Translate

Senin, 25 November 2013

Prosedur Penolakan dan Pencabutan Perpu :

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“PERPU”) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(“UU 12/2011”). Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai PERPU dapat Anda simak dalam artikel-artikel berikut:
 
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam artikel-artikel di atas,Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., dalam bukunya yangberjudul Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya,mengatakan bahwa PERPU jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), yaitu pada masa persidangan berikutnya. Apabila PERPU itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sedangkan, apabila PERPU itu tidak disetujui (ditolak) oleh DPR, akan dicabut (hal. 94).
 
Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenang DPR yang terdapat dalam Pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 27/2009”):
DPR mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.”
 
Perlu Anda ketahui, proses pembahasan PERPU apakah nantinya disetujui atau ditolak, dilakukan oleh DPR melalui rapat paripurna sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (4) dan ayat (5) UU 12/2011. Nantinya, DPR lah yang menentukan persetujuan atau penolakan suatu PERPU tersebut melalui keputusan rapat paripurna.
 
Dalam Pasal 272 Tata Tertib DPR mengenai Tata Cara Pengambilan Keputusan diatur bahwa pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Namun, dalam hal cara musyawarah untuk mufakat tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Begitupula saat pembahasan suatu PERPU, persetujuan atau penolakan PERPU itu dibuat dalam bentuk Keputusan Rapat Paripurna DPR.
 
Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna (ditolak), maka sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Keputusan Rapat Paripurna DPR yang menolak PERPU yang bersangkutan, PERPU tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 52 ayat [5] UU 12/2011). Di sini kami perlu meluruskan istilah ‘membatalkan’ yang Anda gunakan. Mengacu pada pasal Pasal 52 ayat (5) UU 12/2011, maka istilah benar yang digunakan adalah mencabut dan menyatakan tidak berlaku.
 
Lalu, produk hukum apa yang dipakai sebagai bentuk penolakan terhadap suatu PERPU itu? Untuk menjawabnya, kita berpedoman pada Pasal 52 ayat (6) dan ayat (7) UU 12/2011 yang berbunyi:
 
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
 
Dari pasal-pasal di atas dapat kita ketahui bahwa secara hukum, DPR atau Presidenlah yang mengajukan Rancangan Undang-Undang ("RUU") tentang pencabutan PERPU. RUU yang diajukan itu juga mengatur segala akibat hukum dari pencabutan PERPU.
 
Sebagai contoh dapat kita temui dalam UU No. 3 Tahun 2010 tentang Pencabutan PERPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(“UU 3/2010”). Dalam bagian konsiderans UU ini dikatakan bahwa PERPU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“PERPU 4/2009”) yang diajukan oleh Presiden tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna pada 4 Maret 2010. Kemudian, Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan PERPU 4/2009. RUU tersebut disahkan dengan diterbitkannya UU 3/2010 yang mencabut dan menyatakan PERPU 4/2009 tidak berlaku.
 
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, produk hukum yang dipakai untuk mencabut dan menyatakan tidak berlakunya PERPU yang ditolak oleh DPR adalah peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan PERPU, yaitu Undang-Undang. Presiden atau DPR lah yang mengajukan RUU tentang Pencabutan PERPU yang dotolak oleh DPR itu.
 

Dasar hukum:
 
Referensi:
 
http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tata-tertib/bab-17, diakses pada 17 Oktober 2013 pukul 14.24 WIB

Tidak ada komentar: