Translate

Rabu, 30 Oktober 2013

Perlindungan Hukum bagi Penyandang Cacat untuk Mendapatkan Jaminan Aksesibilitas dalam Memperoleh Pekerjaan

BAB I
PENDAHULUAN

 I.1  Latar Belakang
            Negara Indonesia adalah negara hukum. The founding fathers ketika mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merumuskan bahwa negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat).[1] Oleh karena itu, hukum hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 Indonesia sebagai negara hukum, setidaknya harus memiliki tiga ciri-ciri pokok sebagai berikut :
a.       Pengakuan dan perlindungan atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;
b.      Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan lain apapun;
c.       Menjunjung tinggi asas legalitas.[2]
            Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia juga mencakup aspek kemanusiaan. Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu tercantum pada pasal 28A yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Hak-hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia termasuk juga kepada penyandang cacat.  
            Namun pada kenyataannya, penyandang cacat sering dikelompokkan berbeda dengan anggota masyarakat lainnya dalam mempertahankan kehidupannya. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, kebutuhan dan kepentingan penyandang cacat selalu dibeda-bedakan bahkan terabaikan baik oleh pemerintah maupun anggota masyarakat sekitarnya. Hal tersebut dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang membatasi ruang gerak penyandang cacat dan fasilitas-fasilitas yang tidak cukup memadai bagi penyandang cacat dalam melakukan aktivitasnya.
            Misalnya dalam bidang pendidikan, telah dicantumkan persyaratan dalam penerimaan murid baru sekolah menengah atas tahun 2005, bahwa calon siswa hendaknya tidak memiliki cacat fisik karena dianggap siswa cacat fisik dapat menggangu kegiatan belajar mengajar.[3] Lalu, masih banyak penyandang cacat yang tidak sekolah dikarenakan kurangnya Sekolah Luar Biasa (SLB) di suatu daerah. Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan dikarenakan tidak adanya fasilitas yang memadai di Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun di sekolah umum untuk kegiatan belajar mengajar para penyandang cacat.[4]
            Contoh lainnya yaitu dalam aksesibilitas fasilitas-fasilitas publik. Dapat dilihat bahwa sangat jarang fasilitas publik seperti kantor pemerintah, tempat ibadah, bank, rumah makan, sekolah, airport, kantor pos, stasiun kereta api, mal/plaza dan lainnya yang menyediakan jalan bagi kursi roda. Bahkan seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit.[5]
            Dalam ajaran agama, kita mengetahui bahwa makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna adalah manusia karena manusia memiliki akal budi, pikiran, hati, rasa dan karsa yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Walaupun manusia merasa dirinya berbeda-beda secara fisik, materi, status sosial dan kedudukan namun Tuhan melihat ciptaannya itu sama. Tapi pada hakekatnya manusia sendiri sering memberikan perlakuan yang berbeda atau yang bersifat diskriminatif terhadap sesamanya. Pembedaan perlakuan terhadap penyandang cacat adalah salah satu contohnya. Jadi banyaknya pembedaan yang ada di sekitar kita adalah perbuatan manusia sendiri terhadap sesamanya, yaitu penyandang cacat baik berwujud sikap, perilaku maupun perlakuannya. Seperti pada contoh diatas, perlakuan yang tidak setara dan tidak adil sering dialami oleh penyandang cacat dalam semua bidang. Apalagi pada kenyataannya, penyandang cacat sangat sulit untuk mendapatkan hak akses ketenagakerjaan di Indonesia.
Ketentuan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memberi kerangka acuan global bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan .” Makna yang terkandung didalamnya mempunyai arti bahwa tidak ada perbedaan setiap warga untuk memperoleh pekerjaan, baik warga penyandang cacat maupun masyarakat pada umumnya.
Namun pada kenyataannya, banyak sekali penyimpangan terhadap pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang terjadi di sekitar kita. Seperti pengalaman seorang penyandang cacat tuna pendengaran dan bahasa yang selalu ditolak ketika melamar pekerjaan di perusahaan swasta dan BUMN di Propinsi Banjarmasin. Dia adalah lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) ternama dengan predikat terbaik di daerah tersebut dan IQnya rata-rata. Dia juga menguasai berbagai program komputer yang praktis untuk pekerjaan kantor. Tetapi pada waktu melamar pekerjaan, hampir semua perusahaan swasta dan BUMN selalu menganggap anak bisu dan tuli ini tidak dapat bekerja. Mereka menganggap bahwa orang bisu dan tuli tidak perlu mencari pekerjaan, karena masih banyak orang yang normal dimana merupakan lulusan sekolah umum, perguruan tinggi dan mahir menggunakan komputer.[6]
Di Kalimantan ada seorang ibu dari seorang anak cacat mental (IQ rendah) yang sedang mencarikan pekerjaan kasar untuk anaknya di proyek bangunan. Namun, mandor proyek langsung menolaknya dengan alasan lebih baik mencari pemuda sehat mental agar mudah diarahkan dalam bekerja.[7]
Kasus serupa juga dialami oleh Nine, seorang penyandang cacat tuna netra lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada saat mau mengisi formulir pendaftaran CPNS 2004 Kabupaten Karang Anyar Jateng, Ibu S, yang duduk sebagai ketua panitia pendaftaran CPNS 2004 Kabupaten Karang Anyar Jateng, langsung menolak Nine karena Nine tidak memenuhi persyaratan utuh secara jasmani dan dianggap pasti tidak mampu bekerja. Padahal Nine sudah memiliki brevet lengkap sebagai pengajar bahasa Inggris.[8]
Ketiga contoh diatas adalah sebagian kecil keluhan dan masalah penyandang cacat ketika mencari pekerjaan. Mereka masih sangat merasakan adanya pembedaan yang didapat dari lingkungan sekitar sejak mereka lahir maupun setelah dewasa. Padahal kecacatan ini tentu tidak diharapkan oleh semua manusia.
Persepsi orang-orang tentang penyandang cacat juga sangat menyedihkan. Berdasarkan contoh kasus diatas, banyak orang yang masih beranggapan bahwa penyandang cacat tidak dapat produktif atau dengan kata lain mereka hanya ditempatkan sebagai masyarakat yang harus disantuni. Padahal tidak sedikit penyandang cacat yang memiliki kemampuan dan keterampilan diatas rata-rata. Contohnya adalah Wuri Handayani, penyandang cacat lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga yang lulus dengan predikat cumlaude. Ketika mendaftar sebagai pelamar CPNS untuk mengisi lowongan sebagai akuntan, Wuri menerima tindakan penolakan oleh panitia rekrutmen CPNS. Pada waktu mendaftar, panitia langsung menolak Wuri yang dengan alasan tidak memenuhi persyaratan umum yaitu tidak sehat jasmani karena menggunakan kursi roda.[9]
Kondisi di Indonesia berbeda dengan yang ada di negara lain. Salah satu contohnya di Jepang. IBM Computer yang mempekerjakan 3000 tenaga kerja dapat mempekerjakan lebih dari 200 orang pemakai kursi roda sebagai computer programmer. Artinya, kondisi seperti itu telah melebihi quota wajib 1,6% bagi perusahaan swasta di Jepang, dikarenakan aksesibilitas untuk diffabel (penyandang cacat) sudah baik. Di transportasi umum maupun di dalam gedung sudah ada ‘jalan masuk’ (aksesibilitas) yang dapat digunakan oleh pemakai kursi roda secara mandiri.[10]
Pada abad ke 21 ini seharusnya Indonesia mengalami kemajuan dalam menangani persoalan tentang penyandang cacat sebagai perwujudan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, dilihat dari kenyataan yang ada masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Sebagai negara hukum, perlindungan hak-hak asasi, termasuk hak asasi penyandang cacat, adalah hal yang seharusnya menjadi prioritas bagi Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahan dan itu merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai penguasa. Pemerintah sebagai penguasa disini terkait erat dengan kekuasaan pemerintahan (bestuur;Verwaltung), yang merupakan objek hukum administrasi.
Dalam sejarah hukum Eropa Kontinental, hukum administrasi lahir sebagai konsekuensi dari konsep negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatsidee) pada abad ke-19. Konsep dasar negara hukum liberal adalah keterikatan kekuasaan pemerintahan pada undang-undang (asas legalitas; wetmatigheidbeginselen) dan jaminan perlindungan hak-hak asasi.[11] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum administrasi merupakan instrumen negara hukum. Hal ini berarti sejak awal lahirnya, hukum administrasi memiliki fungsi utama yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dikaitkan dengan konsep ini, ukuran atau indikasi negara bukanlah negara hukum in realita apabila hukum administrasi tidak berfungsi.[12]
Ruang lingkup hukum administrasi (bestuursrecht/administratiefrecht; administrative law) ialah :
1.            Mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat;
2.            Mengatur cara-cara partisipasi warganegara dalam proses pengaturan dan pengendalian tersebut;
3.            Perlindungan hukum (rechtsbescherming);
4.            (hukum administrasi Belanda) Menetapkan norma-norma fundamental bagi penguasa untuk pemerintahan yang baik : (algemene beginselen van behoorlijk bestuur/abbb).[13]
Salah satu makna diatas menggambarkan bahwa hukum administrasi itu memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat disini berkaitan dengan rumusan dalam kepustakaan berbahasa Inggris, yaitu legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities.[14]
Istilah perlindungan hukum dalam bahasa Inggris diberi terminologi “legal protection” dan dalam bahasa Belanda “Rechts bescherming”. Untuk menjelaskan istilah tersebut dapat dibandingkan dari dua sumber, yaitu dalam kamus hukum Black’s Law dan dari pemikiran akademis oleh Philipus M. Hadjon.
Dalam kamus Black’s Law, perlindungan hukum sejajar dengan konsep “legal protection”, istilah dasarnya adalah “protection” yaitu “the protection of an individual by government is on condition of his sub-mission to the laws”[15] (perlindungan bagi individu oleh pemerintah dalam kondisinya yang harus tunduk pada hukum). Pada konsepsi ini jelas terdapat dua unsur penting, yaitu unsur penundukan hukum dan unsur pemerintah. Jadi dalam konsep perlindungan hukum akan terkait dua unsur penting yaitu aspek hukumnya di satu sisi dan aspek pemerintah di sisi lain.[16]
Dalam telaah teoritik yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, konsep perlindungan hukum dikaitkan dengan penggunaan wewenang pemerintahan (administrative authorities). Oleh sebab itu dikemukakan adanya dua bentuk perlindungan hukum yaitu preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa sedangkan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa.[17] Jadi pengertian tersebut harus selalu dikaitkan dengan sengketa antara pemerintah, yang menyangkut tindak pemerintahan (bestuurshandeling; administrative action), dengan rakyat.
Dengan mengkaitkan konsep perlindungan hukum dengan permasalahan yang terjadi pada hak-hak asasi penyandang cacat, berarti bahwa bestuur harus memberikan suatu jaminan perlindungan hukum bagi hak asasi penyandang cacat, terutama untuk mendapatkan kesamaan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Jaminan perlindungan hukum atas hak asasi penyandang cacat tersebut dapat dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan, sehingga fungsi jaminan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Konsep perlindungan hukum sangat penting artinya bagi perlindungan hak-hak asasi manusia di suatu negara. Jika tidak ada pengaturan mengenai perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak asasi penyandang cacat, di suatu negara maka dapat dikatakan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi tidak terwujud. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa hukum administrasi suatu negara tidak berfungsi dengan baik. Dengan demikian, negara tersebut dapat dikatakan bukanlah suatu negara hukum in realita.
Jaminan perlindungan hukum bagi penyandang cacat atas hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan termasuk aspek ketenagakerjaan telah tercantum dalam Pasal 28 D ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, yang berbunyi :
Pasal 28D
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28E
(1)    Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal 28I
(2)    Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif  itu.
Hal yang penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan untuk menghindari perlakuan yang diskriminatif dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan adalah adanya aksesibilitas. Jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang cacat tercantum dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, yang berbunyi :
Pasal 28H
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Untuk tetap hidup dan mempertahankan kehidupannya, penyandang cacat harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dengan bekerja, maka penyandang cacat baru dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Berbekal pada kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, tidak sedikit penyandang cacat yang berhasil mengangkat tingkat kesejahteraan dalam kehidupan yang lebih baik.
Hal ini dibuktikan oleh para tunanetra yang saat ini bekerja sebagai operator telepon di beberapa perusahaan di Jakarta, seperti PT Indosiar Visual Mandiri, Bank Muamalat, Rumah Sakit Hermina, Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan sebagainya (tercatat kurang lebih 16 perusahaan di Jakarta yang telah menerima 29 tunanetra dan satu di perusahaan pertambangan batubara di SawahLunto sebagai operator telepon yang telah dilatih Yayasan Mitra Netra.[18] Lalu ada Gufroni Sakaril, penyandang cacat fisik berumur 30 tahun, yang kini menjabat sebagai Public Relation Manager Indosiar.[19]
 Dari kedua contoh diatas adalah bukti dimana para penyandang cacat dapat mandiri dan bekerja. Tidak mungkin selamanya penyandang cacat adalah tukang pijat atau melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan skill, karena sebagian besar penyandang cacat memiliki kemampuan yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, pada praktek kehidupan sehari-hari mereka harus diperlakukan sama, diberi hak yang sama dan kesempatan untuk dapat membuktikannya.

I.2 Rumusan Masalah
Indonesia adalah negara hukum yang mengakui, menjunjung tinggi, dan   melindungi hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu dapat diangkat dua rumusan masalah dalam penulisan ini, yaitu :
1.      Apakah peraturan perundang-undangan di Indonesia menjamin hak-hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan?
2.      Perlindungan hukum yang dapat ditempuh jika terjadi penyimpangan dalam mewujudkan hak asasi penyandang cacat.

I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a.       Untuk memahami dan menelaah lebih dalam lagi sejauh mana jaminan hukum atas persamaan dan kesempatan kerja yang diberikan kepada tenaga kerja penyandang cacat guna meningkatkan kesejahteraan hidup. Serta untuk mengetahui peran pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan hukum bagi penyandang cacat.
b.      Untuk mengetahui macam-macam sarana perlindungan hukum represif dan menemukan problem solving jika terjadi pelanggaran yang berkaitan dengan hak asasi penyandang cacat terhadap bentuk-bentuk praktek penyelenggaraan persamaan kesempatan dalam aspek ketenagakerjaan.

I.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dan wawasan bagi siapa saja yang memiliki keingintahuan tentang para penyandang cacat dan berkeinginan membantu atau mencari solusi untuk mewujudkan kesetaraan antara penyandang cacat dengan masyarakat pada umumnya dalam memperoleh pekerjaan baik itu sebagai pegawai negeri maupun pegawai swasta sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat dalam kehidupan yang lebih baik.

I.5 Metode Penelitian
a.      Pendekatan Masalah
Penelitian hukum itu ada 2 (dua) macam, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penulisan dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif. Di dalam kepustakaan anglo american terdapat tiga tipe penelitian hukum yang dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif (legal research), yaitu :
1.      Penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif.
2.      Penelitian yang berupa usaha-usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma/doktrin) hukum positif.
3.      Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.[20]
Sesuai dengan judul penulisan dan permasalahan yang dirumuskan maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1.      Statute approach atau pendekatan peraturan perundang-undangan.
2.      Conceptual approach atau pendekatan konseptual, yaitu berdasarkan konsep-konsep teknik yuridis dan teoritis.
3.      Case approach atau pendekatan yurisprudensi, yaitu berdasarkan putusan pengadilan.
           
b.                              Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penulisan ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1.      bahan hukum primer, berupa norma-norma hukum. Bahan hukum primer ini akan dikumpulkan dari peraturan perundang-undangan, konsep teknik yuridis, dan putusan pengadilan.
2.      bahan hukum sekunder, berupa pendapat-pendapat hukum yang berkaitan atau relevan dengan masalah dalam penelitian ini, yaitu tentang perlindungan hukum bagi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Bahan hukum sekunder ini akan dikumpulkan dari buku-buku hukum, jurnal hukum, makalah seminar, surat kabar, internet, catatan kuliah, internet, dan skripsi mahasiswa hukum Universitas Airlangga.
Bahan-bahan hukum diatas akan dikumpulkan dari :
1.                                          UU....
2.                                          UU
3.                                          ....
4.                                          ...
5.                                          ....
6.                                          ....

c.       Pengumpulan Bahan Hukum
Pertama-tama peneliti mengumpulkan semua sumber bahan hukum yang terkait dengan penelitian ini atau disebut dengan inventarisasi. Lalu peneliti membaca sumber bahan hukum tersebut. Setelah membacanya, kemudian mengidentifikasi bahan hukum atau memisahkan bahan hukum antara yang berkaitan dengan masalah dengan yang tidak relevan dengan masalah dalam penelitian ini.  

d.      Analisis Bahan Hukum
Setelah semua bahan hukum primer dan sekunder terkumpul maka dapat dianalisis dengan 2 (dua) cara, yaitu pertama-tama peneliti terlebih dahulu mengklasifikasi bahan-bahan hukum primer dan sekunder berdasarkan rumusan masalah yang diajukan. Setelah itu, peneliti membaca semua bahan hukum yang ada untuk menemukan hukumnya. Kemudian peneliti menjelaskan setiap permasalahan berdasarkan rumusan masalah yang diajukan dengan menggunakan teknik interpretasi atau penafsiran. Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.[21] Metode ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui dan menjelaskan makna undang-undang, dimana pada akhirnya bertujuan untuk merealisir fungsi agar hukum positif itu berlaku.


[1] Joko Setiyono, “Kebijakan Legislatif Indonesia Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat”, dalam H. Muladi (ed), Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, Januari 2005, h. 120.
[2] Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, PT Gramedia, Jakarta, 1983, h. 27.
[3] Badriah, ”Orang Cacat Dilarang Sekolah di Sekolah Umum”, http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/06/09/brk,20050609-62251,id.html, 09 Juni 2005.
[4] Nurul Fatchiati, “Rendah, Kesempatan Sekolah Penyandang Cacat”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/04/jogja/1031372.htm, 4 Desember 2006.
[5] Titiana Adinda, “Menggugat Pelaksanaan Kebijakan untuk “Diffable””, http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20061212165731, 12 Desember 2006.
[6] Edi Nugroho,” Sulitnya Penyandang Cacat Cari Kerja”, http://www.banjarmasinpost.com/opini/opini_contoh2&bahas sulitnya penyandang cacat cari kerja.htm, 15 Desember 2005.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Wawancara dengan Wuri Handayani, 12 Mei 2006.
[10] “Aksesibilitas dan diffabelitas”, http://mitranetra.or.id/news/index.asp?lg=2&id=21406959&mrub=3, 21 April 2006.
[11] Philipus M.Hadjon, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Administrasi”, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyaraka, PT Refika Aditama, Bandung, Januari 2005, h. 63
[12] Ibid.
[13] Philipus M. Hadjon et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. VIII, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, h. 28.
[14] Lihat Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, cet.I, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 1.
[15] Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Publishing co. 1990, h. 1223.
[16] Wiwik Budi Wasito, “Perlindungan Hukum terhadap Hak Warga negara untuk Memperoleh Pendidikan yang Bermutu dan Tanpa Diskriminasi”, skripsi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005, h. 12.
[17] Philipus M. Hadjon III, op.cit., h. 2.
[18] “Difersifikasi Peluang Kerja Bagi Tenaga Kerja Tunanetra Sebuah Upaya Sarat Tantangan”, http://www.mitranetra.or.id/arsip/index.asp?kat=Naker&id=06110101.
[19] “Penyandang Cacat jadi Profesional Muda, Tentu Bisa!”, http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=1041&tbl=psejat, 8 Desember 2005.
[20] Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, h. 10.
[21] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Ed. IV, Cet. II, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 154.

Tidak ada komentar: