Translate

Selasa, 14 Januari 2014

Aspek Hukum Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi


Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional, di mana pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, dirasakan perlu pengaturan secara rinci dan jelas mengenai jasa konstruksi, yang kemudian dituangkan dalam di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi).
Jasa Konstruksi Secara Umum
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbentuk badan hukum. Penyedia jasa konstruksi yang merupakan perseorangan hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.
Perizinan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi
Penyedia jasa konstruksi yang berbentuk badan usaha harus (i) memenuhi ketentuan perizinan usaha di bidang jasa konstruksi dan (ii) memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja adalah pengakuan tingkat keahlian kerja setiap badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan demikian, hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi.
Berkenaan dengan izin usaha jasa konstruksi, telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP 28/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 28/2000 (PP 4/2010) dan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional.
Pengikatan Suatu Pekerjaan Konstruksi
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas, dan dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung. Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. Badan-badan usaha yang dimilki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. Berkenaan dengan tata cara pemilihan penyedia jasa ini, telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP 29/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 29/2000.
Kontrak Kerja Konstruksi
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai (i) para pihak; (ii) rumusan pekerjaan; (iii) masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan; (iv) tenaga ahli; (v) hak dan kewajiban para pihak; (vi) tata cara pembayaran; (vii) cidera janji; (viii) penyelesaian perselisihan; (ix) pemutusan kontrak kerja konstruksi; (x) keadaan memaksa (force majeure); (xi) kegagalan bangunan; (xii) perlindungan pekerja; (xiii) aspek lingkungan. Sehubungan dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Uraian mengenai rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi (a) volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan; (b) persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi; (c) persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa; (d) pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat; (e) laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
Peran Masyarakat dan Masyarakat Jasa Konstruksi
Masyarakat juga memiliki peran dalam suatu penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi, diantaranya untuk (i) melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi; (ii) memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan konstruksi; (iii) menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi; (iv) turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
Masyarakat jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi. Masyarakat jasa konstruksi ini diselenggarakan melalui suatu forum jasa konstruksi yang dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Forum ini bersifat mandiri dan memiliki serta menjunjung tinggi kode etik profesi. Peran masyarakat jasa konstruksi ini diatur lebih lanjut dalam PP 4/2010.
Peran Pemerintah
Pemerintah juga memiliki peran dalam penyelenggaraan suatu jasa konstruksi, yaitu melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. Pengaturan yang dimaksud dilakukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan dan standar-standar teknis. Sedangkan pemberdayaan dilakukan terhadap usaha jasa konstruksi dan masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi. Selanjutnya, mengenai pengawasan, dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembinaan ini dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat jasa konstruksi. Pembinaan jasa konstruksi ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Gugatan Masyarakat
Dalam suatu penyelenggaraan usaha jasa konstruksi, terdapat kemungkinan bahwa masyarakat mengalami kerugian sebagai akibat dari penyelenggaraan pekerjaan konstruksi tersebut. Karena itulah, masyarakat memiliki hak mengajukan gugatan perwakilan. Yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat dari kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Sanksi
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran UU Jasa Konstruksi adalah berupa (i) peringatan tertulis; (ii) penghentian sementara pekerjaan konstruksi; (iii) pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; (iv) larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi (khusus bagi pengguna jasa); (v) pembekuan izin usaha dan/atau profesi; dan (vi) pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Selain sanksi administratif tersebut, penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenakan denda paling banyak sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak atau pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
- See more at: http://www.hukumproperti.com/2010/11/02/aspek-hukum-jasa-konstruksi-berdasarkan-undang-undang-nomor-18-tahun-1999-tentang-jasa-konstruksi/#sthash.P3xd5ADx.dpuf
Helen Taurusia, S.H.

Aspek Hukum Hak Pengelolaan Dan Peraturannya

Dasar Hukum
Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut dengan “HPL”) diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain:
  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (“UU BPHTB”)
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. (“PP No.40/1996”)
  3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak enguasaan Atas tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. (“Permenag No.9/1965”)
  4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No.9/1999”).
Pengertian
Berdasarkan Permenag No. 9/1999, pengertian dari HPL yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f UU BPHTB, pengertian HPL dijelaskan lebih lengkap lagi yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukandan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Obyek HPL
Obyek dari HPL adalah tanah untuk pertanian dan tanah bukan untuk pertanian.
Subyek HPL
Berdasarkan Pasal 67 Permenag No. 9/1999, HPL dapat diberikan kepada pihak-pihak sebagai berikut:a.     instansi pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
b.     Badan Usaha Milik Negara;
c.     Badan Usaha Milik Daerah;
d.     PT. Persero;
e.     Badan Otorita;
f.      badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
Terjadinya HPL
HPL dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu:
  1. Konversi hak penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Permenag No.9/1965.
  2. Pemberian hak atas tanah berasal dari tanah negara yang diberikan melalui permohonan, sebagaimana diatur dalam Permenag No.9/1999.
Kewenangan Subyek HPL
Lebih lanjut Pasal 6 Permenag No. 9/1965 menjelaskan HPL memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk:
a.    merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
b.    menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c.    menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6 (enam) tahun;
d.    menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.
Tata Cara Permohonan dan Pemberian HPL
Pasal 70 Permenag No. 9/1999 lebih lanjut menjelaskan terkait tata cara permohonan HPL yaitu permohonan diajukan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Keputusan pemberian atau penolakan pemberian HPL akan disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.Jangka Waktu HPL
HPL tidak mempunyai jangka waktu kepemilikan sehingga jangka waktu HPL adalah tidak terbatas.
Pemberian Hak Atas Tanah di Atas Bagian Tanah HPL
Berdasarkan PPNo. 40/ 1996 menyatakan bahwa di atas tanah HPL dapat diberikan atau dibebankan dengan hak-hak atas tanah yaitu Hak Guna Bangunan (“HGB”) dan Hak Pakai (“HP”). HGB atas tanah HPL dan HP atas tanah HPL diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang HPL kepada calon pemegang HPL.
- See more at: http://www.hukumproperti.com/2013/12/18/aspek-hukum-hak-pengelolaan-dan-peraturannya/#more-1833

sumber : klinikhukum.online

Kewajiban Melunasi Utang Walau Obyek Jaminan Hilang

Saya menggadaikan BPKB motor. Kemudian motor saya hilang dicuri (menurut pihak bank motor saya tersebut tidak diasuransikan) Pertanyaanya : Apakah saya harus terus menyicil sisa utang saya?
************************************************************************

Kami beranggapan bahwa yang Anda maksud dengan BPKB adalah Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor. Dimana yang dijaminkan adalah BPKB dan motornya masih dalam kekuasaan Anda. Kami juga berasumsi bahwa motor tersebut hilang pada saat dalam penguasaan Anda.
 
Pertama kami ingin memberitahu bahwa jika yang Anda jaminkan kepada bank adalah BPKB motor Anda, maka BPKB itu bukan dijaminkan dengan gadai. Sebab berdasarkan Pasal 1150 jo. Pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), benda yang dijaminkan dengan gadai adalah benda bergerak, dimana benda tersebut harus diletakkan di bawah kekuasaan si berpiutang atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh kedua belah pihak. Gadai tidak sah jika benda yang digadaikan tetap berada dalam kekuasan si berutang (debitor) atau sipemberi gadai.
 
Karena dalam hal ini Anda sebagai debitor sekaligus pemberi jaminan berupa benda bergerak yaitu motor, masih dapat mempergunakan motor tersebut (motor masih berada dalam kekuasaan Anda), maka dapat disimpulkan bahwa BPKB tersebut bukan dijaminkan dengan gadai, melainkan dengan fidusia.
 
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”), jaminan fidusia adalah jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Dalam fidusia, benda yang dijadikan jaminan tetap berada dalam penguasaan pemilik benda (pemberi jaminan) dan bukan pada penerima jaminan. Sehingga benda yang dibebani dengan fidusia tetap dapat digunakan oleh pemilik bendanya (Pasal 1 angka 1 UU Fidusia).
 
Dengan hilangnya motor tersebut (motor tersebut tidak diasuransikan) maka jaminan fidusia hapus sebagaimana terdapat dalam Pasal 25 ayat (1) UU Fidusia:
 
“Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau
c. musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.”
 
J. Satrio dalam bukunya Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia(hal. 304), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jaminan fidusia hapus kalau benda objek jaminan fidusia hilang. Kesemuanya dengan tidak mengurangi tanggung jawab pemberi fidusia, kalau hilang atau musnahnya objek jaminan fidusia disebabkan oleh salahnya pemberi fidusia.
 
Mengenai apakah Anda masih harus menyicil utang Anda, ini terkait dengan perjanjian utang yang menjadi perjanjian pokok lahirnya perjanjian fidusia tersebut. Karena pada dasarnya perjanjian fidusia adalah perjanjian yang bersifat accessoir atau tambahan (Pasal 4 UU Fidusia).
 
J. Satrio (ibid, hal 196), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa perjanjian yang bersifat accessoir mempunyai ciri-ciri: lahir/adanya, berpindahnya dan hapusnya/berakhirnya mengikuti perjanjian pokok tertentu. Ini berarti lahir dan hapusnya perjanjian jaminan fidusia sebagai perjanjian accessoir bergantung pada lahir dan hapusnya perjanjian pokoknya.
 
J. Satrio (ibid, hal 304) menegaskan, dalam hal perjanjian jaminan fidusia hapus karena objek fidusia hilang atau musnah, perlu diingat bahwaperjanjian pokoknya untuk mana diberikan jaminan fidusia, tetap utuh.Sehingga tidak mengubah kedudukan pemberi fidusia sebagai debitor, hanya saja sekarang kedudukan kreditor adalah sebagai kreditor konkuren. Kreditor konkuren adalah kreditor yang hanya memiliki jaminan umum (Pasal 1131 KUHPer) sebagai jaminan utang debitor, tidak ada benda tertentu yang dijadikan jaminan untuk utang debitor.
 
Jadi walaupun perjanjian jaminan fidusianya hapus, perjanjian pokoknya masih ada. Yang berarti bahwa kewajiban Anda untuk membayar utang Anda (yang awalnya dijaminkan dengan BPKB motor tersebut) masih ada.
 
Sedangkan dampak dari hilangnya jaminan fidusia bagi pihak Bank selaku kreditor adalahbank tidak mempunyai jaminan kebendaan yang dapat dieksekusi jika debitor wanprestasi terhadap perjanjian utang (perjanjian pokok) tersebut.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
 
J. Satrio. 2005. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. PT Citra Aditya Bakti.
Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif

2332 HITS
DI: HUKUM PERDATA
SUMBER DARI: BUNG POKROL

Status Benda Jaminan Jika Terjadi Kepailitan

1.Bagaimana status harta debitor pailit yang dijaminkan di bank padahal statusnya pada saat itu masuk dalam daftar bundel pailit? 2. Apakah Kurator dapat meminta sertifikat yang menjadi agunan debitor pailit untuk dihitung dan kemudian dilelang? 3.Bagaimana hubungannya dengan UU KPKPU? Terima Kasih.
**************************************************************************************************************
Kepailitan dengan merujuk kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”) adalah: “sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagai diatur dalam Undang-Undang ini.”
Berdasarkan frasa tersebut maka dapat kita artikan bahwa kepailitan adalah suatu kondisi dimana debitor tidak lagi berwenang atas harta-hartanya selama proses kepailitan berlangsung dikarenakan kewenangannya beralih kepada kurator.
Terkait pertanyaan rekan tentang:
Bagaimana status harta debitor pailit yang dijaminkan di bank padahal statusnya pada saat itu masuk dalam daftar bundel pailit?
(Kami mengasumsikan jaminan  yang dimiliki oleh Bank berupa Jaminan Fidusia dan/atau Hak Tanggungan)
Merujuk kepada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”) dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (“UUHT”) maka dapatlah kita simpulkan dari kedua ketentuan tersebut dimana pemegang hak jaminan fidusia dan/atau tanggungan memiliki posisi yang secure didalam proses pailit maupun PKPU. Yang dapat diartikan dimana dengan adanya kondisi kepailitan ataupun PKPU tidak berpengaruh terhadap pemilik hak agunan tersebut.
Pasal 27 ayat (3) UU Fidusia:
“Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.”
Pasal 21 UUHT:
“Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini.”
Hal ini kemudian kembali dipertegas dalam Pasal 55 ayat (1) UUK yang isinya:
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebedaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”
Jadi, dari ketentuan di atas, meskipun dengan adanya status hukum debitor dalam pailit ataupun PKPU, hal tersebut tidak mengesampingkan hak-hak kreditor separatis dari pemegang jaminan fidusia maupun tanggungan.
Bagaimana status dari pemegang hak separatis yang masuk ke dalam daftar boedel pailit (harta pailit)? Melihat salah satu tugas dari kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan adalah melakukan pencatatan terhadap seluruh harta-harta dari debitur pailit dan juga mencantumkan sifat dari piutang tersebut (vide Pasal 100 jo. Pasal 102 UUK), maka dimasukannya harta dari debitor yang sudah dijaminkan kepada bank tidak serta-merta menghilangkan hak dari pemegang jaminan tersebut.  
  
Apakah Kurator dapat meminta sertifikat yang menjadi agunan debitor pailit untuk dihitung dan kemudian dilelang?
Merujuk ketentuan yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UUK:
Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)
Berdasarkan hal tersebut maka pemilik hak agunan tersebut harus melaksanakan haknya setelah jatuhnya insolvensi dalam kurun waktu 2 (dua) bulan.
Bagaimana jika kurun waktu tersebut sudah dilewati dan pemilik hak agunan tersebut belum melaksanakan haknya? Kita merujuk ketentuan pada Pasal 59 ayat (2) UUK yang isinya:
“Setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator harus menuntut diserahkan benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut
Kedua ketentuan tersebut di atas menerangkan bahwa pemegang hak agunan harus melaksanakan haknya dalam kurun waktu 2 (dua) bulan semenjak dimulainya keadaan insolvensi. Dalam hal kreditor pemegang hak agunan tidak melaksanakan haknya maka kurator berhak meminta seluruh kebendaan (sertifikat-sertifikat dan bukti lainnya) dari pemegang agunan untuk kemudian dilelang dan kemudian dibagikan kepada para kreditor tanpa mengurangi hak separatis dari pemilik hak agunan tersebut.  
Bagaimana hubungannya dengan UU KPKPU?
Kami berasumsi yang Anda maksud dengan UU KPKPU adalah Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang kami sebut di atas dengan UUK.
Dalam kontes status hukum debitur dalam PKPU, permasalahan yang rekan sampaikan di atas hampir sama penerapannya. Pada saat penundaan kewajiban pembayaran utang (“PKPU”), pemilik pemegang hak agunan tidak terpengaruhi akan proses PKPU yang berlangsung (vide Pasal 244 UUK).
Namun perlu diketahui lebih lanjut bahwa selama proses PKPU berlangsung pemilik hak agunan tidak dapat melaksanakan haknya. (Vide Pasal 246 UUK).
Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt51c288a35cea1/lt51c2afea2feac.jpg

888 HITS
DI: BISNIS & INVESTASI
SUMBER DARI: ADCO ATTORNEYS AT LAW

Pengakhiran Perjanjian Waralaba

A.       Definisi Waralaba
Waralaba atau dalam bahasa ingris dikenal dengan franchisingadalah hak untuk menjual suatu produk atau jasa atas milik pemilik waralaba oleh penerima waralaba.
Definisi waralaba diatur dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (“PP 42/2007”), sebagai berikut;
Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
Dari ketentuan tersebut, pengertian waralaba adalah hak untuk menjual produk atau jasa milik pemilik waralaba oleh penerima waralaba di mana dalam waralaba terdapat adanya dua subjek hukum yakni, Pemberi Waralaba (Pemilik Waralaba) dan Penerima Waralaba. Pemilik atau penerima waralaba tersebut dapat merupakan badan hukum atau pribadi.

B.       Perjanjian Waralaba
Dalam hal membahas suatu Perjanjian waralaba tidak lah lepas dari ketentuan mengenai syarat sah suatu perjanjian yang diatur dalamPasal 1320 KUHPerdata  yaitu:
1.    Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    Suatu pokok persoalan tertentu;
4.    Suatu sebab yang tidak terlarang (Pasal 1335 KUHPerdatadst.)
Dalam hal keempat syarat sah suatu perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali melainkan atas kesepakatan kedua belah pihak (Vide Pasal 1338 KUHPerdata)
Setelah diketahui apa definisi dari waralaba, maka Pemberi dan Penerima waralaba akan melakukan suatu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Waralaba di mana dalam perjanjian waralaba ini bersifat khusus dan spesifik sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 PP 42/2007 yang minimal dalam perjanjian tersebut harus mencantumkan antara lain:
a.    nama dan alamat para pihak;
b.    jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c.    kegiatan usaha;
d.    hak dan kewajiban para pihak;
e.    bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f.     wilayah usaha;
g.    jangka waktu perjanjian;
h.    tata cara pembayaran imbalan;
i.      kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
j.      penyelesaian sengketa; dan
k.    tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Merujuk pada Pasal 5 huruf k PP 42/2007 di atas, maka jelas diatur bahwa tata cara pengakhiran dari suatu perjanjian waralaba haruslah dituangkan di dalam suatu klasula perjanjian waralaba.
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, ketentuan pengakhiran suatu perjanjian selalu dicantumkan di dalam perjanjian tersebut. Dari ilustrasi kasus di atas, kami tidak mengetahui mengenai ketentuan pengakhiran perjanjian tersebut. Sehingga, kami mengasumsikan ketentuan pengakhiran perjanjian telah dicantumkan dalam perjanjian waralaba pada kasus di atas.
Berdasarkan ilustrasi kasus di atas, kami mengasumsikan telah terjadi sengketa, ataupun ada salah satu pihak dalam perjanjian yang tidak melakukan prestasinya atau sebaliknya, atau bahkan akibat adanya perbedaan penafsiran dalam perjanjian. Dalam hal terjadi kondisi demikian, umumnya terdapat klausul yang mengatur mengenai pengakhiran perjanjian secara sepihak oleh pihak yang merasa tidak dipenuhi haknya oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut.
Namun demikian, untuk dapat melakukan pengakhiran perjanjian tersebut, umumnya diatur beberapa ketentuan formil yang harus ditempuh terlebih dahulu, Misalnya, harus dilakukan teguran kepada pihak yang lalai memenuhi kewajibannya agar dapat segera memenuhi kewajibannya dalam periode waktu tertentu. Setelah hal tersebut dilakukan dan tidak ada perbaikan atau pemenuhan kewajiban oleh pihak yang ditegur, barulah dapat dilakukan pengkahiran secara sepihak yang dibuat secara tertulis.
Apabila tahapan secara formil maupun materil yang menjadi syarat pengakhiran perjanjian tersebut telah dipenuhi barulah perjanjian dapat berlaku efektif. Namun demikian, apabila ada hak dan kewajiban yang belum dipenuhi, maka pihak yang merasa haknya belum dipenuhi tersebut tetap dapat menuntut ganti rugi dari pihak lain yang menimbulkan kerugian terhadapnya.

C.       Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar peradilan.
Sehubungan dengan klausula arbitrase dalam perjanjian tersebut, merupakan suatu forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih para pihak dalam menyelesaiakn sengketa yang timbul. Sehingga, apabila terdapat kerugian yang hendak dituntut, maka tuntutan ganti kerugian tersebut harus diajukan melalui forum arbitrase.
Sekalipun perjanjian pokok (perjanjian waralaba) telah berakhir, namun klausula arbitrase tersebut tidak menjadi hilang dan tetap mengikat para pihak (severability clause). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf h UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

D.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian kami di atas, sehubungan dengan pertanyaan yang disampaikan, maka apabila Surat pengakhiran parjanjian yang diterima oleh Penerima waralabaa telah memenuhi persyaratan perjanjian, maka penerima waralaba tidak berhak lagi untuk mengunakan dan/atau memasarkan produk atau jasa atas nama (merek) milik pemberi waralaba di kemudian hari, termasuk untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan produk atau jasa tersebut.
Apabila setelah berakhirnya perjanjian tersebut, pihak penerima waralaba tetap menggunakan merek dari pemberi waralaba, maka dianggap telah terjadi persetujuan diam-diam atas kesepakatan awal (silent agreement) sehingga Pemberi Waralaba tetap berhak menagih royalti dan/atau hak lainnya yang diatur dalam perjanjian waralaba tersebut.
Di sisi lain, apabila penerima waralaba merasa berkeberatan atas pemutusan perjanjian tersebut maka sengketa terkait pengakhiran perjanjian tersebut dapat diselesaikan melalui forum Arbitrase dengan mengunakan UNCITRAL rules yang dilaksanakan di New York yang merupakan seat yang telah disepakati oleh para pihak (lex arbitri).

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek,Staatsblad 1847 No. 23)
sumber:
Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4dedde9e1cb1b.jpg

5234 HITS
DI: BISNIS & INVESTASI
SUMBER DARI: ADISURYO PRASETIO & CO