PENGERTIAN “BARANG” DALAM PASAL 378 KUH PIDANA
Abstrak Hukum:
• Sejalan dengan perkembangan tehnologi modern dan kebudayaan, pengertian “barang” dalam pasal 378 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana termasuk juga “jasa”.
• Sesuatu yang melekat bersatu pada diri seseorang, dalam hal ini yang dimiliki saksi K. Br. S., juga termasuk dalam pengertian “barang”, karena bukanlah ia telah menyerahkan kehormatannya, karena janji, bila diterima senggama akan dikawini terdakwa.
• Pengadilan Tinggi Medan: No.144/Pid./1983/PT. Mdn. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No. 7 April 1986; Hal. 33).
PUTUSAN PERKARA PIDANA BATAL DEMI HUKUM
Melanggar Ketentuan Hukum Acara Pidana.
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri:
• Terdakwa dalam persidangan telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum melakukan perbuatan pidana:
Primair: pasal 378 KUHPidana.
Subsidiair: pasal 372 KUHPidana.
• Hakim Pertama dalam putusannya telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana pada dakwaan primair: Penipuan, ex pasal 378 KUHPidana dan kepada terdakwa diajtuhi pidana penjara selama dua tahun.
Pengadilan Tinggi di Bandung:
• Dalam putusannya atas permohonan banding yang diajukan oleh terhukum, telah merobah/memperbaiki putusan Hakim Pertama sekedar hanya mengenai hukuman pidananya yaitu terhadap terdakwa dipidana penjara selama satu tahun. Mengenai kwalifikasi kejahatannya adalah sependapat dengan Hakim Pertama yaitu penipuan (dakwaan Primair).
Mahkamah Agung RI:
• Dalam putusan kasasi atas Permohonan Jaksa Penuntut Umum, Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut adalah batal demi hukum. Selanjutnya Hakim Kasasi memeriksa dan mengadili sendiri kasus ini dengan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan bahwa kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
• Putusan Mahkamah ini didasari pertimbangan hukum yang dapat disarikan sebagai berikut:
• Bahwa Pengadilan Tinggi dalam memberikan putusannya atas kasus ini telah salah menerapkan hukum, yaitu putusannya tersebut tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 197 (1) huruf C dan huruf F dari Hukum Acara Pidana (KUHAP).
• Bahwa Pengadilan Tinggi tidak mencantumkan dalam putusannya:
Dakwaan sebagaimana yang terdapat dalam Surat Dakewaan.
Pasal-pasal Undang-Undang yang dilanggar oleh Terdakwa.
• Bahwwa dengan tidak dipenuhi Ketentuan Undang-Undang ini, maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa putusan Pengadilan Tinggi ini adalah batal demi hukum.
• Bahwa akan tetapi KUHAP tidak mengatur atau tidak menentukan lebih lanjut apakah dengan batalnya putusan tersebut, Hakim Kasasi masih berwenang untuk mengadili lagi kasus pidana ini.
• Bahwa atas masalah yuridis ini, Mahkamah Agung berpendirian bahwa “yang batal demi hukum” tersebut hanyalah putusannya saja, sedang “Berita Acara Pemeriksaan Sidang”, secara keseluruhannya masih tetap berlaku.
• Bahwa dengan pendirian ini, maka Mahkamah Agung menyatakan dirinya berwenang untuk memeriksa dan mengadili lagi kasus ini.
• Bahwa dari hasil pemeriksaan persidangan, Mahkamah Agung tidak memperoleh bukti yang sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan delict sebagaimana yang didakwakan kepadanya, baik Dakwaan Primair maupun pada dakwaan Subsidiair. Karena itu terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
• Pengadilan Negeri: No. 33/Pid/B/1986, tanggal 24 Juli 1986.
• Pengadilan Tinggi Bandung: No. 227/Pid/B/1986, tanggal 1 Oktober 1986.
• Mahkamah Agung RI: No. 402 K/Pid/1987, tanggal 4 April 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.25 Oktober 1987; hal. 52).
KASUS TILAAR vs JURGEN KUNZEL
Sengketa Pemilikan Rumah Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing Ditinjau dari Segi Hukum Pidana.
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri
• Dalam persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Terdakwa Ny. Eugene Tilaar Mangkom, oleh Jaksa Penuntut Umum, telah didakwa melakukan perbuatan pidana dengan materi kelakuan yang pada pokoknya sebagai berikut:
• Dakwaan primair, ex pasal 378 KUH Pidana
Terdakwa bersama dengan anaknya, Nola Tilaar, di Jerman telah menyarankan kepada saksi Jurgen Kunzel, dari pada uang disimpan di Bank, lebih baik dibelikan rumah di Jakarta Indonesia. Sesuai dengan anjuran tersebut, Jurgen Kunzel, saksi bersedia membeli rumah di Jakarta dan karena saksi orang asing tidak boleh memiliki rumah/tanah di Indonesia, maka disarankan agar rumah yang akan dibeli itu diatasnamakan Terdakwa. Untuk menyelubungi maksudnya secara tipu muslihat dan rangkaian kata-kata bohong, terdakwa membuat Akta Notaris No. 135/tgl 12 September 1981, isinya berupa pernyataan Terdakwa, bahwa rumah yang akan dibeli adalah miliknya saksi Jurgen Kunzel. Akta ini lalu dikirimkan kepada saksi ke Jerman oleh Terdakwa. Karena Akta Notaris No. 135 itu, lalu menimbulkan kepercayaan dan dapat membujuk saksi Jurgen Kunzel, sehingga saksi mengirimkan uangnya kepada Terdakwa Rp 185 Juta untuk pelunasan pembelian rumah yang dibeli oleh Terdakwa dari pemiliknya. Selanjutnya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan akal tipu muslihat, terdakwa membuat lagi Akta Notaris yang baru pada Notaris yang lain, No. 11/tgl 12 Pebruari 1982 yang isinya Akta Notaris ini adalah: membatalkan Akta Notaris No. 135/tgl 12 September 1981. setelah itu terdakwa lalu menggadaikan rumahnya itu di Jl. Cempakaputih Raya 139 kepada Bank Rama dan mengontrakkan rumah Jl. Cilandak kepada orang asing, semuanya untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain.
• Dakwaan Subsidiair: ex pasal 372 KUH Pidana.
Terdakwa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu barang sebagian atau seluruhnya termasuk kepunyaan orang lain, dan barang itu ada pada terdakwa bukan karena kejahatan dengan menggunakan cara-cara seperti diuraikan dalam dakwaan primair.
• Dakwaan Lebih Subsidiair, ex pasal 385 KUH Pidana:
Terdakwa dengan maksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hak telah menjual, menukarkan atau membebani kredit Bank sesuatu hak tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, sedang diketahuinya ada orang lain yang berhak atau turut berhak atas bangunan tersebut, yaitu dilakukan dengan cara-cara seperti dalam dakwaan primair dan selanjutnya rumah Jl. Cempakaputih Raya digadaikan kepada Bank Rama. Dan rumah Jl. Cilandank dikontrakkan kepada orang asing.
• Jaksa Penuntut Umum dalam requisitoirnya, menuntut agar terdakwa dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwaan primair: penipuan ex pasal 378 KUH Pidana dan agar terdakwa dijatuhi pidana satu tahun penjara. Mengenai barang bukti berupa dua buah rumah Jaksa memohon agar Hakim mengembalikannya kepada saksi Jurgen Kunzel sejauh hal tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada, khususnya Undang-Undang No.5/1960.
• Majelis Hakim Pertama, setelah mendengar semua saksi yang diajukan Jaksa, mendengar keterangan terdakwa serta memeriksa surat-surat bukti, berpendirian bahwa perbuatan terdakwa benar terbukti, akan tetapi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut, bukan merupakan suatu perbuatan pidana (delict) seperti yang tersebut dalam surat dakwaan Jaksa.
• Bahwa oleh karena perbutan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, maka unsur-unsur dakwaan yang didakwakan baik dalam dakwaan primair – Subsidiair – lebih Subsidiair, tidak perlu dibahas lebih lanjut.
• Bahwa dengan pendirian Majelis Hakim tersebut, maka terdakwa menurut hukum harus: dilepas dari segala tuntutan hukum.
• Bahwa mengenai barang bukti yang telah disita berupa dua buah rumah beserta isinya, harus diserahkan kembali kepada terdakwa.
• Atas putusan Hakim Pertama tersebut, Pihak Jaksa telah mengajukan pemeriksaan banding pada Mahkamah Agung RI, 30 September 1983, sebagai pemohon kasasi partai.
Mahkamah Agung RI:
• Dalam putusan atas kasus itu, Majelis Mahkamah Agung telah membatalkan putusan judex facti Pengadilan Negeri, karena dinilainya telah salah dalam menerapkan hukum terhadap kasus ini. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini dengan pertimbangan hukum yang intinya disarikan sebagai berikut:
• Bahwa Pengadilan Negeri dalam Pertimbangan putusannya telah menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti telah membujuk orang, saksi …… dst ……… dst. Dari pertimbangan judex facti ini berarti salah satu unsur perbuatan pidana yang didakwakan dalam dakwaan primair tidak terbukti, sehingga terdakwa seharusnya dibebaskan dari dakwaan primair, dan bukan dilepas dari segala tuntutan hukum.
• Bahwa judex facti telah keliru dalam pertimbagannya yang menyebutkan: karena perbuatan yang didakwakan pada Dakwaan Primair bukan merupakan perbuatan Pidana, maka unsur-unsur dalam dakwaan subsidiair – Lebih subsidiair – menurut judex facti, tidak perlu dipertimbangkan lagi. Pertimbangan judex facti yang demikian itu berarti bahwa dakwaan “subsidiair” dan “dakwaan lebih subsidiair” masih belum dipertimbangkan oleh judex facti.
• Bahwa Mahkamah Agung dapat membenarkan pertimbangan hukum dari judex facti yang menyatakan bahwa terdakwa tidak pernah membujuk saksi Jurgen Kunzel dengan – nama palsu , - keadaan palsu – kata-kata bohong – tipu muslihat - ….. dst, sehingga saksi lalu tergerak hatinya untuk menyerahkan rumah tersebut kepada terdakwa. Dengan alasan ini unsur perbuatan pidana dalam dakwaan primair tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair.
• Bahwa oleh karena dakwaan primair tidak terbukti, maka Mahkamah Agung lalu mempertimbangkan dakwaan Subsidiair, ex pasal 372 KUH Pidana, yang unsur-unsurnya, menurut MARI sebagai berikut:
Kesatu: Dengan sengaja memiliki dengan melawan hukum sesuatu barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Kedua: Barang itu ada ditangannya bukan karena kejahatan.
• Bahwa unsur- unsur Pertama, oleh MARI dipertimbangkan demikian: bahwa berdasar atas keterangan saksi Sutrisno – Saldy Sofyan – dan SuharsonoTjipto (Berita Acara), kedua barang bukti yang dibeli dengan memakai nama terdakwa dimaksudkan untuk dipakai sebagai kantor dan mess dalam rangka usaha bersama antara Sutrisno dengan Jurgen.
• Bahwa uang sisa pelunasan harga rumah adalah uang dikirimkan dari Jerman berasal dari milik saksi Jurgen.
• Bahwa menurut Mahkamah Agung keterangan saksi ini sesuai dengan pernyataan/pengakuan terdakwa yang dituangkan dalam Akta Notaris No.135/12 September 1981.
• Bahwa terdakwa telah mengakui satu rumah dijaminkan pada Bank Rama dan satu rumah lainnya dikontrakkan kepada orang asing.
• Bahwa pernyatan terdakwa dimuka Notaris yang dituangkan dalam Akta Notaris No.135/12 September 1981, mengandung penegasan pula, bahwa pernyataan terdakwa ini tidak dapat dicabut kembali dengan alasan apapun. Dengan isi penegasan yang demikkian ini, MARI berpendirian, bahwa dengan adanya Akta Notaris yang baru, No. 11/tgl 12 Pebruari 1982 yang isinya terdakwa menarik kembali/mencabut kembali pernyataannya yang disebut dalam Akta Notaris yang terdahulu No.135/September 1981, - dengan alasan satu dan lain hal -, menurut Mahkamah Agung, adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
• Bahwa dengan alasan ini, maka unsur Pertama dari pasal 372 KUHPidana dalam dakwaan Subsidiair, dinyatakan telah terbukti.
• Mengenai unsur kedua dipertimbangkan demikian, bahwa atas dasar keterangan para saksi, dua rumah yang dipercayakan dan diatasnamakan pada terdakwa oleh Jurgen, mengingat dia orang asing dan PT. Profunda SA belum didirikan di Indonesia, maka keterangan saksi itu dinilai Mahkamah Agung telah sesuai dengan isi Akta Notaris No. 135. dengan demikian maka unsur kedua pasal 372 KUHP telah dianggap terbukti.
• Bahwa dengan terbuktinya dakwaan subsidiair, ex pasal 372 KUHP, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lagi dakwaan berikutnya.
• Bahwa dengan pertimbangan yang intinya diuraikan di atas, maka Mahkamah Agung berpendirian, bahwa secara sah dan meyakinkan, terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwaan Subsidiair, ex pasal 372 KUHPidana dan terdakwa dijatuhi pidana selama enam bulan penjara dengan ketentuan pidana itu tidak akan dijalani, kecuali kalau kemudian dengan putusan Hakim diperintahkan lain atas alasan bahwa terhukum sebelum waktu percobaan satu tahun berakhir telah bersalah melakukan suatu perbuatan pidana.
• Bahwa mengenai barang bukti yang telah disita kepolisian, berupa dua buah rumah, Mahkamah Agung berpendirian sebagai berikut:
Kedua rumah ini seharusnya diserahkan kepada saksi Jurgen Kunzel, akan tetapi mengingat dia adalah orang asing, yang menurut pasal 21 (1) jo pasal 36 (1) Undang-Undang No.5/1960, orang asing tidak boleh (dilarang) mempunyai hak atas tanah dimana kedua rumah tersebut berdiri, maka menurut Mahkamah Agung penyerahan kedua rumah tersebut yaitu rumah jl. Cempakahputih Raya 139 Jakpus, serta rumah di Jl. Cilandak1/14 Jaksel, adalah dengan cara demikian:
“setelah kedua rumah tersebut dijual menurut harga pasaran, maka uang hasil penjualannya kedua rumah tersebut harus diserahkan kepada saksi Jurgen Kunzel”.
• Bahwa barang bukti yang lain: dua telpon, kursi, a.c. dikembalikan kepada saksi Jurgen Kunzel. Sedang bukti fotocopy surat-surat dilampirkan dalam berkas perkara ini. Dicatat disini.
• Bahwa Januari 1988, Pihak Kejaksaan telah melaksanakan eksekusi berupa mengosongkan rumah tersebut dibantu oleh aparat keamanan dan Nola Tilaar mengadakan reaksi penolakan atas pengosongan rumah tersebut. Meskipun demikian upaya pengosongan rumah dapat terlaksana juga.
• Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 013/1983/Pid.B. tanggal 28 November 1983.
• Mahkamah Agung RI: No.98 K/Pid/1984, tanggal 31 Januari 1985. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 30; Maret 1988; hal. 110).
PROBLEMA JURIDIS “KELAMIN WANITA” DITAFSIRKAN SEBAGAI BARANG
Abstrak Hukum:
Mahkamah Militer:
• Didalam siding Mahkamah Militer 111-18 di Ambon, oleh Oditur Militer, terdakwa telah didakwa melakukan perbuatan pidana dengan materi kelakuan yang intinya sebagai berikut:
Kesatu: ex pasal 378 KUHPidana:
Bahwa bulan Agustus 1985, terdakwa berkenalan dengan NN. Serly, sewaktu terdakwa di RST di Ambon. Perkenalan berlanjut dengan hubungan berpacaran. Terdakwa sering berkunjung ke rumah NN. Serly dan berkenalan pula dengan orang tuanya.
Bahwa suatu saat terdakwa bertugas di Namlea dan dengan surat terdakwa minta agar NN. Serly, datang ke Namlea untuk diajak menghadap komandan dalam rangka izin nikah dari Komandan. NN. Serly datang ke Namlea. Di sini terdakwa dengan bujuk rayu dan akan segera menikahi NN. Serly, terdakwa berhasil membujuk NN. Serly untuk disetubuhi.
Bahwa sejak NN. Serly bersedia disetubuhi terdakwa tersebut, terdakwa tidak pernah mengajak Serly menghadap komandannya untuk izin nikah tersebut. Dan akhirnya NN. Serly melaporkan kejadiannya kepada Komandan terdakwa dengan permohonan untuk menindak terdakwa tersebut, karena merugikan dirinya.
Kedua: ex pasal 263 (2) KUHPidana.
Bahwa sewaktu terdakwa mengajukan lamaran untuk memasuki dinas militer, Secatam Wamil 79/80 di Minpersdam XV Pattimura, ia terdakwa telah mempergunakan ijazah sekolah dasar yang dipalsukan yaitu memakai ijazah isterinya yang isinya diganti menjadi nama terdakwa. Dengan ijazah yang dipalsukan isinya tersebut, terdakwa telah berhasil diterima dan memasuki Secata Milwa di Kodiklatdam XV Pattimura Ambon dan setelah tamat dari pendidikan tersebut, terdakwa telah dilantik menjadi militer dengan pangkat prada sejak 01-01-1980 Nrp. 574703 dengan tugas sebagai anggota militer Yonif 731/Terr. Sampai sekarang ini. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut, Negara dirugikan mengeluarkan biaya pendidikan yang tidak kecil.
• Mahkamah Militer setelah memeriksa kasus ini memberikan pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut:
• Dakwaan kesatu ex pasal 378 KUHPidana: bahwa unsur tipu muslihat dan rangkaian kata-kata bohong sehingga menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu …. Dan seterusnya telah terbukti j.i. terdakwa telah merayu dan berjanji akan menikahi saksi I dan akan menghadap komandan untuk minta izin kawin di Batalyon. Dengan tipu muslihat yang demikian ini, saksi telah menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa. Terdakwa telah memperoleh kenikamatan yang diberikan oleh saksi I – kepuasan sex – persetubuhan.
• Bahwa kemaluan wanita di sini merupakan “suatu barang” karena ia memberikan kenikamatan kepada orang lain – laki-laki. Terdakwa telah memperoleh kenikmatan yang diperoleh dari “barang” milik saksi I NN. Serly tersebut.
• Bahwa karena rayuan serta janji-janji dari terdakwa sehingga saksi percaya kepada terdakwa dan menyerahkan “barangnya” itu kepada terdakwa, sehingga terdakwa memperoleh kenikmatan atas barang tersebut.
• Mengenai dakwaan kedua, ex pasa 263 (2) KUHPidana, Mahkamah Militer telah berpendirian bahwa unsur yang diharuskan dalam pasal ini telah terbukti dengan sah dan meyakinkan.
• Bahwa berdasar atas pertimbangan hukum yang intinya disebutkan tadi, Mahkamah Militer dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana: kesatu penipuan dan kedua: Memalsukan Surat. karena kesalahan ini terdakwa dijatuhi pidana penjara selama enam bulan dan pidana tambahan terdakwa dipecat dari dinas TNI- AD.
Mahkamah Militer Tinggi:
• Hakim Banding dalam memeriksa dan mengadili kasus ini memberikan putusan yang menguatkan putusan Hakim Pertama dengan memperbaiki kwalifikasi tindak pidana yang diberikan oleh Hakim Pertama sehingga berbunyi demikian:
• Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana: - penipuan dan Pemalsuan Surat.
Mahkamah Agung RI:
• Bahwa atas putusan Hakim Banding Mahkamah Militer Tinggi tersebut, Pihak terdakwa mengajukan permohonan pemeriksaan tingkat kasasi, antara lain dengan alasan bahwa Mahkamah Militer Tinggi telah memperluas pengertian ‘barang’ termasuk kelamin wanita, yaitu hilangnya kegadisan dari saksi korban, sedang terdakwa mengetahui saksi korban tidak gadis lagi d.p.l. sudah pernah dipakai orang lain sebelum dipakai terdakwa.
• Bahwa selain alasan tersebut pemohon kasasi juga mengemukakan alasan lain bahwa Mahkamah Militer Tinggi memakai dasar pasal 49 (1) KUHPidana untuk memberikan perlindungan terhadap kehormatan wanita, sedangkan perbuatan tersebut dilakukan atas dasar suka-sama suka.
• Bahwa Majelis Mahkamah Agung setelah memeriksa kasus ini berpendirian bahwa alasan/keberatan pemohon kasasi dapat diterima, karena ternyata judex facti telah salah menerapkan hukum, yaitu memperluas pengertian “barang” termasuk kelamin wanita. Menurut pendapat Majelis Mahkamah Agung ini, baik kelamin wanita maupun kehormatan wanita itu, tidak termasuk dalam pengertian “barang” sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 378 KUHPidana.
• Bahwa dengan pendirian tersebut, maka MA-RI berpendapat bahwa dalam kasus tidak terbukti ada “barang” yang telah diserahkan oleh saksi korban NN.Serly kepada Terdakwa.
• Bahwa mengenai dakwaan kedua ex pasal 263 (2) KUHPidana, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa judex facti telah membuat kesalahan dalam masalah pemberian kwalifikasi tindak pidana atas pasal 263 (2) KUHPidana, karena oleh MA-RI akan diperbaikinya.
• Bahwa berdasar atas pertimbangan di atas, maka MA-RI dalam putusannya telah membatalkan putusan judex facti yang dinilainya sebagai salah dalam menerapkan hukum selanjutnya mengadili sendiri kasus ini dengan amar putusan sebagai berikut:
• Menyatakan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu (ex pasal 378 KUHPidana). Membebaskan terdakwa dari dakwaan ini.
• Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana: “dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan yang dapat mendatangkan kerugian”.
• Menghukum terdakwa dengan hukuman pokok satu tahun penjara ditambah dengan hukuman tambahan: dipecat dari Dinas Militer dengan pencabutan haknya untuk memasuki angkatan bersenjata.
• Perlu ditambahkan disini sebagai informasi, bahwa sebelum terbitnya putusan Mahkamah Agung tersebut, selama ini Badan Peradilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding (baik di Sumatera Utara maupun di Jawa Timur) dalam mengahadapi kasus yang serupa, Hakim menafsirakan pengertian “barang” termasuk kelamin wanita/kehormatan wanita, sehingga pasal 378 KUHPidana selalu diterapkan dalam kasus pria yang ingkar janji setelah berhasil menyetubuhi/merusak kehormatan gadis. Dengan adanya putusan MA-RI ini merupakan suatu isyarat tentang masalah juridis, apakah kelamin wanita itu dapat ditafsirkan sebagai barang dalam kaitannya dengan pasal 378 KUHPidana atau tidak. Meskipun demikian masih perlu ditunggu, apakah putusan Mahkamah Agung dalam kasus serupa di masa mendatang akan dapat menjadi yurisprudensi tetap?
• Mahkamah Militer III-18 Ambon: No. Put. 79/III-18/IX/86, tanggal 17 September 1986.
• Mahkamah Militer Tinggi Surabaya: No. 33/MMT-III/X/AD/87, tanggal 4 Mei 1987.
• Mahkamah Agung RI: No. 52 K/MIL/1987, tanggal 12 Februari 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.34 Juli 1988; hal. 84).
PROBLEMA JURIDIS ORGAN TUBUH WANITA
Abstrak Hukum:
• Bahwa putusan majelis Mahkamah Agung tsb di atas (perkara No. 481.K/Pid/1986 tgl 31 Agustus 1989), berpendirian bahwa alat vital (kemaluan) wanita, tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu “barang”, sebagaimana yang dimaksudkan pasal 378 KUHP. Pendirian ini sama dengan pendirian majelis Mahkamah RI yang mengadili perkara/kasus serupa yang dituangkan dalam putusan Mahkamah RI No.52.K/Mil/1987, tgl 12 Februari 1988.
• Pakar ilmu hukum, Prof.Dr. Moh. Koesnoe, S.H dalam suatu diskusi berpendirian hampir sama yaitu: bahwa selama wanita itu masih hidup, maka kemaluan wanita tidak dapat dianggap sebagai “barang” yang dapat menjadi object hukum. Meskipun dalam kehidupan masyarakat ada praktek perdagangan kemaluan wanita dalam bentuk pelacuran namun kemaluan wanita tersebut tetap merupakan bagian individualitas dari wanita sebagai orang (subject hukum), karena organ tubuh ini bersenyawa dengan organ tubuh lainnya. Baru menjadi object hukum, setelah ia meninggal dunia.
• Dengan demikian sampai saat ini telah ada dua putusan Mahkamah Agung RI yang berpendirian bahwa alat vital (kemaluan) wanita, tidak dapat diartikan sebagai “barang”, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 378 KUHP.
• Terhadap perbuatan tercela ini, pelaku dapat didakwa melakukan pelanggaran Hukum Adat Pidana, dengan sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 5 (3) b. Undang-Undang Darurat No. 1/1951; L.N. Nr. 9/1950 tgl 13 Januari 1951.
• Sebagai bahan perbandingan, perlu dicatat disini adanya kasus serupa yang pernah terjadi pada 1980 telah diadili oleh Pengadilan Negeri di Medan dan putusannya dimohonkan pemeriksaan banding pada Pengadilan Tinggi Medan yaitu: putusan Pengadilan Negeri Medan No. 571/KS/1980 tgl 5 Maret 1980 dan Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 144/Pid/1983 tgl 8 Agustus 1983. Putusan ini tidak dimohonkan pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung RI.
• Putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut, pada intinya terdakwa (pria) dinyatakan bersalah melakukan delict: Penipuan, ex pasal 378 KUHP , dengan pertimbangan demikian :
• Bahwa unsur “barang” dalam pasal 378 KUHP ditafsirkan secara luas, sehingga pengertian “barang” termasuk pula pengertian “jasa”.
• Bahwa sesuatu yang melekat bersatu pada diri tubuh seseorang (kemaluan), juga termasuk pengertian “barang” yang dalam bahasa Tapanuli dikenal istilah “BONDA” yang artinya adalah “barang” yang tidak lain adalah “kemaluan”. Sehingga bilamana gadis menyerahkan kehormatannya kepada pria, maka samalah artinya gadis tersebut menyerahkan “bonda” (barang) kepada pria tersebut.
• Bahwa dengan penafsiran secara luas ini, maka unsur “barang” didalam pasal 378 KUHP, telah dapat dipenuhi dalam kasus ini, sehingga terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan delict: penipuan.
• Dalam praktek putusan ini banyak diikuti oleh para penegak hukum untuk menjerat pria yang berhasil menyetubuhi gadis dengan janji akan dikawini, tetapi akhirnya pria ingkar janji, dan gadis menjadi korban yang merana seumur hidupnya.
• Pengadilan Negeri Ende, (No. 21 Pid/B/1984, tgl 23 maret 1985.
• Pengadilan Tinggi Kupang, No 24/Pid/B/1985, tgl 30 November 1985.
• Mahkamah Agung RI, No. 481. K/Pid/1986, tgl 31 Agustus 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V, Nomor 55 April 1990; hal. 7).
BATAS MASALAH PIDANA DAN PERDATA
KASUS DIREKTUR ASURANSI
Abstrak Hukum:
• Unsur pokok delict penipuan (ex pasal 378 KUH Pidana) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakkan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang. Penyerahan barang ini merupakan unsur konstitutip delict penipuan.
• Dalam kasus ini, delict tersebut tidak terpenuhi. Karena penyerahan barang berupa girik tanah dari saksi kepada terdakwa segera diikuti peristiwa lainnya berupa: terdakwa menjual “saham perusahaan asuransi” miliknya kepada saksi sebagai pelunasan hutangnya. Karena itu, maka penyerahan girik tanah tersebut adalah bukan sebagai akibat tergeraknya saksi oleh upaya terdakwa; melainkan karena saksi sudah merasa aman dan terjamin piutangnya dengan dikuasainya saham perusahaan milik terdakwa melalui jual-beli saham tersebut. Perhitungan bisnis yang demikian ini merupakan hasil pemikiran orang yang intelek, sehingga unsur tergerak/terbujuk menjadi terkesampingkan dalam kasus ini.
• Dengan tidak terbuktinya unsur penting dalam delict penipuan tersebut, maka kasus ini, menurut pendapat Mahkamah Agung, adalah merupakan transaksi keperdataan yang tidak ada unsur pidananya. Karena itu, terbukti atau tidaknya unsur penting tersebut adalah merupakan batas penentuan apakah kasus tersebut merupakan masalah pidana ataukah masalah perdata.
• Pengadilan Negeri Jakarta Barat: No. 88/Pid/B/1989, tanggal 27 November 1989.
• Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 20/Pid/1990/PT.DKI, tanggal 15 Februari 1990.
• Mahkamah Agung RI: No. 1061 K/Pid/1990, tanggal 26 Juli 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 68; Mei 1991; hal. 5).
PUTUSAN HAKIM TERDAKWA BUKAN DILEPASKAN
Abstrak Hukum:
• Penyerahan uang oleh saksi kepada terdakwa dilakukan secara sukarela dengan disertai bukti kwitansi dan pembuatan Surat Kuasa yang berisi syarat, bila mana saksi tidak berhasil diterima menjadi pegawai negeri, maka terdakwa akan mengembalikan uang yang telah diterimanya itu kepada saksi paling lambat April 1991.
Dengan fakta ini, secara yuridis dapat ditentukan bahwa penyerahan uang kepada terdakwa tersebut, bukan karena “bujukan terdakwa yang melawan hukum” Unsur delict ex pasal 378 KUHP ini adalah tidak terbukti. Karena itu dalam kasus ini, putusan Hakim, amarnya bukan: Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, ex pasal 191 (2) KUHAP, melainkan: membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, ex pasal 191 (1) KUHAP.
• Pengadilan Negeri Karawang: No. 20/Pid.B/1995/PN. KRW, tanggal 22 Juni 1995.
• Mahkamah Agung RI: No. 1168 K/Pid/1995, tanggal 29 Agustus 1996. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.155 Agustus 1998; hal. 81).
PROBLEM YURIDIS PIDANA ATAU PERDATA
Kasus Yayasan Baret Jingga
Abstrak Hukum:
• Seorang Pengusaha Kayu yang telah menerima sejumlah uang, namun ia tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mengirimkan kayu kepada pemesannya, “Yayasan Baret Jingga” yang telah menyerahkan uang pesanannya sesuai dengan isi kontrak yang telah disepakati bersama, maka perbuatan Pengusahan Kayu tersebut, bukan merupakan suatu tindak Pidana ex pasal 378 KUHP, melainkan merupakan “perbuatan ingkar janji atau wanprestasi” yang berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Terdakwa harus diputus dilepas dari segala tuntutan hukum dan harus dibebaskan dari tahanan.
• Pengadilan Negeri Bale Bandung: No. 408/Pid.B/2000/PN.BB, tanggal 16 Oktober 2000.
• Pengadilan TinggiJawa Barat di Bandung: No. 348/Pid/2000/PT. Bdg, tanggal 20 Desember 2000
• Mahkamah Agung RI: No. 449.K/Pid/2001, tanggal 17 Mei 2001. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVII No.203 Agustus 2002; hal. 4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar