Translate

Rabu, 30 Oktober 2013

BAB III Perlindungan Hukum Penyandang Cacat

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PERWUJUDAN 
HAK ASASI PENYANDANG CACAT
        
III.1. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Cacat 
Sebagaimana telah dijelaskan pada BAB I, bahwa pengertian perlindungan hukum disini mengacu dari telaah teoritik Prof. Philipus M. Hadjon yang mengajukan konsep perlindungan hukum dikaitkan dengan penggunaan wewenang pemerintah. Dengan “tindak pemerintahan” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat), maka telah dibedakan perlindungan hukum bagi rakyat dalam dua hal, yaitu, perlindungan hukum preventif dan represif.  Perlindungan hukum preventif dan represif selalu berkaitan dengan peraturan, penerbitan izin dan/ suatu keputusan pemerintah yang berbentuk definitif.
Yang dimaksud dengan perlindungan hukum preventif adalah : “Kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapatkan bentuk yang definitif.”  Dalam hubungan ini asas keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan sangat penting artinya.
Arti penting dari perlindungan hukum preventif ialah “mencegah sengketa adalah lebih baik daripada menyelesaikan sengketa”.  Mencegah sengketa dapat dilakukan dengan cara ditetapkannya suatu peraturan yang mengakomodir kepentingan rakyat atau diterbitkannya suatu izin. Misalnya supaya tidak terjadi sengketa antar pemerintah dengan penyandang cacat yang ingin melamar sebagai CPNS, maka seharusnya pemerintah menetapkan peraturan yang berisi tentang kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagaai CPNS. Isi ketentuan tersebut dapat berupa kuota penerimaan yang mewajibkan pemerintah untuk menerima penyandang cacat, syarat kompetensi kerja yang harus dipenuhi oleh penyandang cacat dalam memilih suatu jenis pekerjaan, serta pemberian definisi sehat jasmani dan rohani secara jelas dan tidak ambigu. Jadi dengan adanya peraturan atau izin diharapkan dapat melindungi masyarakat dari kerugian oleh tindakan pemerintah.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.  Namun, pengaturan tentang sarana perlindungan hukum preventif dalam hukum administrasi positif kita belum memadai. Sehubungan dengan itu usaha kodifikasi hukum administrasi umum berupa Undang-Undang tentang ketentuan umum hukum administrasi akan sangat menunjang hal tersebut di atas.
Di dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Philipus M. Hadjon menceritakan bahwa pada tahun 1975, tim dari Council of Europe (Conseil De L’Europe) mengadakan penelitian tentang “the protection of the individual in relation to acts of administrative authorities”. Penelitian tersebut menitikberatkan pada sarana perlindungan hukum yang preventif. Salah satu penelitiannya ialah “the right to be heard”. 
Dari penelitian tersebut, ditarik kesimpulan tentang arti penting dari “the right to be heard”, yaitu :
Pertama, individu yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-haknya dan kepentingannya. Kedua, cara demikian dapat menunjang suatu pemerintahan yang baik (good administration) dan dapat ditumbuhkan suasana saling percaya antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan kata lain, “the right to be heard” punya tujuan ganda, yaitu, menjamin keadilan dan menjamin suatu pemerintahan yang baik. Sehingga kemungkinan sengketa antara pemerintah dan rakyat dapat dikurangi. 
Perlindungan hukum yang represif merupakan upaya untuk menyelesaikan sengketa atas suatu keputusan pemerintah yang telah mendapatkan bentuknya yang definitif, dan pada akhirnya perlindungan hukum represif ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan.
Adapun sarana untuk melakukannya antara lain, bila di negara yang menganut Civil Law System, terdapat dua bentuk pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, yaitu, pengadilan umum (biasa) dan pengadilan administrasi. Sedangkan dalam negara yang menganut Common Law System,  sarana penyelesaian sengketa ada pada satu bentuk pengadilan, yaitu, “Ordinary Court”.  
Selain kedua sistem itu, di negara-negara Skandinavia dikenal adanya lembaga sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa antara rakyat dengan pemerintahnya, yaitu lembaga Ombudsman. 
Dalam penulisan ini, tidak akan membahas lebih jauh mengenai upaya perlindungan hukum preventif karena analisa penulis berangkat dari peraturan-peraturan yang sudah ada. Namun yang perlu ditekankan disini ialah, bagaimana upaya perlindungan hukum represif di Indonesia sebagai negara yang menganut Civil Law System. Serta, apa yang dapat dilakukan oleh penyandang cacat jika hak asasinya untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja dirugikan oleh tindak pemerintahan. Upaya ini perlu dilakukan, sebagai cara untuk meminta pertanggung jawaban dari pemerintah selaku penguasa dan pelaksana roda pemerintahan.

III.2. Sarana-sarana Perlindungan Hukum Represif Dalam Pendekatan Hukum Administrasi Untuk Mewujudkan Hak Asasi Penyandang Cacat Dalam Memperoleh Pekerjaan
Sarana perlindungan hukum represif di Indonesia dapat dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu lembaga yudisial dan lembaga non-yudisial. Lembaga yudisial itu berupa badan peradilan, sedangkan lembaga non-yudisial itu terdiri dari badan-badan khusus, misalnya : Komnas HAM, Ombudsman. 
Dengan bertitik tolak dari Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, badan peradilan yang merupakan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia adalah :
1. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
2. Peradilan Militer khusus untuk KTUN ABRI
3. Peradilan Umum

a). Peradilan Tata Usaha Negara
Sebagai sarana pelindungan hukum represif, Pengadilan Tata Usaha Negara, atau disingkat “PTUN”, diserahi kewenangan untuk mengadili suatu perkara atau disebut dengan istilah “kompetensi absolute”. Sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa : “Pengadilan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa  Tata Usaha Negara”. Yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah “sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan”. 
Kompetensi PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara, yang disingkat “KTUN”. Menuirut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, KTUN memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Suatu penetapan tertulis
Penetapan tertulis atau disebut beschikking ini harus dalam bentuk tertulis. Seperti yang disebutkan dalam penjelasan undang-undang, maka syarat bahwa harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya tetapi asal tampak keluar seperti tertulis. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk mempermudah dalam segi pembuktiannya. Oleh sebab itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut Undang-Undang ini apabila sudah jelas :
a. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta hal mengenai apa isi tulisan itu;
c. Kepada siapa isi tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya. 
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang berkedudukan di pusat dan di daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan disini ialah kegiatan yang bersifat eksekutif. Apabila suatu tindakan hukum TUN diperbuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu pada saat itu dapat kita anggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
Pengertian tindakan hukum TUN ialah perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Jadi suatu tindakan hukum TUN adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada.
4. Bersifat kongkrit, individual, dan final
Bersifat kongkrit artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jikalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Selain bersifat kongkrit dan individual, KTUN yang dikeluarkan tersebut juga bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
5. Menimbulkan akibat hukum bagi individu atau badan hukum perdata.
Menimbulkan akibat hukum dalam hal ini berarti menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada. Karena penetapan tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum bagi individu maupun badan hukum perdata.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berisi tentang pembatasan terhadap pengertian KTUN dalam Undang-Undang PTUN, dimana berbunyi :
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan peraturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Jika dengan dikeluarkannya suatu KTUN, yang sesuai dengan pengertian pada Pasal 1 angka 3 diatas, mengakibatkan seseorang itu dirugikan maka orang tersebut dapat mengajukan gugatan ke PTUN dengan tuntutan agar KTUN tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.  Dalam hal terjadi gugatan di PTUN, Badan atau Pejabat TUN selalu berkedudukan sebagai tergugat, sedangkan individu atau badan hukum perdata sebagai warga masyarakat yang dirugikan kepentingannya akibat tindakan tersebut bertindak selaku penggugat. Untuk dapat mengajukan gugatan di PTUN, penggugat dapat menggunakan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan :
Pasal 53 ayat (2)
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Suatu KTUN dapat dikatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila keputusan tersebut :
1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bersifat prosedural/formal.
2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial.
3) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan asas yang berkembang dalam praktek pengadilan. Asas-asas tersebut meliputi :
a. Asas persamaan;
b. Asas kepercayaan;
c. Asas kepastian hukum;
d. Asas kecermatan;
e. Asas pemberian alasan;
f. Larangan “detournement de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang);
g. Larangan bertindak sewenang-wenang. 
Sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, asas-asas umum pemerintahan yang baik yang telah disebutkan diatas dinamakan asas-asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi :
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas, dan
7. Asas Akuntabilitas.
Alasan-alasan gugatan tersebut merupakan dasar pengujian dan dasar pembatalan bagi PTUN dalam menilai apakah KTUN yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Tidak semua obyek sengketa TUN, yang berupa KTUN, dapat langsung digugat melalui PTUN. Terhadap KTUN yang dalam penyelesaiannya dikenal adanya upaya administrasi, maka penyelesaiannya diharuskan melalui upaya administrasi terlebih dahulu. Apabila penyelesaian melalui upaya administrasi masih belum dapat diterima oleh para pihak, khususnya penggugat, maka sengketa tersebut dapat diajukan gugatan melalui Pengadilan.  Jika gugatan tersebut diajukan ke pengadilan, maka pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.  
Dalam Penjelasan Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjelaskan bahwa :
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu KTUN. Prosedur tersebut dilakukan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “banding administratif”. Dalam hal penyelesaian KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut “keberatan”.
KTUN yang tidak mengenal upaya administrasi dalam penyelesaian sengketa, gugatan langsung diajukan melalui PTUN.  Memperhatikan uraian yang telah dijelaskan diatas, bahwa terdapat dua alur penyelesaian sengketa tata usaha negara, yaitu melalui upaya administrasi dan pengadilan tata usaha negara.  Penyelesaian sengketa melalui upaya administrasi biasanya merupakan alur penyelesaian pada sengketa kepegawaian, perburuhan, dan pajak.

b). Peradilan Umum
Peradilan umum disini menangani sengketa tata usaha negara yang tidak termasuk “kompetensi absolute” PTUN maupun Peradilan Militer. Di Belanda dianut suatu asas bahwa peradilan biasa (peradilan umum kita) mengisi kekosongan perlindungan hukum yang ditinggalkan PTUN.  Atas dasar asumsi tersebut, peradilan umum menangani sengketa-sengketa TUN berupa :
a. Sengketa yang timbul dari perbuatan materil atau timbul dari keputusan yang berupa pengaturan yang bersifat umum;
b. Gugatan ganti rugi tambahan setelah proses PTUN;
c. Gugatan ganti rugi sehubungan dengan eksekusi putusan PTUN. 
Istilah onrechmatige daad yang diterjemahkan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) merupakan salah satu dasar gugatan dalam sengketa keperdataan, selain wanprestasi. Dalam Pasal 1365 BW (KUH Perdata) dirumuskan unsur-unsur PMH, yaitu :
a. Adanya perbuatan/tindakan, yang dilakukan baik secara aktif maupun pasif (karena kelalaian). Namun kelalaian yang dapat menimbulkan PMH biasanya hanyalah kelalaian untuk berbuat sesuatu saja;
b. Perbuatan tersebut melawan hukum / onrechmatig.
Suatu perbuatan/tindakan merupakan PMH ketika memenuhi salah satu dari keempat unsur berikut :
1. Melanggar hak subjektif seseorang;
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan masyarakat.
c. Pelaku memiliki  kesalahan, dalam arti kesalahan yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi. Selain itu, antara perilaku dan akibat tersebut harus dapat dipersalahkan pada si pelaku. Hukum perdata tidak membedakan kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (schuld), selama mengenai besarnya ganti rugi sebagai tindakan melawan hukum.
d. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian, yang meliputi kerugian materiil maupun kerugian imateriil yang diderita sebagai akibat dari perbuatan tersebut
Dalam kehidupan bernegara, tidak menutup kemungkinan tindakan PMH dilakukan oleh pemerintah atau penguasa kepada rakyatnya. Dalam hal terjadinya PMH oleh penguasa, para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa pemerintah memiliki kedudukan yang sama seperti anggota masyarakat pada pada umumnya dalam lalu lintas hukum dan dengan demikian, ketika melakukan perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUPer, dapat diminta untuk bertanggung jawab.
Sehubungan dengan teori PMH berdasarkan pasal 1365, dapat disimpulkan bahwa PMH yang dilakukan oleh pemerintah dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang perbuatan tersebut memenuhi salah satu dari hal-hal berikut ini :
1. Pemerintah melanggar hak subyektif seseorang.
a. Pemerintah dapat dituntut pertanggungjawabanya atas perbuatan yang dengan sengaja melanggar hak subyektif seseorang, kecuali bila pemerintah dapat membuktikan bahwa tindakannya tersebut merupakan amanat dari UU yang mewajibkannya untuk bertindak sebagaimana dilakukannya;
b. Pemerintah tidak dapat dituntut  pertanggungjawabanya atas perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain bila perbuatan tersebut merupakan pelaksanaan tugas publik dalam bentuk suatu kebijaksanaan / bleid tertentu;
c. Pemerintah dapat dituntut pertanggungjawabannya bila terdapat penyalahgunaan wewenang atau menggunakan kekuasaannya untuk suatu tujuan yang tidak dimaksudkan oleh hukum publik ( detournment de pouvoir ).
2. Pemerintah melanggar kewajiban hukumnya.
a. Pemerintah dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas perbuatan yang melanggar kewajiban hukumnya, baik hukum publik maupun hukum perdata, bila pelanggaran tersebut berdasarkan atas suatu norma jaminan (norma yang mengandung perintah kepada penguasa, dan memberikan hak bagi warganya untuk minta pertanggungjawaban dari penguasa);
b. Sebaliknya, pemerntah tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya atas pelanggaran terhadap kewajiban hukumnya yang didasarkan pada norma instruksi (norma yang mengatur batas-batas kewenangan antar sesama organ penguasa dan tidak memberikan hak tuntut kepada warganya).
3. Pemerintah melanggar kepatutan dalam memperhatikan kepentingan terhadap diri dan harta orang lain
Pemerintah tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya bila melakukan perbuatan yang melanggar kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta warganya, bila dalam melakukan tindakannyan  tersebut, pemerintah berada dalam kualitasnya sebagai penguasa dalam melaksanakan tugas publik yang diletakkan kepadanya.   

c). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Selain melalui pengadilan, upaya hukum lain yang dapat dilaksanakan oleh mereka yang ingin memulihkan hak-haknya adalah melalui lembaga-lembaga, salah satunya ialah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM adalah institusi yang dibentuk dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM.  Pembentukan institusi Komnas HAM oleh pemerintah didengungkan sebagai bukti komitmen pemerintah untuk mewujudkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Dengan disahkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disingkat “UU HAM”, maka Komnas HAM yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut UU HAM dan menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan Pasal 75 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM bertujuan, antara lain :
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asai manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam mencapai tujuannya tersebut, Komnas HAM melaksanakan beberapa fungsi yang berkaitan dengan hak asasi manusia, yaitu fungsi :
1. Pengkajian;
2. Penelitian;
3. Penyuluhan;
4. Pemantauan, dan
5. Mediasi. 
Komnas HAM adalah lembaga non yudisial yang merupakan salah satu sarana dalam menyelesaikan suatu sengketa tentang hak asasi manusia. Disini Komnas HAM berperan sebagai pihak ketiga yang menyediakan jasa-jasa baik (good offices), yaitu penyelesaian sengketa tentang hak asasi manusia di luar pengadilan. Penyelesaian yang diberikan oleh pihak ketiga bertujuan untuk membantu menemukan solusi yang terbaik bagi para pihak. Hal ini sesuai dengan pelaksanaan fungsi mediasi yang tercantum pada Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa tugas dan wewenang Komnas HAM dalam melaksanakan fungsi mediasi ialah melakukan beberapa hal sebagai berikut :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 90 UU HAM, setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak-hak asasinya telah dilanggar, dapat mengajukan laporan dan pengaduan baik lisan atau tertulis kepada Komnas HAM. Bahkan pengaduan dapat diwakilkan pada pihak lain berdasarkan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar. Dengan adanya laporan tersebut, Komnas HAM wajib untuk menerima dan memeriksa pengaduan tersebut. Dari pemeriksaan tersebut, Komnas HAM dapat memberikan saran-saran penyelesaian, yaitu bisa berupa saran penyelesaian melalui badan peradilan atau melalui upaya penyelesaian sesuai dengan pasal 89 ayat (4) huruf b diatas dengan Komnas HAM sebagai mediatornya. Hasil upaya penyelesaian dengan mediasi tersebut berupa kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator. Keputusan tersebut bersifat mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.

d). Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Dengan studi perbandingan, ada tiga pendekatan utama dalam hukum administrasi, yaitu :
a. Pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah.
Di Inggris populer dengan pendekata ultra vires.  Kalau hukum administrasi di Belanda sangat menekankan segi-segi rechtmatigheid yang pada dasarnya berkaitan dengan rechtmatigheidcontrole.  Pendekatan-pendekatan tersebut menggambarkan kekuasaan pemerintahan sebagai fokus hukum administrasi.
b. Pendekatan hak asasi (rights based approach).
Rights based approach merupakan pendekatan baru dalam hukum administrasi Inggris. Fokus utama pendekatan ini ialah pada dua hal, yaitu:
1. Perlindungan hak-hak asasi (principles of fundamnetal rights).
2. Asas-asas pemerintahan yang baik (principles of good administration), antara lain : legality, procedural propriety, participation, openness, reasonableness, relevancy, propriety of purpose, legal certainty and proportionality.  
c. Pendekatan fungsionaris.
Pendekatan ini tidak menggusur pendekatan sebelumnya, tetapi melengkapi pendekatan yang ada dengan titik pijak bahwa yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan adalah pejabat (orang). Oleh karena itu hukum administrasi harus memberikan perhatian kepada perilaku aparat. Dengan pendekatan ini, norma hukum administrasi tidak hanya meliputi norma pemerintahan tapi norma perilaku aparat (overheidsgedrag). Norma perilaku tersebut diukur dengan konsep maladministrasi atau perilaku aparat yang buruk. 
Ada dua norma dasar bagi perilaku aparat, yaitu :
a. sikap melayani (dienstbaarheid).
b. terpercaya (betrouwbaarheid), yang meliputi openheid, nauwgezetheid, mtegriteit, soberheid, eerlijkheid. 
Di Belanda, norma perilaku aparat digali dari praktek Ombudsman. Ombudsman adalah instansi yang kewenangannya untuk menilai maladministrasi. Jadi, lembaga ombudsman merupakan parameter perlindungan hukum dari segi pendekatan fungsionaris.
Menurut Philipus M. Hadjon, pakar hukum administrasi negara, lembaga Ombudsman klasik mempunyai karakter sebagai berikut :
1. Ombudsman merupakan lembaga non-yudisial;
2. Ombudsman merupakan perpanjangan parlemen (fungsinya termasuk fungsi kontrol oleh parlemen);
3. ombudsman tidak memiliki wewenang formal untuk menetapkan suatu upaya pemulihan ( no formal power to award a remedy). 
Beliau menjelaskan lebih jauh mengenai fungsi ombudsman yang pada dasarnya menerima laporan warga masyarakat sehubungan dengan tindak pemerintahan (administration action). Ombudsman hanya memberi rekomendasi atas tindakan aparat yang maladministrasi kepada pejabat yang berwenang memutus. Setiap tahun ombudsman melaporkan kepada parlemen tentang pengawasannya.
Di Indonesia juga ada lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menilai perilaku aparat yang buruk dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, yaitu bernama Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Pada Pasal 2 dalam Kepres tersebut, menyatakan bahwa Ombudsman Nasional adalah :
Lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pada Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, menyatakan tentang tujuan dibentuknya Lembaga Ombudsman, yaitu yang berbunyi :
Pasal 3
Ombudsman Nasional bertujuan :
a. Melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
b. Meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik.
KON juga memiliki tugas-tugas sebagaimana tercantum pada Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, yaitu :
a. Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman.
b. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain.
c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.
d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional.
Peran KON disini adalah menerima pengaduan dari masyarakat, dimana masyarakat  yang dapat memberikan aduan atau melapor adalah :
a. Seluruh lapisan masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh aparatur negara dalam memberikan pelayanan publik.
b. Warga Negara Indonesia / Warga Negara Asing.
c. Pelapor adalah orang yang mempunyai kepentingan terhadap kasus yang dilaporkan. 
Melalui Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan, sebagaimana tertera dalam pasal 9, KON berwenang melakukan klarifikasi atau montoring terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan yang diduga melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan umum, tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya.berdasarkan laporan serta informasi dari masyarakat serta pihak lain yang terkait. Kemudian, hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran, disampaikan kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk menindaklanjuti serta kepada pelapor sendiri.

III.3. Kasus Posisi
Bekerja adalah pilihan yang harus diambil oleh semua orang, termasuk penyandang cacat, untuk mendapatkan penghasilan. Penghasilan yang diperoleh dari hasil bekerja digunakan untuk membiayai dan mencukupi segala kebutuhan sehari-hari. Begitu pula sebaliknya, jika kita tidak bekerja maka kita tidak akan mendapatkan penghasilan. Jika kita tidak mempunyai uang, kita juga tidak dapat memenuhi segala kebutuhan yang kita perlukan baik itu pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu bekerja adalah hak setiap orang, termasuk penyandang cacat, untuk dapat meneruskan hidup dan kehidupannya.
Bagi sebagian orang, bekerja tidak hanya untuk mencari uang saja tetapi lebih kepada pemenuhan kepuasan diri dan tuntutan usia produktif dimana pada usia produktif itulah kita, secara psikologis, selalu memiliki hasrat untuk terus bekerja, dituntut untuk dapat menghasilkan suatu karya atau prestasi dan dapat memberikan ide-ide kreatif yang dapat memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan di tempat kerja. Bekerja dan meraih suatu penghargaan atas prestasi yang dihasilkan di tempat kerja adalah merupakan keinginan dan hak bagi setiap orang, termasuk penyandang cacat, untuk dapat mewujudkannya.
Pada kenyataannya, masih banyak penyandang cacat yang terabaikan dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya penyandang cacat untuk mendapatkan suatu pekerjaan, terutama pekerjaan di lingkungan pemerintahan atau PNS. Banyak sekali keluhan yang diterima oleh pihak Pemerintah Kota Surabaya dari para penyandang cacat perihal susahnya untuk melamar sebagai PNS. Namun, tetap tidak ada tanggapan atau solusi dari pihak pemkot. 
Wuri Handayani adalah salah satu penyandang cacat lumpuh yang memakai kursi roda, dimana haknya untuk memperoleh pekerjaan terabaikan. Wuri mengalami penolakan sewaktu melamar sebagai CPNS di Surabaya. Adapun kronologis ditolaknya pendaftaran Wuri Handayani sebagai CPNS adalah sebagai berikut : 
1. Dalam rangka pengadaan PNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya (selanjutnya disebut sebagai pemkot Surabaya), Walikota Surabaya dengan pengumuman Nomor : 810/4555/436.1.4/2004 tertanggal 28 Oktober 2004, telah mengumumkan kepada masyarakat tentang penerimaan CPNS di lingkungan pemkot Surabaya. Pengumuman tersebut berisikan tentang jumlah dan formasi lowongan kerja yang ada, persyaratan, waktu pendaftaran, syarat-syarat pendaftaran, dan lain-lain informasi penerimaaan CPNS.
2. Untuk pelaksanaan penyaringan bagi pelamar CPNS, maka berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya dibentuklah Panitia CPNS.
3. Pada tanggal 6 Nopember 2004, Wuri Handayani dengan membawa segala persyaratan yang diperlukan mendatangi kantor pendaftaran CPNS di Convention Hall, Jl. Arief Rahman Hakim No. 131-133 Surabaya. Adapun maksud Wuri ialah untuk mendaftarkan diri dalam bidang akuntansi.
4. Lalu Wuri mendapatkan nomor antrian 2556. Setelah pada gilirannya, Wuri dipanggil oleh petugas panitia pendaftaran CPNS dan dilakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi pendaftaran yang dibawa oleh Wuri. 
5. Setelah 15 (lima belas) menit dilakukan pemeriksaan oleh panitia, yaitu Ibu Novi sebagai petugas pendaftaran, serta dikoordinasikan kepada Ibu Mia, sebagai koordinator pendaftaran, maka panitia pendaftaran (melalui kedua petugas tersebut) menyatakan bahwa lamaran Wuri tidak dapat diproses ke tahap selanjutnya karena tidak memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan.
6. Sambil menunjukkan pengumuman Walikota Surabaya mengenai penerimaan CPNS di lingkungan pemkot Surabaya, Wuri menanyakan point mana yang tidak dapat dipenuhi oleh dirinya. Namun Ibu Novi tidak dapat menunjukkannya, tapi tetap menyatakan menolak untuk memproses pendaftaran Wuri. Kemudian penolakan tersebut ditegaskan oleh Ibu Mia (NIP. 010252514) dengan memberikan surat keterangan penolakan sebagai peserta tes CPNS tertanggal 6 Nopember 2004. Pada surat keterangan tersebut, diberikan catatan tulisan tangan di bawah point 7, dimana menyatakan bahwa Wuri Handayani :
1. Tidak memenuhi persyaratan umum sebagai CPNS Kota Surabaya;
2. Tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani (memakai kursi roda).
7. Pada tanggal 8 Nopember 2004, Wuri mendatangi kantor Walikota Surabaya untuk menyerahkan surat yang berisi permohonan penjelasan atas kebijakan yang melarang penyandang cacat untuk mendaftar sebagai CPNS. Dalam kesempatan tersebut, Wuri hanya ditemui oleh Sekretaris Kota Surabaya dengan didampingi Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Ketua Sub Tim Pengadaan Panitia Penerimaan CPNS. Mereka menjelaskan bahwa :
1. Seluruh persyaratan teknis pelaksanaan dan keputusan yang berkaitan dengan penerimaan CPNS ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah hanya menjadi pelaksana saja, termasuk mengenai persyaratan sehat jasmani dan rohani;
2. Telah ada keluhan dari beberapa orang penyandang cacat netra yang diajukan kepada Walikota Surabaya sehubungan dengan adanya perlakuan yang sama oleh Panitia Penerimaan CPNS kepada Wuri;
3. Seluruh keluhan dari Wuri maupun penyandang cacat lainnya akan dijadikan masukan bagi Pemerintah Kota Surabaya agar di masa mendatang persoalan serupa dapat dipertimbangkan atau difasilitasi.
Terhadap penjelasan tersebut, Wuri berterima kasih atas kesempatan bertemu dan menyatakan bahwa keputusan untuk menolak penyandang cacat dengan menggeneralisir seluruh penyandang cacat lainnya bukanlah suatu keputusan yang bijaksana. Walaupun telah mendapatkan penjelasan lisan, namun Wuri tetap meminta jawaban secara tertulis dari pihak pemkot Surabaya. 
8. Pada tanggal 11 Nopember 2004 Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Ketua Sub Tim Pengadaan Panitia Penerimaan CPNS mengeluarkan surat jawaban secara tertulis dengan Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 tertanggal 11 Nopember 2004 yang ditujukan kepada Wuri Handayani. Dalam surat tersebut menjelaskan bahwa :
a. Dalam Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 810/4555/436.1.4/2004 tertanggal 28 Oktober 2004, disebutkan ketentuan persyaratan umum bagi pelamar adalah sehat jasmani dan rohani (huruf A angka 1 point k);
b. Pemerintah Kota Surabaya dalam menjabarkan ketentuan sehat jasmani dan rohani tersebut adalah tidak cacat fisik maupun mental, mengingat Pemerintah Kota Surabaya merupakan instansi pelayanan masyarakat yang dituntut memiliki mobilitas kerja yang tinggi.
9. Keputusan menolak Wuri Handayani untuk mengikuti ujian masuk CPNS Kota Surabaya sebagaimana yang dimaksud diatas telah menimbulkan kerugian terhadap diri Wuri Handayani. Oleh karena itu, Wuri Handayani mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 3 Februari 2005.
Gugatan Wuri Handayani diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 3 Februari 2005 dengan Nomor Register 10/G.TUN/2005/PTUN.SBY. Perkara gugatan tata usaha negara tersebut merupakan sengketa antara Wuri Handayani sebagai Penggugat dengan Walikota Surabaya sebagai Tergugat I dan Ketua Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya sebagai Tergugat II. Berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam surat gugatan tersebut dan pertimbangan-pertimbangan hukum lainnya, maka pada tanggal 19 Mei 2005 Hakim PTUN menjatuhkan putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Walikota Surabaya tertanggal 6 Nopember 2004 dan tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 perihal : Penjelasan Penerimaan CPNS di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya Tahun Anggaran 2004, yang pada pokoknya berisi tentang penolakan Tergugat terhadap Penggugat untuk mendaftar diri sebagai peserta test penerimaan CPNS;
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan yang pada pokoknya memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk mengikuti test penerimaan CPNS di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya pada periode berikutnya;
4. Membebankan kepada Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 156.500,- (Seratus Lima Puluh Enam Ribu Lima Ratus Rupiah).
 Atas putusan PTUN tersebut, pihak tergugat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Hakim Tinggi yang menangani perkara ini memberikan pertimbangan bahwa pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama telah tepat dan benar. Oleh karena itu, Pengadilan Tinggi TUN mengambil alih pertimbangan-pertimbangan tersebut sebagai pertimbangannya sendiri dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi TUN.
Berdasarkan putusan tersebut, pihak tergugat menolak putusan Pengadilan Tinggi TUN dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, sampai sekarang MA belum menjatuhkan putusan mengenai perkara ini. 
Penolakan atau tidak diberinya kesempatan yang sama tidak hanya dialami oleh Wuri Handayani, penyandang cacat yang ingin memperoleh pekerjaan sebagai PNS, tetapi juga dialami oleh Indratmojo, seorang PNS yang tiba-tiba mengalami kecacatan. Indratmojo yang akrab dipanggil Mamok adalah seorang PNS yang berdinas di Badan Pusat Statistik (BPS) di Kendangsari, Surabaya. Sebelumnya, beliau berdinas di BPS Timor Timur.
Pada tahun 1997, ketika masih berdinas di Timor-Timur mata kanan Mamok tiba-tiba tidak bisa melihat. Dua tahun kemudian mata kiri Mamok mengalami low vision. Tahun 2000, Mamok mulai berdinas di Surabaya. Karena kondisi yang dialaminya, maka atasan Mamok pada saat itu menyarankan agar Mamok berisitirahat dan tidak perlu bekerja dulu sambil mencari jalan untuk mengobati matanya. Selama 3 tahun (2000-2003), Mamok tetap digaji walaupun tanpa harus bekerja. Namun, selama itu pula beliau tetap datang ke kantor setiap hari. 
Ternyata, apa yang terjadi diluar kehendaknya. Mamok merasa diasingkan dengan teman-teman kerjanya. Ketika berada di kantor, dia tidak produktif sama sekali. Bukan karena dia tidak bisa apa-apa tapi karena tidak ada kesempatan yang diberikan kepadanya. Mamok merasa kecewa dan tertekan karena status ketidakjelasan yang dialaminya. Di satu sisi dia masih seorang pegawai, tapi di sisi lain dia sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. 
Pada tahun 2004, terjadi pergantian pimpinan di BPS Surabaya. Mamokpun akhirnya dipanggil oleh atasan yang baru untuk ditinjau ulang keaktifannya sebagai  pegawai. Melihat kondisi kecacatan Mamok, atasannya meminta agar Mamok pensiun dini dengan alasan bahwa kecacatan Mamok akan menghambat tuntutan profesinya sebagai PNS yang harus selalu aktif. Walaupun Mamok telah mengalami kecacatan tapi dia masih tetap ingin terus bekerja, maka dia mengusulkan untuk dimutasikan menjadi tenaga pengajar di SLB. Berbagai usaha dan pendekatan terhadap BPS dan Sub Diknas PLB telah dilaluinya agar dapat terus bekerja. Bahkan dia dengan giat bersekolah lagi untuk mendapatkan ijazah AKTA 4, yaitu surat ijin mengajar SMP dan SMA. Semua persyaratan untuk mutasi sebagai guru SLB telah dipenuhinya. Namun sampai sekarang, SK persetujuan mutasi atas nama Indratmojo belum juga keluar.
Melihat kedua kasus diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyandang cacat dalam mendapatkan hak dalam aspek ketenagakerjaan selalu mendapat kesulitan.

III.4. Analisa Kasus Wuri Handayani
Berdasarkan tori hukum diatas, dikaitkan dengan kasus Wuri maka jalur penyelesaian sengketa yang diambil oleh Wuri, yaitu melalui PTUN, sudah tepat. Sengeketa TUN yang dialami Wuri termasuk ke dalam kompetensi PTUN, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa Memo atau Surat Penolakan yang ditandatangani oleh Panitia Penerimaan CPNS Pemkot Surabaya tertanggal 6 Nopember 2004 dan yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Kepegawaian Pemkot Surabaya tertanggal 11 Nopember 2004 adalah KTUN, yang sesuai dengan syarat-syarat KTUN sebagaimana tercantum pada Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
2. Wuri adalah individu yang kepentingannya telah dirugikan dengan dikeluarkannya KTUN tersebut, yaitu Wuri tidak dapat mengikuti tes penerimaan CPNS.
3. Isi KTUN tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu kriteria sehat jasmani yang diidentikkan dengan tidak cacat tersebut telah melanggar hak asasi Wuri dalam memperoleh pekerjaan yang tercantum pada UUD 1945, UU HAM, UU Penyandang Cacat, UU Ketenagakerjaan, dan juga UU Kepegawaian. Isi KTUN tersebut juga telah bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas persamaan.
Dalam proses pengadilan PTUN, Hakim telah menjatuhkan putusan untuk memenuhi segala tuntutan Wuri dengan beberapa pertimbangan hukum. Adapun pertimbangan-pertimbangan Hakim TUN adalah sebagai berikut :
1. Bahwa objek sengketa yang dimohonkan pembatalan atau dinyatakan sah serta dimintakan untuk dicabut melalui PTUN adalah Surat tertanggal 6 Nopember 2004 yang ditandatangani oleh Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya dan Surat tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Sub Ketua Tim Pengadaan CPNS.
2. Bahwa penerbitan kedua surat tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, yaitu merupakan tindakan diskrimintif terhadap para penyandang cacat khususnya penggugat (Wuri Handayani).
3. Bahwa menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 23 Tahun 1993 tentang Kesehatan dan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, jelas terlihat adanya perbedaan definisi antara pengertian sehat dan cacat.
4. Bahwa perbedaan pengertian antara sehat dan cacat juga ditegaskan oleh Direktorat Jendaral dan Rehabilitasi Sosial Depertemen Sosial Republik Indonesia, sebagai mana dalam suratnya tertanggal 31 Desember 2004 No.84/PRS-4/XII/2004, perihal Pemberian Hak dan Kesempatan Yang Sama, Surat Edaran Menteri Sosial RI No.001/PRI/XII-04/SE.MS tanggal 9 Desember 2004 tentang Penerimaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Sektor Pemerintah dan Sektor Swasta, dan keterangan saksi ahli Dr.dr. Ferial Hadi Putro  dimana pada intinya menyebutkan bahwa Penyandang Cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani, kecacatan adalah kelainan bukan penyakit.  
5. Bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan keterangan saksi ahli yang menyebutkan bahwa Penyandang Cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani karena itu untuk menyatakan seseorang itu sehat atau sakit harus dengan pemeriksaan Tim Medis atau Dokter.
6. Bahwa dalam Pasal 6 angka 2 Undang-Undang tentang Penyandang Cacat Tahun1997, menyebutkan bahwa setiap Penyandang Cacat berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya: dan dalam Pasal 13   UU tersebut disebutkan bahwa Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Serta dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.4 Tahun 1997 Jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1998 menyebutkan kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
7. Bahwa Direktorat Jendaral dan Rehabilitasi Sosial Depertemen Sosial Republik Indonesia, sebagai mana dalam suratnya tertanggal 31 Desember 2004 No.84/PRS-4/XII/2004, menyatakan bahwa dalam penerimaan tenaga kerja di sektor Pemerintah dan Swasta, apabila ada penyandnag cacat yang dinyatakan sehat harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti penerimaan CPNS.
8. Bahwa dalam Surat Kepala BKN No. K.26-20/V.5-39/48 tentang Pengangkatan Penyandang Cacat Menjadi Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 22 Maret 2001 dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka pada hakekatnya penyandang cacat dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil asalkan sesuai dengan uraian pekerjaan maupun spesifikasi pekerjaan dan kompetensinya, artinya kecacatan seseorang tidak akan mengganggu efektivitasnya dalam melakukan pekerjaan.
9. Bahwa berdasarkan keterangan saksi ahli Taheri Noor, Dr., MA yang menerangkan bahwa dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, Perusahaan Negara dan Swasta saja diwajibkan untuk menerima penyandang cacat untuk dipekerjakan di perusahaannya dalam porsi tertentu apalagi Pemerintah, tentu saja secara moral berkewajiban untuk menerima pegawai dari penyandang cacat untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. saksi ahli Ir. Ngatiyo Ngayoko, M.M. juga menerangkan bahwa penyandang cacat memiliki hak yang sama dengan WNI lainnya, maka tindakan Walikota Surabaya yang menolak penyandang cacat untuk mengikuti tes penerimaan CPNS merupakan tindakan yang bertentangan dengan program Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, yang menginstruksikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia agar berkenan menerima penyandang cacat sebagai pegawai/karyawan baik dilingkungan BUMN/BUMD, Perusahaan Swasta minimal satu persen dari tenaga kerja yang ada.
10. Bahwa asas persamaan atau larangan diskriminasi adalah bahwa hal-hal atau keadaan-keadaan yang sama harus diperlakukan sama pula. Hal-hal dan keadaan tersebut harus sama pula relevansinya.
11. Bahwa sebagaimana telah diuraikan, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah memberikan kesempatan kepada penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan sama dengan warga negara yang lain. Namun, tindakan Tergugat yang menolak Penggugat sebagai penyandang cacat menunjukkan bahwa penyandang cacat itu tidak sama dengan warga negara yang lain dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Oleh karena itu tindakan Tergugat tersebut merupakan perbuatan yang melanggar asas persamaan atau larangan diskriminasi.
Dari uraian pertimbangan-pertimbangan diatas, Hakim menyimpulkan bahwa :
1. Kecacatan tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani;
2. Tindakan Tergugat yang menolak Penggugat untuk mengikuti tes penerimaan CPNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya, sebagaimana tertuang dalam Surat Tergugat tertanggal 6 Nopember 2004 dan tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan: 
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan;
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;
7. Peraturan Pemeintah Nomor 98 tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil;
8. dan peraturan pelaksana lainnya.
b. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu asas persamaan atau larangan diskriminasi.
Walaupun Wuri menyelesaikan sengketanya melalui Badan Peradilan Administrasi, Wuri juga menempuh sarana perlindungan hukum represif melalui lembaga non-yudisial yaitu Komnas HAM dengan meminta saran atau rekomendasi.
Sesuai dengan Pasal 90 UU HAM, Wuri mengajukan laporan dan pengaduan secara tertulis kepada Komnas HAM mengenai penolakan dirinya ketika melamar sebagai CPNS. Oleh karena itu, sesuai dengan tugas dan wewenang yang tercantum pada Pasal 89 UU HAM, Komnas HAM menindaklanjuti masalah tersebut dengan mengeluarkan Memorandum No. 102/PK-KHUSUS/III/2005 yang ditujukan kepada Wuri Handayani perihal : Pelanggaran HAM Hak Ekosob Penyandang Cacat. Dalam memorandum tersebut, Komnas HAM berpendapat bahwa :
5. Penyandang cacat berhak mendapat perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kecacatannya (Pasal 5 ayat (3) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) dan oleh karena itu penyandang cacat harus diperlakukan lebih melalui pendekatan hak asasi manusia.
6. Penyandang cacat berhak mendapat perlindungan lebih agar harkat martabatnya senantiasa ditingkatkan setara dengan warga negara lainnya dengan berpegang pada asas non diskriminasi, persamaan dan kesemuaan terutama oleh Pemerintah (Pasal 8, 71, 72 UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam bentuk meredefinisi, mengamandemen, mencabut UU yang berpotensi melanggar Hak sipol/Hak Ekosob para penyandang cacat.
7. Walikota Kota Surabaya seyogyanya mematuhi amanat Pasal 8, Pasal 71, Pasal 72 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang terutama menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah untuk senantiasa melindungi, memajukan, memenuhi, menegakkan, menghormati hak asasi setiap orang.
8. Pada kenyataannya Walikota Kota Surabaya telah menunjukkan ketidakmampuan, ketidakmauan dalam bentuk diskriminasi berupa interpretasi UU untuk pembenaran penolakan bagi penyandang cacat karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani, berupa :
b. Cacat tidak memenuhi syarat kesehatan, oleh karena itu ditolak (UU No. 23/92 tentang Kesehatan).
c. Pemerintah Kota Surabaya tidak mempunyai kewajiban mempekerjakan penyandang cacat (UU No. 4/97 tentang Penyandang Cacat).
d. Penggunaan “mobilitas” sebagai ukuran produktivitas kerja, padahal seharusnya : “bakat, kecakapan, kemampuan” (Pasal 38 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM).
9. Terdapat bukti awal yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran HAM bidang Ekosob yang tercantum pada Pasal 38 UU No. 39/1999 tentang HAM.
10. Pemerintah secara sistematik (melalui interpretasi UU) atau meluas (melalui kasus Wuri Handayani) menunjukkan diskriminasi langsung terhadap para penyandang cacat sehingga teraniaya.
11. Komnas HAM menyarankan agar Wuri meneruskan upaya hukum yaitu melalui PTUN bagi tegaknya HAM para penyandang cacat untuk setara dengan masyarakat lainnya, jauh dari diskriminasi, alienasi, marginalisasi.
12. Jika perlu, walaupun PTUN belum selesai, dapat dipertimbangkan gugatan ke Pengadilan Negeri atas dasar gugatan perbuatan melawan hukum oleh Walikota (onrecht matigoverheid daad) terhadap Wuri sehingga teraniaya karena menyandang cacat.
13. Komnas HAM akan memantau dan mengkaji apakah perlakuan yang diterima Wuri (penganiayaan) termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan telah cukup memenuhi unsur-unsur pidana pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam memperjuangkan hak asasinya, Wuri juga mengirim surat aduan secara tertulis kepada Departemen Sosial perihal adanya diskriminasi pada pendaftaran CPNS Pemkot Surabaya pada tahun 2004. Menindaklanjuti surat tersebut, maka  Departemen Sosial memberikan Surat Rekomendasi No. 84/PRS-4/XII/2004 perihal : Pemberian Hak dan Kesempatan yang sama kepada Ketua Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya Tahun 2004. Dalam surat tersebut, Departemen Sosial menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Saudara Wuri Handayani seorang penyandang cacat parapelgia (lumpuh kedua tungkai bawah) memakai kursi roda saat ini tercatat sebagai mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Airlangga.
2. Menurut penuturan sdr. Wuri Handayani, yang bersangkutan telah mengikuti pendaftaran penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya, tetapi berkas-berkas pendaftaran telah ditolak karena tidak memenuhi persyaratan umum sehat jasmani dan rohani (memakai kursi roda). Penyandang cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani.
3. Dengan adanya Surat Edaran dari Menteri Sosial Nomor : 001/PRS/XII-04/SE.MS tanggal 9 Desember 2004 tentang Penerimaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Sektor Pemerintah dan Sektor Swasta, sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon apabila ada penyandang cacat yang dinyatakan sehat harus diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mengikuti proses seleksi penerimaan CPNS.
Dari kedua surat tersebut, dapat dikatakan bahwa  laporan yang diajukan Wuri kepada dua lembaga yang berbeda ternyata mendapatkan jawaban yang sama., yaitu tindakan Pemkot Surabaya dalam menolak Wuri untuk mengikuti tes CPNS adalah tidak benar. Alasan penolakan beserta penjelasan yang dikemukakan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan telah melanggar hak asasi Wuri sebagai individu dan warga negara Indonesia. Oleh karena itu Wuri maupun penyandang cacat lainnya yang dalam kondisi sehat berkeinginan untuk melamar sebagai CPNS, maka pemerintah harus memberi hak dan kesempatan yang sama. Didalam surat itu juga dikatakan bahwa sehat jasmani tidak identik dengan tidak cacat, artinya syarat sehat jasmani dan rohani tidak diukur dari kondisi fisik seseorang. Alasan-alasan yang tercantum dalam kedua surat rekomendasi tersebut ditegaskan kembali di dalam putusan PTUN dan PT TUN.
Kondisi kecacatan tidak boleh dipersalahkan jika seorang penyandang cacat ingin melamar suatu pekerjaan, karena yang menjadi pedoman dalam merekrut pegawai/karyawan baru ialah kompetensi kerjanya, bukan mobilitasnya yang selalu terhambat dengan kondisi kecacatannya. Mobilitas tidak menjamin produktivitas seseorang, namun jika orang itu memiliki kompetensi kerja yang tinggi berarti orang tersebut dikatakan “produktif”. Jadi ukuran penyandang cacat layak untuk diterima bekerja di suatu perusahaan atau sektor pemerintahan (PNS) bukanlah didasarkan pada mobilitas seseorang akan pekerjaan yang dipilihnya, namun haruslah didasarkan pada kompetensinya, yaitu kecakapan, kemampuan, wawasan, bakat, jenis dan derajat kecacatan, terhadap suatu jenis pekerjaan yang dipilih.
Sehubungan dengan teori PMH yang telah diuraikan diatas, ternyata dapat dikaitkan dengan tindakan Pemkot Surabaya dalam mengeluarkan Surat Penolakan terhadap Wuri. Surat Penolakan tersebut merupakan suatu PMH, karena memenuhi keempat unsur PMH sebagai berikut :
1. Pemkot Surabaya melakukan tindakan dengan tidak memberikan kesempatan kepada Wuri untuk ikut serta dalam ujian penerimaan CPNS di lingkungan Pemkot Surabaya, yang dilakukannya melalui pengeluaran Surat Penolakan.
2. Perbuatan Pemkot Surabaya itu merupakan tindakan yang melanggar hak asasi Wuri untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, hal mana juga dengan sendirinya bertentangan dengan kewajiban Pemkot Surabaya sebagai penguasa untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial dan menjadi panutan bagi rakyatnya dalam kegiatan-kegiatan perwujudan penegakan HAM. Perbuatan Pemkot Surabaya yang melanggar hak orang lain dan kewajiban hukum diri sendiri, merupakan suatu PMH.
3. Perbuatan Pemkot Surabaya tersebut merupakan tindakan yang salah sehingga mengakibatkan Wuri menderita kerugian imateriil.
4. Akibat tindakan Pemkot Surabaya tersebut, maka Wuri jelas mengalami kerugian baik materiil yang berupa biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses lamaran, maupun imateriil yaitu hilangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan, waktu yang terbuang, dan lain sebagainya.  
Dengan demikian pada dasarnya, atas Perbuatan Pemkot Surabaya dalam mengeluarkan Surat Penolakan, Wuri dapat mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri dimana Pemkot Surabaya berkedudukan, dengan dasar gugatan PMH yang dilakukan oleh penguasa, dan dengan tuntutan ganti kerugian baik materiil maupun imateriil.

III.5. Analisa Kasus Indratmojo
Berdasarkan teori hukum yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai upaya penyelesaian terhadap kondisi yang dialami oleh Indratmojo. Dilihat dari kasus posisi, Indratmojo atau Mamok ini masih berstatus sebagai PNS, walaupun Mamok dilarang bekerja selama tujuh tahun akibat kecacatan yang dialami. Melihat kenyataan ini, pemerintah sama sekali tidak memberikan reaksi.
Dalam Pasal 1 ayat (4) UU PTUN dinyatakan bahwa sengketa kepegawaian termasuk sengketa TUN. Dalam Pasal 48 UU PTUN, menyatakan bahwa dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa TUN tertentu secara administratif, maka sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif, sebelum dapat diajukan ke PTUN. Walaupun kasus Mamok ini termasuk ke dalam sengketa kepegawaian karena Mamok masih berstatus sebagai PNS, namun tidak dapat diselesaikan melalui upaya administratif maupun PTUN karena tidak adanya objek sengketa yang dikeluarkan oleh instansi tempat Mamok bekerja.
PNS adalah aparat pemerintahan yang melayani pelayanan publik. Jadi, PNS termasuk ke dalam pendekatan fungsionaris atau perilaku aparat pemerintahan sebagai penyelenggara negara yang berkaitan dengan maladministrasi. Dikaitkan dengan kasus Mamok, bahwa instansi tempat Mamok bekerja, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), merupakan aparat pemerintahan yang dapat dinilai perilakunya. Sesuai penjelasan teori diatas, bahwa Ombudsman ialah lembaga pengawasan yang berwenang untuk menilai perilaku aparat yang maladministrasi. Dengan demikian, dengan perilaku BPS yang buruk maka yang berwenang untuk memeriksa hal tersebut ialah Komisi Ombudsman Nasional.
Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, menyebutkan bahwa “Komisi Ombudsman Nasional ... berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai ... pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan ... dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat”. Dalam ketentuan tersebut jelas menyatakan bahwa pengaduan diajukan oleh masyarakat atas tindakan yang maladministrasi dalam memberikan pelayanan umum. 
Dikaitkan dengan kasus Mamok, bahwa Mamok ialah seorang pegawai yang masih berstatus sebagai PNS dan dia merupakan aparat pemerintahan. Dalam hal ini, Mamok tidak dilihat dari statusnya sebagai PNS tapi sebagai person/orang yang mengalami perlakuan yang tidak adil oleh aparatur negara. Jadi pada dasarnya, Mamok dapat mengajukan laporan/aduan kepada KON atas kondisi yang dialaminya, yaitu tindakan aparat yang terkesan lama atau bertele-tele dalam prosedur untuk menerbitkan izin mutasi sehingga hak Mamok untuk bekerja telah dilanggar.
Prosedur penyampaian pengaduan yang dapat diajukan oleh Mamok adalah sebagai berikut :
a. Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b. Laporan pengaduan harus disertai kronologis kasus yang dijabarkan secara jelas dan sistematis serta ditandatangani.
c. Mencantumkan identitas diri antara lain fotokopi KTP/SIM/Passport.
d. Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya.
e. Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar langsung ke kantor Komisi Ombudsman Nasional atau melalui website (www.ombudsman.or.id).
f. Lakukan tahapan berikut untuk mengirimkan pengaduan melalui website :
1. Lakukan pendaftaran pelapor dengan mengisi formulir pendaftaran secara lengkap dan Kami akan mengirimkan informasi password dan username melalui email.
2. Lakukan login untuk mengirimkan pengaduan serta melihat perkembangan pengaduan. 

Tidak ada komentar: