Translate

Selasa, 03 Desember 2013

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

BAB III
PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN

A.    Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan ini terdiri dari:
1.       Rapat permusyawaratan (pasal 62 UUPTUN);
2.       Pemeriksaan Persiapan (pasal 63 UUPTUN).

Rapat Permusyawaratan.
            Rapat permusyawaratan juga disebut DISMISSEL PROCESS, dalam rapat permusyawarata ini Ketua Pengadilan memeriksa gugatany yang masuk apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan apakah termasuk wewenangnya untuk mengadili. Dalam rapat permusyawaratan Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
1.           Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pokok gugatan adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut Penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya.
2.           Syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 UPTN tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.
3.           Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
4.           Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh keputusan tata usaha negara yang digugat.
5.           Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewatnya.
Penetapan ketua pengadilan tata usaha negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pijhak untuk mendengarkannya.
Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan. Terhadap perintah ketua pengadilan itu dapat diajukan perlawanan kepada pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diucapkan. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 UPTUN.
Perlawanan tersebut diperiksa dan diputus dengan acara cepat. Dalam hal perlawanan dimaksud dibenarkan oleh Pengadilan maka penetapan ketua pengadilan tata usaha negara yang diambil dalam rapat permusyawatan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum seperti: banding dan kasasi karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tungkat pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pemeriksaan persiapan

            Sebelum pemneriksaan pokok dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
            Dalam pemeriksaan persiapan dimaksud diadakan mengingat penggugat di pengadilan tata usaha negara pada umumnya adalah warga masyarakat yang mempunyai kedudukan yang lemah bila dibandingkan dengan kedudukan tergugat sebagai pejabat tata usaha negara. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat. Dalam pemeriksaan persiapan hakim diharapkan akan berperan aktif dalam pemeriksaan sengketa. Kepada hakim diberikan kemungkinan untuk mengadakan atau dapat meminta penjelas dari badan atau pejabat tata usdaha negara yang bersangkutan demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Hal ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dalam pengajuan gugatan yang dimaksud.
            Dalam pemeriksaan persiapan hakim:
1.           Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari;
2.           Dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan;
3.           Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas penggugat belum menyempurnakan gugatannya, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima kalau penggugat baru sekali diberi kesempatan untuk memperbaiki gugatannya.
4.           Terhadap putusan sebagaimana dimaksud diatas, tidak dapat digunakan upaya hukum tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Untuk menjaga obyektivitas dalam persidangan dan untuk memenuhi rasa keadilan dari masing-masing pihak, seorang hakim yang telah ditunjuk untuk memeriksa suatu sengketa tata usaha negara, wajib mengundurkan diri apabila  (pasal 78 UPTUN):
a.              Terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan salah seorang hakim anggota atau panitera lainnya.
b.             Terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum.
            Kewajiban mengundurkan diri ini juga berlaku bagi panitera. Hakim dan panitera yang bersangkutan harus diganti dengan yang lain, yang tidak terikat dalam hubungan sebagaimana disebut diatas. Kewajiban mengundurkan diri ini juga berlaku dalam hal Hakim atau Panitera berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.
            Apabila dalam hal ini terdapat keraguan atau perbedsaan pendapat, maka pejabat pengadilan yang berwenang menetapkannya. Yang dimaksdu pejabat pengadilan yang berwenang dalam hal ini ialah pejabat yang menurut hirarkinya, berkedudukan lebih tinggi dari hakim yang bersangkutan. Apabila sengketa itu diperiksa Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, maka pejabat yang berwenang menetapkannya adalah Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan apabila yang bertindak memeriksa sengketa tersebut adalah ketua Poengadilan tata Usaha Sendiri, maka pejabat yang berwenang menetapkannya adalah Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dimana daerah hukumnya terletak pengadilan tata usaha negara yang bersangkutan.
            Kalau seandainay sampai terjadi hakim dan panitera yang mempunyai hubungan sebagaimana dijelaskan diatas tadi ternyata tidak mengundurkan diri atau tidak diganti dengan yang lain, sengketa harus dibatalkan dan dan segera diadakan pemeriksaan ulang dengan susunan majelis yang lain (Pasal 79 UPTUN).

B.     Pemeriksaan Dengan Acara Biasa

1.             Penetapan hari Sidang dan Pemanggilan
            Setelah gugatan dicatat dalam daftar perkara, hakim menentukan hari, jam dan temapt sidang. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari sesudah gugatan dicatat, hakim memanggil kedua belah pihak untuk hadir dipersidangan pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
            Dalam menentukan hari sidang ini hakim harus mempertimbangkan jarak tempat tinggal para pihak dengan tempat tinggal persidangan dan tenggang waktu antara pemanggilan para pihak dengan hari persidangan tidak boleh kurang dari enam hari, terkecuali dalam sengketa yang diperiksa dengan acara cepat.
            Pemanggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.
            Bilamana slaah satu pihak yang bersengketa berada diluar negeri, pemanggilan dilakukan melalui departemen luar negeri. Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan kepada derpartemen luar negeri RI.
            Selanjutnya departemen luar negeri segera menyampaikan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan tersebut melalui perwakilan RI di luar negeridalam wilayah tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada. selanjutnya petugas perwakilan RI yang bersangkutan dalam jangka waktu tujuh hari sejak dilakukan pemanggilan tersebut wajib memberikan laporan kepada pengadilan yang bersangkutan.

2.             Hadir tidaknya para pihak diperidangan
            Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat pemanggilan. Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. Tetapi apabila majelis hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, sidang dapat dinyatakan tertutup untuk umum. Dalam hal tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk menyatakan sidang tertutup untuk umum dan pada waktu pembukaan sidang Haskim Ketua sidang tidak menyatakan sidang terbuka untuk umum, maka putusan yang diambil dalam persidangan dapat dinyatakan batal demi hukum.
            Bila pada sidang pertama ternyata penggugat atau kuasanya tidak hadir, maka dilakukanlah pemanggilan kedua. Setelah pemanggilan kedua disampaikan secara patut, ternyata penggugat atau kuasanya tetap tidak hadir tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara. Setelah penggugat dinyatakan gugur penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi setelah membayar uang muka biaya perkara (Pasal 71 UPTUN).
            Apabila tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali berturut-turut walaupun telah dipanggil secara patut, dan tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, maka Hakim Ketua sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat untuk hadir dan menanggapi gugatan. Setelah lewat waktu dua bulan sejak dikirimnya penetapan tersebut ternyata tidak ada berita baik dari tergugat maupun dari atasan tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acasra biasa tanpa hadirnya tergugat.
            Dalam sidang tanpa hadirnya tergugat ini putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilaksanakan secara tuntas.
            Apabila dalam suatu sengketa terdapat beberapa orang tergugat dan pada hari sidang pertama ternyata mereka atau kuasanya tidak hadir tanpa suatu alasan yang dapat dipertanggung jawabkan walaupun mereka telah dipanggil secara patut, sidang ditunda sampai pada hari yang ditentukan oleh ketua sidang. Penundaan sidang ini diberitahukan kepada para pihak yang hadir, sedang terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi. Seandainya mereka telah dipanggil secara patut tetap tidak hadir tanpa sesuatu alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya (Pasal 73 UPTUN).
            Adakalanya suatu proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara tidak dapat diselesaikan dalam satu kali persidangan, sehingga persidangan terpaksa dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya. Hari persidangan berikutnya ini diberitahukan kepada kedua belah pihak dan pemberitahuan ini dianggap sama dengan pemanggilan.

3.             Jawaban, Perubahan dan Pencabutan Gugatan
            Setelah sidang dibuka oleh Hakim Ketua sidang pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang. Seandainya belum ada surat jawaban dari Tergugat maka pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawaban secara langsung. Selanjutnya hakim ketua sidang memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan perlunya hal yang diajukan masing-masing (Pasal 74 UPTUN).
            Penggugat sew3aktu-waktu dapat mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui pihak tergugat (pasal 76 UPTUN).     

4.             Eksepsi
Dalam persidangan dapat diajukan eksepsi (tangkisan) yaitu:
a.      Eksepsi tentang kewenangan absolut
Kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap saat selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan, apabila Hakim mengetahui hal itu ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
b.     Eskers tentang kewenangan relatif
Kewenangan relatif pengadilan dapat diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
c.      Eksepsi yang lain yang tidak mengenai pokok kewenangan pengadilan hanya dapat diputus bersama pokok sengketa.

5.             Proses Dengan Tiga Pihak
            Dalam proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara dimungkinkan adanya pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan. Hal ini daitur dalam pasal 83 UPTUN, uang berbunyi:
1.         Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa tata usaha negara dan bertindak sebagai:
a.          Pihak yang membela haknya, atau
b.         Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
2.         Permohonan sebagaimana dimaksud diatas dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam Berita Acara Sidang.
3.         Permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud diatas tidak dapat diajukan sendiri, tetapi harus diajukan bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir terhadap pokok sengketa.
            Dari ketentuan tersebut diatas jelas bagi kita bahwa ikut sertanya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara yang sedang berjalan di pengadilan tata usaha negara, dimungkinkan sebagai berikut:
1.         Pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan.
Untuk itu ia harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan serta hal yang dituntutnya. Putusan sela pengadilan atas permohonan tersebut dimasukkan dalam berita acara sidang.
Apabila permohonan itu dikabulkan, ia dipihak ketiga akan berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut penggugat intervensi.
Apabila permohonan itu tidak dikabulkan, maska terhadap putusan sela pengadilan itu tidak dapat dimohonkan banding. Dan pihak ketiga tersebut masih dapat mengajukan baru diluar proses yang sedang berjalan asalkan ia dapat menunjukkan bahwa ia berkepentingan untuk mengajukan gugatan itu dan gugatannya memenuhi syarat.
Contoh:      A menggugat agar keputusan Badan Pertanahan Nasional yang berisi pencabutan sertifikat tanah atas namanya dinyatakan batal. Pencabutan tersebut dilakukan karena cara peroleh sertifikat si A itu tidak melalui prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku. B yang mengetahui gugatan si A tersebut merasa berkepentingan untuk mempertahankan atau membela haknya karena ia merasa yang paling berhak atas tanah tersebut sebagai ahli waris tunggal dari pewaris yang semula memiliki tanah itu.

2.         Adakalanya maksudnya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan itu karena permintaan salah satu pihak (penggugat atau tergugat).
Disini pihak yang memohon agar pihak ketiga itu diikutsertakan dalam proses perkara, dimaksudkan agar pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam sengketanya.
Contoh:   a.    A menggugat agara keputusan Badan Pertanahan Nasional yang berisi pencabutan sertifikat atas namanya dinyatakan batal. A memperoleh sertifikat tersebut dengan jalan membeli tanah dari C, oleh karena itu ia mengajukan permohonan agar C ditarik dalam proses perkara bergabung dengannya untuk memperkuat posisi gugatannya.
                       Kedudukan C dalam proses itu adalah Penggugat II Intervensi.
                b.    A menggugat agar keputusan Badan Pertanahan Nasional yang berisi pencabutan sertifikat tanah atas namanya dinaytakan batal. Apabila tergugat ingin membuktikan alasan pencabutan sertifikat atas nama A bahwa pencabutan tersebut atas laporan C, yang menyatakan bahwa ialah yang berhak atas tanah tersebut, maka tergugat dapat mengajukan permohonan agar C ditarik dalam proses bergabung dengannya sebagai tergugat II intervensi.
3.         Masuknya pihak ketiga ke dalam proses perkara yang sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa Hakim yang memeriksa perkara itu.
Contoh:   A menggugat Kotamadya agar izin mendirikan bagunan atas nama B dibatalkan. Putusan Pengadilan atas gugatan tersebut akan menyangkut kepentingan B walaupun ia berada di luar proses. Apabila B tidak diikutsertakan dalam proses tersebut ybtyk mempertahankan haknya, hal ini akan merugikan kepentingannya. Sekalipun B tidak memasuki proses atas prakarsanya sendiri, dalam hal yang demikian maka hakim yang memeriksa perkara itu atas prakarsanya dapat menetapkan agar B ditarik sebagai pihak dalam proses tersebut. B yang tidak ingin izin mendirikan bangunannya dibatalkan tentu akan bergabung dengan tergugat sebagai tergugat II intervensi.

C.     Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
            Dalam hal ada keentingan penggugat yang cukup mendesak, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat, baik proses pemeriksaannya maupun pemutusannya. Kepentingan yang cukup mendesak ini dapat disimpulkan dari alasan-alasan penggugat yang dikemukakan dalam permohonannya (Pasal 98 UPTUN).
Sebagai contoh yaitu adanya gugatan terhadap keputusan tata usaha negara yang berisikan perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati oleh penggugat. Selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sesudah permohonannya diterima, Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut. terhadap penetapan ini tidak dapat digunakan upaya hukum yaitu banding dan kasasi.
            Kalau seandainya permohonan untuk diadakan pemeriksaan acara cepat dikabulkan oleh pengadilan, maka pemeriksaan sengketa dilakukan dengan hakim tunggal. Ketua pengadilan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya penetapan yang mengabulkan permohonan penggugat untuk diadakan pemeriksaan sengketa dengan acara cepat, menetukan hari, tanggal, waktu dan tempat sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dilakukan dalam pemeriksaan sengketa dengan acara biasa. Tenggang waktu untuk jawaban pembuktian bagi kedua belah pihak, masing ditentukan tidak melebihi  14 (empat belas) hari (Pasal 99 UPTUN). 

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

BABA II
TENTANG GUGATAN

A.           Para Pihak Yang Berperkara.

Didalam peradilan Tata Usaha Negara sudah ditentukan dengan pasti siapa yang bisa bertindak sebagai pihak Tergugat dan siapa yang bisa bertindak sebagai Pihak Penggugat.
Tergugat adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Sedangkan Penggugat adalah Orang atau Badan Hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara  (Pasal 1 angka 6 jo pasal 53 (1) UPTN). Dengan demikian didalam peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal gugat balik atau rekonpensi.

B.            Alasan-Alasan Gugatan.

Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam mengajukan gugatan adalah :
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan-peraturan perundangan yang berlaku.
Keputusan tata usaha negara dikatakan bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku apabila:
a.      Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural atau formal.
Contoh:    Sebelum keputusan Pemberhentian dikeluarkan seharusnya pegawai yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
b.      Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan Perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial.
Contoh:    Keputusan ditingkat banding administratif, yang telah salah menyatakan gugatan Penggugat diterima atau tidak diterima.
c.      Dikeluarka oleh Pejabat TUN yang tidak berwenang.
Contoh:      Peraturan dasarnya telah menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk mengambil keputusan.

2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas:
-         Kepastian hukum;
-         Tertib penyelenggaraan negara;
-         Kepentingan umum;
-         Keterbukaan;
-         Proporsionalitas;
-         Profesionalitas;
-         Akuntabilitas

            Sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

            Yang dimaksud dengan asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan dalam penyelenggara Negara.

            Yang dimaksud dengan asas Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.

            Yang dimaksud dengan asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan efektif.
            Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

            Yang dimakud dengan asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggaraan negara.

            Yang dimaksud dengan asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

            Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C.     Isi Gugatan


1.      Identitas para pihak yaitu nama, kewarganegaraan, tempat, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya. Nama, jabatan dan tempat tinggal tergugat.
2.      Posita  (dasar gugatan).
3.      Petitum (apa yang dituntut).

D.           Mengajukan Gugatan.

Gugatan yang diajukan kepada Pengadilan yang berwenang dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi Pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan. Seorang penggugat yang buta huruf dapat meminta bantuan kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membuat dan merumuskan gugatannya.
Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh panitera, gugatan dicatat dalam daftar perkara. Persekot biaya perkara ini nantinya akan diperhitungkan dengan biaya perkara sebagaimana dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
Biaya perkara ini dibebankan pada pihak yang kalah (pasal 111 UPTUN). Rincian biaya tersebut terdiri dari:
a.        Biaya Kepaniteraan;
b.       Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa, dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi, harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu, meskipun pihak tersebut dihilangkan.
c.        Biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang.

Dalam hal Penggugat tidak mampu, yang dinyatakan dengan surat keterangan dari Kepala Desa atau Lurah dapat mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan untuk berperkara dengan cuma-cuma.
Permohonan untuk berperkara dengan cuma-cuma ini harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk berperkara dengan cuma-cuma tersebut tidak hanya berlaku ditingkat pertama, tetapi juga berlaku ditingkat banding dan kasasi.

E.     Kuasa Hukum


Dalam bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara para pihak dapat didampingi atau diwakili oleh seseorang atau beberapa orang kuasa hukum. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan dipersidangan. Untuk surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan dinegara yang bersangkutan dan diketahui perwakilan negara Republik indonesia dinegara tersebut serta kemudian harus diterjemahkan kedalam bahasa indonesia oleh penterjemah resmi  (Pasal 57 UPTUN).
Apabila dalam persidangan  seorang kuasa melakukan tindakan yang melampau batas wewenangnya pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan. Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud diatas, dikabulkan, maka Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam Berita Acara sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal, selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan putusan tersebut dibacakan atau diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan (pasal 48 UPTUN).
 
F.            Pengadilan Yang Berwenang Memeriksa Gugatan.

1.             Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.
Yang dimaksud dengan tempat kedudukan Tergugat adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum.
2.             Apabila Tergugat lebih dari satu badan atau pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan atau pejabat tata usaha negara.
3.             Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
Tanggal diterimanya gugatan oleh Pengadilan tersebut dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan yang berwenang.
Panitera Pengadilan tersebut berkewajiban memberikan petunjuk secukupnya kepada Penggugat mengenai gugatan penggugat tersebut.
Setelah gugatan itu ditandatangani oleh Penggugat, atau kuasa hukum, atau dibubuhi cap jempol penggugat yang tidak pandai baca tulis, dan dibayar uang muka biaya perkara, maka panitera yang bersangkutan:
a.      Mencatat gugatan tersebut dalam daftar perkara khusus untuk itu.
b.     Memberikan tanda bukti pembayaran uang muka biaya perkara dan mencantumkan nomor register perkara yang bersangkutan.
c.      Meneruskan gugatan tersebut kepada Pengadilan yang bersangkutan.
Cara pengajuan gugatan tersebut diatas tidak mengurangi kompentensi relatif pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan gugatan itu.
4.             Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
5.             Apabila penggugat dengan tergugat berkedudukan atau berada diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
Penggugat yang berada diluar negeri dapat mengajukan gugatannya dengan surat atau menunjuk seseorang yang diberi kuasa yang berada di Indonesia.
6.             Apabila tergugat berkedudukan didalam negeri dan penggugat diluar negeri gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat (Pasal 54 (6) PTUN).
  
G.           Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara.

1.             Tidak termasuk keputusan tata usaha negara adalah:
a.      Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b.     Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c.      Keputusan tata usaha negara yang memerlukan persetujuan.
d.     Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab undang-undang hukum pidana atau kitab undang-undang hukum acara pidana, peraturan perundang-undangan yang lain yang bersifat hukum pidana.
e.      Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f.      Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha TNI.
g.     Keputusan Komisi Pemilihan Umum di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
2.             Peradilan tata usaha negara tidak berwenang mengadili suatu sengketa tata usaha negara dalam hal keputusan tata usaha negara itu dikeluarkan:
a.      Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam/keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.     Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 49 UPTUN).
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat bersama dan atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.             Mengenai kompetensi ini UU No.5 tahun 1986 masih bersifat mendua karena masih memberikan kewenangan kepada badan-badan lain (peradilan semu)  diluar pengadilan yang ada dilingkungan peradilan tata usaha negara untuk mengadili sengketa tata usaha negara tertentu.
Menurut pasal 48 UPTUN yang menyebutkan:
a.      Dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh/berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu maka sengketa-sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrasi yang tersedia.
b.     Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud diatas, jika seluruh upaya administratif telah diselesaikan.
Yang dimaksud upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia merasa tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan instansi yang bersangkutan.
Upaya adminstratif terdiri dari:
1.        Keberatan adminstratif diajukan kepada atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan.
2.        Banding administratif dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan.
Seperti:    Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak, Badan Pertimbangan kepegawaian, Panitia Perselisihan Perburuhan, Panitia Urusan Perumahan dan lain-lain.

                        Untuk sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud diatas, yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan pada tingkat pertama adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
                        Sengketa tersebut baru dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara setelah menempuh semua upaya administratif yang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dibuatnya keputusan tata usaha negara yang bersangkutan.
                        Seandainya para pihak masih merasa tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi Usaha Negara tersebut dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 51 UPTUN).
                        Disamping mengadili pada tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud diatas, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang:
a.      Memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara di tingkat banding;
b.     Memeriksa dan memutus ditingkat pertama dan akhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tata usaha negara didalam daerah hukumnya.
4.             Untuk dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara, suatu keputusan tata usaha negara harus bersifat tertulis, konkrit, individual, dan final serta masih dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara (Pasal 55 UPTUN).
Bagi pihak yang namanya tersebut dalam keputusan tata usaha negara yang digugat, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung sejak hari diterimanya keputusan tata usaha negara yang digugat.
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan:
a.      Pasal 3 ayat (2) UPTUN, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
b.     Pasal 3 (3) UPTUN, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka tenggang waktu 90 hari itu dihitung sejak hari pengumuman tersebut.

H.           Gugatan Tidak Menunda Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara

 Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan atau tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat.
Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan tata usaha negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa tata usaha negara sedang berjalan sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Permohonan tersebut dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketa.
Permohonan penundaan dimaksud:
a.        Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika keputusan tata usaha negara yang digugat itu tetap dilaksanakan.
b.       Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
            Dalam hukum acara tata usaha negara badan atau pejabat tata usaha negara itu selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan keputusan yang telah dikeluarkannya terhadap tuduhan penggugat bahwa keputusan yang digugat itu melawan hukum.
            Akan tetapi selama hal itu belum diputus oleh Pengadilan, maka keputusan tata negara harus dianggap menurut hukum.
            Dan proses dimuka pengadilan tata usaha negara, memang dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar hukum acara tata usaha negara yang bertolak dari anggapan bahwa keputusan tata usaha negara itu selalu menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum, maka hukum acara tata usaha negara, yang merupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkrit meniadakan anggapan tersebut. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh Pengadilan, maka keputusan tata usaha negara yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum dapat dilaksanakan.
            Akan tetapi dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses berjalan, keputusan tata usaha negara yang digugat itu diperintahkan ditunda pelaksanannya.

Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan


v  Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) tentang Penggelapan
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak enam puluh rupiah.”

Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) :
1.    Barangsiapa;
2.    Dengan sengaja;
3.    Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort);
4.    Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben).

1)   Unsur “Barangsiapa”
Unsur (bestandeel)  barangsiapa ini menunjuk kepada pelaku/ subyek tindak pidana, yaitu orang dan korporasi. Unsur barang siapa ini menunjuk kepada subjek hukum, baik berupa orang pribadi (naturlijke persoon) maupun korporasi atau badan hukum (recht persoon), yang apabila terbukti memenuhi unsur dari suatu tindak pidana, maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau dader.

Bahwa, menurut Prof. Sudikno Mertokusumo :
“Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum, yang terdiri dari :
·         orang (natuurlijkepersoon);
·         badan hukum (rechtspersoon).”
(Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 12, 68-69)

Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai berikut :
eene starfbaar gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande, van een toekeningsvatbaar persoon

Artinya : Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
(Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h. 98)

2)   Unsur “Dengan sengaja”
Bahwa, salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) ialah unsur “dengan sengaja (opzettelijk)”, dimana unsur ini merupakan unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada subjek tindak pidana, ataupun yang melekat pada pribadi pelakunya. Hal ini dikarenakan unsur “opzettelijk” atau unsur dengan sengaja” merupakan unsur dalam tindak pidana penggelapan, dengan sendirinya unsur tersebut harus dibuktikan.

Bahwa terdapat dua teori berkaitan “dengan sengaja” atau opzettelijke. Pertama, teori kehendak atau wilshtheorie yang dianut oleh Simons, dan kedua teori pengetahuan atau voorstellingstheorie yang antara lain dianut oleh Hamel.

Bahwa, maksud unsur kesengajaan dalam pasal ini, adalah seorang pelaku atau dader sengaja melakukan perbuatan-perbuatan dalam pasal 372 KUHP.

Bahwa, menurut PAF. Lamintang :
“Dalam tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering), agar seseorang dapat dikualifikasikan telah dengan sengaja melakukan tindakan penggelapan, maka dalam diri pelaku harus terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
a.   Pelaku telah  “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum;
b.   Pelaku “mengetahui” bahwa ia yang kuasai itu adalah sebuah benda;
c.   Pelaku “mengetahui” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang lain;
d.   “mengetahui” bahwa benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan.”
(PAF. Lamintang, Delik-Delik Khusus : Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, PT. Sinar Baru, Bandung, 1989, h. 106)

Jika “kehendak” dan “pengetahuan-pengetahuan” tersebut telah dapat dibuktikan maka baru dapat dikatakan bahwa pelaku (dader) telah memenuhi unsur dengan sengaja (opzettelijk)” yang terdapat dalam unsur tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht).

Bahwa, menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH bersama-sama ahli hukum lainnya dalam “hukum pidana kumpulan kuliah bagian satu”, menyebutkan:
“kesengajaan (opzet) atau dolus dapat dirumuskan sebagai : melaksanakan sesuatu perbuatan, yang dilarang oleh suatu keinginan untuk berbuat atau tidak”

Bahwa, menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH, pengertian opzet dapat dilihat dalam Memorie van Tolichting (penjelasan undang-undang), yaitu “willens en weten”, pengertian “willens en weten” adalah :
Seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki (willen) perbuatan itu, serta harus menginsyaf/ mengerti (weten) akan akibat dari perbuatannya itu

Bahwa, menurut Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 166 K/Kr/1963, tanggal 7 Juli 1964, menjelaskan :
“pemilikan dilakukan dengan sengaja dan bahwa pemilikan itu dengan tanpa hak merupakan unsur-unsur daripada tindak pidana tersebut dalam pasal 372 KUHP”

3)   Unsur “Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort)”
Bahwa, unsur lain yang terdapat pada Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht), yaitu unsur “melawan hukum (wederrechtelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain”.

Bahwa, maksud unsur “melawan hukum” atau wederrechtelijk adalah apabila perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau dader bertentangan dengan norma hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) atau norma hukum tidak tertulis (kepatutan atau kelayakan) atau bertentangan dengan hak orang lain sehingga dapat dikenai sanksi hukum.

Bahwa, perkataan “memiliki secara melawan hukum” adalah terjemahan dari perkataan “wederrechtelijk zich toeeigent”, yang menurut Memorie van Toelichting ditafsirkan sebagai:
“het zich wederrechtelijk als heer en meester gedragen ten aanzien van het goed alsof hij eigenaar is, terwijl hij het niet is”  atau “secara melawan hukum memiliki sesuatu benda seolah-olah ia adalah pemilik dari benda tersebut, padahal ia bukanlah pemiliknya”.
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 155)

Menurut Hoge Raad, perbuatanzich toeeigenenadalah:
“Menguasai benda milik orang lain secara bertentangan dengan sifat daripada hak yang dimiliki oleh si pelaku atas benda tersebut.”
(P.A.F. Lamintang, C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 155)

Menurut Prof Mr. D. Simons mengartikan “zich toeeigenen”:
“Membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya yang nyata sebagaiman yang dapat dilakukan oleh pemiliknya atas benda tersebut, sehingga berakibat bahwa kekuasaan atas benda itu menjadi dilepaskan dari pemiliknya”

Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, menyatakan :
“unsur melawan hukum dapat terjadi bilamana pelaku melakukan perbuatan memiliki itu tanpa hak atau kekuasaan. Ia tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan memiliki, sebab ia bukan yang punya, bukan pemilik. Hanya pemilik yang mempunyai hak untuk memilikinya”
(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 37)

Menurut Munir Fuady menyatakan :
Bahwa perbuatan yang dilakukan haruslah melawan hukum, sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.     Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku.
b.    Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum.
c.     Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
d.    Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden).
e.    Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvildigheid, welke in het maatschappelijke verkeer betaamt ten aanzien van anders person of goed)
(Munir fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 2005, Hal. 11)

4)   Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben)
Bahwa, untuk menentukan terpenuhinya unsur ini, maka pelaku (dader) yang diduga telah melakukan tindak pidana (strafmaatregel) penggelapan (verduistering) harus menguasai barang tersebut bukan dengan jalan kejahatan.

Menurut Adami Chazawi mengatakan :
“Sesuatu benda berada dalam kekuasaan seseorang adalah apabila antara orang itu dengan bendanya terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung dan nyata, tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan lain. Benda milik orang lain berada dalam kekuasaan seseorang bukan karena kejahatanlah yang merupakan unsur dari delik penggelapan ini, dan ini dapat terjadi oleh sebab perbuatan-perbuatan hukum seperti: penitipan, perjanjian sewa menyewa, pengancaman, dsb.”
(Adami Chazawi, Hukum Pidana III, Produksi Si Unyil, Malang, h. 12 & 15)

Menurut Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH,
“barang harus seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain pada keseluruhannya”

(Brigjen Drs. H.A.K. Moch. Anwar, SH, Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Alumni Bandung, 1979, hlm. 19)