Translate

Senin, 25 November 2013

Syarat-syarat Penetapan Perpu oleh Presiden

 
1.    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPU”) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945(“UUD 1945”):
 
“Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
 
Penetapan PERPU yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalamPasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”)yang berbunyi:
 
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
 
Dari bunyi kedua pasal di atas dapat kita ketahui bahwa syarat presiden mengeluarkan PERPU adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksaDalam artikel berjudul Polemik Penolakan Perpu JPSK yang ditulis Yuli Harsono, dikatakan bahwa subyektivitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya PERPU, akan dinilai DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi. Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak). Jadi, menurut Yuli Harsono, yang menafsirkan suatu kegentingan memaksa itu adalah dari subyektivitas Presiden. Inilah yang menjadi syarat ditetapkannya sebuah PERPU oleh Presiden.
 
Kedudukan PERPU sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie:
 
Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu)” (Asshiddiqie, 2010: 209)
 
Demikian sebagaimana dikutip Ibnu Sina Chandranegara dalam artikel berjudul Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, yang dimuat dalam Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012.
 
Ukuran objektif penerbitan PERPU baru dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.Berdasarkan Putusan MK tersebutada tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu:
i.      Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikanmasalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
ii.     Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
iii.    Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
 
Menjawab pertanyaan Anda berikutnya, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011, PERPU harus diajukan ke DPR dalam persidangan berikut. Yang dimaksud dengan “persidangan berikut” menurut penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 adalah masa sidang pertama DPR setelah PERPU ditetapkan. Jadi, pembahasan PERPU untuk di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam agenda sidang DPR setelah PERPU itu ditetapkan untuk mendapat persetujuan atau tidak dari DPR.
 
Mengenai konsekuensi PERPU yang ditetapkan, Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., dalam bukunya yangberjudul Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya mengatakan bahwa PERPU ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya.Apabila PERPU itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sedangkan, apabila PERPU itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut (hal. 94). Persetujuan DPR ini sangat penting karena DPR lah yang memiliki kekuasaan legislatif, dan yang secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
 
Meskipun PERPU tersebut belum dibahas oleh DPR, konsekuensi hukum dari PERPU itu sudah ada. Artinya, PERPU tersebut sudah berlaku, bisa dilaksanakan, dan memiliki kedudukan yang setingkat dengan UU sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011.Penjelasan lebih lanjut mengenai kedudukan PERPU dapat Anda simak dalam artikel Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
 
 
2.    Bagaimana jika Mahkamah Konstitusi membatalkan sebuah pasal tapi DPR/Pemerintah mengatur kembali hal yang sama?
 
Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya dalam artikel Apakah Putusan MK Dapat Diubah? putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dantidak ada upaya hukumyang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Demikianditegaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011.
 
Dari ketentuan di atas jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Artinya, akibat hukum yang ditimbulkan pasca dijatuhkannya putusan MK harus dipatuhi, termasuk oleh DPR/Pemerintah. Apabila ada pengaturan dalam suatu pasal pada UU dibatalkan oleh MK dan dinyatakan tidak berlaku atau lebih tepatnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tidak tepat jika DPR/Pemerintah mengatur kembali norma tersebut dalam undang-undang lain.
 
Akan tetapi, dalam praktiknya, DPR/Pemerintah dapat saja mengeluarkan suatu produk hukum baru yang mengatur hal yang sama meski pasal yang mengatur sebelumnya telah dibatalkan oleh MK. Secara etika hukum, tentu hal ini dapat dianggap sebagai pengabaian terhadap putusan MK, dan dapat menjadi sumber permasalahan hukum di kemudian hari.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
 
Putusan:
Putusan Mahkamah  Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
 
Referensi:
 
Ibnu Sina Chandranegara. Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012.

Tidak ada komentar: