Translate

Selasa, 29 April 2014

Keabsahan Perjanjian yang Mengandung Klausula Eksonerasi

Sebagaimana pernah kami jelaskan dalam artikel Klausula Eksonerasi, eksonerasi atau exoneration (Bahasa Inggris) diartikan oleh I.P.M. Ranuhandoko B.A. dalam bukunya “Terminologi Hukum Inggris-Indonesia” yaitu “membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab.” Secara sederhana, klausula eksonerasi ini diartikan sebagai klausula pengecualian kewajiban/tanggung jawab dalam perjanjian.
 
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen(“UU Perlindungan Konsumen”), klausula eksonerasi merupakan salah satu bentuk klausula baku yang dilarang oleh UU tersebut.
 
Mengenai perjanjian, meskipun telah disepakati oleh kedua belah pihak, tidak dapat dianggap sah apabila mengandung klausula eksonerasi di dalamnya.
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen, klausula baku didefinisikan sebagai “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh konsumen”.
 
Dalam bukunya yang berjudul Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di IndonesiaSutan Remy Sjahdeni mendefinisikan Perjanjian Baku sebagai perjanjian yang telah dipersiapkan dengan syarat-syarat baku yang telah ditentukan sebelumnya oleh salah satu pihak untuk kemudian diberikan kepada pihak lain tanpa memberikan pihak lain tersebut untuk melakukan negosiasi terhadap syarat-syarat yang telah ditentukan sebelumnya tersebut.
 
Klausula baku menjadi tidak patut ketika kedudukan para pihak menjadi tidak seimbang karena pada dasarnya, suatu perjanjian adalah sah apabila menganut asas konsensualisme –disepakati oleh kedua belah pihak- dan mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut sebagai undang-undang. Dengan demikian, pelanggaran terhadap asas konsensualisme tersebut dapat mengakibatkan perjanjian antara kedua belah pihak menjadi tidak sah. Oleh karena itu, klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi dilarang oleh hukum.
 
Patut disadari bahwa meskipun terdapat asas kebebasan berkontrak, namun salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) adalah suatu sebab yang halal. Selanjutnya Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab (dilakukannya perjanjian) adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
 
Dengan demikian, meskipun perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi telah diperjanjikan sebelumnya, perjanjian tersebut tidak dapat dianggap sah karena mengandung ketentuan/klausula yang bertentangan dengan undang-undang.
 
Dasar Hukum:
  

Hal- hal yang di muat dalam Posita Gugatan

Posita gugatan merupakan bentuk jamak dari positum yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai dalil gugatan. M. Yahya Harahap dalam bukunyaHukum Acara Perdata antara lain mengatakan bahwa posita gugatan merupakan istilah yang akrab digunakan dalam praktik peradilan dan disebut juga sebagai fundamentum petendi (hal. 57).
 
Fundamentum petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan, yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus menguraikan dulu alasan-alasan atau dalil sehingga ia bisa mengajukan tuntutan seperti itu. Karenanya, fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus, demikian yang dijelaskan dalam artikel Tentang Posita, Petitum, Replik, dan Duplik.
 
Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang hal-hal apa saja yang termuat dalam suatu posita gugatan, kita perlu mengetahui dua teori mengenai perumusan posita gugatan menurut Yahya Harahap (hal. 57):
1)    Pertama, disebut substantierings theorie yang mengajarkan bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut
2)    Kedua, teori individualisasi (individualisering theorie) yang menjelaskan bahwa peristiwa atau kejadian hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar tuntutan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum, karena hal itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.
 
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori di atas digabung, tidak dipisah secara kaku dan sempit. Penggabungan dua teori itu dalam perumusan gugatan untuk menghindari terjadinya perumusan dalil gugatan yang kabur atau obscuur libel (Ibid, hal. 58).
 
Dengan demikian, dalam posita gugatan perlu memuat fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum dan penjelasan kejadian hukum yang jelas memperlihatkan hubungan hukum.
 
Menjawab pertanyaan Anda lebih rinci mengenai hal-hal yang dimuat dalam posita gugatan, posita gugatan yang dianggap lengkap itu memenuhi dua unsur (Ibid,hal. 58):
1)    Dasar Hukum (Rechtelijke Grond)
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara:
·         penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan
·         antara penggugat degan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa
2)    Dasar fakta (Feitelijke Grond)
·         fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau di sekitar hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun dengan pihak tergugat
·         atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat
 
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, hal penting yang harus ada dalam posita gugatan dan dianggap terhindar dari cacat (obscuur libel)adalah surat gugatan jelas sekaligus memuat penjelasan dan penegasan dasar hukum yang menjadi dasar hubungan hukum serta dasar fakta atau peristiwa yang terjadi di sekitar hubungan hukum dimaksud.
 
Sebagai contoh, sebagaimana yang kami sarikan dari artikel Fundamentum Petendi adalah dalam suatu gugatan perceraian. Penggugat harus memuat keterangan dalam surat gugatan itu berupa kronologis atau urutan peristiwa sejak mulai perkawinan dilangsungkan, peristiwa hukum seperti lahirnya anak, hingga kejadian yang membuat penggugat tidak cocok dengan suami/isteri, termasuk sebab-sebab yang membuat penggugat ingin bercerai.
 
Demikian, semoga bermanfaat.
 
Referensi:
Harahap, Yahya. 2009. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.