Translate

Jumat, 01 November 2013

YURISPRUDENSI (Ttg Tanah)

Yurisprudensi Bali 1965-1974

-     Pemilikan atas tanah dianggap tidak sah apabila yang bersangkutan tidak dapat membuktikan atas haknya itu.
      (PN Denpasar tgl. 15 Februari 1966 No. 40/Pdt/1964)
-     Bahwa tanah dengan hak milik Indonesia (Bumi putra) meungkin pula dimiliki secara sah oleh seorang bukan Indonesia asli dengan tiada bertentangan dengan ketentuan-ketentuan S.. 1875 No. 179 dan S. 1923 No. 475, kecuali bila tanah itu didapatkan karena pengalihan hak oleh seorang Indonesia asli (Bumi putra) kepadanya atau perbuatan-perbuatan hukum lainnya.
      (PT Denpasar tgl. 21 Februari 1967 No. 282/PTD/1965/Pdt; MA tgl. 17 Juli 1971 No. 457 k/Sip/1971)
-     Ayahan ialah kewajiban sebagai pemilik tanah untuk menyumbangkan tenaga dan lain-lain terhadap banjar dan desa dalam rangka pelaksanaan azas kegotongroyongan di Bali.
      (PT Denpasar tgl. 19 Juli 1969 No. 63/PTD/1966/Pdt)
-     Sebidang tanah yang dikerjakan dan dihasili secara turun temurun, terus menerus dan tidak terputus, maka orang-orang yang mengerjakan dan menghasili tanah itulah yang sah sebagai pemilik dari tanah tersebut.
      (PN Tabanan tgl. 23 Desember 1972 No. 96/Pdt/Tbn/1972; PT Denpasar tgl. 21 Agustus 1973 No. 131/PTD/1973/Pdt)
-     Menurut Hukum Adat Bali, seseorang dianggap sebagai pemilik atas tanah, apabila telah menguasai dan menghasili secara berturut-turut selama 10 tahun tanpa gangguan dari siapapun.
      (PN Gianyar tgl. 30 Maret 1971 No. 8/Pdt/1971; PT. Denpasar tgl. 28 Februari 1971 No. 249/PTD/1971/Pdt)
-     Seorang dianggap pemilik sebidang tanah, apabila dia memegang dan menghasili tanah itu lebih dari 30 tahun dengan tidak mendapat gangguan dari siapa-siapa.
      (PN Singaraja tgl. 24 Maret 1961 No. 172/Pdt/Sg/1954; PT Denpasar tgl. 11 Nopember 1971 No. 167/PTD/1966/Pdt)

 Yurisprudensi Jawa Barat 1975-1976

-     Menurut Kekuatan Ordonansi No. 179 tahun 1875, tanggal 4 Agustus 1975 yang maksudnya sejiwa dengan ketentuan pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1960, pengalihan milik adapt atas tanah melalui suatu transaksi dari bangsa Indonesia Bumi putra kepada bukan orang Indonesia adalah batal menurut hukum dan hak milik yang semula melekat pada tanah-tanah yang bersangkutan dengan sukarela telah dilebur oleh masing-masing pemilik semula, dan tanah-tanah yang berkenaan menjadi tanah-tanah Negara yang bebas.
      (PN Sukabumi tgl. 10 Agustus 1967 No. 18/1966/Perd; PT Bandung tgl. 27 Juli 1972 No. 5/1972/Perd/PTB; MA tgl. 12 Februari 1976 No. 731/K/Sip/1973)
-     Karena pengalihan milik adat atas tanah dari bangsa Indonesia kepada bukan orang Indonesia melalui suatu transaksi adlaah batal menurut hukum, maka setiap perbuatan hukum lainnya yang bermaksud memindahkan hak atas tanah yang bersangkutan adalah juga batal menurut hukum..
      (PN Sukabumi tgl. 10 Agustus 1967 No. 18/1966/Perd; PT Bandung tgl. 27 Juli 1972 No. 5/1972/Perd/PTB; MA tgl. 12 Februari 1976 No. 731/K/Sip/1973)
-     Pengalihan milik adat atas tanah yang dilarang oleh Ordonansi No. 179 th. 1875, tanggal 4 Agustus 1975 hanya melahirkan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk memperoleh suatu hak tertentu atas tanah tadi.
      (PN Sukabumi tgl. 10 Agustus 1967 No. 18/1966/Perd; PT Bandung tgl. 27 Juli 1972 No. 5/1972/Perd/PTB; MA tgl. 12 Februari 1976 No. 731/K/Sip/1973)
-     Dalam hal pemegang tanah kasikepan meninggal dunia dan belum ada sikep lain yang ditunjuk oleh rapat desa untuk memegangnya, sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, rapat desa tidak berwenang untuk menentukan pemegang selanjutnya.
      (PN Kuningan tgl. 20 Oktober 1970 No. 23/1970/PN.Kng; PT Bandung tgl. 18 Mei 1972 No. 86/1971/Perd/PTB)
-     Karena penggugat baru pada tahun 1972 menuntut pengembalian sawah sengketa dari tergugat yang menguasainya sejak tahun 1930, maka penggugat nampaknya telah melepaskan haknya atas sawah sengketa itu.
      (PN Garut tgl. 14 Maret 1973 No. 95/1972/Perd.PN..Grt)
-     Dalam suasana hukum adat transaksi jual beli sawah atau tanah yang dilakukan ditempat lain serta tidak pula dilaporkan kepada Kepala Desa dari Desa dalam Wilayah administrasi mana sawah atau tanah yang bersangkutan terletak adalah tidak sah.
      (PN Serang tgl. 31 Mei 1969 No. 48/1968.Perd.Srg; PT Bandung tgl. 29 Mei 1972 No. 117/1971/Perd/PTB; MA tgl. 24 Juli 1975 No. 101/K/Sip/1975)
-     Walaupun ternyata menurut hukum bahwa penggarapan sawah sengketa dilakukan oleh pihak ketiga tanpa izin serta tidak dikehendaki oleh yang berhak, namun mempehatikan kebiasaan didaerah Tasikmalaya penggarap yang bersnagkutan harus dianggap maparo maka hasil padi dari sawah yang bersangkutan harus di bagi dua, sebagian untuk yang berhak atas sawahnya dan sebagian lagi untuk pihak penggarapnya..
      (PN Tasikmalaya tgl. 9 Mei 1973 No 37/1973/Perd.PN.Tsm; PT Bandung tgl. 6 Mei 1974 No. 401/1973/Perd/PTB; MA tgl. 21 April 1977 No. 1329/K/Sip/1974)
-     Dengan adanya hibah mutlak itu maka demi keadilannya sawah sengketa haruslah dikembalikan pada penggugat asal, tetapi sebaliknya tergugat-tergugat asalpun, sebagai pembeli-pembeli jujur seharusnya tidak dirugikan, maka mengingat tergugat-tergugat asal telah menikmati hasil tanah sengketa 22 tahun, adal.ah wajar pula untuk menganggap menghasilkan sawah selama itu sebanding dengan jumlah harga pembeliannya dulu, hingga dengan demikian tergugat-tergugat asal dapat dianggap tidak mengalami kerugian.
      (PN Bandung tgl. 28 Januari 1975 No. 205/1974/Perd/PTB; MA tgl. 14 Juli 1976 No. 1036/K/Sip/1975)
-     Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tanah-tanah kasikepan dikonversikan menjadi tanah hak milik.
      (PN Kuningan tgl. 20 Oktober 1970 No. 23/1970/PN. Kng; PT Bandung tgl. 18 Mei 1972 No. 86/1971/Perd/PTB)
-     Jual-beli sawah/tanah yang disaksikan oleh Kepala Desanya adalah sah menurut hukum.
      (PN Serang 28 Oktober 1967 No. 20/1966.Perd.Srg; PT Bandung tgl. 15 Februari 1972 No. 375/1969/Perd/PTB; MA tgl. 18 Mei 1977 No. 1173/K/Sip/1972)
-     Karena ternyata bahwa penggugat, selaku ahli waris tunggal, ketika membubuhkan cap jempolnya pada segel jual-beli sawah sengketa sudah dewasa maka jual beli yang bersangkutan adalah sah.
      (PN Purwakarta tgl. 20 Nopember 1969 No. 17/1969/Perdata; PT Bandung tgl. 11 Juli 1973 No. 99/1973/Perd/PTB)
-     Karena adanya hibah mutlak yang terjadi secara syah pada tahun 1945 maka pada saat dikukuhkan jual-beli para penjual ternyata pula memiliki sawah yang bersangkutan, kepada tergugat asal, yaitu untuk memenuhi unsur tunai dalam hukum Adat, harulah dianggap merupakan pernyerahan hak pakainya semata-mata.
      (PT Bandung tgl. 28 Januari 1975 No. 205/1974/Perd/PTB; MA tgl. 14 Juli 1976 No. 1036/K/Sip/1975)
-     Suatu transaksi jual beli yang telah memenuhi persyaratan Undang-Undang adalah syah dan tidak dapat dianggap sebagai “pro forma”, sehingga sejak jual beli itu terjadi kedudukan pembeli bukan lagi sebagai penggarap atau pemaro.
      (PT Bandung tgl. 16 Oktober 1973 No. 58/1971/Perd/PTB; MA tgl. 20 April 1977 No. 502/K/Sip/1975)
-     Dalam suasana hukum adat yang menentukan ada ataupun tidak adanya transaksi jual beli adalah ijab Kabul antara pihak-pihak yang bersangkutan.
      (PN Bandung tgl. 11 Oktober 1969 No. 172/Sipil; PT Bandung (sela) tgl. 5 Juni 1971 No. 58/1971/Perd/PTB; (terakhir) tgl. 16 Oktober 1973 No. 58/1971/Perd/PTB)
-     Belum adanya pembayaran harga barang yang dijualbelikan ataupun belum adanya penyerahan secara phisik barang yang bersangkutan tidak meniadakan transaksi jual beli yang telah ada.
      (PN Bandung tgl. 11 Oktober 1969 No. 172/Sipil; PT Bandung (sela) tgl. 5 Juni 1971 No. 58/1971/Perd/PTB; (terakhir) tgl. 16 Oktober 1973 No. 58/1971/Perd/PTB)
-     Transaksi jual beli yang dilakukan antara pembeli dan penjual yang dalam peristiwa jual-beli yang bersangkutan diwakili oleh pembeli berdasarkan surat kuasa yang sah adalah sah menurut hukum, asal tidak merugikan kepentingan prinsipalnya.
      (PN Bandung tgl. 20 April 1972 No. 189/1971/C/Bdg; PT Bandung tgl. 18 April 1973 No. 57/1973/Perd/PTB; MA tgl. 17 September 1975 No. 337/K/Sip/1974)
-     Jual beli persil agraris eigendom yang dilakukan dalam tahun 1932 secara dibawah tangan serta dihadapan kepala Desa setempat adalah batal menurut hukum, walaupun demikian penguasaan persil yang bersangkutan oleh pihak “Pembelinya” harus dianggap dilakukan te geode trouw (itikad baik)
      (PT Bandung tgl. 4 September 1973 No. 240/1972/Perd/PTB; MA tgl. 7 Januari 1976)
-     Kenyataan bahwa penjual tanpa suatu alasan telah membiarkan berlaku waktu yang cukup lama 7 (tujuh) tahun merupakan petunjuk tentang telah terjadinya transaksi jual beli yang disangkalnya.
      (PT Bandung tgl. 10 Oktober 1973 No. 24/1973/Perd/PTB)

Yurisprudensi Jawa Barat 1974-1975

-     Sawah kanomeran di Jawa Barat merupakan sawah milik desa yang diberikan hak garapnya kepada penduduk desa yang bersangkutan.
      (PN Ciamis tgl. 2 Mei 1967 No. 36/1966./Sip.cms; PT Bandung tgl. 22 April 1971 No. 42/1969/Perd/PTB; MA tgl. 23 Oktober 1972 No. 815 K/Sip/1971)
-     Seorang penduduk desa yang mempunyai kanomeran lebih dari satu (dapat) diperintahkan oleh Desa supaya sawah nomer kelebihannya itu diserahkan kepada anaka sulungnya yang laki-laki, yang belum mempunyai nomer atau anak perenpuan yang sudah bersuami dan belum mempunyai nomer. Dalam hal tidak ada anak sama sekali, maka sawah kanomeran kelebihannya itu dicabut oleh desa, yang kemudian menunjuk seorang penduduk desa menjadi pemegang nomer.
      (PT Bandung tgl. 22 April 1971 No. 42/1969/Perd/PTB; MA tgl. 23 Oktober 1972 No. 815 K/Sip/1971)
-     Seorang penduduk desa hanya diperbolehkan mempunyai satu sawah kanomeran saja (lihat Soepomo : Hukum Perdata Adat Jawa Barat, terjemahan Ny. Nany Soewondo, halaman 126)
      (PT Bandung tgl. 22 April 1971 No. 42/1969/Perd/PTB; MA tgl. 23 Oktober 1972 No. 815 K/Sip/1971)
-     Tanah kanomeran tidak boleh dibagi (dipercah-pecah), tetapi harus untuk dikuasai oleh nomer (orang) yang ditunjuk oleh rapat desa.
      (PT Bandung tgl. 22 April 1971 No. 42/1969/Perd/PTB; MA tgl. 23 Oktober 1972 No. 815 K/Sip/1971)
-     Pihak yang mempeoleh hak (rechtsverkrijger) atas suatu barang yang tidak bergerak harus dapat membuktikan asal yang sah dari barang yang diperolehnya itu.
      (PN Bogor tgl. 17 Desember 1968 No. 313/1962/Perdata; PT Bandung tgl. 21 September 1971 No. 81/1970/Perd/PTB)
-     Dalam hal oleh tergugat secara melawan hukum didirikan bangunan di atas tanah yang menjadi hak penggugat, maka selain gugatan agar supaya tergugat mengosongkan tanah tersebut, penggugat berdasarkan Undang-Undang berhak menuntut supaya bangunan-bangunan menjadi miliknya, sebagai ganti rugi.
      (MA tgl. 21 Mei 1973 No. 960 K/Sip/1972)
-     Data mengenai luas tanah tercantum dalam buku letter C Desa yang tidak sesuai dengan data kadaster karena belum dilakukan pengukuran oleh kantor kadaster sebagai suatu instansi yang berwenang bukan merupakan rumusan hak seseorang menurut hukum.
      (PT Bandung tgl. 9 April 1971 No. 242/1970/Perd/PTB)
-     Data tentang pengukuran tanah yang dilakukan oleh kantor kadaster merupakan rumusan hak atas tanah seseorang menurut hukum.
      (PT Bandung tgl. 9 April 1971 No. 242/1970/Perd/PTB)
-     Kantor Kadaster adalah instansi yang berwenang untuk melakukan pengukuran secara resmi.
      (PT Bandung tgl. 9 April 1971 No. 242/1970/Perd/PTB)
-     Jika luas tanah yang tercantum dalam buku letter C Desa tidak cocok dengan kenyataannya sebagai hasil pengukuran tanah, maka yang harus dirobah adalah buku letter C Desa dan disesuaikan dengan kenyataan tersebut.
      (PT Bandung tgl. 9 April 1971 No. 242/1970/Perd/PTB)
-     Suatu perjanjian sewa menyewa tanah antara pemilik yang termasuk golongan Indonesia (Bumi putera) dan suatu perusahaan asing yang dibuat di muka notaris dan mengandung syarat-syarat yang berisikan pelepasan hak milik oleh pemilik tanah disertai pemberian kuasa kepada penyewa tanah untuk memperoleh hak tertentu atas tanah yang bersangkutan, disusul oleh pembayaran sejumlah uang oleh penyewa tanah kepada pemiliknya di samping uang sewa setiap bulan, adalah sah dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, baik menurut hukum yang lama (dalam hal ini S. 1875 No. 179 jo S. 1912-177), maupun menurut Undang-Undang Pokok Agraria.
      (PN Bogor tgl. 23 Juli 1970 No. 181/1968.Perd; PT Bandung tgl. 27 Oktober 1971 No. 37/1971/Perd/PTB; MA tgl. 17 September 1973 No. 625 K/Sip/1972)
-     Jual beli tanah yang tidak dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku merupakan jual beli yang tidak sah.
      (PN Indramayu tgl. 27 Agustus 1970 No. 21/1970/Pdt; PT. Bandung tgl. 23 Februari 1972 No. 95/1971/Perd/PTB)
-     Menurut Hukum Adat suatu transaksi jual beli yang memenuhi syarat-syarat terang dan tunai adalah sah walaupun harga pembeliannya belum terbayar lunas, hal mana yang merupakan hutang uang dari fihak pembeli kepada fihak penjualnya.
      (PT Bandung tgl. 21 Desember 1972 No. 137/1972/Perd/PTB)
-     Pembeli yang beritikad baik tidak sepatutnya dibebani kewajiban untuk menyerahkan hasil panen dari tanah sengketa.
      (PN Kerawang tgl. 10 Desember 1970 No 6/1970/Perd/PN; PT Bandung tgl. 11 September 1971 No. 125/1971/Perd/PTB)
-     Pengertian pihak pembeli beritikad baik dilindungi berarti bahwa dalam hal pembatalan suatu perjanjian jual beli fihak pembeli bagaimanapun setidak-tidaknya akan menerima kembali uang pembeliannya.
      (PN Indramayu tgl. 24 Mei 1971 No. 2/1971/Pdt; PT Bandung tgl. 21 September 1972 No. 109/1972/Perd/PTB; MA tgl 25 Juni 1973 No. 216 K/Sip/1973)
-     Seorang pembeli tanah yang meskipun ia mengetahui bahwa tanah yang bersangkutan hanya digarap oleh orang yang menjual tanah tersebut kepadanya akan tetapi tidak menghubungi terlebih dahulu orang yang menguasai tanah itu meskipun orang termaksud tinggal se-kecamatan, melakukan pembelian itu tanpa itikad baik.
      (PN Indramayu tgl. 24 Mei 1971 No. 2/1971/Pdt; PT Bandung tgl. 21 September 1972 No. 109/1972/Perd/PTB; MA tgl 25 Juni 1973 No. 216 K/Sip/1973)
-     Dalam hal pembatalan suatu pembelian yang dilakukan oleh pembeli yang tidak beritikad baik, maka pembelinya tidak perlu dilindungi oleh hukum sehingga uang harga pembelian yang sudah dibayar oleh pembeli yang tidak beritikad baik itupun tidak perlu dikembalikan.
      (PN Indramayu tgl. 24 Mei 1971 No. 2/1971/Pdt; PT Bandung tgl. 21 September 1972 No. 109/1972/Perd/PTB; MA tgl 25 Juni 1973 No. 216 K/Sip/1973)
-     Menurut hukum adat hak menebus dalam jual beli gadai tidak mungkin lenyap dengan pengaruh lampau waktu (kadaluwarsa).
      (PN Sumedang tgl. 25 Februari 1971 No. 5/1970/Perd/PN; PT Bandung tgl. 13 Desember 1971 No. 110/1971/Perd/PTB)
-     Suatu perjanjian akad rawat tanah yang dilaksanakan untuk waktu yang tertentu lebih-lebih untuk waktu kurang dari satu panen, seperti halnya sekarang hanya untuk tiga bulan, apabila tidak dapat ditebus, adalah suatu perjanjian hutang piutang yang terselubung (verkapte schuld overeenkomst)
      (PT Bandung tgl. 19 Mei 1971 No. 215/1970/Perd/PTB; MA tgl. 30 April 1973 No. 671 K/Sip/1972)
-     Ciri penting daripada gadai tanah adalah bahwa pemegang gadai, mendapat penguasaan penuh atas tanah tersebut, yaitu seolah-olah tanah itu kepunyaannya sendiri dan bahwa tanah tersebut lalu dikuasi oleh pembeli gadai dan selanjutnya semua orang di desa tersebut bersikap terhadap barang yang digadai itu, seperti barang itu adalah kepunyaan pembeli gadai. (lihat Soepomo : Hukum Adat Jawa Barat, halaman 200)
      (PT Bandung tgl. 19 Mei 1971 No. 215/1970/Perd/PTB; MA tgl. 30 April 1973 No. 671 K/Sip/1972)
-     Menurut Hukum Adat gadai yang diadakan dengan jangka waktu tertentu hanya bermaksud bahwa jangka waktu tersebut adalah sebagai jaminan bagi pemilik uang, bahwa dalam jangka waktu termaksud peminjam uang akan menebus gadainya.   
      (PN Cianjur tgl. 15 Desember 1970 No. 130/Pdt/1970 PN.Td; PT Bandung tgl. 8 Juni 1972 No. 156/1971/Perd/PTB; MA tgl. 30 April 1973 No. 1161 K/Sip/1972)
-     Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung gadai tanah yang berlangsung lebih dari 7 tahun, sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang No. 56 tahun 1960, harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa pembayaran uang tebusan.
      (PT Bandung tgl. 27 Juli 1972 No. 6/1972/Perd/PTB; MA tgl. 23 April 1973 No. 1177 K/Sip/1972)
-     Gadai tanah pertanian yang berlangsung lebih dari 7 (tujuh) tahun, sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960, harus kembali kepada pemiliknya tanpa pembayaran uang tebusa.
      (PT Bandung tgl. 30 Juni 1970 No. 25/1969/Perd/PTB)
-     Berdasarkan ketentuan dalam pasal 7 dari Undang-Undang No. 56 Peraturan Pemerintah tahun 1960, gadai tanah pertanian selama lebih dari 7 tahun kembali kepada pihak pemiliknya tanpa uang tebusan.

      (PN Sumedang tgl. 25 Februari 

Tidak ada komentar: