BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Negara
Indonesia adalah negara hukum. The
founding fathers ketika mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), merumuskan bahwa negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas
kekuasaan (machtsstaat).[1]
Oleh karena itu, hukum hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk
mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Indonesia sebagai negara hukum, setidaknya
harus memiliki tiga ciri-ciri pokok sebagai berikut :
a.
Pengakuan dan perlindungan atas Hak Asasi
Manusia (HAM) yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
hukum, budaya, dan lain sebagainya;
b.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak
serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan lain apapun;
c.
Menjunjung tinggi asas legalitas.[2]
Pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia juga mencakup aspek kemanusiaan. Salah
satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup
dan hak untuk melangsungkan kehidupan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar
1945, yaitu tercantum pada pasal 28A yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Hak-hak tersebut diberikan
langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia termasuk juga kepada penyandang
cacat.
Namun
pada kenyataannya, penyandang cacat sering dikelompokkan berbeda dengan anggota
masyarakat lainnya dalam mempertahankan kehidupannya. Dengan segala
keterbatasan yang dimilikinya, kebutuhan dan kepentingan penyandang cacat selalu
dibeda-bedakan bahkan terabaikan baik oleh pemerintah maupun anggota masyarakat
sekitarnya. Hal tersebut dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang membatasi
ruang gerak penyandang cacat dan fasilitas-fasilitas yang tidak cukup memadai
bagi penyandang cacat dalam melakukan aktivitasnya.
Misalnya
dalam bidang pendidikan, telah dicantumkan persyaratan dalam penerimaan murid
baru sekolah menengah atas tahun 2005, bahwa calon siswa hendaknya tidak
memiliki cacat fisik karena dianggap siswa cacat fisik dapat menggangu kegiatan
belajar mengajar.[3] Lalu,
masih banyak penyandang cacat yang tidak sekolah dikarenakan kurangnya Sekolah
Luar Biasa (SLB) di suatu daerah. Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan
pelatihan dikarenakan tidak adanya fasilitas yang memadai di Sekolah Luar Biasa
(SLB) maupun di sekolah umum untuk kegiatan belajar mengajar para penyandang
cacat.[4]
Contoh
lainnya yaitu dalam aksesibilitas fasilitas-fasilitas publik. Dapat dilihat
bahwa sangat jarang fasilitas publik seperti kantor pemerintah, tempat ibadah,
bank, rumah makan, sekolah, airport, kantor pos, stasiun kereta api, mal/plaza
dan lainnya yang menyediakan jalan bagi kursi roda. Bahkan seorang penyandang
cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit.[5]
Dalam
ajaran agama, kita mengetahui bahwa makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna
adalah manusia karena manusia memiliki akal budi, pikiran, hati, rasa dan karsa
yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Walaupun manusia merasa dirinya
berbeda-beda secara fisik, materi, status sosial dan kedudukan namun Tuhan
melihat ciptaannya itu sama. Tapi pada hakekatnya manusia sendiri sering
memberikan perlakuan yang berbeda atau yang bersifat diskriminatif terhadap
sesamanya. Pembedaan perlakuan terhadap penyandang cacat adalah salah satu
contohnya. Jadi banyaknya pembedaan yang ada di sekitar kita adalah perbuatan
manusia sendiri terhadap sesamanya, yaitu penyandang cacat baik berwujud sikap,
perilaku maupun perlakuannya. Seperti pada contoh diatas, perlakuan yang tidak
setara dan tidak adil sering dialami oleh penyandang cacat dalam semua bidang. Apalagi
pada kenyataannya, penyandang cacat sangat sulit untuk mendapatkan hak akses
ketenagakerjaan di Indonesia.
Ketentuan pasal 27
ayat (2) UUD 1945 memberi kerangka acuan global bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan .” Makna yang terkandung didalamnya mempunyai arti
bahwa tidak ada perbedaan setiap warga untuk memperoleh pekerjaan, baik warga
penyandang cacat maupun masyarakat pada umumnya.
Namun pada
kenyataannya, banyak sekali penyimpangan terhadap pasal 27 ayat (2) UUD 1945
yang terjadi di sekitar kita. Seperti pengalaman seorang penyandang cacat tuna
pendengaran dan bahasa yang selalu ditolak ketika melamar pekerjaan di
perusahaan swasta dan BUMN di Propinsi Banjarmasin. Dia adalah lulusan Sekolah
Luar Biasa (SLB ) ternama dengan
predikat terbaik di daerah tersebut dan IQnya rata-rata. Dia juga menguasai berbagai
program komputer yang praktis untuk pekerjaan kantor. Tetapi pada waktu melamar
pekerjaan, hampir semua perusahaan swasta dan BUMN selalu menganggap anak bisu
dan tuli ini tidak dapat bekerja. Mereka menganggap bahwa orang bisu dan tuli
tidak perlu mencari pekerjaan, karena masih banyak orang yang normal dimana
merupakan lulusan sekolah umum, perguruan tinggi dan mahir menggunakan komputer.[6]
Di Kalimantan ada
seorang ibu dari seorang anak cacat mental (IQ rendah) yang sedang mencarikan pekerjaan
kasar untuk anaknya di proyek bangunan. Namun, mandor proyek langsung menolaknya
dengan alasan lebih baik mencari pemuda sehat mental agar mudah diarahkan dalam
bekerja.[7]
Kasus serupa juga
dialami oleh Nine, seorang penyandang cacat tuna netra lulusan Universitas
Negeri Jakarta (UNJ). Pada saat mau mengisi formulir pendaftaran CPNS 2004
Kabupaten Karang Anyar Jateng, Ibu S, yang duduk sebagai ketua panitia
pendaftaran CPNS 2004 Kabupaten Karang Anyar Jateng, langsung menolak Nine karena
Nine tidak memenuhi persyaratan utuh secara jasmani dan dianggap pasti tidak
mampu bekerja. Padahal Nine sudah memiliki brevet lengkap sebagai pengajar
bahasa Inggris.[8]
Ketiga contoh
diatas adalah sebagian kecil keluhan dan masalah penyandang cacat ketika
mencari pekerjaan. Mereka masih sangat merasakan adanya pembedaan yang didapat
dari lingkungan sekitar sejak mereka lahir maupun setelah dewasa. Padahal kecacatan
ini tentu tidak diharapkan oleh semua manusia.
Persepsi orang-orang
tentang penyandang cacat juga sangat menyedihkan. Berdasarkan contoh kasus diatas,
banyak orang yang masih beranggapan bahwa penyandang cacat tidak dapat
produktif atau dengan kata lain mereka hanya ditempatkan sebagai masyarakat
yang harus disantuni. Padahal tidak sedikit penyandang cacat yang memiliki
kemampuan dan keterampilan diatas rata-rata. Contohnya adalah Wuri Handayani,
penyandang cacat lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga yang lulus
dengan predikat cumlaude. Ketika
mendaftar sebagai pelamar CPNS untuk mengisi lowongan sebagai akuntan, Wuri
menerima tindakan penolakan oleh panitia rekrutmen CPNS. Pada waktu mendaftar,
panitia langsung menolak Wuri yang dengan alasan tidak memenuhi persyaratan
umum yaitu tidak sehat jasmani karena menggunakan kursi roda.[9]
Kondisi di Indonesia berbeda dengan yang ada di negara lain. Salah satu
contohnya di Jepang. IBM Computer
yang mempekerjakan 3000 tenaga kerja dapat mempekerjakan lebih dari 200 orang
pemakai kursi roda sebagai computer programmer. Artinya, kondisi seperti itu
telah melebihi quota wajib 1,6% bagi perusahaan swasta di Jepang, dikarenakan
aksesibilitas untuk diffabel (penyandang
cacat) sudah baik. Di transportasi umum maupun di dalam gedung sudah ada ‘jalan
masuk’ (aksesibilitas) yang dapat digunakan oleh pemakai kursi roda secara
mandiri.[10]
Pada abad ke 21
ini seharusnya Indonesia mengalami kemajuan dalam menangani persoalan tentang penyandang
cacat sebagai perwujudan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi,
dilihat dari kenyataan yang ada masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi. Sebagai negara hukum, perlindungan hak-hak asasi, termasuk hak asasi
penyandang cacat, adalah hal yang seharusnya menjadi prioritas bagi Indonesia dalam
menjalankan roda pemerintahan dan itu merupakan tanggung jawab pemerintah
sebagai penguasa. Pemerintah sebagai penguasa disini terkait erat dengan
kekuasaan pemerintahan (bestuur;Verwaltung),
yang merupakan objek hukum administrasi.
Dalam sejarah
hukum Eropa Kontinental, hukum administrasi lahir sebagai konsekuensi dari
konsep negara hukum liberal (de liberale
rechtsstaatsidee) pada abad ke-19. Konsep dasar negara hukum liberal adalah
keterikatan kekuasaan pemerintahan pada undang-undang (asas legalitas; wetmatigheidbeginselen) dan jaminan
perlindungan hak-hak asasi.[11]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum administrasi merupakan instrumen
negara hukum. Hal ini berarti sejak awal lahirnya, hukum administrasi memiliki
fungsi utama yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dikaitkan
dengan konsep ini, ukuran atau indikasi negara bukanlah negara hukum in realita apabila hukum administrasi
tidak berfungsi.[12]
Ruang lingkup
hukum administrasi (bestuursrecht/administratiefrecht;
administrative law) ialah :
1.
Mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan
mengendalikan masyarakat;
2.
Mengatur cara-cara partisipasi warganegara dalam proses
pengaturan dan pengendalian tersebut;
3.
Perlindungan hukum (rechtsbescherming);
4.
(hukum administrasi Belanda) Menetapkan norma-norma
fundamental bagi penguasa untuk pemerintahan yang baik : (algemene beginselen van behoorlijk bestuur/abbb).[13]
Salah satu makna diatas
menggambarkan bahwa hukum administrasi itu memberikan perlindungan hukum bagi
rakyat. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat disini berkaitan dengan
rumusan dalam kepustakaan berbahasa Inggris, yaitu legal protection of the individual in relation to acts of
administrative authorities.[14]
Istilah perlindungan hukum dalam
bahasa Inggris diberi terminologi “legal
protection” dan dalam bahasa Belanda “Rechts
bescherming”. Untuk menjelaskan istilah tersebut dapat dibandingkan dari
dua sumber, yaitu dalam kamus hukum Black’s Law dan
dari pemikiran akademis oleh Philipus
M. Hadjon .
Dalam kamus Black’s Law, perlindungan
hukum sejajar dengan konsep “legal protection”,
istilah dasarnya adalah “protection”
yaitu “the protection of an individual by
government is on condition of his sub-mission to the laws”[15]
(perlindungan bagi individu oleh pemerintah dalam kondisinya yang harus tunduk
pada hukum). Pada konsepsi ini jelas terdapat dua unsur penting, yaitu unsur
penundukan hukum dan unsur pemerintah. Jadi dalam konsep perlindungan hukum
akan terkait dua unsur penting yaitu aspek hukumnya di satu sisi dan aspek
pemerintah di sisi lain.[16]
Dalam telaah teoritik yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, konsep
perlindungan hukum dikaitkan dengan penggunaan
wewenang pemerintahan (administrative
authorities). Oleh sebab itu
dikemukakan adanya dua bentuk perlindungan hukum yaitu preventif dan represif.
Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa
sedangkan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa.[17]
Jadi pengertian tersebut harus selalu dikaitkan dengan sengketa antara
pemerintah, yang menyangkut tindak pemerintahan (bestuurshandeling; administrative action), dengan rakyat.
Dengan mengkaitkan
konsep perlindungan hukum dengan permasalahan yang terjadi pada hak-hak asasi penyandang
cacat, berarti bahwa bestuur harus
memberikan suatu jaminan perlindungan hukum bagi hak asasi penyandang cacat,
terutama untuk mendapatkan kesamaan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam
memperoleh pekerjaan. Jaminan perlindungan hukum atas hak asasi penyandang
cacat tersebut dapat dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan, sehingga
fungsi jaminan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Konsep
perlindungan hukum sangat penting artinya bagi perlindungan hak-hak asasi
manusia di suatu negara. Jika tidak ada pengaturan mengenai perlindungan hak
asasi manusia, termasuk hak asasi penyandang cacat, di suatu negara maka dapat
dikatakan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi tidak terwujud. Maka dari
itu, dapat dikatakan bahwa hukum administrasi suatu negara tidak berfungsi
dengan baik. Dengan demikian, negara tersebut dapat dikatakan bukanlah suatu
negara hukum in realita.
Jaminan
perlindungan hukum bagi penyandang cacat atas hak untuk mendapatkan perlakuan yang
sama dalam segala aspek kehidupan termasuk aspek ketenagakerjaan telah
tercantum dalam Pasal 28 D ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan 28I ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, yang berbunyi :
Pasal 28D
(2) Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja.
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
Pasal
28I
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Hal yang penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan untuk
menghindari perlakuan yang diskriminatif dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
adalah adanya aksesibilitas. Jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang cacat
tercantum dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, yang
berbunyi :
Pasal 28H
(2) Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Untuk
tetap hidup dan mempertahankan kehidupannya, penyandang cacat harus dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dengan bekerja, maka penyandang cacat baru
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Berbekal pada kemampuan dan
keterampilan yang dimiliki, tidak sedikit penyandang cacat yang berhasil
mengangkat tingkat kesejahteraan dalam kehidupan yang lebih baik.
Hal ini dibuktikan
oleh para tunanetra yang saat ini bekerja sebagai operator telepon di beberapa
perusahaan di Jakarta, seperti PT Indosiar Visual Mandiri, Bank Muamalat, Rumah
Sakit Hermina, Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan sebagainya (tercatat
kurang lebih 16 perusahaan di Jakarta yang telah menerima 29 tunanetra dan satu
di perusahaan pertambangan batubara di SawahLunto sebagai operator telepon yang
telah dilatih Yayasan Mitra Netra.[18]
Lalu ada Gufroni Sakaril, penyandang cacat fisik berumur 30 tahun, yang kini
menjabat sebagai Public Relation Manager Indosiar.[19]
Dari kedua contoh diatas adalah bukti dimana
para penyandang cacat dapat mandiri dan bekerja. Tidak mungkin selamanya
penyandang cacat adalah tukang pijat atau melakukan pekerjaan yang tidak
memerlukan skill, karena sebagian besar penyandang cacat memiliki kemampuan
yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, pada praktek
kehidupan sehari-hari mereka harus diperlakukan sama, diberi hak yang sama dan kesempatan
untuk dapat membuktikannya.
I.2 Rumusan Masalah
Indonesia adalah
negara hukum yang mengakui, menjunjung tinggi, dan melindungi hak-hak asasi manusia. Oleh
karena itu dapat diangkat dua rumusan masalah dalam penulisan ini, yaitu :
1.
Apakah peraturan perundang-undangan di
Indonesia menjamin hak-hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan?
2.
Perlindungan hukum yang dapat ditempuh jika
terjadi penyimpangan dalam mewujudkan hak asasi penyandang cacat.
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah
:
a.
Untuk memahami dan menelaah lebih dalam
lagi sejauh mana jaminan hukum atas persamaan dan kesempatan kerja yang
diberikan kepada tenaga kerja penyandang cacat guna meningkatkan kesejahteraan
hidup. Serta untuk mengetahui peran pemerintah dalam memberikan jaminan
perlindungan hukum bagi penyandang cacat.
b.
Untuk mengetahui macam-macam sarana
perlindungan hukum represif dan menemukan problem
solving jika terjadi pelanggaran yang berkaitan dengan hak asasi penyandang
cacat terhadap bentuk-bentuk praktek penyelenggaraan persamaan kesempatan dalam
aspek ketenagakerjaan.
I.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat menambah wacana dan wawasan bagi siapa saja yang memiliki
keingintahuan tentang para penyandang cacat dan berkeinginan membantu atau
mencari solusi untuk mewujudkan kesetaraan antara penyandang cacat dengan
masyarakat pada umumnya dalam memperoleh pekerjaan baik itu sebagai pegawai
negeri maupun pegawai swasta sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
penyandang cacat dalam kehidupan yang lebih baik.
I.5 Metode Penelitian
a. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum
itu ada 2 (dua) macam, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
empiris. Penulisan dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif. Di
dalam kepustakaan anglo american
terdapat tiga tipe penelitian hukum yang dapat dikategorikan sebagai penelitian
hukum normatif (legal research),
yaitu :
1. Penelitian yang berupa
inventarisasi hukum positif.
2. Penelitian yang berupa
usaha-usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma/doktrin) hukum
positif.
3. Penelitian yang berupa
usaha penemuan hukum in concreto yang
sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.[20]
Sesuai dengan
judul penulisan dan permasalahan yang dirumuskan maka pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1.
Statute approach atau pendekatan peraturan
perundang-undangan.
2.
Conceptual approach atau pendekatan
konseptual, yaitu berdasarkan konsep-konsep teknik yuridis dan teoritis.
3.
Case approach atau pendekatan
yurisprudensi, yaitu berdasarkan putusan pengadilan.
b.
Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penulisan ini
dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1.
bahan hukum primer, berupa norma-norma
hukum. Bahan hukum primer ini akan dikumpulkan dari peraturan
perundang-undangan, konsep teknik yuridis, dan putusan pengadilan.
2.
bahan hukum sekunder, berupa pendapat-pendapat
hukum yang berkaitan atau relevan dengan masalah dalam penelitian ini, yaitu
tentang perlindungan hukum bagi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan,
baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Bahan hukum sekunder
ini akan dikumpulkan dari buku-buku hukum, jurnal hukum, makalah seminar, surat
kabar, internet, catatan kuliah, internet, dan skripsi mahasiswa hukum
Universitas Airlangga.
Bahan-bahan hukum diatas akan
dikumpulkan dari :
1.
UU....
2.
UU
3.
....
4.
...
5.
....
6.
....
c. Pengumpulan Bahan Hukum
Pertama-tama peneliti mengumpulkan
semua sumber bahan hukum yang terkait dengan penelitian ini atau disebut dengan
inventarisasi. Lalu peneliti membaca sumber bahan hukum tersebut. Setelah
membacanya, kemudian mengidentifikasi bahan hukum atau memisahkan bahan hukum
antara yang berkaitan dengan masalah dengan yang tidak relevan dengan masalah
dalam penelitian ini.
d. Analisis Bahan Hukum
Setelah semua bahan hukum primer dan sekunder terkumpul maka dapat
dianalisis dengan 2 (dua) cara, yaitu pertama-tama peneliti terlebih dahulu mengklasifikasi
bahan-bahan hukum primer dan sekunder berdasarkan rumusan masalah yang diajukan.
Setelah itu, peneliti membaca semua bahan hukum yang ada untuk menemukan
hukumnya. Kemudian peneliti menjelaskan setiap permasalahan berdasarkan rumusan
masalah yang diajukan dengan menggunakan teknik interpretasi atau penafsiran.
Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan
yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.[21]
Metode ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui dan menjelaskan makna
undang-undang, dimana pada akhirnya bertujuan untuk merealisir fungsi agar
hukum positif itu berlaku.
[1] Joko Setiyono, “Kebijakan Legislatif Indonesia Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat”, dalam H. Muladi (ed), Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, Januari 2005, h. 120.
[2] Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, PT Gramedia, Jakarta, 1983, h. 27.
[3] Badriah, ”Orang Cacat Dilarang Sekolah di Sekolah Umum”, http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/06/09/brk,20050609-62251,id.html, 09 Juni 2005.
[4] Nurul Fatchiati, “Rendah, Kesempatan Sekolah Penyandang Cacat”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/04/jogja/1031372.htm, 4 Desember 2006.
[5] Titiana Adinda, “Menggugat Pelaksanaan Kebijakan untuk “Diffable””, http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20061212165731, 12 Desember 2006.
[6] Edi Nugroho,” Sulitnya Penyandang Cacat Cari Kerja”, http://www.banjarmasinpost.com/opini/opini_contoh2&bahas sulitnya penyandang cacat cari kerja.htm, 15 Desember 2005.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Wawancara dengan Wuri Handayani, 12 Mei 2006.
[10] “Aksesibilitas dan diffabelitas”, http://mitranetra.or.id/news/index.asp?lg=2&id=21406959&mrub=3, 21 April 2006.
[11] Philipus M.Hadjon, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Administrasi”, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyaraka, PT Refika Aditama, Bandung, Januari 2005, h. 63
[12] Ibid.
[13] Philipus M. Hadjon et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. VIII, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, h. 28.
[14] Lihat Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, cet.I, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 1.
[15] Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Publishing co. 1990, h. 1223.
[16] Wiwik Budi Wasito, “Perlindungan Hukum terhadap Hak Warga negara untuk Memperoleh Pendidikan yang Bermutu dan Tanpa Diskriminasi”, skripsi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005, h. 12.
[17] Philipus M. Hadjon III, op.cit., h. 2.
[18] “Difersifikasi Peluang Kerja Bagi Tenaga Kerja Tunanetra Sebuah Upaya Sarat Tantangan”, http://www.mitranetra.or.id/arsip/index.asp?kat=Naker&id=06110101.
[19] “Penyandang Cacat jadi Profesional Muda, Tentu Bisa!”, http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=1041&tbl=psejat, 8 Desember 2005.
[20] Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, h. 10.
[21] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Ed. IV, Cet. II, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar