Translate

Senin, 04 November 2013

METODE INVESTIGASI

B A B   I
PENDAHULUAN

PERSIAPAN INVESTIGASI

INVESTIGASI biasanya dilakukan dalam sebuah team yang terdiri dari berbagai keahlian dalam bidang hukum,finansial, dan investigator profesional. Perencanaan dan persiapan yang baik ialah faktor penting dalam investigasi, misalnya apa yang diputuskan oleh organisasi untuk melakukan investigasi. Anda membutuhkan berkas pembuktian investigasi dan mempersiapkan rencana investigasi. Anda sudah mesti mulai selalu membawa catatan harian atau note book untuk merekam secara detail investigasi Anda.

BERKAS INVESTIGASI

Berkas ini berisi semua bahan-bahan tentang investigasi yang meliputi dugaan sebenarnya dan mengumpulkan beberapa bukti awal. Informasi seharusnya dalam bentuk kronologis beserta waktu kejadian dan tambahan informasi. Berkas beserta isinya dapat dipergunakan dalam suatu proses pengadilan kriminal atau sidang etika.
Keamanan berkas perlu dipelihara. Pengorganisasian dan pemeliharaan informasi yang baik dalam sistem komputerisasi akan membantu Anda untuk perencanaan dan pengaturan investigasi dari hari ke hari. Pastikan semua data akurat dan masuk akal dan menjalankan prosedur untuk menjaga kerahasiaan informasi.
Anda harus menjaga data-data di atas, seperti nomor telepon, hasil investigasi atau wawancara dan kronologisnya. Juga;
 Informasi atau bukti-bukti yang diterima dari saksi atau organisasi lain.
 Pendapat laporan ahli.
 Penggandaan pernyataan dari seluruh saksi.
 Laporan kemajuan investigasi
 Laporan investigasi akhir.
Pernyataan saksi-saksi yang sebenarnya dan barang bukti tidak disimpan dalam berkas perkara untuk menjaga kemungkinan adanya manipulasi data, hilang, atau dicuri. Pernyataan saksi dan barang bukti harus di simpan dalam lemari yang terkunci.
Menjaga hasil investigasi itu penting dalam keseluruhan investigasi. Tidak hanya akan membantu Anda dalam melihat mata rantai dan hubungan antara informasi dan menjaga agar investigasi yang dilakukan tetap pada jalannya, tapi juga dalam membuat tugas akhir, seperti menulis laporan dan menyiapkan berkas bukti menjadi lebih cepat dan mudah.

MENYUSUN RENCANA INVESTIGASI

Rencana investigasi harus meliputi fokus dan jangka waktu dari batasan investigasi dan dapat membantu Anda untuk mengorganisasikan, mengelola, serta membuat kilas balik investigasi.
Sebuah rencana investigasi sangat penting untuk melakukan investigasi awal. Jika diperlukan Anda juga harus siap untuk mengubah atau memperbaiki rencana investigasi bila terjadi sesuatu perkembangan yang berbeda selama investigasi berlangsung. Anda juga harus memperhatikan pokok permasalahan yang berkembang sesuai dengan sumber kejadian.
Rencana tersebut harus meliputi:
1. Gambaran yang akurat, sepanjang hal tersebut memungkinkan, dari kemungkinan terdapatnya penyelewengan.
2. Objektivitas investigasi.
3. Ruang lingkup investigasi dan strategi yang akan digunakan.
4. Investigasi awal yang detail.
5. Sumber-sumber informasi atau bukti yang diperlukan.
6. Batasan atau perencanaan waktu.

a. Gambaran dari Penyelewengan

Apa yang diadukan? Apakah perkara kriminal? Jika ya, coba dan identifikasikan kejahatan yang mungkin dilakukan dan elemen-elemen yang menyertainya. Apakah perbuatan yang dilaporkan terkait dengan masalah pelanggaran kedisiplinan. Jika ya, bagaimana?
Dalam beberapa kasus Anda harus membuktikan bagaimana perlakuan hukum mengenai penyelewengan saat itu.

b. Objektivitas Investigasi

Objektivitas yang Anda lakukan juga untuk:
Mengidentifikasi, jika belum mengetahui dugaan adanya penyelewengan.
Mengidentifikasi bukti yang dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan.
Mengidentifikasi bukti yang ada dengan bukti lainnya untuk dapat dibuktikan kebenarannya.
Mengumpulkan semua lembar bukti yang dapat diterima secara legal untuk membuktikan pengaduan.
Mengidentifikasi hal-hal yang dibutuhkan untuk mengubah sistem, orang/karyawan, kebijakan-kebijakan dan prosedurnya

c. Ruang lingkup Investigasi dan Strategi yang akan Digunakan.

Pada beberapa investigasi diperlukan batasan-batasan dari ruang lingkupnya, seperti: adanya dugaan terhadap  seseorang yang telah melakukan mark-up, sementara itu peristiwanya diperkirakan sudah enam tahun yang lalu.
Untuk mengumpulkan seluruh dokumentasi dan saksi tentunya akan memakan biaya yang sangat besar dan juga waktu. Untuk itu diperlukan batasan waktu peristiwa ketika terjadi sampai pada saat awal investigasi. Batas interval waktu yang baik adalah dua belas bulan setelah peristiwa terjadi.
Dalam membuat suatu perencanaan dapat diputuskan mengenai strategi yang tergantung pada informasi yang tersedia. Contoh, ketika Anda mempunyai alasan yang kuat dan akurat serta yakin tentang pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Maka, apakah masih ada yang perlu diperbaiki dengan menambahkan wawancara dengan orang tersebut atau tidak perlu sama sekali. Dalam pelaksanaan wawancara boleh jadi orang tersebut menolak menjawab pertanyaan yang sudah dipersiapkan atau menyangkal tuduhan. Untuk itu, perlu melakukan antisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Bila dugaan awal tidak terbukti dan wawancara dengan tersangka hanyalah untuk membuktikan dugaan yang salah maka ulang investigasi Anda dari sumbernya.
Contoh: sebuah organisasi mendapat informasi dari beberapa karyawan yang menduga bahwa tersangka mencuri fotokopi berkas dan menyimpannya di bagasi kendaraannya. Berdasarkan investigasi awal diperoleh informasi dari teman sejawat tersangka yang melihat tersangka berjalan menuju kendaraannya dengan membawa boks fotokopi dan menyimpannya di kendaraan miliknya tersebut. Ternyata, terdapat saksi yang mengetahui keberadaan fotokopi tersebut. Hal yang harus diputuskan adalah melakukan wawancara terhadap tersangka. Hasilnya bahwa boks fotokopi telah dibuang ke tempat pembuangan kertas dan telah digunakan untuk membungkus keramik yang diekspor keluar negeri.
Jika Anda memutuskan untuk menambahkan informasi atau bukti, Anda harus mengidentifikasi saksi untuk diwawancara ulang jika memungkinkan. Dalam beberapa kasus, Anda harus memperhatikan urutan saksi untuk keperluan wawancara dengan waktu yang bersamaan (untuk hal ini diperlukan keterlibatan investigator lain) atau saksi diwawancara secara bergantian untuk mengurangi atau mencegah terdapatnya kolusi antara saksi. Anda tidak boleh mewawancarai satu saksi dengan saksi yang lainnya secara bersamaan (seperti berdiskusi). Hal ini dapat mengakibatkan risiko tentang kemurnian pernyataan saksi. Sebelum melakukan wawancara, Anda harus mempersiapkan dan mempelajari dokumen atau bukti lainnya untuk memperoleh saksi-saksi ahli. Maksudnya agar mendapat opini saksi-saksi ahli untuk bukti-bukti atau aturan yang berlaku. Contohnya, opini seorang dokter yang berpengalaman tentang kasus tertentu, opini ahli teknik, opini arsitektur, dan lain-lain.
Beberapa investigator menggunakan matrik untuk menolong tugas mereka sebagai acuan kerja (dalam bentuk rencana) dan membuat prioritas untuk investigasi mereka.

d. Investigasi Awal yang Detail

Rencana investigasi harus ringkas dan detail yang berawal dari dasar investigasi sampai hasilnya. Sumber informasi harus tercantum dalam perencanaan sehingga terdapat alasan jika tidak melakukan investigasi. Bila informasi cocok maka harus dilakukan penilaian yang benar-benar akurat.
Bisa dilakukan kerja sama dengan investigator lain, bila terdapat informasi awal yang mempunyai fakta sama dan relevan dengan investigator lain tersebut, yaitu untuk dikonfirmasikan. Keberadaan kerjasama ini harus optimal dan terbuka.
Ketelitian harus benar demi keakuratan dan objektivitas investigasi awal karena informasi yang akurat tersebut menjadi dasar acuan untuk investigasi selanjutnya.

e. Sumber-Sumber yang Diperlukan.

Hal ini meliputi orang-orang yang dirahasiakan (mata-mata), perlengkapan, perjalanan, dan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk informasi luar dan jika perlu ditambahkan tim ahli.

f. Batasan atau Perencanaan Waktu.

Investigasi yang baik harus menggunakan batasan waktu atau perencanaan waktu. Sampai sejauh memungkinkan, rencana Anda harus meliputi rentang waktu sebuah pelanggaran, untuk melengkapi tugas-tugas yang lebih spesifik. Dengan melakukan hal ini, dapat membantu Anda untuk membuat perencanaan yang masuk akal dari sebuah investigasi, seperti membuat dan menentukan dugaan awal yang wajar.
Hal yang sukar diperkirakan adalah seberapa lama investigasi tersebut memakan waktu. Contoh: bila Anda mewawancara lima orang saksi dan kemudian terdapat pernyataan saksi yang harus dikonfirmasikan dengan saksi lainnya.
Anda boleh mencocokkan perkembangan informasi yang dapat mengidentifikasikan seberapa jauh penyimpangan atau pengungkapan kejahatan dalam investigasi Anda. Jika hal tersebut terjadi maka Anda dapat memutuskan bahwa perkembangan tersebut penting dan menjadi bagian yang baru dari penilaian dan investigasi Anda. Bila terdapat identifikasi bahwa perkembangannya berbeda dari dugaan awal maka cobalah untuk berkonsentrasi pada fokus yang baru dan jangan lengah.

Mengumpulkan dan Menangani Bukti

Hal yang penting dalam investigasi adalah mengumpulkan, mengevaluasi, dan mengamankan informasi beserta bukti tentang hal-hal yang sedang diinvestigasi.

Mengumpulkan Bukti.

Anda harus dapat memperoleh sesuatu atau dokumen, seperti berkas atau faktur dari si pengirim informasi atau dari staf lainnya berdasarkan wilayah atau bagian yang terlibat.
Investigasi yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penangkapan atau menyita milik pribadi tersangka, misalnya rumah pribadi tersangka. Penangkapan dan penyitaan dilakukan oleh kepolisian atau investigator lainnya yang mempunyai wewenang untuk itu. Dalam batasan tertentu, Anda dapat melakukan “penggeledahan” di tempat kerja tersangka dengan tujuan mendapatkan dokumen atau hal lain yang mungkin sesuai dengan investigasi. Anda juga dapat memeriksa tempat pembuangan kertas, buku catatan, atau mengumpulkan contoh tulisan tangan tersangka. Tapi, perlu dicatat, selayaknya, Anda tidak memeriksa hal-hal yang bersifat pribadi. Bila memungkinkan untuk membawa kamera video, Anda dapat mempergunakannya, seperti untuk merekam lokasi atau bukti yang sesuai. Cara lain adalah dengan memfoto bukti sesuai dengan posisi saat ditemukan. Untuk menghindari penyangkalan oleh tersangka, disarankan pada saat perekaman dicantumkan tanggal dan waktunya serta lokasi di mana bukti ditemukan. Namun, saksi yang diwawancari diperbolehkan untuk melengkapi pernyataannya di kemudian hari.
Sangat bermanfaat untuk merekam atau mengkopi catatan harian karyawan kantor, catatan penerimaan, dan seterusnya. Sebab, catatan itu dapat dirusak oleh tersangka atau pendukungnya. Tentunya akan lebih baik bila tetap mempunyai bukti asli.
Anda juga dapat mengumpulkan informasi dari para saksi ahli. Contoh, seorang dokter dapat membuktikan perkara secara medis, seorang akuntan dapat memberikan masukan tentang sistem keuangan organisasi atau merekonstruksi alur keuangan, dan ahli komputer dapat membantu dengan kecanggihan teknologi.


Perlakuan Terhadap Bukti

Semua bukti harus disimpan dalam tempat yang aman untuk menghindari perusakan, perubahan dan pencurian oleh saksi atau tersangka. Keamanan dari bukti perkara ini sangat penting. Untuk itu, perlu dikontrol secara terus menerus. Contoh, akan lebih baik bila mengirimkan dokumen untuk diuji melalui pos tercatat dan dibubuhkan tandatangan (bukan cap jempol), tetapi dokumen tersebut bukan inti dari keseluruhan investigasi. Contoh lain, bila Anda mengirimkan contoh darah untuk analisa pemakaian obat terlarang ke laboratorium, maka Anda harus terus menerus memeriksa tiap perkembangannya dan mengkontrol waktu yang diperkirakan untuk itu (paat pengambilan dan investigasi). Baiknya, Anda tidak mempercayai sistem pengiriman barang bukti melalui pos. Sebagai investigator, Anda bertanggungjawab terhadap penerimaan barang bukti dan penanganannya serta pastikan keutuhan barang bukti tersebut. Bila Anda tidak mempercayai keaslian dokumen atau barang bukti dan beberapa proses serta orang-orang yang terlibat, maka dokumen atau barang bukti tersebut boleh untuk diabaikan.
Barang bukti harus tetap dalam kondisi keasliannya, sampai semuanya diuji di unit forensik.
Beberapa tindakan pencegahan yang harus Anda ambil:
 Selalu memberikan tanda terima barang bukti yang terinci.
 Pastikan dokumen atau barang bukti tidak diubah, ditandai, hilang, atau rusak.
 Ambil fotokopi/gandakan dokumen atau barang bukti yang kemungkinan digunakan sebagai bukti perkara, catat siapa yang menggandakan, dan pastikan hasil penggandaan tersebut asli. Jika berkas (dari manapun asalnya) diterima sebagai barang bukti, maka penting untuk difotokopi/digandakan. Adalah merupakan hal yang utama bahwa barang bukti atau berkas tidak diganggu keasliannya. Dalam kasus seperti ini, akan lebih baik jika Anda melakukan penggandaan sendiri daripada mempercayai seseorang/orang lain.
 Catat juga di mana dan kapan barang bukti ditemukan, dan pisahkan antara barang bukti yang sudah diperiksa dan yang belum.
 Kirim/simpan barang bukti tersebut ke tempat yang aman. Contoh, dalam ruang yang tersembunyi. Bila investigator mengambil berkas-berkas tersebut untuk dikerjakan di kantornya, berkas tersebut tidak boleh ditinggalkan atau tertinggal di meja kerjanya.

Melakukan Wawancara

Pada saat investigasi berlangsung, Anda sebaiknya dapat mewawancara (mengkonfirmasi) para saksi, tersangka, karyawan suatu organisasi, ataupun beberapa anggota masyarakat.

Wawancara Dengan Saksi

1. Persiapan

Anda harus mempersiapkan kapan dan di mana wawancara tersebut dilakukan dan perlengkapan serta dokumen apa yang mungkin Anda butuhkan.
Lokasi yang Anda pilih seharusnya bersifat pribadi, sunyi, dan nyaman serta bebas dari gangguan. Harus tersedia juga fasilitas toilet pada tempat yang dapat digunakan. Anda dapat melakukan wawancara pada saat pengaduan menginginkannya. Contohnya; di luar kota, di kantor kerjanya, atau ruang pertemuan pribadi .
Jika wawancara akan dilakukan pada saat jam kerja, maka harus dipertimbangkan kemungkinan mengganggu pekerjaan pihak yang diwawancara. Jika saksi menolak untuk menjawab wawancara, maka hal itu harus diungkapkan dan dicari prosedur alternatif. Anda harus mencatat wawancara secara sistematis.
Orang yang akan diwawancara harus diberikan pilihan akan kehadiran orang lain. Orang lain tersebut bisa jadi dari perwakilan sebuah perkumpulan atau sekolah hukum, dan mereka harus mempunyai hubungan dengan pengaduan. Mereka dilarang untuk mengambil-alih wawancara. Jika tidak mungkin untuk melakukan wawancara sebagai pernyataan yang mendukung bukti-bukti, maka investigasi harus diakhiri dan strategi baru harus dibuat. Anda perlu melakukan pencatatan tentang hal-hal yang harus dilengkapi. Anda dapat mempekerjakan orang lain, seperti juru rekam video atau tape dan ahli komputer. Dan Anda juga memerlukan lembar kerja, diagram, fotografi, dokumen, dan hal lain sebagai bukti saat wawancara.

2. Mewawancarai Saksi

Hal pertama yang Anda lakukan pada saat mewawancarai adalah membuat pernyataan dari sebuah pengaduan sebagai bagian dari investigasi. Kemudian Anda mulai mewawancarai saksi secara bertahap. Hal ini tergantung pada bukti-bukti utama mereka, tingkat kedekatan mereka dengan tersangka, serta kesediaan mereka. Pada umumnya, para saksi akan memberikan pernyataan yang terbaik sebagai bukti dengan cara yang singkat, bila fakta-faktanya masih segar dalam ingatan mereka.
Pernyataan seorang saksi harus secara akurat merefleksikan apa yang ingin dikatakan. Pernyataan yang bersifat formal agar didesain untuk dapat digunakan sebagai bukti dalam pengadilan.
Pernyataan formal dapat juga:
 Mengurangi atau menghilangkan urutan waktu yang dibutuhkan para saksi untuk memberikan bukti di pengadilan.
 Membantu saksi untuk menyegarkan ingatannya mengenai permasalahan atau perkara.
 Untuk dipergunakan oleh kepolisian, pengambil keputusan di pengadilan, atau investigator lain yang telah mengambil alih perkara.
 Untuk digunakan oleh saksi bila tersangka menyangkal atau sebagai pernyataan legalnya. Hal ini mencegah agar saksi tidak membuat pernyataan yang kontradiksi terutama ketika saksi memberikan pernyataan secara langsung di sidang pengadilan. Dalam beberapa kasus, hakim dapat tidak menerima bukti yang diberikan melalui pernyataan. Oleh karena itu, seharusnya pernyataan disesuaikan dengan buktibukti.
Sebelum Anda memulai suatu pernyataan, mintalah saksi untuk menceritakan kesaksian mereka dari permulaan hingga akhir dengan bahasa mereka sendiri. Selain itu, saksi harus menandai setiap halaman pernyataan dan menandai setiap perbaikan yang dibuatnya. Setiap tanda-tangan ataupun tanda lainnya harus diberikan tempatnya dalam setiap halaman. Pernyataan tersebut harus diberi tanggal. Pastikan tidak ada ruang kosong antara paragraf akhir dengan ruang tanda-tangan saksi sehingga pernyataan tersebut tidak dapat ditambahkan oleh orang lain. Termasuk umur dan tanggal lahir saksi.

3. Isi Pernyataan

Dalam pedoman hukum bukti-bukti dibuat pengelompokannya berdasarkan tipe dari bukti yang dapat diberikan saksi di pengadilan. Kemudian ketika mengambil pernyataan dari saksi, Anda coba untuk mencocokkannya dengan aturan sehingga Anda tidak melakukan kesalahan yang bersifat material dan tidak dimasukan ke dalam pernyataan.
Seperti yang sudah diindikasikan, beberapa pengadilan tidak begitu ketat dengan hukum bukti-bukti, jadi susunan dan isi pernyataan bukan sesuatu yang terlalu penting. Sebagai petunjuk, bila sebuah investigasi lebih serius maka pernyataanya pun harus lebih serius.

3.1. Pernyataan Orang Kedua

Pada umumnya pernyataan orang kedua tidak dapat dijadikan bukti dalam proses kriminal. Apa yang dimaksud pernyataan orang kedua? Sederhananya adalah orang yang mendengarkan dari orang lain tentang sesuatu kejadian. Keterangan orang tersebut tidak dapat dijadikan bukti jika tujuan dari bukti tersebut untuk membuktikan keadaan sebenarnya dari suatu peristiwa dan dijadikan pernyataan dalam sidang pengadilan. Di bawah ini adalah contoh dari pernyataan orang kedua:
John adalah saksi
Ray adalah tersangka
Pernyataan John meliputi:
"Saya mengatakan kepada tetangga saya, Mark dan Sandra bahwa saya melihat Roy mencuri kambing milik Toni."
Pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan bukti mengenai Roy yang mencuri kambing milik Toni. Pada umumnya pengadilan tidak tertarik dengan apa yang John katakan pada orang lain, pengadilan ingin mendengar dari John sendiri tentang pencurian yang ia lihat. Contohnya: "Saya melihat keluar melalui jendela dan melihat Roy menuntun seekor kambing melewati kebun.” Pernyataan tersebut akan dapat diterima dalam kasus pencurian kambing yang melibatkan Roy.
Contoh lainnya dengan skenario yang sama;
Pernyataan Mark meliputi: "John mengatakan kepada saya bahwa bahwa ia melihat Roy mencuri kambing milik Toni".
Pernyataan tersebut tidak dapat diterima, jika akan membuktikan bahwa Roy mencuri kambing milik Toni. Faktanya adalah John sebagai saksi mengatakan kepada orang lain yaitu Mark dan Sandra. Apa yang dilihat John sudah merupakan bukti kuat sedangkan bukti Mark tidak dapat dijadikan bukti kuat. 
Identifikasikan percakapan yang dapat diterima sebagai bukti dan percakapan yang bersifat kabar angin atau pernyataan orang lain yang tidak dapat diterima.
Jika Anda ingin memasukan percakapan bukti dalam sebuah pernyataan, mesti seperti percakapan antara saksi dan tersangka. Hal itu harus didapat dari orang pertama.

Contoh:
Saya berkata, "Roy, saya kira Anda tidak seharusnya berbuat itu".
Roy berkata, "Tidak, saya baik-baik saja. Toni berkata bahwa dia tidak menginginkan kambing itu dan saya diperbolehkan memilikinya".
Saya berkata, "Tapi kambing itu bukan milik Toni."
Percakapan tidak harus dilaporkan dengan cara-cara berikut di bawah ini yang mungkin tidak akan diterima dalam pengadilan.
"Saya berkata pada Roy bahwa saya pikir dia tidak melakukannya dan dia berkata pada saya bahwa semuanya baik-baik saja karena Toni telah bilang padanya bahwa dia tidak menginginkan kambing itu dan Roy dapat memilikinya. Saya pikir ia telah membawa kambing yang lain."
Meminta saksi untuk mengulangi percakapan dalam sebuah percakapan yang telah berlangsung berharihari, berminggu-minggu, sering menyebabkan saksi mengatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin. Kecuali saksi telah membuat rekamannya. Dalam kondisi seperti itu Anda harus bersikeras untuk meminta percakapannya tersebut untuk catatan dan saksi harus diminta untuk membantu sebisa mungkin.
Percakapan dapat direkam dalam pernyataan dengan kata-kata pendahuluan seperti tersebut di bawah ini:
"Untuk koleksi terbaik saya, saya berkata: "…."
Atau
"Untuk koleksi terbaik saya percakapan sebagai berikut: "……"

3.2. Opini

Seperti hukum dasar, seorang saksi seharusnya tidak memasukkan perasaan dari pendapat pribadinya tentang sesuatu atau seseorang dalam pernyataannya, kecuali saksi adalah seorang yang ahli untuk memberi suatu pendapat tertentu.
Bukti sebuah pendapat dapat diterima jika berdasarkan dengan apa yang dilihat, didengar, atau diketahui seseorang tentang suatu kasus dan opininya biasanya meliputi pengertian yang memuaskan saksi terhadap persepsi permasalahan. Contoh, ia mengatakan "Dia kelihatannya marah." Ada juga, saksi datang ke pengadilan dengan didahului oleh opini. Contoh, "Dia menghentakkan kakinya, meninju meja atau wajahnya memerah. Dia kelihatannya marah."
Dalam kasus lain, seorang saksi dapat mengekspresikan sebuah pendapat tentang sesuatu meskipun ia bukan seorang yang ahli tapi berpengalaman dengan pokok permasalahan. Contoh: Seseorang yang telah bertahun-tahun mengemudi dapat dizinkan untuk menjelaskan tentang seberapa cepat sebuah kendaraan dapat dipakai untuk bepergian.
Seperti juga pernyataan orang kedua, jika Anda pikir bahwa pendapat tersebut relevan dengan fakta/bukti, namun tidak yakin apakah bukti tersebut dapat diterima, maka pernyataan tersebut dapat tidak dipergunakan.

3.3. Pernyataan Tambahan

Dalam menyiapkan pernyataan, Anda harus memasukkan sebagai tambahan fotokopi dari semua dokumen yang berhubungan dengan pernyataan. Dokumen-dokumen tersebut harus berhubungan dengan hal-hal di bawah ini:
Saya telah melampirkan fotokopi dokumen yang bertanda '…'. Saya mengenali dokumen tersebut sebagai fotokopi dari salah satu dokumen yang Roy ambil dari meja Toni.
Fotokopi tersebut harus benar-benar ditandai. Biasanya di halaman atas. Jangan pernah menandai dokumen asli.

3.4. Penerjemahan

Jika saksi tidak bisa berbahasa Indonesia atau tuli maka pernyataan harus dibuat bersama dengan seorang penterjemah. Hal ini untuk mengantisipasi pernyataannya digunakan dalam proses legal dengan memberikan pernyataan tertulis dengan bahasanya sendiri dan kemudian diterjemahkan oleh penterjemah yang ahli. Kecuali dalam kasus yang bersifat genting, Anda jangan meminta pada orang yang berhubungan dengan saksi dan teman saksi untuk menterjemahkan. Terjemahan harus disertakan pernyataan yang asli. Hanya pernyataan asli yang ditandatangani oleh saksi.
Anda juga perlu membuat pernyataan dari penterjemah berdasarkan batasan fakta yang mereka siapkan atas pernyataan saksi. Fotokopi pernyataan yang asli dan ijazah penterjemah harus ditambahkan dalam pernyataan si penterjemah.

3.5. Pernyataam Melalui Telepon

Cobalah untuk tidak membuat pernyataan resmi dengan saksi melalui telepon. Sangat sulit bagi Anda untuk membuat penilaian yang akurat bila pernyataan saksi melalui telepon dan rawan terhadap terjadinya kesalahan. Anda hanya dapat melakukannya jika pernyataan sangat dibutuhkan dan lokasi saksi berada sangat jauh. Jika memungkinkan kirim fotokopi pernyataan melalui facsimile. Pernyataan harus ditandai dan dikirimkan kepada Anda dan yang asli dapat menyusul.

3.6. Pernyataan Yang Tidak Ditandai

Jika seorang karyawan atau anggota masyarakat bersedia berbicara dengan Anda tentang suatu kasus namun bukan pernyataan resmi atau wawancara yang direkam, Anda harus mencatat detailnya untuk referensi selanjutnya. Jika orang tersebut setuju, mintalah tandatangan pada catatan Anda untuk mengetahui bahwa catatan tersebut akurat.
Cobalah untuk membuat catatan ketika Anda berbicara pada seseorang secepat mungkin. Tanggal dan waktu percakapan harus dibuat, begitu pun tanggal dan waktu pencatatan. Simpan catatan tersebut pada tempat yang aman, untuk dapat dipergunakan sewaktu-waktu bila diperlukan.
Catatan Anda tentang percakapan dengan saksi tidak akan dapat diterima sebagai bukti jika pernyataan saksi dilakukan secara lisan. Tujuan membuat catatan adalah untuk membantu orang yang kemudian disebut saksi untuk memperkirakan bukti apa yang dapat diberikan oleh saksi.
Dalam beberapa kasus, di mana para saksi memberikan bukti yang berbeda dengan pernyataan mereka, yang ditandatanganinya ataupun tidak. Saksi tersebut mungkin membuat pernyataan yang bertentangan, seperti pernyataan yang tidak konsisten. Karena itu, penting untuk mencantumkan tempat dan tanggal serta waktu di mana saksi memberikan informasi kepada Anda dan ketika ia menolak untuk menandatanganinya.
Catatan akan sangat berguna bila tiba-tiba ada saksi yang harus dipanggil untuk memberikan kesaksian atas orang yang melakukan penyelewengan, tapi ternyata kesaksian saksi tersebut berbeda dengan catatan Anda.
Satu alasan mengapa pengadu enggan untuk berbicara dengan Anda atau memberikan pernyataan yang ditandatangani adalah ketakutan akan balas dendam bila membuat pernyataan atau kesaksian. Jika kasusnya menyangkut orang yang bekerja pada kantor publik, Anda sebaiknya memberitahu mereka bahwa mereka dilindungi oleh hukum. Ringkasnya, tujuan dari tindakan ini adalah untuk memudahkan membongkar kasus korupsi, penyimpangan administrasi yang serius, dan kebobrokan yang terdapat pada sektor publik, dan melindungi pelapor, pengadu, atau saksi dari tindakan-tindakan yang dapat mengancamnya.

Wawancara Dengan Tersangka
Persiapan

Dalam investigasi, ada saat di mana tersangka dan saksi harus diiterview secara formal. Jangan melakukan wawancara bila Anda merasa belum perlu. Carilah bantuan dan persetujuan penyelia dalam mendapatkan pelayanan dari pengalaman investigator publik lainnya.
Sebelum mengwawancara, konsultasikan dengan penyelia bahwa Anda adalah orang yang pantas untuk melakukan wawancara. Dalam kondisi tertentu, dapat saja ditentukan orang tertentu untuk mewawancarai saksi/tersangka. Sebelum mengwawancara tersangka dalam kasus kriminal, usahakan untuk selalu mencocokkan data dengan data instansi terkait. Untuk tujuan wawancara, mereka biasanya tidak akan berkeberatan. Menulis untuk meminta saran kepada kepala kepolisian lokal adalah merupakan sesuatu yang baik yang akan menunjukkan bahwa Anda telah mencapai tahap dalam investigasi Anda di mana Anda bertujuan untuk mengwawancara tersangka dan mengetahui keberatan-keberatan kepolisian. Anda harus meringkas bukti-bukti seringkas dan seakurat mungkin.
Agar alasan pengaduan bisa ditindaklanjuti, jangan mengwawancara tersangka sampai Anda mengumpulkan dan menilai bukti-bukti yang ada. Pastikan bahwa Anda telah objektif untuk melakukan wawancara, mempersiapkan daftar pokok persoalan yang akan diangkat, dan biasakan diri Anda dengan semua fakta dan setiap detail kasus. Semakin serius kasus yang ditangani, maka semakin formal wawancara yang dilakukan.
Pastikan para tersangka siap bila Anda ingin menunjukan suatu dokumen atau yang lainnya. Jika terdapat banyak dokumen, Anda harus memperhatikan dokumen yang dianggap perlu untuk ditunjukkan. Jika Anda bekerja sama dengan investigator lain, pastikan Anda membuat perjanjian sebelum Anda memulai wawancara. Seperti perjanjian siapa yang akan membuat catatan, siapa yang akan mengwawancara, siapa yang akan membuat dokumen dan lain-lain.
Pikirkan tentang tersangka, latar belakangnya, respon-respon yang mungkin timbul, pertahanan atau alibi, dan bagaimana mereka bereaksi sepanjang wawancara. Berhati-hatilah dengan tersangka yang diam atau menolak untuk menjawab pertanyaan tertentu, bohong, selalu ingin tahu atau agresif, bahkan yang tidak pernah berhenti bicara.
Memikirkan kebutuhan dan kesejahteraan tersangka adalah sama pentingnya dengan memikirkan kemajuan investigasi. Anda harus bijaksana dengan kenyataan yang ada bahwa Anda sedang mengwawancara orang yang berstatus tersangka. Wawancara harus dilakukan di tempat yang nyaman di mana Anda yakin tidak ada gangguan.
Rasa santai dan fasilitas toilet harus sudah tersedia. Jika tersangka tidak bisa berbahasa Indonesia, Anda harus memutuskan apakah diperlukan seorang penterjemah. Jika Anda mengwawancara seseorang yang masih di bawah umur, contohnya seseorang yang berumur kurang dari 18 tahun, Anda harus memikirkan apakah dibutuhkan orang dewasa untuk mendampinginya, atau apakah orang yang hendak diwawancara tersebut menghendaki didampingi oleh orang dewasa.
Dalam hubungannya dengan kasus kriminal, terdapat permintaan khusus siapa yang mesti mendampingi orang yang masih di bawah umur ketika hendak diwawancara. Pada umumnya, orang yang masih di bawah umur tersebut memilih sendiri siapa yang akan mendampinginya. Biar bagaimanapun, permintaan tersebut sangat kompleks dan Anda harus meminta saran atau bantuan yang bersifat legal sebelum melakukan wawancara dengan orang yang masih di bawah umur tersebut.
Putuskanlah dengan cara apa wawancara akan direkam. Ada beberapa pilihan untuk pertanyaan dan jawaban pertanyaan Anda, yaitu video rekaman, tape recorder, ketikan, atau tulisan tangan. Semakin serius masalah yang diinvestigasi, maka semakin besar kebutuhan untuk memastikan bahwa seluruh wawancara harus direkam  seakurat mungkin. Dalam situasi seperti itu, wawancara dengan video rekaman sangat disukai. Dengan metode ini, semua aktivitas saat wawancara dapat diketahui, dan pada saat persetujuan tentang hasil wawancara, pastikan telah merekamnya dengan benar.
Keuntungan dari video rekaman atau tape recorder adalah:
Wawancara dapat berlangsung lebih baik
Tidak membutuhkan catatan saat berlangsungnya wawancara
Respon atau tingkah laku tersangka dapat direkam dengan jelas dan akurat
Menghindari risiko tidak ditemukannya dugaan dan perlakuan yang tidak pantas
Bagaimanapun juga, Anda harus memastikan bahwa Anda telah benar-benar siap untuk melakukan wawancara, seperti rekaman atau hal-hal lain yang dapat membuat kesalahan. Bahkan, ketika wawancara sedang berlangsung, Anda masih perlu membuat catatan untuk membantu Anda mengembangkan daftar pertanyaan. Ketika menunjukan suatu dokumen kepada tersangka sepanjang wawancara, pastikan Anda benar-benar mengidentifikasikan dokumen tersebut. Hal ini untuk menekan keraguan atau perdebatan di lain waktu mengenai dokumen yang telah ditunjukkan kepada tersangka.

Melakukan Wawancara

Tujuan dari wawancara dengan tersangka adalah untuk menemukan dugaan yang akurat atas tersangka dan memberikan kesempatan pada tersangka untuk menjawabnya. Hal ini berhubungan dengan mengambil detail dari dugaan terhadap tersangka dan mencari reaksi serta meminta tersangka untuk berkomentar tentang masalah yang belum terungkap sepanjang investigasi Anda.
Selama wawancara, Anda harus tetap tenang, sopan, dan mempertahankan objektivitas. Jika tersangka kelihatan mengganggu atau membuat Anda kesal, hal itu jangan mempengaruhi objektivitas Anda. Jika tingkah laku tersangka dapat diterima dan tidak ada lagi yang harus dipertanyakan, Anda dapat menyudahi wawancara dengan
memberikan alasannya.
Hati-hati dengan tipe pertanyaan yang Anda ajukan. Pertanyaan yang bersifat investigasi dapat dilakukan, tapi pertanyaan yang bersifat ambisius, menuduh, atau berbelit jangan dilakukan, sebab dapat membingungkan mereka dan tidak dapat dijadikan bukti.
Dalam kasus perselisihan, jangan mengajukan pertanyaan yang memojokkan. Umumnya, pertanyaan yang memojokkan adalah pertanyaan yang menyarankan jawaban. Contohnya, "Anda tidak mempunyai SIM, bukan?" Seharusnya, "Apakah Anda mempunyai SIM?"
Cobalah untuk tidak bertanya tentang fakta perselisihan, tanpa memeriksa fakta tersebut terlebih dahulu. Contohnya,
"Kapan terakhir Anda mengemudi tanpa membawa SIM." Jika tersangka mengaku tidak pernah mengemudi tanpa membawa SIM, maka pertanyaan tersebut menjadi tidak objektif.
Bagaimanapun juga, jika seseorang memilih untuk memberikan pengakuan, maka Anda harus menyelidiki pengakuan tersebut. Seseorang mungkin saja akan mengakui perbuatan salahnya, tapi harus tetap ada pernyataan pembantahan atau detail kesalahannya.
Anda harus mencoba dan menghindari pengulangan pernyataan, kecuali untuk tujuan penjelasan bahwa tidak ada masalah dengan permintaan tersangka untuk menjelaskan jawaban, asal tidak bersifat mengulang yang sudah dinyatakannya, yang menjadikannya seperti orang yang tertekan.
Jangan membuat janji apapun dan jangan menyarankan tersangka, kecuali untuk menjelaskan jawaban mereka. Jika diketahui digunakan tekanan ataupun bujukan agar tersangka memberikan jawaban, maka pengadilan tidak akan menerima sebagian ataupun seluruh hasil wawancara.
Jawaban dari tersangka harus bersifat sukarela dan jika tersangka menolak untuk menjawab pertanyaan segeralah selesaikan pertanyaan secepatnya dan buat catatan dari apa yang dikatakan pada poin itu. Tanyakan pada mereka bila ingin menambahkan pernyataan.
Jika saat wawancara tersangka menunjukan kelelahan atau meminta beristirahat, maka segeralah beristirahat, waktu wawancara yang terpotong tersebut harus dicatat. Pada dasarnya, tidak boleh mendiskusikan permasalahan wawancara dengan tersangka selama istirahat. Ketika menganalisis wawancara, maka tersangka harus diminta untuk mengkonfirmasikan fakta atau apa saja yang berhubungan dengan investigasi.

Struktur Wawancara

Cara untuk melakukan wawancara tergantung keputusan Anda sendiri. Lagi pula, wawancara pada umumnya dapat berlangsung lebih baik dan lebih terstruktur jika mengikuti alur logika. Bentuk yang biasa digunakan antara lain:
1) Pendahuluan
2) Peringatan - jika dibutuhkan
3) Sebuah komponen "Apakah Anda setuju?"
4) Sebuah komponen "Apa yang telah terjadi?"
5) Pertanyaan yang spesifik
1. Pendahuluan,

Meliputi: waktu, tanggal, lokasi wawancara,detail kehadiran semua orang pada suatu wawancara.
Penjelasan ringkas tentang bagaimana wawancara akan dilakukan. Detail dari tersangka seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat, dan pekerjaan
contoh:
Saya Toni dan ini Tuan Adam. Kami berada di ….. (lokasi), tanggal ….. waktu …... Hadir juga Tuan Green pengacara Anda dan Tuan Brown perwakilan perkumpulan Anda.
Tuan Adam dan saya membuat pertanyaan tentang ….(dugaan). Saya akan menanyakan kepada Anda beberapa pertanyaan tentang kasus ini. Dan pertanyaan saya serta jawaban Anda akan direkan mempergunakan ……. (alat rekam). Apakah Anda setuju bila wawancara ini direkam? ……
Silahkan Anda tuliskan nama lengkap ….., tanggal lahir …, dan pekerjaan …….

2. Ingatkan, bila perlu

Jika sebelum wawancara atau pada saat wawancara Anda percaya bahwa ada bukti yang cukup untuk membuktikan orang tersebut telah melakukan kejahatan maka Anda harus mengingatkan orang tersebut.
Hal itu berarti Anda menyarankan kepada orang tersebut bahwa mereka tidak mesti mengatakan atau melakukan sesuatu. Sebab, apapun yang mereka katakan atau lakukan dapat digunakan sebagai bukti.
Pastikan selalu bahwa Anda bertanya pada tersangka apakah mereka mengerti maksud dari peringatan tersebut. Ada baiknya untuk mencontoh peringatan berikut:
Saya akan bertanya kepada Anda tentang ….(dugaan). Saya ingin Anda mengerti bahwa Anda tidak mesti mengatakan atau melakukan apapun. Tetapi, jika Anda mengatakan atau melakukan satu hal apapun, maka hal itu dapat dijadikan bukti. Apakah Anda memahaminya? (kata-kata yang diketik tebal adalah kata-kata peringatan yang penting).

3. Sebuah Komponen “apakah anda setuju”

Pada bagian wawancara ini Anda harus kembali pada saat terjadinya peristiwa yang benar-benar terjadi dan mendapat persetujuan dari tersangka.
Contoh:
Pertanyaan : Setujukah Anda bahwa pagi ini saya berbicara dengan Anda tepat didepan meja Anda, "Saya membuat dugaan tentang beberapa uang yang hilang dari sebuah transaksi di sebuah meja kasir. Saya akan menanyakan beberapa pertanyaan tentang hal tersebut".
Jawaban : Ya, benar.
Pertanyaan : Apakah Anda setuju bahwa Anda berkata, "apa hubungannya dengan saya?".
Jawaban : Ya
Pertanyaan : Setujukah Anda bahwa saya berkata, "Anda sedang bekerja di meja kasir tersebut saat uang tersebut hilang?".
Jawaban : Ya


4. Sebuah Komponen “Apa Yang Telah Terjadi”

Komponen ini digunakan untuk mengajukan pertanyaan tambahan yang bersifat ingin memperjelas seperti "Apa yang terjadi kemudian?", "Apa yang terjadi berikutnya?", "Mengapa Anda melakukan hal tersebut?", dan seterusnya.

5. Peryataan Yang Spesifik

Anda harus membuat tipe pertanyaan yang tidak mengandung dua arti yang dapat disangkal kemudian oleh tersangka.

Contoh:
Pertanyaan: Anda dengan cepat menaruh uang ke dalam saku Anda. Apakah Anda letakkan dahulu dalam mesin hitung meja kasir? Jawaban : Tidak, saya menaruhnya di sebelah meja kasir dan ketika Seorang perempuan yang membayar pergi baru saya masukan ke kantong saya.
Pertanyaan : Anda katakan terdapat pergantian untuk istirahat di meja kasir. Apakah Anda tahu jam berapa saat itu?
Jawaban : Saya beristirahat makan siang, jadi sekitar jam 1.

Menyusun Laporan Investigasi

INVESTIGATOR harus menyiapkan bermacam-macam laporan pada tahap yang berbeda dari tiap investigasi.
Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengkomunikasikan informasi tentang hal yang sedang diperiksa. Dengan begitu, mereka dapat membuat keputusan tentang kelanjutan dari arah investigasi.
Menulis laporan bukan sesuatu yang mudah. Tapi, jika Anda mempunyai catatan yang bagus dan rekaman terbaru dari investigasi, maka menulis laporan adalah sesuatu yang mudah saja.
Beberapa dokumen yang dapat Anda tulis adalah:

1. Laporan Penilaian
Laporan ini biasanya disiapkan setelah Anda membuat penilaian pendahuluan dari pengaduan dan melengkapi beberapa investigasi awal. Laporan ini biasanya ditulis untuk investigator senior untuk melegalisasi penilaian pengaduan dan memutuskan langkah apa yang akan diambil.
Laporan dapat berisi informasi sebagai berikut:

Nomor urut berkas investigasi
Tanggal dan jenis dari pengaduan awal atau pernyataan, seperti melalui telepon, surat, atau wawancara.

Rincian dugaan
Seberapa jauh fakta yang ada terhadap penilaian informasi yang dikumpulkan dan rekomendasi tindakan selanjutnya.

Nama penulis dan tanggal lengkap laporan

2. Rencana Investigasi

Jika organisasi memutuskan untuk melakukan investigasi alternatif berdasarkan dugaan yang ada, Anda perlu menyiapkan rencana investigasi berdasarkan pada apa yang seharusnya Anda lakukan, sumber-sumber yang dibutuhkan, dan berapa lama perkiraan investigasi yang akan dilakukan.
Pada kebanyakan organisasi, untuk mendapat persetujuan terhadap awal/dimulainya investigasi maka dibuat rencana investigasi kepada pimpinan. Informasi rinci lainnya tentang rencana investigasi terdapat dalam Bagian III buku ini.

3. Laporan Perkembangan Investigasi

Investigator harus menyediakan laporan secara reguler tentang perkembangan investigasi kepada pimpinan.
Pertemuan/diskusi antara investigator dengan pimpinan adalah penting untuk mengkaji mekanisme.
Anda juga dapat memutuskan untuk menyiapkan sebuah laporan jika investigasi tersebut terbukti. Jika terdapat sumber perkara yang dapat memperkuat maka putuskan sebagai sumber alternatif.

4. Laporan Akhir Investigasi

Pada akhir investigasi, Anda perlu menyiapkan laporan akhir berdasarkan keputusan dari semua investigasi dan rekomendasi Anda. 
Hal ini untuk mencegah adanya penyelewengan tindakan disiplin, korupsi kerja dan lain-lain.
Laporan terdiri dari dua bagian:
a. Bagian pertama harus memberitakan bukti-bukti selama investigasi
Struktur disarankan meliputi:
Memberitakan catatan atau ringkasan pelaksanaan
Latar belakang (ruang lingkup investigasi, sumber informasi, dan matriknya).
Hasil investigasi
Kesimpulan
Rekomendasi (sanksi hukum dan sejenisnya)
b. Bagian kedua harus memberitakan pokok masalah yang diinvestigasi dan mungkin dapat dilengkapi oleh orang lain selain investigator itu sendiri.
Contoh:
Jika dan mengapa prosedur yang benar tidak dilakukan
Prosedur baru yang dibutuhkan untuk mencegah masalah di kemudian hari.
Rekomendasi mengenai sistem yang diberlakukan

5. Barang Bukti Yang Bisa Disertakan

Seorang investigator juga dapat mempersiapkan barang-barang bukti untuk pengadilan berupa kumpulan bukti-bukti yang bersangkutan dengan kasus yang dapat dibutuhkan untuk memutuskan tindakan disiplin atau keputusan kriminal.
Anda perlu menyiapkan dua lembar fotokopi dari berkas asli. Satu untuk diserahkan kepada pimpinan atau instansi yang sesuai, dan lainnya Anda simpan sebagai berkas kerja.
Berkas asli harus disimpan di tempat yang aman sampai berkas perkaranya disidangkan atau diminta oleh yang berkenaan.
Berkas bukti harus meliputi:
 Catatan atau surat kepada pimpinan atau instansi lainnya.
 Fotokopi laporan akhir investigasi atau ringkasan pelaksanaan investigasi.
 Dokumen-dokumen, seperti saksi-saksi dan bukti-bukti.
 Fotokopi seluruh pernyataan dari saksi-saksi.
 Penandaan rekaman wawancara.
 Bukti-bukti lain yang sesuai, seperti kutipan kepolisian dan rekaman mikrofon.
Jika Anda tidak yakin dengan apa yang harus dan tidak harus dimasukan ke dalam berkas peristiwa, Anda dapat meminta saran dari seorang investigator yang lebih berpengalaman.


BAB II
CRIMINAL INVESTIGATION

1. PERSIAPAN
Berbicara mengenai investigasi/penyidikan adalah tak lain membicarakan masalah pengusutan kejahatan atau pelanggaran.
Orang Inggris lazim menyebutkan dengan istilah “Criminal Investigation” dan dapatlah kita telaah apa yang dimaksud dengan itu sebagaimana diulas dalam Encyclopaedia Britanica buku 12 halaman 476 yang intinya adalah sebagai berikut :
“Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah melakukan kejahatan dan memberi pembuktian-pembuktian mengenai kesalahan yang telah dilakukannya. Untuk mencapai maksud tersebut maka penyidik akan menghimpun keterangan sehubungan dengan fakta-fakta tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Menghinpun keterangan-keterangan termaksud biasanya adalah mengenai :
Fakta tentang terjadinya suatu kejahatan;
Identitas dari si korban;
Tempat yang pasti dimana kejahatan dilakukan;
Bagaimana kejahatan itu dilakukan;
Waktu terjadinya kejahatan;
Apa yang menjadi motif, tujuan serta niat;
Identitas pelaku kejahatan.”

Demikianlah dengan ringkas kita ambil dari buku termaksud tadi, yang lebih lanjut mengulas pula beberapa metode yang lazim digunakan dalam bidang investigasi, ialah :
a. Identifikasi.
b. Sidik jari.
c. Modus operandi.
d. Files.
e. Informan.
f. Interogasi.
g. Bantuan ilmiah.

Ad.a. Identifikasi.
Perhatian utama diarahkan kepada pelaku-pelaku kejahatan yang tergolong professional dan demikian pula terhadap mereka yang tergolong recidivist. Nama orang-orang yang tergolong professional atau recidivist itu sewaktu-waktu muncul dalam daftar tahanan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Bila identitas orang-orang itu dapat dikuasai oleh petugas hukum, maka penyidikan akan memperoleh bantuan dari pengenalan akan identitas penjahat. Hal-hal yang menyangkut identitas itu, misalnya tato, bekas bakar, bentuk tubuh dan fotografi. Pengambilan foto seorang recidivist atau professional telah dianjurkan oleh Alphonse Bertillon, Kepala Bagian Identifikasi di Paris dan karena itu sejak tahun 1882 orang telah mengenal system Bertillon termaksud.
Mengenai fungsi petugas-petugas identifikasi pada garis besarnya dipisahkan atas : 
a.1. Persiapan-persiapan sebelum tertangkapnya tersangka :
- Menggunakan index alphabetis untuk mempelajari nama-nama yang pernah                                                    tercatat;
- Menggunakan fotografi bila seorang tersangka pernah dikenal oleh saksi;
- Menggunakan metode modus operandi;
- Menggunakan atau mempelajari tulisan tangan tersangka;
- Mempelajari sidik jari;
a.2 Bila tersangka sudah tertangkap, maka hal-hal termaksud pada ad.1 di atas dilakukan untuk menampilkan kepastian bahwa orang yang ditangkap itulah yang telah melakukan kejahatan sebagaimana telah dituduhkan kepadanya. Misalnya mengenai bekas sidik jari yang diperoleh sebagai bukti melakukan kejahatan, maka dengan tertangkap orang itu, dilakukan penelitian sidik jari untuk bahan perbandingan yang akan menentukan kebenaran pembuktian tadi.


Ad.b Sidik Jari
Studi mengenai sidik jari merupakan suatu studi tersendiri yang cukup luas yaitu :
- Biological dan data histories;
- Cara melaksanakan sidik jari;
- Klasifikasi menurut system Henry;
- Meneliti alur-alur jari;
- Filling;
- Sidik jari menurut Battley;
- Fasilitas penyidikan sidik jari;
- Penyidikan sidik jari latent;
- Penggunaan bahan-bahan kimia;
- Menyidik jari orang mati;
- Membuat foto sidik jari;
- Memaparkan sidik jari sebagai bukti di hadapan Hakim.

Ad.c. Modus Operandi
Modus Operandi adalah istilah Latin yang berarti cara kerja. Maka penelitian berdasarkan ,modus operandi adalah penelitian yang diarahkan pada cara kerjanya seseorang melakukan suatu kejahatan. Menurut teori bahwa seseorang terutama recidivist tentunya yang pernah berhasil melakukan sesuatu kejahatan dengan menggunakan suatu cara tertentu, maka ada tendensi bahwa cara demikian itu akan diulanginya bila ia hendak melakukan suatu kejahatan pada peristiwa lain. Oleh karena itu factor modus operandi itu dicantumkan pula di dalam filling identifikasi.

Dalam kasus pembunuhan misalnya di mana korban terikat dengan tali, maka cara-cara yang dipergunakan untuk membuat simpul tali pengikat, dapat dibedakan antara yang ahli dan yang tidak ahli, dapat dibedakan antara cara yang dierpgunakan oleh pelaut atau cara yang digunakan oleh pramuka dan sebagainya.
Ada pula pencuri yang kebiasaannya memulai pencurian dengan mengambil semua pakaian dalam kaum wanita baru kemudian melakukan pengambilan atas barang-barang berharga. Ciri-ciri seperti itu biasanya dilakukan oleh orang tertentu saja dan karena itu bila ada pembongkaran sesuatu rumah dimana ikut hilang adalah pakaian dalam sebagaimana termaksud di atas bahwa pihak pengusut akan segera melontarkan perkiraan bahwa pelaku adalah orang recidivist dengan ciri tertentu tadi.
Walaupun system modus operandi tidak selalu dapat menolong untuk menyingkapkan pelaku kejahatan, namun banyak badan penegak hukum tetap menyelenggarakan file modus operandi. Penyelenggaraan file termaksud dianggap perlu untuk mengetahui pola tingkah laku seseorang penjahat tertentu, menghimpun keterangan-keterangan mereka di dalam suatu kesatuan dan bahkan merupakan bahan analisa mengenai kemungkinan akan terjadinya sesuatu kejahatan.
Ad.d. Files
Hal-hal yang telah kita bicarakan : Identifikasi, Sidik jari dan Modus operandi, hanya akan merupakan peralatan yang lengkap dan berguna bagi penyidikan, bila dihimpun secara sistimatis dalam bentuk filling. Maka kegunaan filling adalah menyajikan keterangan-keterangan serta petunjuk bahkan bahan pembuktian untuk digunakan dalam pengusutan sampai pada peradilan.

Ad.e. Informan
Memerangi kejahatan memerlukan sistim yang efektif dan intelegensi yang positif. Untuk itu maka petugas hukum harus memiliki kemampuan memanfaatkan berbagai golongan anggota msyarakat, dimintai keterangan sehubungan dengan kemungkinan terjadinya sesuatu tindak pidana. Orang-orang seperti sopir taxi atau bartender dan mereka yang pekerjaannya terlibat dengan manusia-manusia yang bergerak sampai jauh malam, maka golongan orang-orang yang termaksud akan merupakan sumber informasi yang penting. Bahkan ada pula petugas-petugas hukum yang memanfaatkan kaum pelacur atau penjudi, baik langsung maupun tidak langsung dijadikan informan. Atau dengan kata lain mereka disebut sebagai “undercover”.
Seorang bandit yang tertembak, atau bandit yang menggunakan mobil dengan nomor palsu, atau penadah barang selundupan, biasanya merupakan hasil laporan informan yang dijuluki undercover agen itu.
Ad.f. Interogasi
Mengenai segi interogasi, kita bicarakan tersendiri pada bagian lain.

Ad.g. Bantuan ilmiah
Apa yang kami maksudkan dengan bantuan ilmiah, ialah terjemahan dari Scientific Aids. Sehubungan dengan itu, maka hal-hal yang perlu diperhatikan, ialah Laboratorium, Analisa kimia, Fotografi, Document Examinations, dan sebagainya.
Marilah kita perhatikan walaupun secara singkat dan ringkas saja:
g.1. Laboratorium.
Tentulah yang kita maksudkan di sini ialah laboratorium kriminil sebagaimana kita jumpai pada pihak Polri atau mabas. Pembuktian-pembuktian memerlukan pula bantuan laboratories seperti penelitian terhadap cat, kotoran, jenis rambut, bekas darah dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan pengusutan dengan menggunakan bantuan laboratories telah dikembangkan orang setelah tahun 1920-an. Para expert yang bertugas di dalam laboratorium kriminil biasanya harus mnghadapi pengungkapan masalah-masalah yang menyangkut pembunuhan, misalnya usaha untuk mempelajari sebab-sebab kematian atau mengenai sifat daripada senjata yang telah mematikan korban. Penelitian-penelitian mengenai bubuk-bubuk yang mengandung narkotik atau jenis-jenis candu serta minuman keras dan racun, akan mempunyai nilai pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hakim, bila dikerjakan oleh petugas-petugas yang khusus dibebani kewajiban demikian, ialah expert laboratorium kriminil.
g.2. Analisa Kimia
Tentulah analisa kimia yang memenuhi syarat, bila hal itu dilakukan di dalam laboratorium kriminil. Para ahli ang menjalankan tugas analisa termakud, biasanya disebut “the forensic chemist”  yang bertugas melakukan analisa-analisa mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan kejahatan. Dalam hubungan dengan pembunuhan misalnya, kepada mereka dibebankan untuk melakukan otopsy untuk mengetahui sebab-sebab kematian. Autopsi adalah sejenis pemeriksaan terhadap mayat orang mati yang biasanya adalah menjadi korban sesuatu pembunuhan atau penganiayaan. Dapat pula terjadi bahwa korban telah dikuburkan dan untuk itu dilakukan penggalian kembali untuk keperluan otopsy. Dapatlah dipahami bahwa tugas demikian itu walaupun dapat dijalankan di tanah air kita, atau pada prakteknya sudah sering dilakukan, namun disana sini kita mengalami hambatan.
Hambatan pertama terletak pada bidang sarana dan keuangan yang tentunya dapat diatasi, bila negara berkehendak untuk mempersiapkannya. Hambatan kedua adalah bidang religis dan adat istiadat dimana terdapat keluarga yang tidak memperkenankan otopsy sehubungan dengan kepercayaan yang mereka anut.

Dalam hubungan dengan penganiayaan misalnya, maka para forensic chemist tadi dibebani tugas misalnya meneliti bekas-bekas darah. Ada bekas-bekas yang diragukan apakah darah ataukah cat dan untuk menghilangkan keraguan, orang menggunakan jenis alat yang disebut Teichman hemin crystal atau mungkin pula menggunakan spectrophotometry.

Seseorang korban pembunuhan yang mati, biasanya bahwa sebelum mencapai ajal, korban itu ada usaha untuk melakukan perlawanan. Itulah sebabnya maka pada mayat termaksud sering diteliti pula bekas garukan yang terdapat di bawah kuku. 
Mungkin dengan kukunya ia berhasil mencakar wajah lawan, maka daging atau kotoran bekas cakaran itu dapat diambil bahan analisa. Demikian pula debu atau noda yang melekat pada pakaian dapat pula diolah, dianalisa kemungkinan-kemungkinannya sebagai petunjuk yang mengarah pada pengungkapan kejahatan.
Katakanlah bahwa debu yang terdapat pada telapak sepatu seseorang yang dicurigai memungkinkan pembuktian bahwa debu itu berasal dari tempat kejadian kejahatan. Petugasa analisa berkewajiban untuk secara ilmiah mengadakan penelitian dan perbandingan lalu memberikan keterangan yang dapat dipergunakan untuk mengungkap kejahatan.

g.3. Photografi

Bantuan teknis yang banyak diperlukan dalam bidang investigasi, ialah penggunaan kamera dalam berbagai jenis ukuran dan bahkan sampai pada kamera untuk perlengkapan TV. Penggunaan photografi telah berkembang sampai pada penggunaan sinar gamma, photomigraphy, microptography, cinematography, orthostereoscopy, radiography dalam bentuk penggunaan sinar X yang lunak dan keras, neutron radiography, photography melalui microscope electron dan bahkan menggunakan electron radiography. Dalam keadaan mendadak, orang menggunakan Polaroid yang memungkinkan pengambilan bukti dalam waktu sangat singkat dan cepat.
Harus diakui bahwa pada waktu naskah ini ditulis, sarana photography itu belum kita capai dalam bidang penyidikan, namun kita tidak berusaha untuk mencapainya, kita akan tetap ditinggalkan oleh teknik sebagaimana berlaku pula pada bidang-bidang lain.
Charles E. O’Hara dalam Britanica Encyclopaedia mengemukakan adanya enam fungsi utama yang dilakukan dalam bidang investigasi photography, ialah :
1. untuk identification record, menyiapkan foto kaum penjahat atau foto orang-orang yang dicari;
2. untuk kepentingan pengawasan maka fotografi dapat dipergunakan sebagai media visuil dalam hal mengungkapkan kegiatan-kegiatan illegal;
3. keaslian peristiwa pidana dapat ditampilkan di hadapan sidang pengadilan;
4. bukti-bukti, secara asli dapat direkam dalam bentuk fotos bila bukti-bukti termaksud kemungkinan akan rusak oleh penyidikan laboratories;
5. kamera dapat dipergunakan untuk menampilkan segi-segi tersembunyi daripada sesuatu barang bukti. Teknik photography misalnya penggunaan filter dapat menampilkan segi khusus dalam sesuatu pembuktian;
6. penemuan-penemuan dalam penyidikan dapat dengan mudah didemonstrasikan di hadapan hakim.

g.4. Document Examinations
Penelitian dan pengujian dokumen-dokumen merupakan tugas yang sulit untuk dihindari oleh petugas-petugas hukum terutama di dalam suatu penyidikan. Problematik penelitian atas tulisan tangan, huruf mesin cetak, kertas dan tinta, merupakan factor-faktor yang banyak menjadi obyk penyidikan, terutama dalam hubungan dengan kasus penipuan, pemalsuan atau surat-surat kaleng.

Sesuatu dokumen yang diragukan kebenaran tanda tangannya, memerlukan keahlian tertentu untuk menetapkan benar tidaknya tanda tangan itu.

Surat-surat ancaman atau pemerasan akan memiliki nilai bukti bila surat demikian itu berhasil disingkapkan mengenai siapa yang membuatnya. Dan penyingkapan itu dilakukan dengan penelitian atas tulisan tangan, tanda tangan dan sebagainya.

Dalam penelitian dokumen yang dicurigai, penyidik berusaha untuk mempelajari identitas orang yang dicurigai dengan meneliti ciri-ciri khusus daripada cara menulis. Menurut O’Hara bahwa hanya sebagian kecil daripada orang dewasa yang melakukan perbuatan menulis secara sadar. (Only a small part of an adult’s handwriting is written consciously).
Yang dimaksudkan di sini ialah bahwa cara menulis bagi mereka yang telah dewasa dan berpendidikan, telah berlaku secara mekanis. Kecuali bila mereka hendak membuat tulisan indah, maka cara-cara mekanis itu akan diganti dengan menulis secara disadari. Maka penulisan secara mekanis itu disebutlah sebagai written unconsciously atau ditulis secara tidak sadar. Maka bila seseorang hendak meniru tulisan orang lain secara terpaksa ia harus menulis dengan sadar – bukan menulis secara mekanis – dan dengan demikian ada ciri-ciri yang merupakan ciri khas daripada peniru untuk dibedakan dengan ciri khas daripada yang ditiru. Dengan dasar itulah dianggap bahwa setiap pemalsu tidak mungkin mampu untuk meniru secara keseluruhan ciri-ciri yang merupakan karakter asli daripada individu yang ditiiru. Cara menarik suatu garis, bentuk miring atau tegak daripada huruf-huruf, cara menekan pena diatas kertas, getaran tangan ketika menulis dan sebagainya merupakan ciri-ciri khas setiap pribadi untuk menulis. Dan hal-hal itu merupakan titik-titik penelitian bagi investigator.


B A B   I I I
TEKNIK INTEROGASI

I. PENDAHULUAN

Sedeerhana sekali ucapan Jaksa Agung, ketika memberi nasehat pada penamatan pembentukan jaksa di Pusdiklat Pasar Minggu Jakarta, pada malam tanggal 18 Januari 1872. Ucapan yang sederhana itu antara lain adalah sebagai berikut :
“…memeriksa perkara, bukanlah untuk mencari kesalahan orang, melainkan adalah semata-mata untuk mencari keadilan”.

Diuraikan lebih lanjut, bahwa dengan bertolak pada pandangan mencari kesalahan maka terjadilah kepincangan-kepincangan serta perilaku subyektif dari pemeriksa akan menonjol, dan karena itu pula bahkan menjauhi tujuan pokok ialah menegakkan keadilan.

Dalam ucapan sederhana itu nampak suatu filsafat hukum yang sangat berarti dalam proses-proses pemeriksaan perkara pidana khususnya bahkan sangat berarti pula dalam bidang menegakkan hukum pada umumnya, jika orang benar-benar hendak menghendaki adanya kestabilan hukum di dalam suatu Negara Hukum.

Mencari kesalahan senantiasa menggugah perbuatan dan pemikiran subyektif dan karena itu pula sering kali menimbulkan kesempatan bagi pemeriksa yang sadistis untuk menggunkan kekuatan fisik daripada, seharusnya, menggunakan akal sehat.

Jika kekerasan fisik digunakan terhadap penjahat yang benar-benar telah melakukan kejahatan, mungkin dapat dipertimbangkan bahwa kekerasan yang diterimanya adalah seimbang dengan atau merupakan bagian daripada hukuman yang harus dikenakan kepadanya. Tetapi sesuatu pemeriksaan dengan kekerasan fisik yang hanya didasarkan pada prasangka subyektif akan merupakan suatu tantangan terhadap keadilan itu sendiri, merupakan ketidakadilan pelaksanaan hukum. Maka hukum yang demikian itu, akan mengingatkan pada ucapan SOLON : “Law are like cobwebs that entangle the weak, but are broken by the strong”. Hukum adalah bagaikan sarang labah-labah yang menjerat si lemah tetapi yang dihancurkan oleh si kuat.

Aspek pemeriksaan sadistis sedemikian itu dapat kita sebut sebagai bagian daripada aspek psychologis. Selain itu pemeriksaan yang ditujukan utnuk mencari kesalahan itu dapat pula memberikan kesempatan pada aspek materialistis yang tidak kalah buruknya, ialah pemerasan dan penyuapan. Masalah ini merupakan suatu black side daripada law enforcement, mengurangi kepercayaan masyarakat bukan kepada petugas-petugas tertentu saja, tetapi bahkan dapat dipergunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah pada umumnya. Bukankah nila setitik merusakkan susu sebelangga ?

Selain kedua aspek psychologis dan materialistis yang didasarkan pada background subyektif itu, lazim pula dijumpai dalam sistim pemeriksaan rasionil yang sempurna dan obyektif, namun tidak pula mencapai sasaran keadilan, sebagaimana dikemukakan oleh Quentin Reynolds dalam bukunya “COURTROOM” dengan mengemukakan pengalaman-pengalaman Samuel S. Leibowits, seorang ahli dalam bidang perkara-perkara pidana di Amerika Serikat. Antara lain berkatalah Leibowits : “I hear many people calling out “Punish the Guilty”, but very few are concerned to clear the innocent”.

Jika kita hendak menghubungkan ucapan Leibowits itu dengan ucapan Soegiharto, Jaksa Agung RI sebagaimana dikemukakan di atas tadi, jelaslah bahwa menegakkan keadilan sebagai tujuan hukum, menghadapi penelitian, introspektip, retrospektip dan extrospektip.

Tegaknya keadilan, bukan sekedar tugas penegak hukum belaka, tetapi seluruh lapisan masyarakat satupun tidak terkecuali, berhak dan berkewajiban untuk menegakkan hukum, membina hukum, mempertahankan dan menyesuaikan hukum, sesuai dengan kondisi masyarakat yang selalu bergerak maju, berkembang terus menerus.

Pemeriksaan perkara yang bertolak pada usaha mencapai keadilan, memperingatkan pemeriksa bahwa setiap subyek yang diperiksa harus diperlakukan sebagai manusia biasa dengan hak-haknya sebagai warga negara yang juga harus dilindungi oleh hukum. Status subyek yang diperiksa pada waktu itu sedang mendekati persimpangan jalan antara yang bersalah atau tidak bersalah. Sepanjang bukti-bukti yang sah menurut hukum tidak mampu membuktikan kesalahannya, maka seorang pemeriksa akan sangat keliru untuk bertindak mendahului keputusan hakim.

Untuk selanjutnya buku ini tidak membicarakan mengenai teknik pemeriksaan formil sebagaimana dijumpai dalam Hukum Acara Pidana, berhubung penulis yakin bahwa perpustakaan Indonesia telah memiliki banyak tulisan mengenai masalah tersebut. Penulis menginsafi bahwa Hukum Acara Pidana tidak mempersoalkan bagaimana menghadapai saksi-saksi yang membohong, membangkang dan sebagainya, sehingga diperlukan suatu teknik pemeriksaan agar seorang pemeriksa akan memiliki suatu keyakinan bahwa pengakuan yang menyingkapkan kebenaran. Hal-hal sedemikian itulah antara lain akan dikemukakan dalam buku ini agar perpustakaan Indonesia memperoleh tambahan yang lain daripada yang telah ada.

Akhirnya Bab Pendahuluan ini mengajak pembaca untuk ikut merenungkan kalimat berikut ini :
“Jika kita mendengarkan laporan dan tuduhan, rasanya bahwa penjara akan penuh sesak bahkan berlimpah ruah; jika sebaliknya pembelaan-pembelaan yang akan kita dengar, rasanya manusia tak memerlukan penjara dan tahanan.”

II. SIKAP PEMERIKSA

Membicarakan sikap pemeriksa, sebenarnya tidak dapat dipisahkan daripada membicarakan watak orang. Membicarakan watak, kita akan menghadapi suatu bidang yang sangat luas daripada psychology, hal mana bukanlah tujuan kita untuk membahasnya dalam buku ini.

Untuk segera memasuki persoalan, Inbau and Reid mengemukakan 12 unsur yang berhubungan dengan sikap interrogator. Unsur-unsur tersebut adalah :

P e r t a m a : Hindarilah sikap yang dapat menimbulkan kesan pada tersangka, bahwa pemeriksa hendak berusaha untuk memperoleh pengakuan atau hendak mencari kesalahan. Adalah suatu kebijaksanaan untuk menampilkan diri sebagai orang yang berusaha untuk menampilkan kebenaran.

Unsur pertama ini telah kita kemukakan pada Bab-1 ialah ucapan yang dikemukakan oleh Jaksa Agung Soegiharto. Adalah suatu kelemahan petugas yang tidak terdidik misalnya, melaksanakan tugas pemeriksaan dengan mengutamakan penonjolan diri pribadi. Keadaan sedemikian itu terlihat misalnya pada dinas reserse yang diperintahkan untuk melakukan suatu pengusutan dengan menggunakan pakaian preman. Mereka nampaknya mematuhi menanggalkan baju dinas dan menggunakan pakaian preman, namun beberapa pratanda tetap mereka pertahankan untuk lebih menyeramkan lagi atau berusaha memberi kesan bahwa ia adalah petugas rahasia berbaju preman yang sebenarnya sangat bertentangan dengan tugas yang diberikan kepadanya. Antara lain dapat kita lihat misalnya petugas reserse yang menggunakan atau menyiapkan pistol pada bagian perutnya sambil membiarkan gagang pistol tersembul melalui kancing kemeja. Ia memakai topi preman yang dimasukkan sampai ke dahi untuk menutupi muka, mengenakan kaca mata hitam agar tidak dikenal, tapi gagang pistol yang tersembul itu menggambarkan isi hatinya, seolah-olah berkata : “lihatlah betapa pentingnya aku ini, sebagai reserse……dsb”. Ciri-ciri seperti itupun nampak pada petugas-petugas yang melakukan pemeriksaan-pemeriksaan perkara pidana. Ia membentuk seolah-olah diri pribadinyalah hukum yang dilanggar oleh tersangka. Banyak contoh pengakuan tersangka, apalagi yang diiringi dengan pemeriksaan ganas, seringkali disangkal di depan sidang pengadilan.


K e d u a : Pada pemeriksaan pendahuluan sebaiknya pemeriksa menjauhi pinsil dan kertas yang biasanya dipergunakan sebagai alat-alat untuk melakukan catatan. Sikap demikian itu menurut Inbau dan Reid adalah untuk membentuk suasana informal sehingga dirasakan oleh tersangka sebagai suasana yang tidak tegang dan kaku. Bilamana perlu untuk mencatat beberapa nama penting, bolehlah menggunakan pinsil dan kertas, tetapi harus segera dihilangkan dari pandangan tersangka, atau saksi yang diperiksa. Penggunaan alat tulis menulis, barulah dipergunakan kemudian setelah pemeriksaan pendahuluan itu menjadi rampung dan siap untuk ditulis kemudian ditandatangani. Labih jauh lagi Inbau dan Reid bahkan mengemukakan agar setiap pemeriksa hanya mengenakan pakaian preman dan bukannya baju dinas yang menimbulkan ketegangan dan kekauan. Sejauh manakah hal yang demikian itu dapat diterima di Indonesia, mengingat bahwa jaksa dan hakim pun telah ikut menjadi uniform-minded. Mungkin pada suatu ketika bilamana uniform-minded itu telah diganti oleh situasi non-uniform, ide termaksud itu dapat dipraktekkan. Namun ajnuran sedemikian itu dapat pula dilaksanakan, sebagaimana polisi-polisi Amerika menanggalkan jas dan topinya, lalu memeriksa orang dengan menggunakan kemeja dana dasi. 
Hal-hal yang dianjurkan itu nampaknya merupakan suatu hal sepele, namun dapat diinsafi bahwa bentuk-bentuk formil itu selalu memperketat jurang pemisah dan kecurigaan antara pemeriksa dan yang diperiksa. Jurang-jurang pemisah itu harus diselesaikan lebih dahulu sebelum pemeriksa menjalankan tugasnya, agar diharapkan akan mencapai hasil maksimal.

K e t i g a : Istilah-istilah tegas seperti “membunuh”, “mencuri” atau “mengaku atau tidak” sebaiknya tidak dipergunakan oleh pemeriksa. Adalah lebih bijaksana untuk menggunakan istilah-istilah “menembak”, “mengambil” atau “katakanlah sebenarnya”. Jika yang diperiksa kelihatan membohong, sebaiknya tidak menggunakan istilah “bohong” tetapi leibh bermanfaat jika yang dipergunakan islsh “engkau belum menjelaskan keseluruhannya dengan benar”.

Menggunakan kata-kata psychologis dapat membuat orang marah, tertawa, sedih atau membungkam, ataupun mengaku. Kata-kata sebagai alat komunikasi yang ampuh, dengan sendirinya wajarlah untuk memperoleh perhatian khusus.

K e e m p a t : Sebagaimana halnya dengan unsur yang disarankan pada ad. Kedua di atas, maka dipandang bermanfaat jika pemeriksaan dilakukan tanpa menggunakan meja tulis. Pemeriksa dan yang diperiksa dapat duduk saling berdekatan. Gunakanlah kursi yang mempunyai tangan dan sandaran, agar pemeriksa dan yang dierpiksa merasa kelegaan dalam pemeriksaan itu. Bahkan dianjurkan pula agar mata pemeriksa dan mata yang diperiksa berada pada suatu level atau ketinggian yang sama.

Kita dapat memahami bahwa tersinggungnya perasaan manusia tidak hanya dengan kata-kata. Tetapi, memandang secara menunduk atau agak menengadah ke atas, dapat mempengaruhi peredaran darah dan menyentuh system nervus dan karena itu mempunyai pengaruh terhadap jiwa manusia yang akan diikuti dengan reaksi tertentui. Oleh karena itulah nampaknya Inbau dan Reid dengan seksama sekali mengemukakan unsur keempat itu sebagai hal yang tidak dapat diabaikan. Jika pemerintah telah mempunyai pengalaman banyak dalam pemeriksaan perkara-perkara pidana, dapat dirasakan bahwa pandangan mata dalam level yang sama memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk meneliti biji mata yang diperiksanya. Pemeriksa yang berpengalaman mampu membaca kebohongan dan kebenaran dari pemeriksa dengan halus dan tajam dapat menyeluruh orang mengakui kesalahannya hanyalah dengan penguasaan melalui mata.

Kepentingan lain yang dikemukakan oleh Inbau dan Reid dalam hal ini ialah suasana “favourable” yang ahrus diciptakan selama proses pemeriksaan itu. Mereka menganggap bahwa pendekatan-pendekatan fisik akan diikuti oleh pendekatan-pendekatan psychologis. Benda-benda seperti meja yang memisahkan pemeriksa dan yang diperiksa akan merupakan penghalang besar pada pendekatan psychologis itu.

Sistem pemeriksaan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan seperti dikemukakan di atas, harus tidak melupakan pula unsur bau-bauan yang dapat menghalangi suasana. Bau badan pemeriksa, uap mulut atau bau alkhohol adalah hal-hal yang dapat mempengaruhi pendekatan-pendekatan itu.

K e l i m a : Sebaiknya pemeriksa tidak mondar-mandir di dalam bilik selama pemeriksaan itu dilakukan. Duduk dengan tenang, melakukan pemeriksaan sebagai melakukan percakapan biasa. Mondar-mandir dapat mengganggu pemusatan pikiran yang diperiksa dalam hal mengingat sesuatu. Melompat kesana kemari atau berputar-putar di dalam ruangan akan merupakan suatu bukti bahwa pemeriksa adalah kurang sabar dan mudah dikendalikan oleh emosi. Seorang pemeriksa yang melakukan tugasnya sambil duduk dengan tenang membuktikan kemampuannya dalam tugas.

Anjuran kelima ini menunjukkan kepada kita bahwa berjalan mondar-mandir saja dipandang oleh Inbau dan Reid sebagai bukti kurang sabarnya pemeriksa. Bagaimanakah sekiranya pemeriksaan itu dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik. Dapatkan hal ini dipandang sebagai kurang mampunya pemeriksa menggunakan akal sehat ? Sayapun berpendapat demikian.

K e e n a m : Pemeriksa hendaknya berusaha sedapat mungkin untuk mengurangi rokok hal mana membuat yang diperiksa untuk berbuat yang sama. Jika si pemeriksa ingin juga merokok, sebaiknya ia mulai dengan menyuguhkannya lebih dahulu kepada yang diperiksa. Jika sekiranya pemeriksa berniat untuk menghindarkan rokok selama pemeriksaan itu, sebaiknya temoat abu rokok, korek api dan sebagainya disingkirkan lebih dahulu.

K e t u j u h : Pergunakanlah bahasa yang sudah dimengerti. Sebaliknya bilamana yang diperiksa menggunakan bahasa daerah, maka pemeriksa harus sebijaksana mungkin untuk mengambil kesimpulan serta memahaminya.

K e d e l a p a n : Pemeriksa hendaknya selalu berusaha untuk tetap mengahrgai pribadi orang yang diperiksa, betapapun perbuatan yang telah dilakukannya. Menghadapi seorang pelacur misalnya pemeriksaan harus tetap memandangnya sebagai orang buasa saja dan tak perlu menggunakan kata yang dapat menyinggung perasaan orang yang diperiksa itu. Dalam hal ini, Ibau dan Reid memberikan sebagai contoh, sebuah kasus sebagai berikut :

Seorang wanita dituduh telah melakukan pembunuhan terhadap seorang pria yang menumpang di rumahnya. Wanita itu melaporkan kepada polisi bahwa pria tersebut telah meninggal dunia secara biasa. Ketika diadakan pemeriksaan mayat, ternyata bahwa orang yang mati itu telah meninggal akibat sebutir peluru ukuran kecil yang terdapat pada punggungnya.

Tuduhan segera diajukan pada perempuan tadi dan pengusutan dilakukan oleh seorang polisi yang telah berpengalaman 25 tahun. Ketika segala sesuatunya sudah siap untuk diinterogasi, maka polisi yang melakukan pemeriksaan tadi memberikan laporan selengkapnya kepada interrogator sedang tersangka pada waktu itu menunggu di luar. Perempuan itu diperintahkan untuk memasuki ruangan, dan polisi pengusut itu mengatakan kepada perempuan itu :

“………masuklah engkau, hai pelacur, tuan itu memerlukan keterangan.” Mendengar ucapan itu, perempuan itu memandang kepada polisi tadi dengan roman penuh kekecewaan dan marah tentunya.

Interrogator segera menguasai keadaan, memanggilnya “Mrs” dan mempersilakan duduk. Pertanyaan dimulai bukan langsung mengenai perkara, melainkan mengenai kesehatan, apakah ia telah minum kopi, apakah ia diperlakukan dengan baik selama dalam tahanan, lalu mengajak perempuan itu untuk sarapan pagi bersama. Setelah pemeriksaan itu dilakukan, perempuan itu tidak memberikan jawaban yang berbelit, langsung mengakui perbuatannya. Bahkan lebih dari itu, perempuan tersebut telah mengakui pula pembunuhan atas diri suaminya yang sekian lama merupakan perkara yang terkatung-katung.

Perlakuan dan penghargaan yang wajar terhadap seorang tersangka, betapa burukpun perbuatan yang telah dilakukannya, akan lebih bermanfaat daripada perlakukan yang sebaliknya.

Pada pemeriksaan seorang pelacur yang melakukan pencurian benda berharga dan menyangkal keras akan perbuatannya, tapi kemudian telah mengakui kesalahannya di hadapan seorang interrogator yang berhasil, akhirnya perempuan itu berkata : “Sejak semula saya bermaksud untuk mengakui kesalahan saya, jika polisi yang memeriksa saya itu berlaku demikian kepada saya”.

K e s e m b i l a n : Bilamana pemeriksa menjumpai bahwa yang diperiksa membohong, janganlah segera mencelanya dengan mengatakan “mengapa engkau membohong di hadapanku”. Adalah kebijaksanaan untuk menyembunyikan reaksi-reaksi yang menyebabkan kekecewaan. Tanpa menyanggahnya, lebih baik pemeriksa menunjukkan hal-hal yang dapat menimbulkan kesan pada yang diperiksa, bahwa pemeriksa tahu tentang keadaan sebenarnya yang belum diceritakan oleh yang diperiksa.

K e s e p u l u h : Jika pemeriksa perlu adanya suasana tanpa ketegangan dan ketakutan selama pemeriksaan dilakukan, sebaiknyalah jika yang diperiksa tidak dikenakan belenggu selama kehadirannya ; suatu jaminan bahwa yang diperiksa dapat dipercaya untuk tidak melarikan diri ataupun melakukan penganiayaan terhadap pemeriksa. Inbau dan Reid tidak memberikan contoh mengenai unsur kesepuluh ini, tetapi penulis sendiri pernah mengalami sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Menado. Pada suatu hari sekitar tahun 1969 seorang narapidana bernama Ventje diserahkan oleh pihak kepolisian dengan tangan terbelenggu. Orang tersebut langsung dihadapkan kepada kami. Penulis bertanya kepada polisi yang mengawalnya, mengapa dibelenggu? “Orang ini telah dihukum oleh karena membunuh orang, kemudian melarikan diri dari penjara, lalu berhasil membunuh tiga orang lagi. Ketiga orang korban pembunuhan itu adalah bekas saksi dalam perkara pembunuhan pertama” Demikian penjelasan polisi. 
“Oh, begitu ? Tapai, saya anjurkan supaya belenggunya dibuka “, kata penulis.
“Berbahaya Pak”, jawab polisi itu dengan tegas.
“Berbahaya teradap siapa?” tanya penulis kepada polisi.
Pertanyaan ini nampaknya menarik perhatian Ventje tersebut.
Ventje memandang kepada penulis dengan mata bersinar, lalu  memandang kepada polisi itu dengan muka masam. 

“Berbahaya terhadap bapak Jaksa”, jawab polisi itu dengan tegas. Penulis tersenyum sambil memegang pundak Ventje, lalu berkata kepada polisi itu : “Dia adalah manusia seperti kita juga bebaskanlah belenggunya.”

Setelah terbuka belenggunya, Ventje segera mengulurkan tangannya kepada penulis itu berkata: “terima kasih, Pak. Bapak adalah orang pertama yang menganggap bahwa saya adalah juga manusia”.

“Duduklah Ven”, kata penulis, “saudara tidak bersalah terhadap pribadi saya, dan saya tidak berurusan apa-apa dengan persoalan saudara. Hanya karena jabatn saya agak membedakan kedudukan kita, tetapi sebagai manusia, sebagai warga negara, sebagai orang beragama, kita adalah sama”.

Sekali lagi ia mengucapkan terima kasih dan bersedia untuk menjalankan segala perintah, katanya. Dalam pemeriksaan, ia tidak menimbulkan kesulitan, mengakui dengan terang segala persoalan yang menyangkut pembunuhan ketiga orang korban.

Contoh ini tidaklah dibuat-buat, terjadi dengan sebenarnya, walaupun penulis sendiri merasakan suatu keragu-raguan, ketika memerintahkan untuk membuka belenggu itu. Sebenarnya pada waktu itu belum ada jaminan apakah orang itu akan berlaku kasar atau melarikan diri. Tetapi suatu kepercayaan pada diri sendiri bahwa tindakan menghargai orang akan dibalas dengan penghargaan pula diikuti dengan doa di dalam hati semoga Tuhan akan ikut merestui kenekatan itu. Nampaknya berhasil juga, namun demikian penulis masih juga percaya pada pepatah bahwa lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya. Maka sesuatu tindakan yang berhasil pada seseorang tidak pasti akan berhasil pada orang lain. Namun unsur kesepuluh ini adalah sangat berharga jika kondisi dan situasi membenarkan.    
K e s e b e l a s : Si pemeriksa harus dapat menempatkan dirinya di dalam sepatu orang yang diperiksa. Dengan ini dimaksudkan oleh Inbau dan Reid, bahwa seorang pemeriksa harus dapat merasakan, jika sekiranya dirinya yang diperiksa. Jika dapat dirasakan demikian, maka pemeriksa akan dapat merasakan bagaimana jalan pikiran orang yang diperiksa, bagaimana ia akan bereaksi, kata-kata apakah yang dapat dipergunakannya.

K e d u a b e l a s : Pandanglah bahwa orang yang diperiksa adalah manusia dengan sifat-sifat kemanusiaannya. Janganlah memandang sebagai binatang buruan, apalagi memandang suatu obyek yang disangka dapat dibentuk semau pemeriksa.

Demikianlah kiranya keduabelas unsur yang dikemukakan oleh Inbau dan Reid. Disamping penjelasan-penjelasan yang penulis kemukakan dalam pembahasan unsur-unsur di atas itu, masalah yang harus kita perhitungkan pula bahwa buku Inbau dan Reid berjudul Criminal Interrogation And Confession didasarkan pada pengalaman-pengalaman penulis itu mengenai masyarakat di Amerika Serikat. Sungguhpun bahan-bahan itu dapat dipergunakan di Indonesia, namun perlu diingatkan pula bahwa proses hukum pidana, acara pidana Amerika Serikat menunjukan beberapa perbedaan prinsip.

Oleh karena itu perlu dikemukakan lagi bahwa di samping keduabelas unsur itu, kita menginsafi pula bahwa kondisi tempat tahanan dan prosedur tyang menyangkut dengan tahanan sangat mempengaruhi sikap oang yang diperiksa.

Ketika penulis berkunjung pada sebuah tempat tahanan di Washington DC, dalam tempat tahanan sebesar itu, kami hanya menjumpai sebanyak kira-kira 5 orang yang ditahan. Masalahnya bukanlah oleh karena tak ada orang-orang yang ditahan, melainkan bahwa tahanan hanya dapat dilakukan bilamana terbukti telah terjadi suatu pelanggaran hukum dan dalam waktu sesingkat mungkin tersangka harus diperhadapkandi depan pengadilan. Hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan itu dapat dinyatakan sebagai tindakan pejabat yang menyalahi hukum. Sebagai peninggalan Belanda, kita mengenal istilah penahanan sementara yang berlangsung selama 20 hari dan dapat diperpanjang lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 72 HIR.

Masa penahanan sementara itu, kemudian kondisi tahanan baik mengenai ruang, jumlah tahanan, keadaan kesehatan dan makanan, pergaulan dengan sesama tahanan, semuanya merupakan factor-faktor yang turut menentukan kondisi-kondisi pemeriksaan perkara. Lebih menentukan lagi dalam hal melakukan pemeriksaan untuk menegakan keadilan, adlah itikad baik pihak pemeriksa tanpa mencampurbaurkan masalah pelaksanaan tugas dengan interest dan ambisi pribadi.

III. KLASIFIKASI TERSANGKA

Kita mengenal pemeriksaan perkara pidana tidak erbatas saja pada tersangka-tersangka, tetapi termasuk pula saksi-saksi serta permintaan keterangan para ahli dan sebagainya. Untuk sistematikanya penulisan buku ini, kita ajak pembaca untuk meninjau pemeriksaan tersangka sebagaimana dikemukakan oleh Inbau dan reid dalam bukunya : Criminal Interrogation and Confession yang mengklasifikasikan tersangka atas :
A. Tersangka kesalahannya sudah definitive atau dapat dipastikan.
B. Tersangka yang kesalahannya belum pasti.
Dalam menghadapi tersangka type A, maka pemeriksaan dilakukan untuk memperoleh pengakuan tersangka erta menyesuaikan pembuktian-pembuktian yang segala sesuatunya ditujukan untuk lengkapnya bahan-bahan di depan  sidang pengadilan. Akan tetapi dalam menghadapi tersangka type B maka pemeriksa akan merasakan berada di persimpangan jalan, apakah ia menghadapi orang ang bersalah ataukah tidak. Dia arus memutar otak, menggunakan metode pemeriksaan yang efektif untuk tiba pada suatu kesimpulan yang meyakinkan. Atau dengan kata-kata yang dipergunakan oleh Inbau dan Reid : “……………..the interrogator must feel his way around, until he arrives at decision of guilt or innocence” 

TYPE “A” :
Sebagaimana dengan singkat telah dijelaskan di atas bahwa pemeriksaan terhadap tersangka yang definitive bersalah atau dapat dipastikan kesalahannya, adalah ditujukan untuk memperoleh pengakuan dari pihak tersangka. Namun demikian Inbau dan Reid mengemukakan pula unsur-unsur bahwa hasil pemeriksaan itu akan tergantung pada masalah kejahatan yang terjadi, motif yang mendorong serta reaksi tersangka. Dalam hubungan itu maka Inbau dan Reid menggolongkan tersangka atas dua jenis, ialah :
1. Emotional Offenders.
2. Non Emotional Offenders.
Tentulah klasifikasi sedemikian ini adalah berbeda dengan klasifikasi kriminologis dan atau klasifikasi menurut ilmu hukum pidana. Kita mengenal misalnya klasifikasi kriminologis yang diberikan oleh Ruth S. Cavan yang membagi pelaku-pelaku kejahatanatas 9 jenis, antara lain :
a. The casual offender,
b. The occasional criminal,
c. The episodic criminal,
d. The habitual criminal,
e. The proffesional criminal,
f. The organized crime,
g. The white-collar criminal,
h. The mentally abnormal criminal, dan
i. The non malicious criminal. (lebih jauh mengenai type Cavan ini, lihat buku penulis “Pengantar Psychology Kriminiil”) terbitan Pradnya Paramitha.

Jika kita teliti sedikit dan memperhatikan klasifikasi Inbau dan Reid, maka akan nampak bahwa penggunaan term “emotional” adalah berbau psychology dan mengingatkan kita pada klasiikasi ang dikemukakan oleh Abrahamsen dalam bukunya “The Psycology of Crime”. Mengklasifikasikan pelanggar-pelanggar hukum, kata Abrahamsen, haruslah didasarkan pada factor psychiatric-psychologis dari pribadi itu sendiri tanpa melupakan situasi lingkungan serta kombinasi antara kedua faktor termaksud. Seseorang yang hanya sekali melakukan kejahatan akan memiliki wajah kepribadian yang berbeda dengan orang yang berulang-ulang kali melakukannya atau berbeda dengan orang yang melakukan berjenis-jenis kejahatan.

Memperhatikan faktor-faktor termaksud serta riwayat kejahatan yang dilakukan oleh pelanggar, akan menentukan apakah ia akan digolongkan sebagai acute offender ataukah seorang chronic offender. Yang dimaksudkan dengan acute offender ialah : orang yang melakukan kejahatan sekali waktu, sedangkan yang chronic offender ialah orang yang melakukannya sebagai kebiasaan secara habitual maupun secara proffesional. 

Baik klasifikasi Cavan maupun klasifikasi Abrahamsen yang ringkas kita kemukakan di atas, dipergunakan mendahului uraian Inbau dan reid, adalah dengan maksud agar supaya kita mempnyai peanan sebagai pembanding atau sebagai bahan pelengkap. 
Ad. 1. Yang dimaksud oleh Inbau dan reid mengenai emotional offender adalah mereka yang melakukan kejahatan terhadap jiwa orang misalnya pembunuhan, penganiayaan, yang dilakukan oleh dorongan nafsu, marah, balas dendam dan sebagainya.
Dalam hal ini termasuk pula kelalaian, karena salah dan sebagainya. Mereka digolongkan sebagai emotional, oleh karena  : “because he usually experiences a greater feeling of remorse, mental anguish, or compunction as a result of his act than is true with most other types of offenders; he has a greater sense of moral guilt in, other words, a trouble conscience”

Dengan pandangan demikian, Inbau dan Reid mengharapkan bahwa aspek psycologis yang dialami oleh pelanggar harus dihadapi oleh pemeriksa dengan approach psycologis pula, ialah “symphatetic approach”

Dalam scope pembahasan seterusnya kita dapat menggunakan buah pikiran Inbau Cs ini dengan catatan bahwa aspek psychologis itu sendiri adalah suatu bidang yang tidak sempit bahkan berbelit-belit. Seorang koruptor yang mengulang-ulangi perbuatannya, atau dengan seorang penyelundup, ataukah seseorang prostituee professional, sangat diragukan untuk memiliki feeling of guilty, mental anguish atau menyesali perbuatannya. Namun ide Inbau cs mempunyai kebenaran tertentu walaupun tidak mencakup keseluruhannya. Atau katakanlah terminology “emotional offender” itu hanya berlaku untuk pengertian sempit saja.

Ad. 2. Yang dimaksud oleh inbau cs dengan non-emotional offenders ialah mereka yang melakukan kejahatan untuk tujuan penghasilan keuangan (financial gain) misalnya mencuri, perampokan atau mereka ynag melakukan pembunuhan serta penganiayaan dengan tujuan memperoleh keuntungan keuangan. Mereka digolongkan sebagai non-emotional, “because he ordinarily does not experiences the troubled conscience that is so characteristic of emotional offender, and when he does reacht in that manner, it ussually is of a lesser degree than that experiences by members of the emotional group”

Dengan memperhatikan penjelasan Inbau cs. Pada ad.2 ini, sebenarnya tanpa mengadakan spesifikasi dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan, kita akan tiba pada suatu kesimpulan bahwa pada umumnya oang-oang yang melakukan kejahatan itu secara posychologis dapat dibagi atas :
a. Mereka yang mengalami conflict psychologis sebagai akibat perbuatan yang dilakukannya dan karena itu mereka menyesalinya, merasa bersalah dan sebagainya.
b. Mereka yang tidak mengalami conflict psychologis bahkan mungkin merasa berhasil atau bangga akan perbuatan yang dilakukannya.

TYPE “B”
Menghadapi tersangka yang kesalahannya belum pasti, menempatkan pemeriksa pada suatu lapangan yang lebih luas daripada type “A”. Inbau cs. Dalam hal ini mengemukakan tiga cara pendekatan, ialah :
1. dalam mengemukakan pertanyaan-pertanyaan, sejak permulaan pemeriksaan hendaklah dianggap bahwa orang itu telah melakukan hal-hal yang menyebakan ia diperiksa;
2. Pemeriksa dapat pula dengan segera menentukan suatu anggapan bahwa yang bdiperiksa adalah tidak bersalah;
3. Pemeriksa dapat pula menempatkan diri secara netral, hemat dengan pernyataan atau jangan memberikan komentar.
Kecuali melakukan pertanyaan-pertanyaan yang pada akhirnya memberi kesimpulan pada pemeriksa, apakah yang diperiksa itu bersalah atau tidak.

Pendekatan dengan menggunakan cara ke 1, kianya telah dikemukakan pada persoalan type “A”. Pemeriksaan dilakukan untuk memperoleh pengakuan tersangka, untuk mengadakan penyesuaian antara bukti-bukti dengan kenyataan.

Sikap orang yang diperiksa, perlu pula mendapat perhatian pemeriksa Inbau cs, mengemukakan antara lain bahwa seorang tersangka yang memang bersalah, sementara pemeriksaan dilakukan, sering menunjukan sikap-sikap ertentu, misalnya menjamah dasi dan memain-mainkan dasinya, menyilangkan kedua belah kaki, menggerakan kaki bersilangitu ke depan atau nke belakang; membersihkan bajunya denga tempat duduk bagaikan kepanasan; membersihkan bajunya dengan tangan seolah-olah ada abu yang harus dibuang, atau memalingkan mukanya ke tempat lain untuk menjauhi panangan pemeriksa.

Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian pemeriksa bilamana tersangka belum mau mengakui kesalahannya adalah sikap tersangka yang berusaha untuk menempatkan dirinya pada suatu kewaspadaan agar rahasianyatidak tersingkap. Sikap waspada sedemikian itu akan membuat dia menganggap remeh pemeriksaan dan akan membohong seterusnya. Kebalikannya adalah bilamana yang diperiksa adalah tidak bersalah, maka pengarahan dan pertanyaan yang menganggap bahwa ia bersalah, akan m erupakan suatu gangguan besar terhadap kepribadiannya dan karena itu akan menimbulkan suatu reaksi psycologis yanmg sulit bagi pihak pemeriksa untuk menarik kesimpulan. Inbau cs tidak menjelaskan lebih jauh tentang kesulitan itu.

Reaksi psychologis itu kalau dapat kita umpamakan dengan angin, maka kita hanya dapat melihat angin pada awan bergerak, atau pada benda-benda sperti daun bergerak. Perbedaannya dengan reaksi psychologis adalah bahwa kita tidak pasti menentukan datangnya reaksi itu sebagai akibat rasa bersalah atau rasa tidak bersalah dari orang yang diperiksa. Melihat arah awan bergerak kita dapat menentukan dari mana asal angin dan ke mana tujuan angin, demikianlah perbedaan dengan reaksi psychologis itu.

Ada orang yang menjadi pucat bilamana rahasianya terbuka, tetapi ada pula yang menjadi merah padam. Hal ini tergantung pada struktur personality, menjadi pucat karena ketakutan, menjadi merah padam karena marah pucat dan merah belum membuktikan salah atau benar kecuali membuktikan adanya reaksi psychologis itu.

Kebalikannya, ada pula orang yang menjadi pucat karena dituduh melakukan hal yang tidak dilakukannya, sedang orang lain merah padam oleh karena tuduhan itu dirasanya tidak benar.

Problematik psychologis ini, memerlukan kewaspadaan pemeriksa menghadapi tersangka dengan menggunakan approach ke-1 itu. Tetapi kita perlu mengemukakan pula bahwa seorang pelancong tidak mungkin mengenal sekawan itik secara satu persatu, akan tetapi gembala itik itu dapat menceritakan cirri-ciri setiap itik itu satu persatu. Kemampuan itu diperoleh dari pengalaman selama menggembala itik. Demikian halnya dengan pemeriksa yang baru mulai melakukan pemeriksaan mungkin sekali belum mapu mengenal reaksi psychologis termaksud di atas, tapi seorang ang telah berpengalaman, akan mengenalnya berdasarkan pengalaman-pengalaman.

Kita beralih memperhatikan pemeriksaan dengan menggunakan pendekatan cara ke-2. pemeriksaan menunjukan kepercayaan bahwa yang diperiksa adalah tidak bersalah, hal mana menurut Inbau cs memberikan du jenis keuntungan.

P e r t a m a : kepercayaan yang diberikan oleh pemeriksa akan menempatkan tersangka pada situasi tenang dan dengan demikian fakta tentang tidak bersalahnya orang itu akan segera dapat dinilai oleh pemeriksa.

K e d u a : Jika tersangka sebenarnya bersalah, pendekatan ini memungkinkan tersangka untuk mengurangi kewaspadaannya. Ia memberikan jawaban seenaknya, kurang teliti dan mungkin membuat tersangka mulut besar dan karena itu akan memberikan kesempatan sebenarnya. Sebaliknya, cara ini pun mempunyai pula kelemahan-kelemahannya. Sekali pemeriksa menunjukan kepercayaan bahwa tersangka tidak bersalah, maka pemeriksa akan terikat pada suatu handicap yang sulit, terutama dalam hal mengemukakan pertanyaan-pertanyaan. Tentulah kesulitan ini bukanlah sesuatu yang mutlak, namun gejala ang mengarah pada kesulitan bagi pemeriksa akan selalu ada.

Pendekatan dengan menggunakan cara ke 3 ialah bahwa pemeriksa menempatkan diri secara netral, merupakan pendekatan yang lebih daripada kedua cara pendekatan lainnya, demikian dijelaskan oleh Inbau dan Reid.

Selain bahwa pemeriksaan tidak selalu dapat memastikan apakah yang diperiksa telah menerangkan dengan sebenarnya ataukah telah membohong, pemeriksa harus lebih memusatkan perhatian pada suatu situasi Tanya jawab yang memungkinkan pemeriksa untuk memberikan penilaian tentang watak dan tingkah laku orang yang diperiksa selama pemeriksaan itu dilakukan. Penelitian watak dan tingkah laku itu dapat membantu memperjelas kesimpulan pemeriksa, apakah jawaban-jawaban yang diberikan mengandung gejala-gejala yang sesuai atau tidak dengan kenyataan-kenyataan dan lingkungan.

IV. BEBERAPA SARAN TENTANG CARA DAN TEKNIK PEMERIKSAAN TYPE “A”

Pada bagian III telah kita kemukakan tentang tersangka yang kesalahannya telah definitive, yang secara rasioniil dapat dipastikan dan kita kelompokan dalam bentuk type A. untuk menghadapi golongan tersangka yang demikian itu, Inbau cs, mengemukakan beberapa taktik dan teknik pemeriksaan dan yang kita pandang sebagai saran-saran belaka, mengingat variasi-variasi yang beraneka agam daripada watak dan kepribadian tersangka pada satu pihak sedangkan di lain pihak harus kita ingat pula bahwa pemeriksa-pemeriksa pun memiliki serba aneka ragam watak dan kepribadian.

a. Yakin akan kesalahan tersangka :
Suatu anjuran bagi pemeriksa untuk menunjukan keyakinannya bahwa tersangka telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Keyakinan ini janganlah dikemukakan secara angkuh dan sombong, tetapi sekedar menunjukan kepercayaan pemeriksa terhadap dirinya sendiri, sikap pemeriksa pada tingkat kontak permulaan dengan tersangka akan menentukan erhasil tidaknya pemeriksaan keseluruhannya. Sikap permulaan ini dikemukakan oleh Inbau cs. Sebagai berikut :

Seorang tersangka dengan dibimbing oleh seorang petugas memasuki ruangan pemeriksaan. Petugas pembimbing itu seharusnya memberitahukan kepada tersangka, bahwa ia akan dihadapkan kepada Mr………….(nama pemeriksa) yang akan melakukan pemeriksaan. Bilamana tersangka memasuki ruangan itu, maka pemeriksa dianjurkan untuk memberi hormat kepada tersangka bagaikan seorang dokter memberi salam kepada pasien yang mengunjunginya. Penghormatan yang diberikan itu tidak perlu diikuti dengan uluran tanganuntuk berjabatan, kecuali bilamana tersangka mengulurkan tangannya untuk salaman.

Langkah selanjutnya telah kitra bicarakan pada bagian II. Ialah bagaimana menempatkan kursi antara pemeriksa dan yang diperiksa dan sebagainya.

Untuk seterusnya pemeriksaan dapat dimulai dengan mengatakan : “Saudara telah diperiksa sebelum ini, tapi saying bahwa saudara belum mengemukakan secara benar tentang peristiwa yang terjadi”. Peristiwa harus segera berhenti sebentar untuk menantikan reaksi tersangka. Dari reaksi itu pemeriksa akan menggunakan untuk menarik kesimpulan apakah tersangka membohong atau mengucapkan hal yang sebenarnya.

Seringkali terjadi. Kata Inbau, “bahwa pada permulaan pemeriksaan ketika pemeriksa hendak berbicara, tersangka menginterupsi dengan mengatakan : “bolehkah saya mengatkan sesuatu?” Interupsi seperti ini harus segera dijawab dengan tegas : “tunggu sampai saya selesai memberi keterangan”. Interupsi seperti yang lazim terjadi itu, kata Inbau, adalah cara yang sering dilakukan oleh orang-orang yang bersalah. Kewaspadaan pemeriksaan harus diarahkan pula pada usaha agar yang diperiksa tidak melakukan penyangkalan. Sekali ia menyangkal, akan terbentang suatu tembok pemisah yang makin tebal antara pemeriksa dan yang diperiksa dan akan semakin mengurangi kesempatan untuk memperoleh pengakuan. Proses psychology dalam penyangkalan membuat tersangka itu sendiri sulit kembali pada cerita tentang keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, maka pertanyaan sebaiknya menggunakan istilah : “Apakah sebabnya engkau telah melakukannya atau tidak”. Tentulah teknik bertanya demikian itu semata-mata diarahkan kepada tersangka yang perbuatannya telah pasti. Oleh karena dalam menghadapi tersangka yang masih diragukan, maka sikap pemeriksapun harus sesuai dengan cara lain.

Sekali lagi dan mungkin akan berkali-kali untuk memperingatkan bahwa saran-saran termaksud di atas, jika dipergunakan untuk menghadapi acute offender; maka akan lain lagi jika yang kita hadapi adalah chronic offenders. Mereka yang menghadapi pengadilan dan karena itu mempunyai pengalaman untuk menghadapi polisi atau jaksa, dengan sendirinya memerlukan pengalaman yang matang daripada pemeriksa.

Kematangan dari pengalaman akan banyak memberikan bantuan pada setiap penegak hukum, apalagi jika dilengkapi dengan pengetahuan khusus.

b. Tunjukanlah sebagian daripada pembuktian

Adalah suatu kekeliruan yang sering terejadi, kata Inbau, jika pemeriksa memberitahukan seluruh pembuktian atau seluruh masalah kepada tersangka.

Tentulah anjuran ini berlaku terhadap perkara-perkara penting yang tidak bersifat sumir – non summary case – sebab pada perkara-perkara sumir kebanyakan masalah adalah diketahui oleh ersangka. Hal ini bukan pula berarti bahwa tersangka tidak mengetahui seluruh masalah perkara penting yang telah dilakukan oleh tersangka itu sendiri. Memang mengenai kasusnya diketahui oleh tersangka oleh karena sebagai pelaku dalah mustahil tidak mengetahui keadaan. Namun ada pula segi-segi yang tidak diketahui oleh tersangka, misalnya akan adanya saksi-saksi yang melihat atau mendengar, akan adanya barang-barang bukti dan sebagainya. Adalah lazim dan lumrah jika tersangka akan berusaha untuk menyangkali perbuatannya dan penyangkalan itu dapat dilakukan dengan berpangkal tolak pada keterlanjuran penjelasan yang diberikan oleh pemeriksa.

Tepatnya mengemukakan sebagian dari bahan-bahan pembuktian adalah tindakan yang bijaksana. Dengan demikian tersangka akan dihadapkan pada suatu situasi untung rugi bilamana ia membohongi atau mengakui kesalahannya.

c. Perhatikan gejala-gejala psychologis dan pyshologis dari tersangka.
Jika pemeriksa dapat membimbing jalan pikiran tersangka ke arah suatu pemikiran bahwa tersangka memiliki kelemahan-kelemahan psychologis dengan reaksi-reaksi reflex yang merupakan pratanda daripada dosa yang telah diperbuatnya, atau pelanggaran hukum yang tak dapat disembunyikan, maka tersangka akan merasakan terdesak ke sudut, kehilangan keseimbangan dan tak berdaya, kecuali mengakui kesalahannya.

Dalam hal ini Inbau cs. Mengemukakan contoh-contoh sebagai berikut :

1. Denyutan nadi di leher

Jika pemeriksa memperhatikan urat nadi pada leher ersangka berdenyut cepat, katakanlah bahwa cepatnya nadi tersebut berdenyut disebabkan oleh karena tersangka tidak menceritakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sementara itu pemeriksa dapat menunjukan pada nadinya sendiri yang berjalan normal. Lalu pemeriksa mengikuti pula dengan suatu penjelasan bahwa denyutan nadi yang menjadi cepat dan nampak itu tidak pernah terjadi pada orang yang bicara benar.

Untuk menggunakan taktik ini, pemeriksa harus menginsafi bahwa sebenarnya proses psychologys yang nampak pada denyutan “Carotid” ialah nadi pada leher itu, bukanlah pratanda tentang membohong atau pengakuan, oleh karena hal tersebut merupakan bagian daripada nervous system yang terjadi baik pada orang berbuat salah maupun pada orang yang tidak berbuat salah. Oleh karena itu harus hati-hati membuat kesimpulan dengan anjuran ini, apalagi jika yang diperiksa adalah mahasiswa kedokteran atau psychiatry dan sebagainya.

Penulis bukan pula bermaksud untuk mengatakan bahwa siasat ini tidak bermanfaat. Anjuran adalah dengan nilai-nilai tertentu yang dapat berkembang menjadi berharga atau lumpuh sama sekali, tergantung pada kebijaksanaan pelaksanaannya.

2. Gerakan Adam’s Apple

Yang dimaksud dengan Adam’s Apple ialah lekum yang nampak membentul pada leher kaum pria. Keterangan selanjutnya pun akan sama dengan penjelasan pada ad. 1. di atas.

3. Beberapa reaksi Panca Indera

Reaksi panca indera yang mungkin dilakukan oleh tersangka, misalnya memalingkan mukanya tak mau melihat ke arah pemeriksa.

Usaha-usaha serupa yang sering pula dilakukan misalnya menggoyang-goyangkan sebelah atau kedua belah kakinya, menempatkan kaki itu ke depan atau menariknya ke belakang, memain-mainkan jari tangan apakah dengan cara meraba-raba kancing baju atau mengetuk-ngetukannya ke kursi, menggigit kuku dan sebagainya. Ada pula yang merasakan kering pada bibirnya dan karena itu ia membasahi bibirnya dengan mengeluarkan lidah sebagai pembasah bibir itu.

Dalam hal tersangka memalingkan mukanya memandang ke loteng atau ke luar jendela atau ke lantai, pemeriksa harus berusaha agar tetap terjadi kontak antara mata dengan mata. Kontak yang demikian itulah yang hendak dihindari dan kebalikannya  pemeriksa harus erusaha mencegah penghindaran sedemikian itu. Besar kemungkinan bahwa penghindaran sedemikian itu merupakan pelarian daripada bahaya akan terbukanya kebenaran sebagai masalah pokok yang hendak dijauhi oleh tersangka.

Kontak termaksud tak perlu pula dikemukakan secara blak-blakan. Sebaiknya dilakukan secara tidak langsung, misalnya dengan cara menepuk bahu tersangka, menyebut namanya dan berdiam sebentar untuk menciptakan suasana bertanya di dalam hati tersangka.

4. Kecemasan Tersangka

Gejala-gejala yang diterangkan pada ad. 3 di atas itu sebenarnaya pun merupakan bagian dari proses psychologis sebagaimana halnya kecemasan. Dengan kata lain, kecemasan dapat ditandai oleh gerakan-gerakan panca indera, ialah usaha untuk membentuk keseimbangan psychis, sedangkan kecemasan itu sendiri merupakan product daripada conflict psychologis.

Kecemasan antara lain dapat dilihat pada keringat dingin, pucat atau gemetar dan sebagainya. Jika kecemasan tersangka dapat dimanfaatkan, maka pintu pengakuan segera terbuka. Tetapi jika kecemasan itu semakin dipertebal oleh sikap dan ucapan-ucapan pemeriksa yang kurang pengalaman menghadapinya, bahkan akan merupakan tembok tebal yang hendak menutup kebenaran atau sekurangnya-kurangnya mempersulit keadaan.

5. Sumpah Tersangka

Lazim pula terjadi seorang tersangka hendak membenarkan keterangannya dengan sikap bersumpah : “Demi Tuhan, aku akan terkutuk jika mengatakan kata-kata bohong”. Hal ini tidak selalu menunjukan kesungguhan bahkan banyak yang berani membohong lalu berani pula berlindung di balik sumpah palsu. Jika misalnya tersangka hendak bersikap demikian dan hendak mengangkat tangannya sebagai syarat bahwa ia hendak bersumpah, adalah bijaksana bilamana pemeriksa mengatakan “turunkanlah tanganmu, akau kebetulan dididik dan berpengalaman untuk melihat bentuk muka oaring yang berkata benar atau bohong”. Keadaan sedemikian ini dapat kita sebut “akal dibalas dengan akal, muslihat dibalas dengan muslihat”.

6. Berlindung Pada Agama
Sama halnya denga nketerangan pada ad.5 maka di simpulkan sering dijumpai tersangka yang mengatakan: “sebagai orang yang beragama, mustahil bahwa saya akan berlaku demikian”. Menghadapi ucapan-ucapan demikian, dianjutkan agar pemeriksa dengan tegas menyatakan : “bagaimana alimnya sekalipun tuan, adalah masalah tuan dengan Tuhan. Yang menjadi urusan dengan saya, adalah bahwa tuan berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan persoalan yang menyebabkan tuan harus berhadapan denga hukum. Demi untuk kebenaran agama yang tuan peluk, jelaskan duduk persoalan dengan sebenarnya:. Sekali lagi penulis ingatkan, bahwa contoh ini adalah sekedar, bukannya suatu dalil lagi pula bukan suartu axioma. Situasi tertentu, memerlukan perlakuan tertentu pula.

7. “Tidak, bukan begitu”

Jika di atas tadi kita melihat tersangka yang hendak bersembunyi di balik sumpah palsu atau bersembunyi di balik kebenaran agama, maka di sini kita kemukakan pula tersangka yang langsung menyangkali perbuatannya dengan menjawab pertanyaan pemeriksa : “Tidak, bukan begitu”. Menghadapi tersangka yang demikian itu, pemeriksa harus berusaha mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya demikian rupa sehingga jawaban hanya: “ya” atau “tidak”.

Jawaban-jawaban ersangka yang mengatakan:”sepanjang ingatan saya bukan demikian” atau “saya kira bukan begitu”, adalah jawaban setengah-setengah dan ragu-ragu. Tersangka dengan demikian berada di ambang penyangkalan dan pengakuan. Hanyalah keahlian pemeriksa yang akan menariknya ke dalam suasana pengakuan atau kelalaian kecil dari pemeriksa dapat mendorong ke arah penyangkalan yang mempertele-telekan pemeriksaan.

d. Berikanlah rasa simpati kepada tersangka :

Kiranya cukup jelas contoh yang penulis kemukakan pada unsur kesepuluh dari sikap pemeriksa. Adalah agak canggung untuk mengikuti penjelasan Inbau dan reid sebagai berikut:
“criminal offender, and particularly one of the emotional type, derives considerable mental relief and comfort from an interrogator’s assurance that anyone else under similar conditions or circumstances might have done the same thing”

Bahwa seorang tersangka akan merasa lega jika pemeriksa menyatakan bahwa siapa pun akan berbuat sama dengan yang dilakukan oleh tersangka, jika menghadapi keadaan serupa.

Memang ucapan demikian itu dapat memperbesar hati tersangka sehingga situasi lunak antara pemeriksa dan yang diperiksa dapat tercipta, kemudian memberi kesempatan pada pemeriksa untuk membimbing tersangka ke arah pengakuan. Hal ini dapat terjadi pada tersangka yang kurang berpengalaman atau kurang membaca masalah psychology.

Sebab, reaksi manusia terhadap situasi yang sama , tidak selalu menciptakan reaksi yang sama. Manusia memiliki struktur psychology yang berbeda sebagai akibat perbedaan-perbedaan pengalaman, perbedaan kondisi psychis, perbedaan histories. Bahkan anak kembar pun tidak selalu mempunyai reaksi yang sama terhadap impuls intern yang sama atau conflict extern yang sama. Perhatikanlah misalnya pengaruh tekanan ekonomi yang lazim mencekam  kehidupan manusia. Wanita A yang mengalami tekanan ekonomi bereaksi menjadi pelacur, ada pula yang rela menjadi pesuruh, lain lagi berusaha untuk belajar lebih keras, bekerja lebih keras atau ada pula yang putus asa memilih jalan-jalan yang penuh denga pelarian psychologis. Contoh ini hendak menjelaskan dengan singkat bahwa situasi yang sama, atau tekanan yang sama tidak selalul menciptakan reaksi yang sama.

Seseorang memiliki sifat-safat agresif akan balas menyerang bilamana ia diserang. Kebalikannya adalah orang yang bersifat masochistic yang akan merasakan suatu kepuasan bilamana dirinya disakiti orang.

Kita akan berkepanjangan untuk memberikan contah-contoh pada aspek psychologis yang berliku-liku itu, namun sebuah saran bagi pemeriksa untuk menyatakan rasa tahu menghargai bahwa tersangka adalah manusia seperti pemeriksa juga. Akan tetapi penghargaan yang diberikan itu jangan pula berketelanjuran sehingga menyebabkan pemeriksa kehilangan pegangan untuk membimbing tersangka ke arah pengakuan. Menghargai tersangka sebenarnya hanyalah dipergunakan sebagai umpan belaka, agar pihak tersangka pun akan menaruh perhatian dan memberikan kepercayaannya kepada pemeriksa.

e. Rasa Bersalah

Sebelum ini kita sering membicarakan mengenai tersangka yang berusaha menutup-nutupi kesalahannya dengan melakukan penyangkalan. Dapat pula terjadi kebalikannya ialah tersangka segera mengakui akan kesalahannya, namun tak mampu untuk memberikan penjelasan tentang sebab musabab serta cara ia melakukan perbuatannya. Golongan ini biasanya adalah mereka yang mengalami kecemasan-kecemasan itu demikian rupa menekan jiwanya, mengabur kesehatan berpikir bahkan menjadi pelupa, atau dengan kata lain tak mampu mengadakan pemusatan pikiran. Tentulah kecemasan itu dirangsang oleh perbuatan yang telah dilakukannya, diikuti dengan rasa bersalah yang hebat, dan rasa bersalah itulah yang membangkitkan ecemasan. Rasa bersalah itu sebenarnya ditonjolkan oleh suatu instansi jiwa yang penting yang disebut ego.
Jika pembaca ingin memperdalam segi yang penting struktur kepribadian ini, penulis persilahkan untuk memperhatikan buku penulis berjudul “Pengantar Psychologi Kriminil” yang membentangkannya lebih jelas.

Menghadapi tersangka yang mengalami kecemasan sedemikian itu sebaiknya pemeriksa membimbingnya lebih dahulu ke arah peristiwa-peristiwa yang sama terjadi pada lain orang, untuk menunjukan bahwa dia bukanlah satu-satunya orang yang berbuat demikian. Maksudnya adalah sekedar untuk menunjukan kenyataan hidup dan dengan itu diharapkan pula agar kecemasan tersangka dapat diperkurang. Jika pemeriksa melihat bahwa kecemasan tersangka bukanlah kurang bahkan semakin parah, sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan psychiater.

Dalam hubungan dengan “rasa bersalah” atau term psychology yang terkenal ialah “feeling of guilty” baiklah kita perhatikan pula tulisan Symonds sebgai berikuit :
“Guilt, as we have seen, is an anxiety response to tendencies within the self consequently, self forgiveness is impossible and an individual needs some sort of assurance from outside sources in order to rid himself of these distressing feeling”
Pada umumnya yang merasakan feeling of guilty adalah orang-orang yang pernah mengalami pendidikan agama dan moral yang memberi bentuk dan warna pada super ego dan kemudian melakukan celaan-celaan keras atas perbuatan individu yang bertentangan dengan ajaran-ajaran kecemasan itu. Proses itulah yang menimbulkan rasa bersalah denga gejala-gejala kecemasan itu. Sebagaimana nampak dijelaskan oleh symonds, bahwa pribadi itu sendiri tak mampu untuk mengatasinya sendiri, tak mampu untuk memberikan maaf pada dirinya sendiri dan karena itu memerlukan bantuan yang datangnya dari luar pribadinya, ialah orang lain. Kegawatan yang mungkin timbul sebagai rasa bersalah, dapat kita lihat pula pada tulisan Reckless sebagai berikut :
“Guilt feeling would thus cause need for selfinvoked punishment……….”
Reckless menjelaskan demikian dsetelah menunjuk pada peristiwa bunuh diri yang lazim terjadi dan adanya teori yang mengemukakan mengenai wanita-wanita yang terjun ke dunia prostitusi setelah mengalami kecemasan yang dirangsang oleh rasa bersalah.

Oleh karena itulah maka pemeriksa yang menghadapi tersangka dengan kondisi sedemikian itu, ia menghadapi tersangka yang secara yuridis telah melakukan pelanggaran, tetapi psychologis pemeriksa akan berlaku sebagi seorang assisten psychiater yang menghadapi seorang pasien.
Air yang keruh jangan ditambah diperkeruh, tapi berusahalah memberikan kejernihan. Pengakuan yang diberikan oleh tersangka dalam keadaan tenag tentram adalah pengakuan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun juridis.

f. Memilih kalimat Sopan 

Terutama dalam menghadapi kejahatan susila  atau yang dalam Bahasa Inggrisnya tegas lagi disebut sexual crime, maka pemeriksa akan menemui eberapa hal di mana istilah-istilah porno harus dikemukakan. Walaupun tersangka telah melakukan kejahatan susila, namun penggunaan istilah-istilah porno sering dirasakan oleh tersangka itu sendiri sebagai masalah yang menggelikan atau menjijikan untuk dijawab. Maka sebaiknya istilah-istilah porno tidak dipergunakan dan menggantikannya dengan istilah lain yang tidak membawa arti langsung tapi harus tidak menghilangkan maksud sebenarnya.

Inbau cs. Mengemukakan sebuah ilustrasi dalam menghadapi tersangka yang melakukan pembunuhan dengan motif sex. Pembunuhan dengan motif sex bagi orang-orang tertentu dirangsang kecemasannya oleh karena penampilan “the feeling of guilty” itu telah jelas kita bicarakan pada bagian yang terdahulu. Kita perhatikan kini ilustrasi Inbau tu yang menggunakan percakapan sebagai berikut :
“Joe, what happened? Did this girl go along with you at first, and then all of sudden she let out a scream? You then had no alternative but to stop her yelling, and that’s all you were trying to do, but she caused you to use more force than you ever intended. That’s about it, isn’t, you?”

Pertanyaan yang dikemukakan oleh Inbau cs. Itu merupakan suatu bimbingan yang bertujuan memperoleh pengakuan. Bimbingan dilakukan sedemikian rupa, menghindari kalimat-kalimat yang langsung menyentuh rasa malu dan cemas oleh karena sebenarnya perbuatan yang dilakukannya adalah didorong oleh suatu inpuls sexual. Namun pemeriksa harus pula waspada.

Menurut hemat kami, pemeriksaan bukanlah sekedar untuk memperoleh pengakuan. Pemeriksaan adalah untuk menegakkan kebenaran. Kebimbangan orang untuk mengakui perbuatannya, bukanlah alas an bagi kita untuk menyatakan bahwa perkara itu tidak terbukti oleh karena yang bersangkutan tidak mengaku. Kebimbangan untuk mengakui pun merupakan sebagian daripada pengakuan. Segumpalk es salju ynag terapung di atas air adalah bukti bahwa di dalam air terdapat gunung es yang puncaknya hanyalah menyatakan dirinya sebagian dari gumpalan kecil itu.

Oleh karena itu, kebimbangan untuk mengakui, tetapi banyak bukti-bukti lain yang dapat dipergunakan sehingga ia tidak menyangkal, cukup sebagai alas an yang meyakinkanpemeriksa bahwa tersangka telah melakukan suatu pelanggaran hukum, apalagi kita ingat bahwa pada bagian ini, kita sedang membicarakan pemeriksaan terhadap type “A” ialah golongan tersangka yang positif telah melakukan tindak pidana.

Anjuran yang dikemukakan oleh Inbau cs. Itu mempunyai segi positif, namun ia memiliki pula segi negatif, yaitu pengakuan yang dibimbing secara sugestif sambil meninggalkan fakta yuridis yang misalnya melemahkan unsur “niat” melakukan kejahatan yang direncanakan menjadi accidental crime.

Apabila bilamana tersangka adalah tertangkap tangan telah melakukan sesuatu pembunuhan, ia tidak mengakui oleh karena dirangsang oleh kecemasan dan tak mau mendengarkan istilah porno, tapi ia pun tidak menyangkali perbuatannya, sedang bukti-bukti menguatkan, maka pemeriksa tak perlu memaksanya. Sebaiknya pemeriksa berpaling pada pemeriksaan saksi-saksi dan memperlengkap pembuktian, memperkuat pembuktian mengenai motif-motif yang mengarahkan atau mendorong perbuatan tersangka.

Walaupun demikian, saran untuk tidak menggunakan kalimat-kalimat porno dalam pemeriksaan, adalah saran yang bermanfaat. Tapi ada pula orang dengan watak humoris yang khusus menggunakan istilah porno, bukan tak mungkin kalimat-kalimat demikian itu dapat membuat mulut mereka ke arah pengakuan. Sejauh manakah pemeriksa dapat menggunakannya, adalah taktik dan teknik pemeriks yang didasarkan pada pengalamannyalah yang akan menentukan.

g. Tujuan simpatik para tersangka, dalam hal ia mempersalahkan korbannya.

Lain daripada yang telah kita bicarakan pada ad.d maka ad.g ini kita gunakan pula untuk membicarakan bagaimana seorang pemeriksa menghadapi tersangka yang menyatakan kesalahan korbannya. Perlu diingat bahwa orang yang suka melihat keluar mempersalahkan orang lain daripada mengakui kesalahan sendiri adalah mereka yang tergolong egosentri. Seorang egosentrik tidak tercipta seketika ia melakukan kejahatan atau seketika menyalahkan korbannya, melainkan melalui suatu masa yang panjang yaitu sejak ia mulai menghadapi pergaulan dengan sesama manusia. Dengan kata lain bahwa egosentrik bersumber pada masa kanak-kanak bahkan tak dapat dikecualikan ialah struktur kejiwaan tertentu yang mengalami kontak-kontak tertentu.

Menghadapi orang yang demikian harus diingat bahwa mereka dapat bersifat keras kepala (stubborn) terhadap nasehat-nasehat yang dapat menyinggung rasa harga dirinya, walaupun secara sadar ia tahu akan kesalahannya. Oleh karena itu maka lazim bagi seorang egosentrik mempersalahkan lawannya walaupun ia sendiri menyadari akan kesalahan yang telah diperbuatnya.

Di pihak lain dapat pula kita perhatikan bahwa sifat mempersalahkan orang lain itu dijumpai pula pada banyak orang, walaupun mereka tidak tergolong kategori egosentrik, contoh-contoh yang lazim kita jumpai misalnya seseorang penderita influenza, lebih menyalahkan pada angin daripada harus menyalahkan kondisi badannya atau mengapa ia harus berjalan di hujan. “Ah, udara jelek” katanya.
Dalam hal terlambat memasuki kantor maka yang dipersalahkan adalah jam tangannya, ataukah mobilnya mogok, ataukah kemacetan lalu lintas dan sebagainya. Sifat-sifat sedemikian itu adalah gejala-gejala daripada sifat memperoleh “excuse”.

Baik mereka yang memiliki sifat egosentrik maupun mereka yang mencari excuse pada keadaan luar pribadinya, hal mana biasanya menunjukkan bahwa meerka bukan sama menyangkal akan perbuatannya, cuma mereka ingin menempatkan suatu sebab-musabab yang kiranya dapat dianggap sebagai excuse atas kesalahan yang mereka lakukan.

Tetapi sebagaimana telah dikemukakan di atas tadi, asalkan pemeriksa tidak tegas-tegas menantang seorang egosentrik yang dapar bersikap stubborn; pemeriksa mengikuti aliran pikiran mereka namun tetap pada persoalan pokok ialah kebenaran melalui proses pemeriksaan itu.

h. Manfaatkan saling Pengertian Antara Pemeriksa dan yang Diperiksa

Pada penjelasan sebelum ini, hampir semuanya merupakan usaha pemanfaatan saling pengertian antara pemeriksa dan yang diperiksa. Hal ini berarti bahwa sebelum pemeriksaan dimulai, maka langkah perama yang harus dilakukan adalah usaha pemeriksa untuk menciptakan suasana saling mengerti antara kedua belah pihak. Suasana saling mengerti itu dapat diciptakan dengan banyak cara. Hal-hal yang dikemukakan di sini hanyalah merupakan contoh-contoh belaka. Baru setelah tercipta suasana saling mengerti antara kedua belah pihak, tibalah kesempatan bagi pemeriksa untuk maju memanfaatkan suasana itu. Tapi akan kelirulah seorang pemeriksa yang menyangka bahwa pemeriksa akan segera mencapai tujuan yang diharapkan. Ingatlah bahwa yang diperiksa adalah juga manusia  dengan sifat-sifat kemanusiaan, mempunyai pula perhitungan untung rugi. Yang diperiksa pun akan berusaha untuk memanfaatkan saling pengertian antara kedua belah pihak itu. Di sinilah letak jurang-jurang yang banyak dimanfaatkan oleh tersangka untuk melemahkan kedudukan pemeriksa. Penulis tidak akan mendalami suatu masalah jurang ini oleh karena pembaca dapat berbicara lebih banyak mengenai hal termaksud. Marilah kita ikuti penyelidikan inbau cs. Dalam hal memanfaatkan saling pengertian itu.

Adalah suatu alat yang ampuh yang dapat dipergunakan oleh pemeriksa, ialah menjamah atau menepuk tersangka dengan diiringi pertanyaan-pertanyaan terarah. Menjamah pundak orang, tentulah harus mengingat etiket dan adat istiadat manusia. Menjamah pundak wanita akan mengakibatkan hal yang bertentangan dengan tujuan. Perlakuan sedemikian itu hanyalah dapat ditujukan kepada tersangka yang usianya lebih muda daripada pemeriksa atau sebaya. Walaupun misalnya tersangka berusia lebih muda  atau sebaya dengan pemeriksa, tetapi seorang habitual atau professional yang berpengalaman dalam dunia kejahatan, maka perbuatan menepuk pundak hanyalah dipandang sebagai hal yang menertawakan tersangka.

Jika usaha pemanfaatan itu mengalami kegagalan oleh karena tersangka tak mau mengakui  kesalahannya, maka Inbau cs. Mengemukakan suatu metode yang dinamakan “friendly unfriendly act”. Metode ini dilakukan dengan cara kerjasama antara dua orang pemeriksa, ataupun seorang pemeriksa saja.

Jika yang digunakan adalah dua orang pemeriksa, maka seorang bersikap bersahabat (friendly) dan yang lainnya bersikap tidak bersahabat (unfriendly). Yang  melaksanakan sifat unfriendly, bersikap seperti orang yang tidak tenang, ke luar masuk ruangan dan sebagainya. Ke luar dari ruangan sebenarnya adalah suatu kesempatan yang diberikan kepada tersangka agar ia mendekati pemeriksa yang bersikap bersahabat.

Jika metode yang dipergunakan adalah seorang pemeriksa, maka pemeriksa sewaktu-waktu menjadi kesal nampaknya lalu merubah sikap menjadi lunak dan seterusnya.

Metode-metode sedemikian ini dapat dipandang sebagai anjuran belaka, namun penulis tetap mengingatkan bahwa tersangka adalah manusia dengan reaksi sebagai manusia. Mereka memiliki keutuhan pribadi tetapi juga tak luput daripada kelemahan-kelemahan. Tugas utama adalah mempercakapkan masalah-masalah yang nampaknya tidak berhubungan dengan pemeriksaan, tetapi sebenarnya mengarah pada penelitian tentang kelemahan-kelemahan psychologis yang dimiliki oleh tersangka. Mengekspose kelemahan ini dapat merupakan penerobosan benteng penyangkalan menjadi pengakuan.

Hingga di sini nampaknya kita hanya membicarakan kita hanya membicarakan seolah-olah tersangka itu hanyalah seorang diri saja. Pada hal demikian banyak perkara yang terjadi yang dilakukan oleh lebih dari satu dua orang. Selain itu tersangka yang melebihi dua orang, biasanya saksi-saksi harus pula didengar, ha lmana semekin mempermudah usaha pemeriksa untuk menyingkap kebenaran.

Suatu keuntungan bagi pemeriksa di Indonesia, ialah system penahanan yang cukup luas untuk membuat perkara menjadi jelas, pasal 75 HIR menyatakan dengan jelas mengenai alasan-alasan penahanan yang antara lain disebut ialah “untuk kepentingan pemeriksaan”.

Demikian simple tertera di dalam HIR tentang istilah kepentingan pemeriksaan, bukan saja berarti bahwa tersangka harus ditahan agar supaya tersangka dapat diperiksa dengan mudah. Untuk kepentingan pemeriksaan berarti pula bahwa antara tersangka dengan orang lain misalnya tidak akan terjadi kontak yang dapat merugikan pemeriksaan. Jika tersangka adalah terdiri dari beberapa orang, maka penahanan akan mempersulit tersangka untuk saling menyesuaikan keterangan. Disamping itu penahanan bermaksud agar tersangka tidak melarikan diri ataupun agar tersangka tidak mengulangi perbuatannya, dan lebih penting lagi bermaksud agar tersangka tidak akan menghapuskan barang-barang bukti. Akan tetapi, penahanan sering dilakukan, bilamana alasan-alasan : untuk kepentingan pemeriksaan agar tersangka tidak melarikan diri, agar tersangka tidak mengulangi lagi perbuatannya, alasan lain tercantum di dalam Pasal 62 HIR antara lain ialah bahwa perbuatan itu diancam dengan hukuman 5 tahun, maka penahanan dapat dilakukan. Walaupun unsur-unsur ini terpenuhi, tetapi Pasal 75 HIR itu sendiri menyebutkan syarat yang nampak sederhana tetapi sangat penting, ialah:
“kalau keterangan-keterangan cukup menunjukan, bahwa si tertuduh itu bersalah”. Orang yang ditahan hanya berdasarkan laporan laka, sedangkan laporan itu belum dinilai secara mendalam dan seksama, belumlah merupakan keterangan yang cukup. Pemeriksaan tersangka yang mengalami perlakuan itu, membungkam bukan oleh karena tak mau menerangkan secara benar, akan tetapi ia menghadapi setiap petugas dengan penuh kecurigaan, apakah petugas itu benar-benar akan menegakan keadilan.

V. BEBERAPA SARAN TENTANG CARA DAN TEKNIK PEMERIKSAAN TYPE “B”

Type “B” adalah mereka yang dalam sistematika buku ini kita golongkan orang-orang yang diragukan apakah telah melakukan kejahatan atau tidak. Oleh karena diragukan, dengan sendirinya belum ada keterangan lengkap dan karena itu walaupun telah ada laporan, maka tersangka seperti itu tidak ditahan. Bebasnya tersangka memungkinkan baginya untuk lari, mungkin berusaha untuk menghilangkan bukti-bukti dan sebagainya. Dalam hal demikian, maka tugas penyidikan harus diintensifkan. Bilamana ternyata benar ada usaha tersangka untuk melarikan diri, usaha untuk menghilangkan jejak atau menghapuskan bukti-bukti, maka laporan penyidik adalah perlu untuk melengkapi keterangan yang akan dipakai sebagai alas an penahanan, asal saja ancaman hukumnan yang dituduhkan kepadanya adalah melebihi lima tahun.

Pemeriksaan tersangka yang masih diragukan kesalahannya, adalah lazim menggunakan siasat sebagai berikut :
a. Mengapa tersangka diperiksa
Pertanyaan yang biasanya dipergunakan adalah “tahukah anda ? mengapa anda diperiksa?” atau pertanyaan-pertanyaan yang senada dengan hal itu. Seorang yang telah melakukan kesalahan, bilamana mendengar pertanyaan itu, akan menunjukan sikap waspada. Maka ia akan berhati-hati, mungkin menarik nafas panjang untuk memperoleh kelegaan, mungkin tersenyum, atau mungkin juga menjadi pucat, bahkan ada yang langsung menunjukan wajah bermusuhan.
Pemeriksa yang bijaksana, adalah pemeriksa yang dapat membaca situasi waspada itu.
Bilamana tersangka memberikan jawaban “ya”,  ia pun akan tetap menunjukan sikap waspada.
Kebalikannya adalah mereka yang tidak bersalah, bilamana mendengar pertanyaan tadi, ia akan menunjukan sikap semakin heran dan mungkin juga curiga. Jawaban akan muncul secara spontan “tak tahu” atau  “mengapa? Saya pun ingi bertanya”.  Dikatakan semakin heran, oleh karena sikap heran dan curiga sudah nampak.

Segera ia akan merobah seluruh sikap heran dan curiga , oleh karena ia merasa memperoleh kesempatan untk menghadapi situasi yang akan membawa ke arah kebenaran. Dengan demikian ia akan riang bercampur cemas, matanya bercahaya bercampur sayu dan sebagainya. Riang adalah lambing daripada harapan-harapan sedangkan campuran cemas dan sayu adalah peninggalan rasa curiga yang belum dapat ditinggalkan sebelum keadaan menjadi jelas.

Akan tetapi, pertanyaan “tahukah anda, mengapa diperiksa?” itu, adalah pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya mengandung sifat menjerat. Kita mengenal bunyi Pasal 269 HIR ayat 1 yang menyatakan tidak dapatnya dipergunakan pertanyaan-pertanyaan yang menjerat. Akan tetapi, Pasal 269 HIR itu adalah ketentuan-ketentuan yang dipergunakan di dalam sidang pengadilan, sehingga banyak pejabat menganggap bahwa pertanyaan yang bersifat menjerat yang dilakukan di luar sidang pengadilan, yang dilakukan pada pemeriksaan-pemeriksaan polisi, jaksa, maka pasal 269 ayat 1 itu tidak dihiraukan. Jika kita hendak mengolah makna Pasal 269 itu secara filosofi, dapat kita katakana bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh keadilan yang murni. Dinyatakan dalam pasal yang mengatur pemeriksaan dalam persidangan adalah merupakan suatu guidestar yang hendaknya dipatuhi jauh sebelum persidangan. Oleh karena itu akan dirasakan wajar bilamana pertanyaan menjerat tidak dilakukan sejak pemeriksaan permulaan.

Mengapa pertanyaan di atas memiliki sifat menjerat ? Sepanjang mengenai perkara yang dituduhkan kepada tersangka maka pertanyaan –pertanyaan demikian merupakan pemberian kesempatan kepada tersangka untuk secara sukarela memberikan pengakuan. Tetapi, manusia itu adalah manusi berdosa yang penuh dengan kesalahan-kesalahan. Kesalahan sosiologis, religis, dan kriminalis. Pertanyaan “tahukah anda, mengapa diperiksa ?” dapat menempatkan tersangka pada suatu pertanyaan besar : kesalahan saya yang manakah yang telah diketahui oleh pemeriksa?

“Ya” jawab tersangka yang segera akan diikuti oleh pemeriksa dengan pertanyaan berikut : “mengenai apa?” Mungkin yang dimaksud oleh tersangka adalah suatu perbuatan lain yang sebenarnya tidak dimaksudkan oleh pemeriksa. Dalam hal demikian tersangka telah masuk jerat.

Dilihat dari segi praktis, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat itu bahkan menguntungkan usaha untuk memberantas kejahatan dan menegakan keadilan. Apa salahnya jika penjahat masuk jerat.

Dilihat dari segi praktis, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat itu bahkan menguntungkan usaha untuk memberantas kejahatan dan menegakan keadilan. Apa salahnya jika penjahat masuk jerat? Pertanyaan ini samalah artinya, mengapa Pasal 269 itu tidak diperlunak kalau bukan dihapuskan sama sekali. Hal ini merupakan bidang persoalan hukum acara yang tidak termasuk dalam pembahasan buku ini untuk lebih mendetail.

Kita kembali memperhatikan, bahwa tersangka, yang ternyata telah melakukan kesalahan setelah mengalami pertanyaan pertama tadi, akan bersifat waspada yang merupakan “greenlight” bagi pemeriksaa untuk condong ke arah pemeriksaan tersangka yang bersalah, meninggalkan persimpangan keragu-raguan apakah dia bersalah atau tidak. Gejala-gejala “somatik” seperti berpeluh dingin, gemetar, pucat dan sebaginya yang harus diteliti oleh pemeriksa merupakan pratanda bagi pemeriksa untuk memilih kalimat-kalimat terarah yang dapat menyingkap isi hati tersangka untuk memberi pengakuan.

Profesor Wigmore dari Northwester University yang terkenal di Amerika Serikat dalam bidang Hukum Pidana, antara lain mengatakan :
‘(1) In the first place, an innocent is always helped by an early opportunity to tell his whole story; hundreds of suspected persons every day are set free because thei story thus told, bears the marks of truth, Moreover and more important, every guilty person is almost always ready and desirous to confess, as soon as he is detected and arrested. This psychological truth, well known to all criminal trial judges, seems to be ignored by some Supreme Courts.
The nervous pressure of guilt is enormous; the load of deed done is heavy; the fear of detection fills the consciousness; and when detection comes the pressure is relieved; and the deep sense of relief makes confession a stisfaction. At that moment he will tell all, and tell it truly”

Aspek  psychologis daripada keterangan Wigmore nampak pada proses pengakuan sebagai sesuatu yang melegakan hati manusia. Manusia normal yang telah melakukan sesuatu kejahatan, pada umunya untuk mengakui perbuatannya, sebab kata Wigmore , tekanan kecemasan sebagai akibat telah melakukan sesuatu kesalahan adalah hal yang mengerikan. Timbulah kecurigaan melihat polisi atau orang yang berseragam, takut akan diperiksa  dan ditangkap, segala-galanya itu merupakan kecemasan-kecemasan yang  gejala-gejala psychologis yang perlu dicamkan oleh pemeriksa. Tendensius mengakui kesalahan itu dapat mempercepat tercapainya tujuan bilamana pemeriksa tahu menggunakan kesempatan itu. Seorang bersalah yang diperiksa sama halnya dengan seorang yang hendak dibawa ke alam nyata, melalui interview  psychological theuropatis. Menyimpan rahasia pengalaman, akan dirasakan sebagai beban berat yang menekan jiwa. Semakin disimpan rahasia itu semakin berat rasanya beban. Sedikit pengakuan, akan dirasakan sperti berkurangnya beban dan pengakuan seluruhnya menimbulkan kelegaan bagi tersangka. Ke arah itulah Wigmore menelaskan:………..when detection comes the pressure is relived; and the deep senese of relief makes confession a stisfaction. Bilamana pemeriksaan dimulai maka hilanglah tekanan kecemasan. Perasaan lega itu akan membuat pengakuan menjadi hal yang menyenangkan. At the moment he will tell all, and tell it truly. Pada waktu itulah maka tersangka akan menceritakan segala-galanya dan menceritakannya secara benar.

b. Tanyakan kegiatan tersangka sebelum terjadinya peristiwa, ketika dan setelah peristiwa itu terjadi.

Menanyakan kegiatan sekitar peristiwa sebelum, sedang dan sesudah terjadinya tindak pidana adalah termasuk usaha untuk menyesuaikan alibi tersangka. Pertanyaan demikian akan menempatkan tersangka. Pertanyaan demikian akan menempatkan tersangka pada tiga peristiwa yang terpisah-pisah namun mempunyai kaitan antara peristiwa yang satu dengan yang yang lain. Kemungkinan besar, tersangka akan sangat bersifat waspada bilamana menjelaskan kegiatannya di sekitar phase kedua ialah phase terjadinya peristiwa pidana. Kewaspadaan yang terpusat pada phase kedua itu secara tak sadar melemahkan kewaspadaan terhadap phase pertama dan ketiga. Sifat waspada pada phase kedua yang melebihi kewaspadaan pada kedua phase lainnya adalah termasuk indikasi akan adanya kesalahan tersangka, yang sebenarnya sudah nampak ketika dilakukian pertanyaan pada ad.a. Maka pertanyaan ad. B. ini biasanya  dilakukan terhadap tersangka yang mencoba hendak memungkiri perbuatannya. Telah kita kemukakan pada pasal yang lalu (Pasal IV) untuk berhati-hati dengan tersangka yang mencoba memungkiri perbuatannya; sekali ia menyangkal mengakibatkan tersangka itu sendiri mengalami kesulitan untuk kembali pada keterangan yang benar.

Kelemahan-kelemahan yang dijumpai ketika tersangka menjelaskan kegiatannya sekitar phase pertama dan ketiga akan merupakan kunci, apakah tersangka telah memberikan keterangan yang lengkap jelas dan benar.

Pertanyaan-pertanyaan mengenai phase pertama, tidak saja menyangkut hal-hal yang ada hubungannya langsung dengan peristiwa pidana, tetapi mungkin menyangkut pula hal-hal yang terjadi jauh sebelum terjadi peristiwa pidana. Hal-hal termaksud harus diteliti sedemikian rupa untuk dipergunakan sebagi bakground daripada peristiwa pidana ang baru terjadi.

Perhatikanlah kasus Gino yang membunuh ibunya dengan background masalah-masalah yang terjadi sejak Gino masih kecil.

Keterangan-keterangan yang biasanya disebut background information itu adalah menyangkut tempat kelahirannya, pendidikan, pekerjaan, pergaulan dan sebagainya. Background information itu adalah menyangkut tempat kelahirannya, pendidikan, pekerjaan, kegemaran, pergaulan dan sebagainya. Background information itu dapat dipergunakan oleh pemeriksa untuk analisa, baik mengenai watak tersangka maupun mengenai kondisi-kondisi yang mempunyai hubungan dengan peristiwa pidana. Riwayat hidup tersangka yang menyangkut pengalaman-pengalaman dalam bidang kejahatan, misalnya pernah di hukum, pernah diahan, pernah terlibat dalam kejahatan anak-anak, penjudi, pemabok dan sebagainya adalah keterangan yang berguna untuk analisa dan evaluasi.

Pada bagian yang membicarakan kasus-kasus kriminil, akan kita jumpai hal-hal yang menyangkut bakground ini.

  Apa yang kita sebut dengan alibi tersangka ialah pengamatan terhadap kegiatan tersangka pada phase kedua khususnya menguji alibi tersangka di tempat kejadiannya peristiwa pidana itu. Yang dimaksud dengan “alibi”, ialah tidak hadirnya tersangka pada tempat kejadian peristiwa pidana dan karena itu kepadanya tidak dapat dinyatakan “bersalah”.


Jika tersangka mengemukakan alibinya, maka pembuktian alibi itu tidak akan cukup hanya dengan pemeriksaan lisan belaka. Tugas penyidikan akan sangat menentukan kebenaran alibi yang dikemukakan oleh tersangka itu. Kebenaran alibi ini pun sedikit banyak ditentukan pula oleh hasil-hasil pertanyaan mengenai kegiatan tersangka phase pertama, bahkan juga mungkin mempunyai hubungan dengan kegiatan tersangka pada phase ketiga. Di atas tadi telah kita kemukakan bahwa seorang yang bersalah akan sangat waspada memberikan jawaban menegai kegiatannya di luar phase kedua ialah pada waktu terjadi peristiwa pidana. Kewaspadaan pada phase kedua ini mungkin menimbulkan kelmahan-kelemahan keterangan-keterangan, maksudnya berkurang kewaspadaan pada waktu menjawab pertanyaan pemeriksa mengenai kegiatan di sekitar phase pertama dan ketiga. Jika tersangka mengemukakan alibi yang dibuat-buat, maka kelemahan pada phase pertama pertama dan ketiga tadi akan menunjukan kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi materiil mungkin tersangka dapat menyesuaikan keterangan-keterangannya. Tetapi kontradiksi psychologis yaitu sikap tersangka, cara mengemukakan keterangan serta gejala-gejala psychologis lainnya yang nampak secara somatic, dapat menunjukan atau sekurang-kurangnya menjadi pertanda tentang tidak benarnya keterangan tersangka.

Katakanlah bahwa tersangka mengemukakan alibi sebagai berikut : “Pada waktu itu, saya sedang mengemudi mobil saya menuju Bandung”. Adalah penting bagi pemeriksa untuk mencatat keterangan itu mengenai mobil – nomor polisi, nomor bewijs, type mobil, merk tahun pembuatan, warna, kondisi mobil dan sebagainya. Mengenai waktu berangkat, perlengkapan-perlengkapan waktu berangkat, saksi-saksi yang dapat menguatkan keterangan tersangka, route yang dilalui, keadaan cuaca pada waktu itu, hal-hal istimewa yang dijumpainya  di jalan dan sebagainya. Menegani waktu tiba di bandung siapa yang ditemui pertama kali dan urusan apa yang dilakukan dan sebagainya.

Alibi itu sendiri harus diperinci oleh pem,eriksa sedemikian rupa, menegnai hal-hal yang menyangkut mobil, mengenai start, mengenai perjalanan, mengenai maksud perjalanan, menegnai pelaksanaan tujuan perjalanan, mengenai hasil perjalanan dan seterusnya. Setiap inci, harus mempunyai hubungan yang logis. Dan logika yang diperoleh pada alibi ini pun masih harus diuji dengan keterangan-keterangan pada phase pertama dan phase ketiga. Dan logika yang diperoleh disini pun harus pula disesuaikan dengan hasil pengusutan yang menyangkut alibi tersebut.

Lain halnya dengan di amerika Serikat, maka salah satu kelemahan yang masih kita jumpai di tanah air adalah unsur organisasi, administrasi serta budget yang menyangkut tugas pengusutan ini yang merupakan handicap dalam bidang Law Enforcement kita.

c. Pelajari persoalan sebelum melakukan pemeriksaan

Cara yang dikemukakan di sini sebenarnya berlaku pula untuk pemeriksaan type “A”. Sebelum menghadapi tersangka, pemeriksa harus lebih dahulu mempelajari duduk peristiwa pidana dimana subyek diajukan sebagai tersangka. Jika laporan dan bahan-bahan yang dipelajari oleh pemeriksa adalah lengkap, sebaiknya pemeriksa telah mempunyai gambaran yang jelas riwayat hidup tersangka, background peristiwa pidana, watak tersangka, bukti-bukti dan saksi-saksi serta keterangan ahli, terjadinya peristiwa pidana, kelemahan-kelemahan dalam laporan yang memungkinkan penyangkalan, petunjuk-petunjuk yang sulit untuk dimungkiri oleh tersangka misalnya keterangan saksi tertentu atau sifat sesuatu bukti.

Saksi-saksi yang memberikan pembuktian tentang kesalahan tersangka, sebaliknya dipelajari pula itikad, background, hubungan yang pernah ada antara saksi dan tersangka, riwayat hidup dan pendidikan serta keahlian saksi. 

Barang bukti yang dipandang menentukan kesalahan tersangka, misalnya sidik jari, atau mungkin juga bukti-bukti yang dipergunakan oleh tersangka untuk membebaskannya dari tuduhan.
Adalah tugas dan kewajban penegak hukum untuk menegakkan keadilan sebagaimana dikehendaki di dalam suatu negara hukum dan bagaimana cara penegak hukum itu menghadapi pelanggar-pelanggar hukum adalah test-case yang menentukan kemampuan petugas bersangkutan.
Oleh karena itu, menghadapi tersangka secara matang memberikan peluang bagi pemeriksa untuk membentuk kemampuannya, menghadapi tersangka tanpa keragu-raguan, dengan cara mematangkan persoalan lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan. Dengan demikian maka pemeriksa dapat merencanakan pertanyaa-pertanyaan yang terarah bahkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sudah dapat dipastikan oleh pemeriksa. Lain daripada jawaban yang direncenakan itu dapat dinyatakan sebagai jawaban yang tidak benar.

Kemampuan pemeriksa untuk menguasai seluruh persoalan dapat mengejutkan tersangka dan sikap pemeriksa sedemikian itu telah cukup untuk memaksa tersangka berbicara benar walaupun tidak menggunakan pemeriksaan dengan kekerasan fisik. Misalkan tersangka telah membunuh temannya bernama Talib. Tiga tahun sebelum terjadi pembunuhan itu, keduanya telah sepakat untuk membentuk sebuah perusahaan perdagangan. Keadaan berkembang sedemikian rupa, sehingga kedua orang itu terlibat dalam perdagangan gelap. Sering bertengkar oleh akrena pembagian keuntungan yang tidak menyenangkan.

Pemeriksa telah mempelajari seluruh latar belakang dan jalannya peristiwa pidana yaitu pembunuhan atas diri Talib. Pemeriksa bertanya : “Hasan, berapa lamakah engkau telah mengadakan perhubungan dengan Talib?”.

Perhatikanlah bahwa pertanyaan itu bukanlah demikian “Hasan kenalkah engkau kepada Talib?”. Jika pertanyaan berbunyi sedemikian ini, walaupun memang dapat juga dipergunakan, namun tekanan psychologis terhadap tersangka mempunyai pengaruh yang berbeda. Pada pertanyaan kedua ini dapat mengarah pada usaha untuk membohongi pemeriksa dan telah kita bicarakan semula, bahwa sekali tersangka membohong, bahkan ia akan mengalami kesulitan untuk keluar dari kebohongan itu.

Bilamana tersangka mendengar bunyi pertanyaan pertama, “berapa lama”, “hubungan dagang”, “dengan Talib” adalah kata-kata yang memberikan tanggapan kepada tersangka, bahwa pemeriksa menguasai keadaan.
Pemeriksa yang menguasai seluruh persoalan, tingkah laku yang dilakukannya akan dipandang oleh tersangka sebagai orang yang penuh wibawa. Kewibawaan tidak perlu dicari-cari atau dibuat-buat, tidak perlu dengan menggertak tersangka, tapi sebaliknya, dengan menunjukkan kesanggupan, kemampuan dan percaya diri sendiri, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang langsung mengenai rongga jiwa tersangka.

Kita kembali pada contoh pembunuhan si Talib itu, tersangka menjawab : “Ya, sudah agak lama juga”, ialah jawaban yang mungkin merupakan ujian apakah benar pemeriksa mengetahui dan menguasai seluruh persoalan. Maka pemeriksa dapat memajukan kata-kata segestip sebagai berikut : “Ah Hasan, bukankah kalian telah membentuk usaha bersama pada 3 tahun yang lalu, dengan akte notaries…………… dan pernah terjadi pertengkaran pembagian keuntungan pada bulan………………………… tahun………………, kemudian pertengkaran hebat terjadi lagi, pada tanggal…………tahun………… di depan orang bernama…………………… bertempat di…………………… dan sebagainya”.

Keterangan sugestip demikian itu menunjukan kepada tersangka bahwa pertanyaan hanya dikemukakan sekedar untuk memperoleh kepastian apakah tersangka akan memberikan jawaban secara jujur atau tidak, oleh karena toh pemeriksa telah menguasai seluruh persoalan. Pemeriksa dapat mengemukakan pula beberapa hal tertentu yang menyangkut terjadinya peristiwa pidana dengan catatan bahwa jangan seluruhya dijelaskan mendetail sebagimana telah kita kemukakan pada pasal 4 ad. B

Jika hasil sesuai dengan Tanya jawab, membuat tersangka mengakui bahwa ia berada di tempat terjadinya peristiwa pidana, tetapi belum juga mengakui apakah ia yang melakukan pembunuhan, maka pertanyaan yang dianjurkan adalah : “Berapa lamakah engkau bersama Talib pada malam itu ?” pertanyaan demikian itu menurut Inbau cs. Lebih baik daripada pertanyaan berbentuk : “Apakah engkau bersama-sama dengan si korban pada malam itu?”

Pertanyaan pertama lebih memungkinkan akan ada jawaban yang mengarah pada kebenaran, sedang pertanyaan kedua memungkinkan mengarah ke penyangkalan.

d. Tunjukan beberapa bukti 

Inbau cs mengemukakan bahwa orang yang telah melakukan kesalahan, akan berusaha  bilamana polisi akan memperoleh bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk menuduhnya. Sebaliknya, orang yak tak bersalah tak perlu menutupi jejaknya dan karena itu ia tidak perlu gelisahmenghadapi penyelidikan.
Maka pertanyaan dapat dikemukakan sebagai berikut :
‘Alasan apakah yang dapat dikemukakan berhubung dengan terdapatnya bekas darah pada pakaianmu yang setelah dianalisa oleh laboratorium, ternyata bahwa tetesan darah itu adalah sama dengan jenis darah si korban?”
“Alasan apakah yang dapat kau terangkan, berhubung dengan terdapatnyasidik jarimu pada botol bir di rumah korban?”
“mengapa beberapa benda milikmu terdapat di tempat di mana terjadi kehilangan uang?”  


Dalam hubungan dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kata Inbau cs. maka seorang yang bersalah biasanya akan memberikan penjelasan yang menyangkut peristiwa itu, atu mungkin pula bahwa tersangka akan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut mengenai hal yang ditanyakan oleh pemeriksa kepadanya. Seorang yang tidak bersalah akan memberikan jawaban yang tegas berkenaan dengan hal yang tidak dilakukannya.

e. Tanyakan apakah tersangka pernah memikirkan sebelumnya melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
Pernah memikirkan sebelum melakukan sesuatu tindak pidana akan memberi petunjuk tentang kejahatan yang direncanakan lebih dulu. Maka pertanyaan ke arah itu bukan saja akan menyingkapkan tentang pelaksanaan sesuatu tindak pidana bahkan yang direncanakan lebih dahulu atau sekurang-kurangnya menunjukkan bahwa perbuatan itu telah dilakukan dengan sengaja. Hal sedemikian itu perlu untuk membedakan dengan “episodeic criminal” ialah mereka yang melakukan kejahatan sebagai akibat tekanan emosi yang hebat, tekanan mana terjadi dengan tiba-tiba dan peristiwa pidana dilakukan sebagai tindakan yang tidak dipikirkan lebih dahulu.

f. Pengakuan sekedar mengikuti kehendak pemeriksa.
Dari sekian banyak reaksi tersangka, pemeriksa akan menjumpai pula golongan yang memberikan reaksinya :”baiklah, saya akan mengakui sesuai kehendak Bapak, tetapi sebenarnya saya tidak melakukannya”.

Reaksi yang demikian itu dapat dibagi atas dua kemungkinan pertama, kemungkinan bahwa tersangka memang bersalah, tak mungkin memberikan penyangkalan, tetapi hendak menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemungkinan kedua adalah, bahwa pemeriksa telah melakukan pemeriksaan dengan menggunakan kekuatan physic yang tak mampu diderita oleh tersangka.

g. Sistim 6 W

Kita sudahi pasal ini dengan menggunakan sistim 6 W yang lazim dipergunakan sebagai pegangan dalam melakukan sesuatu pemeriksaan. Sistim 6 W itu disebut demikian untuk mudh mengingatnya dan di dalam tiap kata terdapat huruf W. Keenam kata yang kita maksudkan itu adalah dalam bahasa Inggris, yakni : who, what, where when, how and why.  Tentulah jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi : siapa, dimana, bilamana, bagaimana dan mengapa.

g.1. Siapa (who)
Di dalam pertanyaan pertama yang perlu diteliti oleh pemeriksa adalah hal-hal yang menyangkut siapakah yang melaporkan peristiwa pidana itu; atau siapakah yang pertama-tama mengetahui terjadinya peristiwa itu; siapakah yang telah menjadi korban peristiwa; siapakah yang telah melakukannya; siapakah yang disangka telah melakukan; siapakah yang ikut terlibat; siapakah yang diharapkan dapat menambah keterangan selain bahan-bahan yang telah ada; cobalah tambahkan pertanyaan-pertanyaan selebihnya dalam gagasan “who” ini.  

g.2. Apa (what)
Di dalam daftar pertanyaan berikut ini, pemeriksa perlu meneliti hal-hal sebagai berikut, apakah yang telah terjadi, bukti-bukti apa yang dapat dipergunakan, jenis kejahatan apakah yang terjadi, alat-alat apakah yang dapat dipergunakan, senjata apakah yang dipergunakan, endaraan apa yang dapat dipergunakan, tindakan apa yang harus dilakukan oleh petugas hukum, tindakan apakah lagi yang harus dilakukan.
Pembaca dapat menambahkan lagi pertanyaan selanjutnya mengenai “what”

 g.3. Di mana (Where)
Setelah siapa dan apa, maka tibalah pada daftar kita yang ketiga, ialah di mana. Maka dengan ini pemeriksa akan melakukan penelitian atas hal-hal mengenai, di manakah tempat kejadian perkara, ketika terjadinya peristiwa itu, yang mengadu atau yang menjadi korban berada di mana,di mana pula beradanya saksi ketika menyaksikan peristiwa itu; dimanakah terletaknya alat-alat yang mempunyai nilai pembuktian; dimanakah alat-alat dan senjata itu berada ketika pemeriksaan sedang dilakukan; dimanakah letaknya barang curian disimpan; dimanakah biasanya tersangka pegi, dimanakah dapat diperoleh tambahan keterangan di manakah pernah terjadi suatu peristiwa yang sejenis. Tambahkanlah pertanyaan selanjutnya mengenai unsur “where” ini.

g.4. Kapan (when)
Kapankah peristiwa pidana itu terjadi; kapankah peristiwa itu diketahui; kapankah peristiwa itu dilaporkan kepada yang berwajib; kapankah polisi tiba di tempat kejadian; kapankah tersangka dicurigai berada di tempat kejadian; perkara; kapankah terjadi di wilayah itu suatu peristiwa yang sejenis; kapankah saksi-saksi dapat ditanyai selanjutnya; kapankah bukti-bukti dapat diperoleh seluruhnya; kapankah diperkirakan akan terjadi lagi peristiwa yang sama; Apalagi yang dapat pembaca tambahkan pada daftar unsur-unsur “when” ini.

g.5. Bagaimana (how)
Kita tiba sekarang pda sejumlah pertanyaan-pertanyaan a.l : Bagaimana peristiwa itu terjadi; bagaimana tersangka memasuki tempat peristiwa; bagaimana caranya ke luar dari tempat itu; bagaimana peristiwa itu diketahui; bagaimana cara menggunakan alat-alat bukti; berapa lamakah pelaksanaannya; berapa banyakkah orang yang terlibat dalam peristiwa itu; bagaimanakah membuktikannya; bagaimanakah tersangka telah menggunakan barang-barang yang diperolehnya dari peristiwa itu; bagaimanakah pelaksanaan rencana yang dilakukan oleh tersangka dalam arti berhasil atau kurang berhasil atau sama sekali tidak cocok dengan rencana; berapa banyakkah peristiwa sejenis yang terjadi di wilayah itu;
Apalagi yang dapat pembaca tambahkan pada daftar unsue “How” ini.

g.6. Mengapa (why)
Bentuk keenam dari sistimatik “6 W” ini adalah mengemukakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut : mengapa peristiwa itu dilakukan oleh tersangka; mengapa dia menggunakan metode tertentu dalam pelaksanaannya; mengapa justru seorang tertentu yang dijadikan korban dalam peristiwa itu; mengapa pula suatu waktu atau jam tertentu telah dipergunakan untuk pelaksanaan; mengapa hanya benda-benda tertentu saja yang diambil dan mengapa yang lain dibiarkan; mengapa pula tersangka telah menggunakan alat-alat atau senjata khusus dalam pelaksanaannya; mengapa laporan peristiwa itu terelambat atau tidak tepat pada waktunya; pertanyaan apa lagikah yang dapat pembaca pergunakan untuk melengkapi unsur “why” ini.

Perlu pula dikemukakan di sini bahwa maksud yang tercantum di dalam sistim “sixs-W” ini dapat pembaca olah selengkapnya. Dari seluruh pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam sistim ini, kita dapat menyusun buku tebal jika kita bermaksud hendak menjelaskan secara mendetail.
Kiranya pembaca sendiri, khususnya para penegak hukum, dapat mengambil manfaat dari pertanyaan-pertanyaanyang dipergunakan itu.


BAB IV
INVESTIGASI KASUS KORUPSI

I. PENGANTAR

Upaya pemberantasan korupsi, tingkat keberhasilannya di samping ditentukan oleh berapa besarnya keterlibatan masyarakat, juga sangat ditentukan oleh peran dari institusi negara yang terkait seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian, Aparat Pemeriksaan Intern Pemerintah (BPKP, Inspektorat Jenderal Departemen) dan Badan Pemeriksa Keuangan. Selain secara institusional didukung, satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah adanya ketentuan perundang-undangan yang memberikan tempat atau posisi bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan dengan harapan akan dapat memberikan informasi dan data yang berguna bagi seluruh institusi terkait untuk menindaklanjutinya.
Jika ketentuan ini tidak ada, rasanya keterlibatan masyara-kat saja tidak cukup. Praktek korupsi di Indonesia yang merajalela sekarang ini, tidak bisa tidak upaya pemberantasannya harus melibatkan segala komponen yang ada. Bila hal ini hanya diserahkan kepada aparat (Kejaksaan dan Kepolisian) sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan korupsi, maka hasilnya akan mengecewakan masyarakat. Mengapa ini terjadi? Hal ini tidak terlepas,dua lembaga tersebut menjadi PENDAHULUAN Gerakan reformasi menginginkan terlaksananya demokratisasi, good governance dan desentralisasi. Sentralisasi kekuasaan dan kesenjangan sosial yang lebar dalam struktur masyarakat turut menyuburkan hubungan patron-klien yang memberikan kontribusi besar bagi tumbuh kembangnya budaya korupsi di masyarakat. Hubungan patron-klien ini memberikan keleluasaan kepada segelintir orang (elit politik dan kroni bisnisnya) untuk mengakses dan mengekploitasi sumber daya alam dan keuangan negara untuk  kepentingan kelompoknya. bagian dari korupsi itu sendiri. Upaya pemberantasan korupsi bisa berhasil  maksimal bila dua lembaga tersebut sudah bisa bersih dari korupsi.Masalahnya sekarang, upaya sterilisasi dua lembagatersebutmasihberjalanditempat.Dengan demikian upaya pemberantasan korupsi juga tidak banyak bisa diharapkan hasilnya dari dua lembaga tersebut. Kondisi demikian, suka atau tidak suka, pemberantasan korupsi yang mengedepankan peran dua lembaga tersebut, hasilnya hanya akan mengecewakanmasyarakat.Untukitu,keterlibatan aktif Badan Pemeriksa Keuangan menjadi penting dan signifikan untuk menentukan keberhasilan dalam pemberantasan korupsi. Hal ini ternyata sudah dapat dibaca oleh pengambil kebijakan di BPK untuk menjadikan momentum kepercayaan dari berbagai pihak dengan membuat Kesepakatan bersama antara Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 62/S/I-III/6/2000 tentang Tindakan Hukum KEP-129/J.A/06/2000.

Kasus yang diduga sebagai Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme tanggal 19 Juni 2000.  Kesepakatan ini merupakan wujud peran aktif BPK untuk melakukan terobosan dalam mengungkap berbagai penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan oleh Aparatur Negara yang mengakibatkan kerugian negara. Namun untuk melakukan investigasi bukan semudah membalikkan tangan. Keinginan BPK pada level pengambil kebijakan harus diikuti dengan kesiapan setiap investigatornya dalam melakukan Audit Investigasi untuk membongkar kasus korupsi. Tanggung jawab seorang investigator dalam melakukan audit jika menemukan indikasi adanya tindak pidana korupsi (TPK), adalah segera melakukan upaya awal yang bersifat antisipatif yaitu men”secure” kondisi yang ada sehingga dapat ditindaklanjuti dengan audit investigasi. Temuan yang berindikasiTPKtersebut harus dievaluasi dan diuji terlebih dahulu sebelum ditindaklanjuti untuk dilakukan audit investigasi. Bagi investigator yang selanjutnya ditugaskan untuk melakukan audit investigasi atas kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi harus memiliki pemahaman yang baik mengenai metode audit investigasi. Selain mengetahui metode audit investigasi, juga integritas moral yang tinggi merupakan hal lain yang harus dipunyai dan terus menerus dijaga serta ditingkatkan. Dalam tulisan ini, penulis hanya menguraikan secara singkat metode investigasi yang bias dipergunakan oleh investigator BPK. Bahan-bahan dalam tulisan ini diambil dari buku pedomen IndependentCommisionAgainstCorruptionHongkong, Auditing for Internal Fraud (Association of Certified Fraud Examiners), Standar Pemeriksaan BPKP dan beberapa sumber lain yang relevan. 

II. PERSIAPAN INVESTIGASI 

Investigasi biasanya dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri anggota yang memiliki berbagai keahlian. Persiapan yang baik merupakan factor penting untuk mengukur berhasil atau tidaknya pelaksanaan investigasi. Sebab dari sini sudah bisa diketahui apakah investigator cukup menguasai permasalahan atau tidak. Dalam tahap ini investigator menyiapkan berkas-berkas sebagai bahan pembuktian dan mempersiapkan rencana investigasi. Berkas ini berisi semua bahan tentang kasus yang akan diinvestigasi. Sebaiknya berkas tersebut disusun secara kronologis menurut urutan waktu kejadian dan tambahan informasi. Pengorganisasian dan pemeliharaan informasi yang baik dalam sistem komputerisasi akan membantu investigator untuk membuat perencanaan dan pengaturan investigasi dari hari ke hari. Investigator harus menjaga betul berkas-berkas dokumen dan bukti karena akan sangat dibutuhkan saat mengkonversi bukti audit menjadi bukti hukum. Penyusunan berkas investigasi itu penting dalam keseluruhan investigasi. Tidak hanya akan membantu investigator dalam melihat mata rantai dan hubungan antara informasi dan menjaga agar investigasi yang dilakukan tetap pada jalannya, tapi juga akan mempermudah dalam membuat laporan akhir dan menyiapkan berkas bukti menjadi lebih cepat dan mudah. Perencanaan Investigasi Sebelum investigator melaksanakan investigasi, terlebih dahulu ia harus membuat perencanaan investigasi. Perencanaan investigasi yang baik akan dapat membantu investigator untuk mengorganisasikan jalannya investigasi, melakukan pengawasan kepada anggota tim, serta mempermudah pembuatan laporan investigasi. Pada saat investigator melaksanakan investigasi dapat saja ditemukan data-data yang bertolak belakang dengan data-data awal. Kasussemacam ini sering terjadi, menghadapi suatu perkembangan yang berbeda selama investigasi berlangsung, investigatorjugaharusmemperhatikanpokokpermasalahan yang berkembang sesuai dengan sumber kejadian. Topik yang penting dalam Perencanaan Investigasi meliputi:
1. Gambaran permasalahan yang akurat.
2. Objektivitas investigasi.
3. Ruang lingkup, objektif dan strategi investigasi yang akan digunakan.
4. Deskripsi investigasi awal yang rinci.
5. Batasan atau perencanaan waktu.

a. Gambaran dari kasus yang ditangani

Gambaran kasus harus dibuat terlebih dahulu, sebelum investigator melaksanakan tugasnya. Gambaran kasus diperlukan agar investigator pada saat menjalankan tugasnya sudah mempunyai pedoman yang pasti bila yang diinvestigasi ini benar-benar kasus korupsi. Biasanya, laporan masyarakat, masih mencampuradukan antara perkara pidana umum dengan pidana khusus (korupsi). Dalam membuat gambaran kasus, identifikasikan elemen-elemen yang menyertainya agar permasalahan bisa diketahui secara jelas. Sering terjadi, setelah investigator melaksanakan tugasnya, ternyata kasus yang diinvestigasi hanya tidak mengandung unsur korupsi, tetapi hanya mengandung pelanggaran prosedural. Bila terjadi demikian,ataukesimpulanyang mengarahdemikian, periksa sekali lagi elemen-elemen tindak pidana korupsi yang menyertai kasus tersebut.

b. Objektivitas Investigasi

Dalam melaksanakan investigasai, investigator harus berlaku objektif. Dugaan-dugaan awal yang dibuat harus berdasarkan bukti-bukti yang ada. Jangan sampai dugaan tersebut dibuat tanpa dukungan bukti yang kuat atau karena factor kedekatan dengan pihak saksi. Objektivitas ini diperlukan untuk:
•  Mengidentifikasi kasus, jika belum mengetahui dugaan adanya penyelewengan.
•  Mengidentifikasi bukti yang dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan.
•  Mengecek bukti yang ada dengan bukti lainnya untuk dapat dibuktikan kebenarannya.
•  Mengumpulkan semua lembar bukti yang dapat diterima secara legal untuk bahan pembuktian.

c. Ruang lingkup, tujuan dan Strategi Investigasi yang akan Digunakan.

1. Pada beberapa investigasi diperlukan batasanbatasan ruang lingkupnya, seperti: adanya dugaan terhadap seseorang yang telah melakukan korupsi, yang peristiwanya diperkirakan terjadi enam tahun yang lalu. Untuk mengumpulkan seluruh dokumen dan saksi tentunya akan memakan biaya yang sangat besar dan juga waktu yang cukup lama. Untuk itu, diperlukan batasan waktu peristiwa ketika terjadi sampai pada saat awal investigasi. Berdasarkan kelaziman, batas interval waktu yang baik adalah dua belas bulan setelah peristiwa terjadi. 
2. Dalam membuat suatu perencanaan investigasi, bias dibuat atas dasar informasi yang tersedia. Contoh, ketika Investigator mempunyai alasan yang kuat dan akurat serta yakin tentang pelanggaran yang dilakukan oleh tersangka, apakah masih ada yang perlu diperbaiki dengan menambahkan wawancara dengan tersangka atau tidak ? Keputusan Investigator akan berpengaruh terhadap rencana investigasi.
3. Jika investigator memutuskan untuk menambahkan informasi atau bukti, investigator harus mengidentifikasi saksi untuk diwawancara ulang sepanjang memungkinkan. Dalam beberapa kasus, investigator harusmemperhatikanurutansaksiuntukkeperluan wawancara dengan waktu yang bersamaan (untuk hal ini diperlukan keterlibatan investigator lain) atau saksi diwawancara secara bergantian untuk mengurangi atau mencegah terdapatnya kolusi antara saksi. 
4. Sebelum melakukan wawancara, investigator harus mempersiapkan dan mempelajari dokumen atau bukti lainnya untuk memperoleh saksi-saksi ahli. Maksudnya agar mendapat opini saksi-saksi ahli untuk bukti-bukti atau aturan yang berlaku. 
Contohnya, opini seorang dokter yang berpengalaman tentang kasus tertentu, opini ahli teknik, opini arsitektur, dan lain-lain. 
6. Untuk mempermudah tugas dan analisa dapat digunakan matrik sebagai acuan kerja (dalam bentuk rencana) dan membuat urutan prioritas untuk investigasi mereka.


d. Investigasi Awal yang Detail
Rencana investigasi dibuat secara ringkas dan detail, mencakup tahap pelaksanaan investigasi dari awal sampai akhir investigasi. . Sumber informasi harus tercantum dalam perencanaan sehingga mensistematiskan pencarian data maupun saksi. Bila informasi cocok maka harus dilakukan penilaian yang benar-benar akurat.
Bisa dilakukan kerjasama dengan investigator lain, untuk mengkonfirmasikan data-data yang dimiliki. Keberadaan kerjasama ini harus optimal dan terbuka. Ketelitian harus benar demi keakuratan dan objektivitas investigasi awal karena informasi yang akurat tersebut menjadi dasar acuan untuk investigasi selanjutnya.

e. Batasan atau Perencanaan Waktu
Investigasi yang baik harus dirancang batasan waktunya. Sampai sejauh memungkinkan, rencana yang dibuat harus meliputi rentang waktu sebuah pelanggaran, untuk melengkapi tugas-tugas yang lebih spesifik. Dengan melakukan hal ini, dapat membantu Investigator untuk membuat perencanaan yang masuk akal dari sebuah investigasi, seperti membuat dan menentukan dugaan awal yang wajar.
Hal yang sukar diperkirakan adalah seberapa lama investigasi tersebut memakan waktu.
Contoh : bila investigator mewawancara lima ornag saksi dan kemudian terdapat pernyataan saksi yang harus dikonfirmasikan dengan saksi lainnya. Investigator boleh mencocokkan perkembangan informasi yangd apat mengidentifikasikan seberapa jauh penyimpangan atau pengungkapan kejahatan dalam investigasi Investigator. Jika hal tersebut terjadi, maka investigator dapat memutuskan bahwa perkembangan tersebut penting dan menjadi bagian yang baru dari penilaian dan investigasi Investigator. Bila terdapat identifikasi bahwa perkembangannya berbeda dari dugaan awal maka cobalah untuk berkonsentrasi pada fokus yang baru dan jangan jengah.

III. MENGUMPULKAN DAN MENANGANI BUKTI
Hal yang penting dalam investigasi adalah mengumpulkan, mengevaluasi, dan mengamankan informasi beserta bukti tentang hal-hal yang sedang diinvestigasi.

1. Mengumpulkan Bukti.
Investigator harus dapat memperoleh dokumen, seperti berkas atau faktur dari pemberi          informasi  atau dari staf lainnya berdasarkan wilayah atau bagian yang terlibat. Investigasi yang dilakukan oleh organsisasi kemasyrakatan tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penangkapan atau menyita milik pribadi tersangka, misalnya rumah pribadi tersangka.
Penangkapan dan penyitaan dilakukan oleh kepolisian atau Kejaksaan yang mempunyai   wewenang untuk itu.  Dalam batasan tertentu, investigator dapat melakukan “penggeledahan” di tempat kerja tersangka dengan tujuan mendapatkan dokumen atau hal lain yang mungkin sesuai dengan investigasi.
Bila memungkinkan untuk membawa kamera video, investigator dapat mempergunakannya seperti untuk merekam lokasi atau bukti yang sesuai. Cara lain adalah dengan memfoto bukti sesuai dengan posisi saat ditemukan. Untuk menghindari penyangkalan oleh tersangka, disarankan pada saat perekaman dicantumkan tanggal dan waktunya serta lokasi dimana bukti ditemukan. Namun, saksi yang diwawancari diperbolehkan untuk melengkapi pernyataannya di kemudian hari. Investigator juga dapat mengumpulkan informasi dari para saksi ahli.
Contoh, seorang dokter dapat membuktikan perkara secara medis, dan ahli komputer dapat membantu dengan kecanggihan teknologi.

2. Menangani Bukti.
Semua bukti harus disimpan dalam tempat yang aman untuk menghindari perusakan,  perubahan dan pencurian oleh saksi atau tersangka. Keamanan dari bukti perkara ini sangat penting, untuk itu perlu dikontrol terus menerus. Investigator bertanggungjawab terhadap penerimaan barang bukti dan penanganannya serta pastikan keutuhan barang bukti tersebut. Bila investigator tidak mempercayai keaslian dokumen atau barang bukti dan beberapa proses serta orang-orang yang terlibat, maka dokumen atau barang bukti tersebut boleh diabaikan. Barang bukti harus tetap dalam kondisi keasliannya, sampai semuanya diuji di unit forensik.

IV. MELAKUKANWAWANCARA

Tujuan dari wawancara dengan tersangka adalah untuk menemukan dugaan yang akurat atas tersangka dan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk menjawabnya.  Hal ini berhubungan dengan mengambil detail dari dugaan terhadap tersangka  dan mencari reaksi serta meminta tersangka untuk berkomentar tentang masalah yang belum terungkap sepanjang investigasi.
Hati-hati dengan tipe pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan yang bersifat investigasi dapat dilakukan, tapi pertanyaan yang bersifat ambisius, menuduh, atau berbelit jangan dilakukan, sebab dapat membingungkan sehingga tidak dapat dijadikan bukti. 

Cobalah untuk tidak bertanya tentang fakta perselisihan, tanpa memeriksa fakta tersebut terlebih dahulu. 
Contohnya, “Kapan terakhir anda mengemudi tanpa membawa SIM.” Jika tersangka mengaku tidak pernah mengemudi tanpa membawa SIM, maka pertanyaan tersebut menjadi tidak objektif.
Bagaimanapun juga, jika seseorang memilih untuk memberikan pengakuan,maka investigator harus menyelidiki pengakuan tersebut. Seseorang mungkin saja akan mengakui perbuatan salahnya, tapi harus tetap ada pernyataan pembantahan atau detail kesalahannya. Jawaban dari tersangka harus bersifat sukarela dan tersangka  menolak untuk menjawab pertanyaan, segeralah selesaikan pertanyaan secepatnya dan buat catatan dari apa yang dikatakan pada poin itu.

Jangan membuat janji apapun dan janganmenyarankan tersangka, kecuali untuk menjelaskan jawaban mereka. Jika diketahui digunakan tekanan ataupun bujukan agar tersangka memberikan jawaban, maka pengadilan tidak akan menerima sebagian ataupun seluruh hasil wawancara.

Struktur Wawancara

Cara untuk melakukan wawancara tergantung keputusan investigator sendiri. Lagi pula, wawancara pada umumnya dapat berlangsung lebih baik dan lebih terstruktur jika mengikuti alur logika. Bentuk yang biasa digunakan antara lain :
1. Pendahuluan,
Meliputi: waktu, tanggal, lokasi wawancara,detail kehadiran semua orang pada suatu wawancara.
Penjelasan ringkas tentang bagaimana wawancara akan dilakukan. Detail dari tersangka seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat, dan pekerjaan.
2. Ingatkan, bila perlu.
Jika sebelum wawancara atau pada saat wawancara investigator percaya bahwa ada bukti yang cukup untuk membuktikan orang tersebut telah melakukan kejahatan maka investigator harus mengingatkan orang tersebut. Hal itu berarti investigator menyarankan kepada orang tersebut bahwa mereka tidak mesti mengatakan atau melakukan sesuatu. Sebab, apapun yang mereka katakan atau lakukan dapat digunakan sebagai bukti. Pastikan selalu bahwa investigator bertanya pada tersangka apakah mereka mengerti maksud dari pertanyaan tersebut.
3. Sebuah Komponen “Apa Yang Telah Terjadi”
Komponen ini digunakan untuk mengajukan pertanyaan tambahan yang bersifat ingin memperjelas seperti “Apa yang terjadi kemudian?”, “Apa yang terjadi berikutnya?”, “Mengapa melakukan hal tersebut?”, dan seterusnya.
4. Peryataan Yang Spesifik.
Dalam melakukan wawancara, investigator harus membuat tipe pertanyaan yang tidak mengandung dua arti yang dapat disangkal kemudian oleh tersangk
Contoh : 
Teknis dan model wawancara dapat dikembangkan sesuai dengan kasus yang ditangani, karakter orang yang diwawancarai ataupun kondisi situasional lainnya sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya wawancara. Untuk itu, jam terbang pewawancara memegang peranan yang cukup penting dalam pelaksanaan ini.

V. MENYUSUN LAPORAN INVESTIGASI
Investigator harus menyiapkan laporan pada tahap yang berbeda dalam investigasi. Tujuan dari laporan ini adalah untuk mendokumentasikan dan membuat penilaian sementara tentang hal yang sedang diinvestigasi. Dengan begitu, mereka dapat membuat keputusan tentang kelanjutan dari arah investigasi.
Beberapa dokumen yang dapat ditulis dalam bentuk laporan adalah :

1. Laporan Penilaian
Laporan ini biasanya disiapkan setelah investigator membuat penilaian pendahuluan dari pengaduan dan melengkapi beberapa inevstigasi awal. Laporan ini biasanya ditulis untuk investigator senior untuk melegalisasi penilaian dan memutuskan langkah apa yang akan diambil.
2. Rencana Investigasi.
Jika organisasi memutuskan untuk melakukan investigasi alternatif berdasarkan dugaan yang ada, investigator perlu menyiapkan rencana investigasi berdasarkan pada apa yang seharusnya investigator lakukan, sumber-sumber yang dibutuhkan, dan berapa lama perkiraan investigasi yang akan dilakukan. Pada kebanyakan organisasi, untuk mendapat persetujuan terhadap awal/dimulainya investigasi maka dibuat rencana investigasi kepada pimpinan. 

3. Laporan Perkembangan Investigasi
Investigator harus menyediakan laporan secara reguler tentang perkembangan investigasi kepada pimpinan. Pertemuan/diskusi antara investigator dengan pimpinan adalah penting untuk mengkaji mekanisme. Investigator juga dapat memutuskan untuk menyiapkan sebuah laporan jika investigasi tersebut terbukti. Jika terdapat sumber perkara yang dapat memperkuat maka putuskan sebagai sumber alternatif.
4. Laporan Akhir Investigasi.
Pada akhir investigasi, investigator perlu menyiapkan laporan akhir berdasarkan keputusan dari semua investigasi dan rekomendasi investigator. Hal ini untuk mencegah adanya penyelewengan tindakan disiplin, korupsi kerja dan lain-lain.

Laporan investigasi terdiri dari :
I. Permasalahan.
II. Deskripsi Kasus.
III. Kronologi Kasus.
IV. Flow Chart Kasus.
V. Bentuk Penyimpangan Yang Terjadi.
VI. Kesimpulan.
VII. Rekomendasi.

Barang Bukti Yang Bisa Disertakan
Seorang investigator yang juga dapat mempersiapkan barang-barang bukti untuk pengadilan berupa kumpulan bukti-bukti yang bersangkutan dnegan kasus yang dibutuhkan untuk memutuskan tindakan disiplin atau keputusan criminal. Bukti-bukti atau dokumen dapat berupa pernyataan dari saksisaksi, rekaman wawancara, slip setoran/kuitansi atau bukti transfer, foto barang bukti, dan lain-lain.
Berkas asli harus disimpan di tempat yang aman sampai berkas perkaranya disidangkan atau diminta oleh yang berkenaan.

Tidak ada komentar: