Fidusia Sebagai Perjanjian Tambahan (Assessoir)
Sebagaimana perjanjian jaminan
hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik, atau hak tanggungan, maka
perjanjian fidusia juga merupakan suatu perjanjian yang assessoir (perjanjian buntutan). Maksudnya adalah perjanjian assessoir itu tidak mungkin berdiri
sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan
perjanjian pokok. Dalam hal ini, yang merupakan perjanjian pokok adalah
perjanjian hutang piutang.
Oleh karena itu, konsekuensi dari
perjanjian assessoir ini adalah bahwa
jika perjanjian pokok tidak sah, atau karena sebab apapun hilang berlakunya
atau dinyatakan tidak berlaku, maka secara hukum perjanjian fisudia sebagai
perjanjian assessoir juga ikut
menjadi batal.
Sifat Jaminan Fidusia
Pasal 4 UU
No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan bahwa jaminan
fidusia merupakan perjanjian assessoir dari suatu perjanjian
pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi
yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu,
yang dapat dinilai dengan uang.
Sebagai suatu
perjanjian assessoir, perjanjian
jaminan fisudia memiliki sifat sebagai berikut :
a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian
pokok;
b. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh
sah tidaknya perjanjian pokok;
c. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya
dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah
atau tidak dipenuhi.
Apakah Fidusia Wajib
Hukumnya ?
Pemberian kredit atau utang piutang dapat diberikan oleh siapa saja yang
memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara pemberi
utang (kreditor) dengan penerima pinjaman (debitor) di pihak lain. Untuk
menjamin kembalinya uang, kreditor umumnya meminta adanya suatu jaminan dalam
bentuk kebendaan yang bisa berbentuk gadai, hipotek, hak tanggungan atau
jaminan fidusia.
Pengertian pokok jaminan fidusia yang diatur dalam UU No. 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda tetap berada dalam
penguasaan Pemberi Fidusia. Pengalihan hak kepemilikan atas benda tersebut
didasarkan pada kepercayaan dan hak kepemilikannya tetap dalam penguasaan
pemilik benda. Dengan pengaturan seperti itu, penggunaan jaminan fidusia dalam
transaksi pinjam meminjam telah digunakan secara luas karena proses
pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan cepat sehingga penerima fidusia
dapat menjalankan usahanya walau hak miliknya dijaminkan.
Pasal 11 AYAT
(1) UU No. 42 tahun 1999 menyatakan :
1. Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib
didaftarkan;
Berdasarkan ketentuan pasal
tersebut, dapat diketahui bahwa apabila suatu benda telah diikat dengan Jaminan
Fidusia, maka Jaminan Fidusia itu wajib didaftarkan pada kantor Departemen
Hukum dan HAM.
Akibat Hukum Jaminan Fidusia
Yang Tidak Didaftarkan
Bahwa, dengan adanya Jaminan Fidusia yang tidak didaftarkan, maka secara
yuridis perjanjian yang dibuat antara debitur (Pemberi Fidusia) dengan kreditur
(Penerima Fidusia) adalah hanya sebatas perjanjian keperdataan yang bersifat
biasa. Artinya itu pendaftaran fidusia memberikan keuntungan bagi kreditur (Penerima
Fidusia) untuk melakukan upaya hukum secara mandiri, karena dalam Sertifikat
Jaminan Fidusia terdapat titel eksekutorial.
Selain itu benda yang tidak diikat dengan Jaminan Fidusia, tidak mempunyai
hak yang didahulukan (preferen) baik di dalam maupun di luar kepailitaan dan
atau likuidasi. Hal tersebut
sesuai dengan Ketentuan Pasal 37 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999.
Sehingga, apabila terjadi wanprestasi dari pihak debitar (Pemberi Fidusia)
maka kreditur selaku (Penerima Fidusia) secara yuridis tidak memiliki upaya
hukum secara langsung untuk melakukan eksekusi terhadap objek fidusia, karena
tidak memiliki Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan oleh Departemen
Hukum dan HAM.
Hubungan Jaminan Fidusia dengan
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Bahwa, Jaminan Fidusia merupakan salah satu Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) yang ketentuannya diatur dalam PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pendaftaran Fidusia dan biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia dan UU No. 20
tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 20 UU No. 20 tahun 1997 menyatakan :
Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan laporan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Terutang;atau
b.
menyampaikan
laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang tetapi isinya tidak benar
atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak
melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada
pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak sebesar 2 (dua) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Terutang.
Pasal 21
UU No. 20 tahun 1997 menyatakan :
(1)
Wajib
Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) yang terbukti dengan sengaja :
a. tidak membayar, tidak menyetor dan atau
tidak melaporkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang;
b. tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan
buku, catatan atau dokumen lainnya pada waktu pemeriksaan, atau memperlihatkan
buku, catatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
c. tidak menyampaikan laporan Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Terutang; atau
d. menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang Terutang yang tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar,
sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali
jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
(2)
Ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila Wajib
Bayar melakukan lagi tindak pidana dibidang Penerimaan Negara Bukan Pajak
sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan sebagian
atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.
Berdasarkan ketentuan pasal di
atas dapat diketahui bahwa perbuatan tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia baik
berupa kesengajaan (opzet) maupun kealpaan (nalatigheid) adalah bertentangan
dengan Ketentuan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Apakah Perbuatan Tidak Mendaftarkan Jaminan Fidusia Dapat Dikualifikasikan
Sebagai Tindak Pidana Korupsi ?
Bahwa, untuk mengurai apakah
perbuatan dengan sengaja atau alpa tidak melaksanakan pendaftaran Perjanjian
Jaminan Fidusia merupakan perbuatan tindak pidana kosrupsi, maka harus
betul-betul terdapat kesesuaian antara perbuatan dengan unsur-unsur korupsi.
Bahwa apabila dicermati seluruh
pasal-pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur-unsur pidana yang paling mendasar
dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :
a.
Setiap orang;
b.
Secara melawan hukum;
c.
Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi;
d.
Merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara;
- Unsur
setiap orang;
Dalam pasal
tersebut tidak ditentukan adanya suatu syarat, misalnya Pegawa Negeri yang
harus menyertai setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang
dimaksud. Oleh karena itu, menurut
pasal 1 angka 3 UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 yang
dimaksud setiap orang adalah :
a.
Orang perseorangan, dan/atau;
b.
Korporasi;
- Unsur
secara melawan hukum;
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No.
003/PUU-IV/2006 tertanggal 24 Juli 2006 menyatakan :
“yang
dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan
tersebut dianggap perbuatan tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan social dan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana” adalah bertentangan dengan UUD
1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian menurut putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut, untuk menfsirkan unsure “melawan hukum” dalam pasal 2 ayat
(1), tidak boleh lagi mempergunakan
ajaran atau konsep melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, tetapi
harus mempergunakan ajaran atau konsep melawan hukum formil.
- Unsur memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi;
Yang dimaksud dengan memperkaya adalah perbuatan
yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya (lagi) dan perbuatan ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya : menjual/membeli, menandatangani
kontrak, memindahbukukan dalam bank, dll. Perbuatan tersebut dilakukan dengan
secara melawan hukum.
Putusan PN Tangerang No. 18/Pid/B/1992/PN/TNG
tanggal 13 Mei 1992 :
“yang
dimaksud dengan memperkaya adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya
atau orang sudah menjadi kaya bertambah kaya”
Putusan PN Jakarta Selatan No. 144/Pid.B/1987 tanggal
23 April 1988 :
“hasil
tindak pidana korupsi yang dipergunakan untuk membayar utang dan biaya pergi
berkeliling ke Eropa adalah memenuhi unsure memperkaya diri sendiri atau orang
lain”
Putusan Mahkamah Agung No. 241 K/Pid/1987 tanggal
21 Januari 1989 :
“hasil
tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan membeli tanah dan membangun kantor
KUD”
- Unsur merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara;
Yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya
dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang. Sehingga, yang dimaksud dengan
unsur merugikan keuangan Negara adalah menjadi ruginya keuangan Negara atau
berkurangnya keuangan Negara.
Keuangan Negara sendiri menurut penjelasan umum UU
No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 menyebutkan bahwa keuangan Negara
adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala
hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah;
b.
Berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang
menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Selain itu dengan tetap berpegangan pada artui
kata merugikan yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi kurang, maka
apa yang dimaksud dengan unsur merugikan perekonomian Negara adalah sama
artinya dengan perekonomian Negara menjadi rugi atau perekonomian Negara
menjadi kurang berjalan.
Menurut penjelasan umum UU No. 31 tahun 1999 jo.
UU No. 20 tahun 2001 menyebutkan bahwa perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Berdasarkan uraian unsur-unsur pidana korupsi di atas, maka dapat diketahui
secara jelas dan gamblang bahwa perbuatan
tidak melaksanakan pendaftaran dan pembayaran atas adanya Perjanjian Jaminan
Fidusia pada Departenmen Hukum dan HAM adalah tidak memenuhi unsur tindak
pidana korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar