v
Pasal 372 KUHP (Wetboek
van Strafrecht) tentang Penggelapan
“Barangsiapa
dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.”
Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van
Strafrecht) :
1.
Barangsiapa;
2.
Dengan sengaja;
3.
Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai
milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een
ander toebehoort);
4.
Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders
dan door misdrijf onder zich hebben).
1)
Unsur “Barangsiapa”
Unsur (bestandeel) barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku/ subyek
tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk
kepada subjek hukum, baik berupa orang pribadi (naturlijke persoon)
maupun korporasi atau badan hukum (recht persoon), yang apabila
terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat disebut sebagai
pelaku atau dader.
Bahwa, menurut Prof.
Sudikno Mertokusumo :
“Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu
yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari :
·
orang
(natuurlijkepersoon);
·
badan
hukum (rechtspersoon).”
(Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 12, 68-69)
Menurut Simons,
merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :
“eene starfbaar
gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een
toekeningsvatbaar persoon”
Artinya :
Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan
hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang
bertanggungjawab atas perbuatannya.
(Andi
Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h. 98)
2)
Unsur “Dengan sengaja”
Bahwa, salah satu unsur yang
terdapat dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van
Strafrecht) ialah unsur “dengan
sengaja (opzettelijk)”, dimana
unsur ini merupakan unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan, yakni
unsur yang melekat pada subjek tindak pidana, ataupun yang melekat pada pribadi
pelakunya. Hal ini dikarenakan unsur “opzettelijk” atau unsur “dengan sengaja” merupakan unsur dalam tindak
pidana penggelapan, dengan sendirinya unsur tersebut harus dibuktikan.
Bahwa terdapat dua teori
berkaitan “dengan sengaja” atau opzettelijke.
Pertama, teori kehendak atau wilshtheorie yang dianut oleh
Simons, dan kedua teori pengetahuan atau voorstellingstheorie yang antara
lain dianut oleh Hamel.
Bahwa, maksud unsur
kesengajaan dalam pasal ini, adalah seorang pelaku atau dader sengaja melakukan
perbuatan-perbuatan dalam pasal 372 KUHP.
Bahwa, menurut PAF. Lamintang :
“Dalam tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering), agar seseorang dapat
dikualifikasikan telah dengan sengaja melakukan tindakan penggelapan, maka
dalam diri pelaku harus terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
a.
Pelaku
telah “menghendaki” atau “bermaksud”
untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum;
b.
Pelaku “mengetahui”
bahwa ia yang kuasai itu adalah sebuah benda;
c.
Pelaku “mengetahui” bahwa benda tersebut
sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain;
d.
“mengetahui”
bahwa benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan.”
(PAF.
Lamintang, Delik-Delik Khusus :
Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, PT. Sinar Baru, Bandung, 1989,
h. 106)
Jika “kehendak” dan
“pengetahuan-pengetahuan” tersebut telah dapat dibuktikan maka baru dapat
dikatakan bahwa pelaku (dader) telah memenuhi unsur “dengan sengaja (opzettelijk)” yang
terdapat dalam unsur tindak
pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht).
Bahwa, menurut Prof.
Satochid Kartanegara, SH bersama-sama ahli hukum lainnya dalam “hukum
pidana kumpulan kuliah bagian satu”, menyebutkan:
“kesengajaan (opzet) atau dolus dapat dirumuskan sebagai :
melaksanakan sesuatu perbuatan, yang dilarang oleh suatu keinginan untuk
berbuat atau tidak”
Bahwa, menurut Prof.
Satochid Kartanegara, SH, pengertian opzet dapat dilihat dalam Memorie van Tolichting (penjelasan
undang-undang), yaitu “willens en weten”, pengertian “willens
en weten” adalah :
“Seseorang yang
melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki (willen) perbuatan itu, serta harus
menginsyaf/ mengerti (weten) akan
akibat dari perbuatannya itu”
Bahwa, menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 166 K/Kr/1963, tanggal 7 Juli 1964,
menjelaskan :
“pemilikan dilakukan dengan sengaja dan bahwa pemilikan
itu dengan tanpa hak merupakan unsur-unsur daripada tindak pidana tersebut
dalam pasal 372 KUHP”
3)
Unsur “Melawan hukum (wederrechttelijk)
mengaku sebagai milik sendiri (zich
toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain (enig goed dat geheel of ten
dele aan een ander toebehoort)”
Bahwa, unsur
lain yang terdapat pada Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht), yaitu unsur
“melawan hukum
(wederrechtelijk) mengaku
sebagai milik sendiri (zich toeeigenen)
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”.
Bahwa, maksud
unsur “melawan hukum” atau wederrechtelijk
adalah apabila perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau dader
bertentangan dengan norma hukum
tertulis (peraturan
perundang-undangan) atau norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau kelayakan)
atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi
hukum.
Bahwa,
perkataan “memiliki secara melawan hukum” adalah terjemahan dari
perkataan “wederrechtelijk zich
toeeigent”, yang menurut Memorie van Toelichting ditafsirkan
sebagai:
“het zich wederrechtelijk als heer en meester gedragen ten
aanzien van het goed alsof hij eigenaar is, terwijl hij het niet is”
atau “secara melawan hukum memiliki sesuatu benda seolah-olah ia
adalah pemilik dari benda tersebut, padahal ia bukanlah pemiliknya”.
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung, h. 155)
Menurut Hoge Raad, perbuatan “zich
toeeigenen” adalah:
“Menguasai
benda milik orang lain secara bertentangan dengan sifat daripada hak yang
dimiliki oleh si pelaku atas benda tersebut.”
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru,
Bandung, h. 155)
Menurut Prof Mr. D. Simons mengartikan “zich toeeigenen”:
“Membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya yang
nyata sebagaiman yang dapat dilakukan oleh pemiliknya atas benda tersebut, sehingga
berakibat bahwa kekuasaan atas benda itu menjadi dilepaskan dari pemiliknya”
Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, menyatakan :
“unsur melawan hukum dapat terjadi bilamana pelaku
melakukan perbuatan memiliki itu tanpa hak atau kekuasaan. Ia tidak mempunyai
hak untuk melakukan perbuatan memiliki, sebab ia bukan yang punya, bukan
pemilik. Hanya pemilik yang mempunyai hak untuk memilikinya”
(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus
(KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 37)
Menurut Munir Fuady menyatakan :
Bahwa perbuatan yang dilakukan haruslah melawan hukum,
sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang
seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.
Yang melanggar hak orang lain
yang dijamin oleh hukum.
c.
Perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku.
d.
Perbuatan yang bertentangan
dengan kesusilaan (goede zeden).
e.
Perbuatan yang bertentangan
dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang
lain (indruist tegen de zorgvildigheid, welke in het maatschappelijke verkeer
betaamt ten aanzien van anders person of goed)
(Munir fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan
Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 2005, Hal. 11)
4)
Yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders
dan door misdrijf onder zich hebben)
Bahwa, untuk
menentukan terpenuhinya unsur ini, maka pelaku (dader) yang diduga telah
melakukan tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering)
harus menguasai barang tersebut bukan dengan jalan kejahatan.
Menurut Adami Chazawi mengatakan :
“Sesuatu benda berada dalam kekuasaan
seseorang adalah apabila antara orang
itu dengan bendanya terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila
ia akan melakukan segala perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera
melakukannya secara langsung dan nyata, tanpa terlebih dulu harus melakukan
perbuatan lain. Benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang bukan karena kejahatanlah yang merupakan
unsur dari delik penggelapan ini, dan ini dapat terjadi oleh sebab
perbuatan-perbuatan hukum seperti: penitipan, perjanjian sewa menyewa, pengancaman, dsb.”
(Adami Chazawi, Hukum Pidana III, Produksi Si Unyil, Malang, h. 12 & 15)
Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch.
Anwar, SH,
“barang harus seluruhnya atau sebahagian kepunyaan
orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya”
(Brigjen Drs. H.A.K. Moch.
Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar