Translate

Selasa, 03 Desember 2013

Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan


v  Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) tentang Penggelapan
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.”

Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) :
1.    Barangsiapa;
2.    Dengan sengaja;
3.    Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort);
4.    Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben).

1)   Unsur “Barangsiapa”
Unsur (bestandeel)  barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku/ subyek tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk kepada subjek hukum, baik berupa orang pribadi (naturlijke persoon) maupun korporasi atau badan hukum (recht persoon), yang apabila terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader.

Bahwa, menurut Prof. Sudikno Mertokusumo :
“Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari :
·         orang (natuurlijkepersoon);
·         badan hukum (rechtspersoon).”
(Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 12, 68-69)

Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :
eene starfbaar gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een toekeningsvatbaar persoon

Artinya : Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
(Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h. 98)

2)   Unsur “Dengan sengaja”
Bahwa, salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) ialah unsur “dengan sengaja (opzettelijk)”, dimana unsur ini merupakan unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada subjek tindak pidana, ataupun yang melekat pada pribadi pelakunya. Hal ini dikarenakan unsur “opzettelijk” atau unsur dengan sengaja” merupakan unsur dalam tindak pidana penggelapan, dengan sendirinya unsur tersebut harus dibuktikan.

Bahwa terdapat dua teori berkaitan “dengan sengaja” atau opzettelijke. Pertama, teori kehendak atau wilshtheorie yang dianut oleh Simons, dan kedua teori pengetahuan atau voorstellingstheorie yang antara lain dianut oleh Hamel.

Bahwa, maksud unsur kesengajaan dalam pasal ini, adalah seorang pelaku atau dader sengaja melakukan perbuatan-perbuatan dalam pasal 372 KUHP.

Bahwa, menurut PAF. Lamintang :
“Dalam tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering), agar seseorang dapat dikualifikasikan telah dengan sengaja melakukan tindakan penggelapan, maka dalam diri pelaku harus terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
a.   Pelaku telah  “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum;
b.   Pelaku “mengetahui” bahwa ia yang kuasai itu adalah sebuah benda;
c.   Pelaku “mengetahui” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain;
d.   “mengetahui” bahwa benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan.”
(PAF. Lamintang, Delik-Delik Khusus : Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, PT. Sinar Baru, Bandung, 1989, h. 106)

Jika “kehendak” dan “pengetahuan-pengetahuan” tersebut telah dapat dibuktikan maka baru dapat dikatakan bahwa pelaku (dader) telah memenuhi unsur dengan sengaja (opzettelijk)” yang terdapat dalam unsur tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht).

Bahwa, menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH bersama-sama ahli hukum lainnya dalam “hukum pidana kumpulan kuliah bagian satu”, menyebutkan:
“kesengajaan (opzet) atau dolus dapat dirumuskan sebagai : melaksanakan sesuatu perbuatan, yang dilarang oleh suatu keinginan untuk berbuat atau tidak”

Bahwa, menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH, pengertian opzet dapat dilihat dalam Memorie van Tolichting (penjelasan undang-undang), yaitu “willens en weten”, pengertian “willens en weten” adalah :
Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki (willen) perbuatan itu, serta harus menginsyaf/ mengerti (weten) akan akibat dari perbuatannya itu

Bahwa, menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 166 K/Kr/1963, tanggal 7 Juli 1964, menjelaskan :
“pemilikan dilakukan dengan sengaja dan bahwa pemilikan itu dengan tanpa hak merupakan unsur-unsur daripada tindak pidana tersebut dalam pasal 372 KUHP”

3)   Unsur “Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort)”
Bahwa, unsur lain yang terdapat pada Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht), yaitu unsur “melawan hukum (wederrechtelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”.

Bahwa, maksud unsur “melawan hukum” atau wederrechtelijk adalah apabila perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau dader bertentangan dengan norma hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) atau norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau kelayakan) atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi hukum.

Bahwa, perkataan “memiliki secara melawan hukum” adalah terjemahan dari perkataan “wederrechtelijk zich toeeigent”, yang menurut Memorie van Toelichting ditafsirkan sebagai:
“het zich wederrechtelijk als heer en meester gedragen ten aanzien van het goed alsof hij eigenaar is, terwijl hij het niet is”  atau “secara melawan hukum memiliki sesuatu benda seolah-olah ia adalah pemilik dari benda tersebut, padahal ia bukanlah pemiliknya”.
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 155)

Menurut Hoge Raad, perbuatanzich toeeigenenadalah:
“Menguasai benda milik orang lain secara bertentangan dengan sifat daripada hak yang dimiliki oleh si pelaku atas benda tersebut.”
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 155)

Menurut Prof Mr. D. Simons mengartikan “zich toeeigenen”:
“Membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya yang nyata sebagaiman yang dapat dilakukan oleh pemiliknya atas benda tersebut, sehingga berakibat bahwa kekuasaan atas benda itu menjadi dilepaskan dari pemiliknya”

Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, menyatakan :
“unsur melawan hukum dapat terjadi bilamana pelaku melakukan perbuatan memiliki itu tanpa hak atau kekuasaan. Ia tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan memiliki, sebab ia bukan yang punya, bukan pemilik. Hanya pemilik yang mempunyai hak untuk memilikinya”
(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 37)

Menurut Munir Fuady menyatakan :
Bahwa perbuatan yang dilakukan haruslah melawan hukum, sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.     Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.    Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum.
c.     Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
d.    Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden).
e.    Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvildigheid, welke in het maatschappelijke verkeer betaamt ten aanzien van anders person of goed)
(Munir fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 2005, Hal. 11)

4)   Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben)
Bahwa, untuk menentukan terpenuhinya unsur ini, maka pelaku (dader) yang diduga telah melakukan tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering) harus menguasai barang tersebut bukan dengan jalan kejahatan.

Menurut Adami Chazawi mengatakan :
“Sesuatu benda berada dalam kekuasaan seseorang adalah apabila antara orang itu dengan bendanya terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung dan nyata, tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan lain. Benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang bukan karena kejahatanlah yang merupakan unsur dari delik penggelapan ini, dan ini dapat terjadi oleh sebab perbuatan-perbuatan hukum seperti: penitipan, perjanjian sewa menyewa, pengancaman, dsb.”
(Adami Chazawi, Hukum Pidana III, Produksi Si Unyil, Malang, h. 12 & 15)

Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH,
“barang harus seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya”

(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 19)

Tidak ada komentar: