selaku (Penerima Fidusia) secara yuridis tidak memiliki upaya hukum secara langsung untuk melakukan eksekusi terhadap objek fidusia, karena tidak memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan oleh Departemen Hukum dan HAM.

Hubungan Jaminan Fidusia dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Bahwa, Jaminan Fidusia merupakan salah satu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ketentuannya diatur dalam PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Fidusia dan biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia dan UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 20 UU No. 20 tahun 1997 menyatakan :
Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), yang karena kealpaannya:
a.    tidak menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang;atau
b.    menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak sebesar 2 (dua) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
Pasal 21 UU No. 20 tahun 1997 menyatakan :
 (1)     Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) yang terbukti dengan sengaja :
a.    tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang;
b.    tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan atau dokumen lainnya pada waktu pemeriksaan, atau memperlihatkan buku, catatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
c.     tidak menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang; atau
d.    menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
 (2)     Ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila Wajib Bayar melakukan lagi tindak pidana dibidang Penerimaan Negara Bukan Pajak sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas dapat diketahui bahwa perbuatan tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia baik berupa kesengajaan (opzet) maupun kealpaan (nalatigheid) adalah bertentangan dengan Ketentuan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Apakah Perbuatan Tidak Mendaftarkan Jaminan Fidusia Dapat Dikualifikasikan Sebagai Tindak Pidana Korupsi ?
Bahwa, untuk mengurai apakah perbuatan dengan sengaja atau alpa tidak melaksanakan pendaftaran Perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perbuatan tindak pidana kosrupsi, maka harus betul-betul terdapat kesesuaian antara perbuatan dengan unsur-unsur korupsi.
Bahwa apabila dicermati seluruh pasal-pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsur pidana yang paling mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :
a.       Setiap orang;
b.      Secara melawan hukum;
c.       Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
d.      Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;
  1. Unsur setiap orang;
Dalam pasal tersebut tidak ditentukan adanya suatu syarat, misalnya Pegawa Negeri yang harus menyertai setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud. Oleh karena itu, menurut pasal 1 angka 3 UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 yang dimaksud setiap orang adalah :
a.       Orang perseorangan, dan/atau;
b.      Korporasi;
  1. Unsur secara melawan hukum;
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 24 Juli 2006 menyatakan :
“yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap perbuatan tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian menurut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, untuk menfsirkan unsure “melawan hukum” dalam pasal 2 ayat (1), tidak boleh lagi mempergunakan ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, tetapi harus mempergunakan ajaran atau konsep melawan hukum formil.
  1. Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
Yang dimaksud dengan memperkaya adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya (lagi) dan perbuatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya : menjual/membeli, menandatangani kontrak, memindahbukukan dalam bank, dll. Perbuatan tersebut dilakukan dengan secara melawan hukum.
Putusan PN Tangerang No. 18/Pid/B/1992/PN/TNG tanggal 13 Mei 1992 :
“yang dimaksud dengan memperkaya adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang sudah menjadi kaya bertambah kaya”
Putusan PN Jakarta Selatan No. 144/Pid.B/1987 tanggal 23 April 1988 :
“hasil tindak pidana korupsi yang dipergunakan untuk membayar utang dan biaya pergi berkeliling ke Eropa adalah memenuhi unsure memperkaya diri sendiri atau orang lain”
Putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pid/1987 tanggal 21 Januari 1989 :
“hasil tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan membeli tanah dan membangun kantor KUD”
  1. Unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;
Yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang. Sehingga, yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan Negara adalah menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara.
Keuangan Negara sendiri menurut penjelasan umum UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 menyebutkan bahwa keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a.       Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah;
b.      Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Selain itu dengan tetap berpegangan pada artui kata merugikan yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi kurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur merugikan perekonomian Negara adalah sama artinya dengan perekonomian Negara menjadi rugi atau perekonomian Negara menjadi kurang berjalan.
Menurut penjelasan umum UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 menyebutkan bahwa perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Berdasarkan uraian unsur-unsur pidana korupsi di atas, maka dapat diketahui secara jelas dan gamblang bahwa perbuatan tidak melaksanakan pendaftaran dan pembayaran atas adanya Perjanjian Jaminan Fidusia pada Departenmen Hukum dan HAM adalah tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi.



Tidak ada komentar: