SALAH MENAFSIRKAN “UNSUR MEMAKSA” DALAM PASAL 335 (1) le KUHPIDANA
Abstrak Hukum:
Kasus posisi
• Di dalam persidangan Pengadilan Negeri di Tanjung Pinang, terdakwa yang telah berkeluarga, telah didakwa Jaksa Penuntut Umum, melakukan perbuatan pidana:
- Primair : pasal 285 KUHPidana
- Subsidiair : pasal 286 KUHPidana
- Lebih Subsidiair : pasal 378 KUHPidana
- Lebih Subsidiair lagi : pasal 335 (1) KUHPidana
• Jaksa dalam Requisitoirnya menuntut agar terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana ex pasal 335 (1) sub 1 KUHP dan dihukum satu bulan dipotong selama dalam tahanan.
• Pengadilan Negeri, dalam putusannya pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: Terdakwa tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya pada dakwaan subsidiair – lebih subsidiair dan lebih subsidiair lagi. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan tersebut.
• Jaksa mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi atas putusan ini.
• Mahkamah Agung RI, dalam putusan kasasi telah mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang.
• Mahkamah Agung selanjutnya mengadili sendiri kasus ini, dengan amar putusan yang pada pokoknya:
- Terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan: melakukan sesuatu dengan perbuatan yang tidak menyenangkan dengan perbuatan lain, ex pasal 335 (1) le KUHP.
- Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara lima bulan ….. dst.
• Putusan Mahkamah Agung di atas ini didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum dengan membebaskan terdakwa dari dakwaan, Lebih Subsidiair lagi, ex pasal 335 (1) le KUHP dengan alasan tidak terbuktinya unsue “memaksa”.
- Bahwa Pengadilan Negeri menafsirkan unsur “memaksa” tersebut sebagai memaksa dalam arti phisik, pada hal menurut pasal tersebut, “paksaan” tersebut juga dapat dengan perbuatan yang tidak menyenangkan.
- Bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut adalah salah menafsirkan salah satu unsur pasal yang didakwakan. Dengan demikian, maka pembebasan dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut, adalah pembebasan yang tidak murni, sehingga permohonan kasasi formil dapat diterima oleh Mahkamah Agung.
• Pengadilan Negeri Tanjung Pinang: No. 15/Pid/B/1984, tanggal 16 Desember 1984
• Mahkamah Agung RI: No. 371 K/Pid/1985, tanggal 21 Januari 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 19 April 1987; hal. 71).
KWALIFIKASI DELICT MENURUT MAHKAMAH AGUNG
Kasus Pembantu Rumah Tangga
Abstrak Hukum:
• Kasus Posisi:
• Dalam persidangan Pengadilan Negeri Surabaya, para Terdakwa Suseno Kurniawan dan isterinya Yuliana Muntu, oleh Jaksa telah didakwa melakukan perbuatan pidana denga materi kelakuan yang ditujukan kepada saksi korban, Markamah dan Widarti sebagai berikut: Para terdakwa telah memukuli dan mencambuki saksi, pembantu rumah tangga tersebut dengan rotan, menyetrika lengan hingga lengan para pembantu tersebut luka bakar, menyuruh saksi menggigit batu sebesar telot sepanjang hari, menyuruh saksi korban mengambil kotoran manusia dari closet dengan sendok dan memasukkannya ke dalam mulut para saksi, memberikan lombok/cabe ke mata saksi serta menyekap saksi dilarang keluar rumah serta memberikan makan hanya beberapa sendok dalam sehari penuh.
• Dengan materi kelakuan tersebut di atas, para terdakwa telah didakwa melanggar:
Kesatu I,
- Primair: pasal 355 (1) jo 64 KUHP.
- Subsidiair: pasal 354 (1) jo 64 KUHP.
- Lebih subsidiair: pasal 351 (2) jo 64 KUHP.
Kedua II
- Primair: pasal 333 (2) KUHP.
- Subsidiair: pasal 333 (1) KUHP.
Ketiga III
- Primair: pasal 306 KUHP.
- Subsidiair: pasal 304 KUHP.
Keempat IV: pasal 335 KUHP.
Pengadilan Negeri:
• Dalam putusannya atas kasus ini menyatakan bahwa para terdakwa bersalah melanggar pasal 355 (1) jo 64 – pasal 333 (2) – pasal 306 (1) – pasal 335 (1) KUHP dan memberikan pidana penjara kepada masing-masing terdakwa: selama 15 tahun penjara dipotong selama dalam tahanan.
Pengadilan tinggi:
• Hakim Banding dalam putusannya telah memperbaiki putusan Hakim Pertama di atas, sekedar mengenai kwalifikasi tindak pidananya (delict) serta lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa yaitu masing-masing selama 12 tahun penjara potong tahanan.
Mahkamah Agung RI:
• Dalam putusan kasasinya, telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh para terdakwa. Penolakan ini didasarkan atas alasan bahwa putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum. Makamah Agung dalam kasus ini hanya memperbaiki amar putusan judex facti sekedar mengenai “kwalifikasi delict” pada dakwaan I dan dakwaan IV serta mengenai “rumusan pengurangan masa tahanan”.
• Menurut Mahkamah Agung, kwalifikasi yang benar adalah sebagai berikut:
• Penganiayaan berat yang direncanakan lebih dulu yang dilakukan beberapa kali sebagai perbuatan berlanjut.
• Dengan melawan hukum memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dengan perbuatan yang tidak menyenangkan.
• Menetapkan bahwa pada waktu menjalankan putusan ini, lama para terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini menjadi tetap akan dikurangkan segenapnya dari pidana yang telah dijatuhkan itu.
• Pengadilan Negeri Surabaya: No. 149/Pid/B/1986, tanggal 15 Desember 1986.
• Pengadilan Tinggi Jawa Timur: No. 53/Pid/1987, tanggal 23 Maret 1987.
• Mahkamah Agung RI: No. 1164 K/Pid/1987, tanggal 5 September 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 27 Desember 1987; hal. 87).
PENERAPAN HUKUM PASAL 335 K.U.H. PIDANA
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri
• Para Terdakwa I s/d IX, dalam persidangan Pengadilan Negeri di Ende, oleh Jaksa telah didakwa melakukan delict yaitu:
• Primair; ex pasal 335 (1) jo pasal 55 (1) kel-2 KUH Pidana, yang intinya pada sekitar 1983 di desa Lokobako, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, bersama-sama atau sendiri-sendiri, secara melawan hukum telah memaksa saksi Moh. Abubakar Pela, pemilik kebon sawah Tiwu Poa, supaya membiarkan mereka para terdakwa menggarap kebon sawah tersebut dengan memakai kekerasan atau suatu perbuatan lain, maupun perlakuan yang tidak menyenangkan dan atau memakai ancaman kekerasan … dan seterusnya, yaitu para terdakwa tanpa izin dari saksi telah mendatangi kebon sawah Tiwu Poa dengan membawa pacul, sekop, parang, langsung bekerja pada kebon sawah tersebut seluas 30 petak untuk ditanami padi.
• Subsidiair ex pasal 2 jo 6 UU No. 51/PRP/1960 jo pasal 55 (1) KUHPidana. Pada waktu dan di tempat dalam dakwaan primair, bersama-sama atau sendiri, dengan sengaja dan dengan melawan hukum, telah memakai tanah kebon sawah Tiwu Poa, tanpa izin dari yang berhak.
• Hakim Pertama setelah memeriksa perkara tersebut, memberikan putusan bahwa para terdakwa tidak terbukti secara sah meyakinkan, melakukan perbuatan pidana baik pada dakwaan primair, maupun dakwaan subsidiair, karena itu para terdakwa tersebut harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum.
• Putusan Hakim ini didasari alasan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa untuk dapat menerapkan pasal 335 KUHPidana, tidaklah cukup fakta bahwa para saksi hanya mendengar saja adanya berita bahwa para terdakwa dengan membawa pacul, sekop dan parang bersama-sama pergi menuju ke Kebon sawah untuk menggarap sawah sengketa, kemudian timbul perasaan takut pada saksi korban, tanpa adanya perlakuan yang benar-benar terjadi dan dialami oleh para saksi tersebut.
Bahwa untuk dakwaan subsidiair, Hakim meragukan surat bukti yang diajukan saksi berupa putusan perdata no.21/1973, dimana saksi merasa berhak atas tanah sengketa. Surat putusan ini telah diteliti Hakim, ternyata tidak sesuai dengan aslinya/eksekusinya.
Mahkamah Agung RI:
• Dalam putusan Kasasi atas kasus ini, Mahkamah Agung telah memberikan putusan yang membatalkan putusan judex facti, karena menurut penilaiannya terdapat kesalahan dalam menerapkan hukum. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini dengan menyatakan bahwa para terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwaan primair, ex pasal 335 KUHPidana yaitu dengan kwalifikasi: “dengan sesuatu perbuatan, secara melawan hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu”. Putusan Mahkamah Agung tersebut didasari oleh pertimbangan hukum yang pada pokoknya dapat disarikan sebagai berikut:
Bahwa untuk menerapkan pasal 335 KUHPidana, “unsur paksaan” tidak selalu harus berbentuk paksaan fisik, dapat pula merupakan paksaan psyichis, seperti yang dialami para saksi.
Bahwa para terdakwa dengan membawa pacul-sekop-parang telah bersama-sama memasuki tanah sawah sengketa, yang sejak 1980 sudah digarap para saksi, menurut pendirian Mahkamah, perbuatan tersebut adalah merupakan “suatu perbuatan lain” atau (einige andere feitelijkheid) dengan mana para saksi telah dipaksa dengan melawan hukum (pada hal, hak para terdakwa atas tanah sengketa belum tentu benar) untuk membiarkan para terdakwa menguasai/menggarap tanah sawah tersebut.
Bahwa dengan demikian para terdakwa tersebut, harus dianggap telah melakukan suatu perbuatan tanpa hak.
Bahwa dengan tidak jelasnya surat bukti putusan perdata no.21/th 1971 tentang tanah sengketa, dimana terdakwa juga merasa dirinya berhak, maka masalah tanah ini menurut Mahkamah Agung, perlu diperkarakan lagi. Adanya kenyataan ini menurut Mahkamah, dapat dianggap sebagai faktor yang meringankan hukuman para terdakwa.
Bahwa dengan pertimbangan di atas, maka Mahkamah memberikan putusan yang amarnya seperti disebut diatas.
• Pengadilan Negeri Ende: No. 15/Pid/B/1984, tanggal 26 Maret 1985.
• Mahkamah Agung RI: No. 675 K/Pid/1985, tanggal 4 Agustus 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 31; April 1988; hal. 8).
BANTAHAN RALATIVE COMPETENTIE PENGADILAN BUKAN DITINGKAT KASASI
Abstrak Hukum:
Kasus posisi:
• Bahwa hubungan antara terdakwa dengan saksi R. Sujatto adalah hubungan sebagai suami – istri. Terdakwa dalah isteri kedua dari R. Sujatto disamping isteri Pertama yang telah mempunyai 9 orang anak.
• Bahwa hubungan antara R. Sujatto dengan istrinya yang kedua ini, pada suatu saat diliputi oleh perselisihan yang menjurus akan diceraikannya terdakwa sebagai istri kedua.
• Bahwa terdakwa bersedia dicerai asal diberikan uang cerai Rp 3 juta. Suaminya menolak. Karena penolakan ini, terdakwa dengan membawa pisau dapur mendatangi kantor BPK. Dimana suaminya bekerja menuntut uang cerai tersebut dari suaminya. Tuntutan mana diulangi lagi di rumah dengan mengancam suaminya, bila tidak dipenuhi akan dibunuh dengan pisau dapur tersebut.
Pengadilan Negeri:
• Dalam persidangan, terdakwa oleh Jaksa, didakwa melakukan perbuatan pidana: I. Pertama, ex pasal 2 (1) Undang-Undang Darurat 12/1951: Tanpa hak menguasai, memiliki dan membawa senjata tajam penusuk/penikam. Dakwaan II, Kedua, ex pasal 335 (1) KUHPidana, dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu …. dan seterusnya dengan perbuatan yang tidak menyenangkan ….. dan seterusnya.
• Bahwa Hakim Pertama dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwan I dan II, karena itu dihukum penjara selama 7 bulan dipotong tahanan dalam masa percobaan selama satu tahun.
Pengadilan Tinggi:
• Hakim Banding dalam putusannya telah membatalkan putusan Hakim Pertama, selanjutnya mengadili sendiri kasus ini dengan dictum putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan dari dakwaan ke I, ex pasal 2 (1) Undang-Undang Darurat 12/1951. dan menyatakan bersalah dalam dakwaan II, ex pasal 335 (1) KUHPidana. Putusan bebas atas dakwaan ke I tersebut, didasarkan oleh alasan bahwa pisau untuk keperluan rumah tangga sehari-hari (pisau dapur), tidak termasuk dalam pengertian sebagai senjata penusuk/penikam ex pasal 2 (1) UU. No. 12/Drt/1951.
Mahkamah Agung RI:
• Bahwa terdakwa telah mengajukan pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung RI dengan alasan antara lain: bahwa Pengadilan Negeri Yogyakarta tidak berwenang mengadili kasus ini, karena locus delicti terletak di Kabupaten Sleman, sehingga Pengadilan Sleman yang berwenang memeriksa dan mengadili kasus ini.
• Bahwa Majelis Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi, telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Terdakwa tersebut, dengan pertimbangan yang pada intinya dapat disimpulkan: bahwa bantahan pemohon kasasi terhadap “ketidawenangan Pengadilan Negeri” untuk memeriksa kasus ini (relative Competentie), menurut pendapat Mahkamah Agung, tidak dapat diajukan pada tingkat pemeriksaan kasasi.
• Bahwa bantahan tidak wenangnya pengadilan memeriksa perkara (relative compentie) harus diajukan pada peradilan tingkat Pertama yaitu pada waktu perkara ini mulai diperiksa oleh Pengadilan tersebut.
• Bahwa disamping alasan tersebut, oleh karena menurut penilaian Mahkamah, putusan judex facti, dalam menangani kasus ini tidak diketemukan hal lain yang bertentangan dengan hukum atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi ini harus ditolak.
• Pengadilan Negeri Yogyakarta: No. 3/Pid/S/85, tanggal 21 Januari 1985.
• Pengadilan Tinggi Yogyakarta: No. 15/Pid/85, tanggal 27 Agustus 1985.
• Mahkamah Agung RI: No. 1275 K/Pid/1985, tanggal 30 Juli 1987 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 32; Mei 1988; hal. 89).
MACETNYA ANGSURAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR
Abstrak Hukum:
• Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas kita dapat menarik “abstrak Hukum” sebagai berikut:
• Dalam hubungan hukum sewa beli barang atau huurkoop, bilamana Pihak pembeli belum membayar lunas harga barang, maka Pihak penjual tidak dapat dibenarkan untuk mengambil barang tersebut dari tangan pembeli tanpa izinnya, meskipun penjual memiliki surat kuasa dari pembeli yang memberikan wewenang untuk berbuat demikian itu. Pengambilan barang harus tetap mendapat izin dari pembeli.
• Bilamana ketentuan diatas tidak diindahkan oleh penjual barang, maka ia terkena pasal 335 KUHPidana.
• Pengadilan Negeri Surabaya No.201/1986/Pid.S. tgl 12 Mei 1986.
• Mahkamah Agung RI No.1241. K/Pid/1986, tgl 30 Maret 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun V. No. 52, Januari 1990; hal. 48).
PERBUATAN YANG TIDAK MENYENANGKAN
Abstrak Hukum:
• Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat kwalifikasi kejahatan ex Pasal 335 (1) ke 1 KUHP yaitu: Secara melawan hukum dengan perlakuan yang tidak menyenangkan memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu.
• Pengadilan Negeri Indramayu: No.51/Pid/B/1987, tanggal 9 April 1988.
• Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 116/Pid/B/1988/PT.Bdg, tanggal 12 September 1988.
• Mahkamah Agung RI: No. 160.K/Pid/1989, tanggal 30 Juni 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX, No.97. Oktober 1993; hal. 5).
MENAGIH HUTANG DENGAN PAKSA
Abstrak Hukum:
• Hubungan hukum hutang-piutang uang pada saat jatuh tempo, ternyata pihak debitur masih belum dapat melunasi hutangnya. Pihak kreditur dalam melakukan penagihan piutangnya tersebut, kemudian menggunakan cara-cara kekerasan, keributan dan paksaan dengan maksud agar debitur menjadi takut atau malu bersedia menyerahkan barang miliknya kepada kreditur sebagai pembayaran hutangnya.
Meskipun fakta ini dalam ruang lingkup pelaksanaan hubungan keperdataan, namun perbuatan kreditur yang bersifat kekerasan memaksa membuat keributan, terhadap debitur tersebut, maka perbuatan menagih hutang dengan cara memaksa ini adalah merupakan perbuatan pidana ex pasal 368 (1) KUH Pidana yaitu pemerasan.
• Dewasa ini dalam masyarakat sering terdengar adanya kejadian penagihan hutang terhadap debitur oleh kreditur dengan memakai dept collector dalam menagih hutang dengan cara dan memakai kekerasan-kekerasan. Kiranya putusan Mahkamah Agung ini dapat dipakai sebagai acuan dalam menangani para dept collector.
• Pengadilan Negeri di Pontianak: No. 43/Pid/B/1990, tanggal 18 Oktober 1990.
• Mahkamah Agung RI: No. 59 K/Pid/1991, tanggal 29 Oktober 1993. (Majalah Varia Peradilan, Tahun X, No. 117, Juni, Tahun 1995; hal. 70)
DELIK PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN
Abstrak hukum:
• Kasus posisi sebagaimana diuraikan diatas, menurut Putusan Mahkamah Agung RI yang membenarkan putusan Judex fakti, dinilai telah memenuhi unsur pidana ex Pasal 335 (1) Jo. Pasal 55 (1) KUHPidana dan Kwalifikasi delictnya di Rumuskan sebagai berikut: “Secara bersama – sama dan malawan hukum dengan perlakuan yang tidak menyenangkan memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu”.
• Pengadilan Negeri Kabupaten Pasuruan di Bangil: No. 297 / Pid / S / 1988 / PN. Kab. Pasuruan, tanggal 3 November 1989.
• Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya: No. 26 / Pid / 1990 / PT. Sby, tanggal 31 Mei 1990.
• Mahkamah Agung RI: No. 1036 K/Pid/1991, tanggal 28 Oktober 1993 (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No. 132, September 1996; hal. 5).
PENERAPAN PASAL 335 K.U.H.P.
Abstrak Hukum:
• Seseorang yang mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri untuk menuntut haknya, diikuti dengan mengirimkan surat ke Kantor BPN (Untuk Penyitaan jaminan atas tanah) serta pemuatan di Harian terhadap bekas Partner bisnisnya dalam perusahaan properti, adalah bukan merupakan suatu perbuatan pidana, ex pasal 335 (1) ke 1 KUHP.
• Pengadilan Negeri di Pontianak: No. 47/Pid/B/1995/PN.PTK, tanggal 23 Nopember 1995.
• Pengadilan Tinggi: No. 06/Pid/1996/PT. PTK, tanggal 8 Maret 1996.
• Mahkamah Agung RI: 863 K/Pid/1996, tanggal 30 Mei 1997. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.155 Agustus 1998; hal. 35).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar