Translate

Jumat, 01 November 2013

PIDANA ADAT DAN WARIS

MELANGGAR HUKUM ADAT PIDANA DI BALI
LOGIKA SENGGEREHA 
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
Terdakwa dalam persidangan Pengadilan Negeri di Klungkung Bali, telah didakwa melakukan perbuatan pidana yang pada pokoknya sebagai berikut.
Primair: …. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak telah membujuk D.P. Megawati agar bersedia disetubuhi, dengan rangkaian kata-kata bohong, ia tersangka menyatakan dirinya cinta dan ingin memperistrinya. Karena itu saksi tersebut lalu terbujuk dan bersedia disetubuhi sehingga menjadi hamil ….. dst. Melanggar pasal 378 KUHPidana.
Subsidiair: ………….terdakwa telah bersetubuh dengan saksi D.P.M. sehingga menjadi hamil dan ia, tersangka tidak bersedia lagi mengawini saksi tersebut sebagai istrinya……dst. Melanggar logika Sanggraha dari Peswara Bali dan Lombok jo pasal 5 ayat 3 sub “b” Undang-Undang No.1/Drt/1951.  

Pengadilan Negeri: 
Telah memberikan putusannya yang berisi diktum Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan, primair dan subsidiair, karena perbuatan pidana yang didakwakan tidak terbukti dengan sah meyakinkan Hakim. Atas putusan ini, Jaksa mengajukan permohonan Kasasi pada Mahkamah Agung RI.

Mahkamah Agung:
Dalam putusan kasasi telah membatalkan putusan Hakim Pertama karena dinilai Hakim Pertama telah salah dalam menerpakan hukum. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini. Yang menjadi pertimbangan hukum putusan kasasi tersebut pada intinya:
Hakim Pertama ternyata tidak mempertimbangkan Keterangan para saksi lainnya yang pada hakekatnya memberikan petunjuk tentang kebenaran dakwaan bahwa terdakwa telah bersetubuh dengan saksi korban.
Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung, seorang laki-laki yang terbukti tidur bersama dengan seorang perempuan dalam satu kamar dan pada satu tempat tidur, merupakan bukti petunjuk bahwa laki-laki tersebut telah bersetubuh dengan wanita itu.
Berdasar keterangan saksi korban dan bukti petunjuk dari para saksi-saksi lainnya, maka terbukti bahwa terdakwa telah bersetubuh dengan saksi korban sebagaimana yang dimaksud dalam dakwaan subsidiair.
Mengenai dakwaan primair, Mahkamah Agung berpendirian bahwa dakwaan ini tidak terbukti dengan sah, karena unsur barang didalam pasal 378 KUHPidana, tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, dengan demikian maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair ex pasal 378 KUHPidana. 
Berdasarkan atas pertimbangan di atas maka Mahkamah Agung dalam diktum putusannya berbunyi demikian:
Membebaskan terdakwa dari Dakwaan Primair.
Menyatakan terdakwa bersalah terhadap Dakwaan Subsidiair melakukan tindak pidana adat: LOGIKA SANGGRAHA.
Hukum Adat Pidana Logika Sanggraha (Sanggeraha) di Bali Peswara Bali, merupakan satu perbuatan seorang pria yang memiliki unsur-unsur 
- Bersetubuh dengan seorang gadis. 
- Gadis tersebut menjadi hamil karenanya.
- Pria tersebut tidak bersedia mengawini gadis tersebut sebagai istrinya yang sah.  

Pengadilan Negeri di Klungkung Bali: No. 33/Pid/Sumir/1983, tanggal 31 Oktober 1983. 
Mahkamah Agung RI: No.854 K/Pid/1983, tanggal 30 Oktober 1984. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.25 Oktober 1987; hal. 85). 

ADAT DELICT GAMIA GAMANA
-hubungan kelamin ayah dengan anak kandung.
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
I Komang Lanus dengan isterinya pertama, yang kemudian meninggal dunia, diperoleh keturunan dua orang anak. Kemudian kawin lagi. Dengan isterinya yang kedua, yang kemudian juga meninggal dunia, diperoleh keturunan tujuh orang anak.
I Komang Lanus, 50 th, sebagai duda berdiam serumah dengan anak perempuan sulungnya yang dilahirkan dari istrinya yang kedua yang bernama Ni. Nyoman Kerti (23th), sedangkan anak-anak lainnya sudah mencar berumah tangga dan sebagian ada yang ikut berdiam di rumah pamannya.
I Komang Lanus sebagai duda tersebut, pada suatu ketika telah berhubungan kelamin dengan anak perempuan kandungnya, Ni Nyoman Kerti. Si anak melayani keinginan ayahnya tersebut semula terasa aneh dan canggung, akan tetapi lama kelamaan menjadi biasa sehingga seperti hubungan suami-isteri. Keduanya merasa senang satu sama lain dan tiada paksaan satu sama lain.
Hubungan kelamin antara ayah dengan anak kandung ini berlangsung bertahun-tahun, sehingga Ni Nyoman Kerti akhirnya menjadi hamil dan melahirkan anak. Anak ini lahir mati dan dikuburkan secara sembunyi-sembunyi agar tak diketahui umum. 
Hubungan sebagai “suami-istri”  antara ayah dengan anak perempuan kandungnya ini, berlanjut terus tanpa diketahui masyarakat sekelilingnya, sehingga akhirnya Ni Nyoman Kerti menjadi hamil lagi untuk kedua kalinya dan melahirkan anak. Anaknya lahir kemudian mati. Kejadian ini kemudian diketahui masyarakat, yang pada akhirnya melaporkan kepada Pihak sesepuh Desa dan kepada yang berwajib.

Pengadilan Negeri Mataram
Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam memeriksa dan mengadili kasus ini, telah memberikan putusan bahwa Terdakwa I, Komang Lanus dan Terdakwa II, Ni Nyoman Kerti, keduanya dinyatakan bersalah melakukan delict Adat Gamia Gamana dan memberikan hukuman penjara kepada para terdakwa tersebut masing-masing selama dua dan satu tahun penjara dipotong selama mereka ditahan sementara. Dasar hukum yang dipakai oleh Hakim untuk memberikan putusan tersebut adalah Delik Adat Gamia Gamana yang diatur dalam Kitab Hukum PASWARA th 1910/No. 6-huruf “a” jo pasal 5 ayat ke 3 sub “b” Undang-Undang Darurat N.1/1951.
Putusan Hakim di atas didukung oleh pertimbangan hukum yang intinya pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa perbuatan terdakwa ini menurut Adat Suku Bali di wilayah Lombok, dinamakan Delik adat Gamia Gamana, yang diatur dalam Kitab Hukum Paswara tahun 1910/No.6-a- yang berlaku bagi masyarakat adat Suku Bali, baik yang berdiam di Bali maupun di Lombok. Perbuatan yang demikian itu di kalangan Suku Sasak, Lombok, dinamakan: BERO.
Bahwa perbuatan tersebut tidak saja bertentangan dengan Agama Hindu dan ketentuan hukum adat, melainkan juga bertentangan dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat Adat Bali. Perbuatan tersebut juga dapat menimbulkan ketidak seimbangan magis yang dapat menimbulkan kegoncangan dan bencana bagi masyarakat luas. Sehingga untuk ini diharuskan adanya upacara koreksi adat/reaksi adat berupa bersih desa – parisada desa atau meracu.
Bahwa perbuatan terdakwa ini tidak ada aturan hukumnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bahwa meskipun demikian, Hakim berpendirian bahwa terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan delict adat tersebut dengan menggunakan dasar hukum Kitab Hukum Paswara dikaitkan dengan masih berlakunya pasal 5 ayat 3 sub ‘b’ Undang-Undang Darurat No.1/1951 serta pasal 29 Undang-Undang No.14/1970.
Bahwa dengan pertimbangan ini, maka Hakim memberikan putusan atas kasus tersebut seperti yang diuraikan di atas.
Bahwa putusan Hakim ini telah memperoleh kekuatan hukum pasti, in kracht van gewijsde, karena baik terdakwa maupun Jaksa menerima baik putusan Hakim tersebut. 

Pengadilan Negeri Mataram di Lombok: tanggal 29 Oktober 1987.  (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 30; Maret 1988; hal. 51).

MELANGGAR HUKUM ADAT SUKU SASAK “NAMBARAYANG”
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
Seorang gadis, Mariam Satriani (18 th), menjalin kasih sayang dengan seorang pria Erfan (20 th) keduanya suku sasak, Lombok. Hubungan semakin mesra dan saling mencintai satu sama lain. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk melaksanakan perkawinan menurut Adat: “Merarik” (kawin lari). Segala persiapan diadakan. Pada hari “H”, pria Erfan dengan motornya menjemput si gadis tersebut untuk dibawa lari ke tempat persembunyiannya di desa lain di wilayah Kabupaten Lombok Barat, sedang gadis tersebut berasal dari desa di Lombok Tengah (Praya). Melarikan gadis ini, Pihak pria diiringkan oleh 6 orang temannya semuanya bersepeda motor.
Desa yang dituju adalah desa Belek, Kecamatan Gerung, dirumah kawannya bernama Makrip. Di rumahnya Makrip inilah, sigadis tersebut dititipkan dan disembunyikan untuk beberapa waktu lamanya (Bale peseboan = rumah persembunyian). Pria Erfan menyatakan maksudnya kepada pemilik rumah, Makrip, bahwa mereka berdua akan kawin secara Adat Merarik. Makrip bersedia membantu dan segera melaporkannya kepada Kepala Adat – Tetua Adat – Kepala Kampung serta Penghulu Kampung atas terjadinya peristiwa “Merarik” tersebut. Pria Erfan kemudian pulang dan gadis tersebut ditinggalkan di desa itu.
Para Tetua Adat – Kepala Kampung dan Penghulu Desa, kemudian bermusyawarah atas terjadinya “Merarik” ini dan diputuskan segera mengirimkan utusan pergi kerumah orang tua gadis untuk memberitahukan secara resmi kepada kaum kerabat gadis tersebut, bahwa gadis tersebut saat ini dalam perlindungan Tetua Adat desa dimana ia disembunyikan untuk melakukan kawin Merarik. Pemberitahuan ini disebut: “sejati selabar”. Pihak orang tua dan kerabat sigadis menerima baik “Sejati Selabar” ini. Gadis yang disembunyikan tadi kemudian dipindahkan dari rumah Makri ke rumah Penghulu Desa dan di sini gadis tersebut berdiam selama seminggu.
Gadis Mariam sudah seminggu lamanya di “Bale peseboan” dan sudah pula diadakan “Sejati Selabar”, akan tetapi si pria Erfan yang akan mengawini gadis tersebut, lama sekali tidak muncul lagi menemui Penghulu Desa tersebut. Semua merasa gelisah. Pada akhirnya si pria muncul pula ke desa tersebut dan menemui Penghulu Desa – Tetua Adat – dengan mengatakan: bahwa sebenarnya ia Erfan, bukan jejaka, melainkan seorang pria yang sudah beristeri beranak. Karena tidak mendapat izin istrinya untuk kawin lagi, mak ia membatalkan niatnya untuk mengawini Gadis Mariam tersebut. Disamping itu juga tidak punya uang untuk biaya perkawinan dan upacara adatnya. Semua orang menjadi terkejut karena persiapan lanjutan untuk tahap upacara adat berikutnya tengah disiapkan a.l. pemberian wali untuk akad nikah serta upacara adat “Sorong Serah Adji Krama” dengan upacara penutup “Yongkol”.
Gadis Mariam merasa malu kepada kaum kerabatnya dan masyarakat desanya, demikian pula para Tetua Adat yang melindungi gadis tersebut di rumah persembunyiannya, lebih-lebih orang tua si gadis tersebut. Semua Pihak merasa malu-wirang-martabat dan harga diri dirusak dan direndahkan oleh perbuatan pria Erfan tersebut yang telah membohongi bahwa dia msih jejaka dan telah ingkar janji mengawini si gadis setelah gadis tersebut dilarikannya. Perbuatan pria Erfan ini dinilai oleh Tetua Adat sebagai perbuatan melanggar hukum Adat Suku Sasak Lombok yaitu: “Nambarayang atau Ngampesake”.
Pria Erfan tersebut lalu dilaporkan kepada polisi, yang kemudian diajukan ke Sidang Pengadilan Negeri di Mataram untuk diperiksa dan diadili dengan dakwaan melanggar Hukum Adat Pidana:”Nambarayang atau Ngampesake” dikaitkan dengan pasal 5 ayat 3 sub “b” Undang-Undang Darurat No. 1/1951.
Hakim Pengadilan Negeri di Mataram setelah memeriksa perkara ini memberikan pertimbangan yang pokoknya sebagai berikut:
Bahwa di kalangan Suku Sasak Lombok, salah satu bentuk perkawinan yang masih hidup dan berlaku saat ini adalah “kawin Merarik”. Dan terdakwa telah memilih kawin merarik dengan gadis Mariam.
Bahwa tujuan perkawinan menurut adat, bukan saja mempertemukan kedua calon mempelai sebagai suami istri, melainkan juga mempertautkan kedua kerabat calon suami-stri tersebut. Masalah perkawinan juga masalah kerabat. 
Bahwa orang tua gadis dan kerabatnya telah menerima baik “Sejati Selabar” yang dilakukan oleh utusan Tetua Adat dari desa dimana gadis Mariam disembunyikan dan dilindunginya. Bahwa dengan ingkarnya si pria yang membatalkan niatnya mengawini gadis tersebut, maka masyarakat adat desa yang bersangkutan menjadi malu dan direndahkan harga diri dan martabatnya. Sehingga Tetua Adat masayarakat adat yang bersangkutan menilai perbuatan terdakwa ini sebagai perbuatan yang melanggar hukum adat yang disebut “Nambarayang atau Ngampesake” dan untuk pelanggaran adat ini ada sanksi adatnya.
Bahwa menurut Tetua Adat, unsur-unsur yang terkandung dalam hukum adat delik Nambarayang ini adalah: “Setiap sikap-tindakan-kata-kata yang bersifat menyepelekan, mengenyampingkan, atau meniadakan kaidah adat istiadat yang dapat menimbulkan keonaran, kekacauan dan keresahan masyarakat” (Ngorayang).
Bahwa terdakwa dengan sadar telah melanggara hukum adat sadar pula akan akibat yang timbul dengan adanya pelanggaran adat tersebut yaitu aib dan malu bagi si gadis serta kaum kerabatnya serta membuat aib pula masyarakat adat yang melindungi gadis yang disembunyikan itu.
Bahwa validitas berlakunya hukum adat sebagai hukum positip di Negara kita sampai saat ini masih diakui oleh masyarakat Indonesia serta diberikan dasar hukum dalam pasal 5 (3) sub “b” UU Darurat No. 1/1951 jo pasal 23 (1) dan pasal 29 UU No.14/1970.
Bahwa perbuatan terdakwa yang melanggar hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat adat berupa: Nambarayang, ternyata tidak diatur di dalam KUHPidana, karena itu berdasar atas pasal 5 (3) sub “b” UU Dar. No.1/1951, maka Hukum Adat Delict tersebut harus dianggap diancam dengan pidana tidak lebih dari tiga bulan penjara atau denda Rp 500,-, sebagai pengganti bilaman hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh yang dihukum.
Bahwa karena hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti melanggar Hukum Adat Delict Nambarayang atau Ngampesake sebagai yang didakwakan, maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 21 hari, dan membayar ongkos perkara.
Catatan: 
Bahwa Pengadilan dalam pertimbangannya telah menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap Hukum Adat Delict berupa Nambarayang atau Ngampesake ini ada sanksi adatnya.
Bahwa timbul pertanyaan, apakah sebelum perkara ini diperiksa oleh Pengadilan, para Tetua Adat sudah memberikan sanksi adat dan reaksi adat atas pelanggaran tersebut. Kalau sudah, bagaimana macam reaksi adat yang diberikan oleh Para Tetua Adat tersebut. Hal ini tidak nampak dalam putusan Pengadilan di atas. Bisa juga terjadi, Tetua adat belum memberikan reaksi adat, perkaranya langsung ditangani Pihak kepolisian sebagai perbuatan Kriminal tanpa menunggu adanya reaksi adat yang diberikan oleh Tetua Adat atas masalah tersebut.

Pengadilan Negeri Mataram:  No. 51/Pid.Rin/1988, tanggal 23 Maret 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IV. No. 39, Desember 1988; hal. 66).


DELICT ADAT PERBUATAN A’SUSILA PIDANA GANDA DILARANG
Abstrak Hukum:
Seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan, yang menurut hukum yang hidup (Hukum Adat) di daerah tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum adat yaitu “delict adat”. Kepala dan para Pemuka adat memberikan rekasi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh si terhukum.
Terhadap si Terhukum yang sudah dijatuhi – “sanksi adat” oleh kepala adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya), sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut ketentuan KUH Pidana (pasal 5(3).b UU No. 1/Drt/1951). Dalam keadaan yang demikian itu, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri, harus dinyatakan: “Tidak dapat diterima”. (niet ontvankelijk Verklaard).
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia, sampai saat ini masih tetap menghormati putusan/penetapan Kepala adat (pemuka adat) yang memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya terhukum yang melanggar Hukum Adat tersebut, dengan cara memberikan hukuman penjara (ex pasal 5 (3) b. UU No. 1/Drt/1951 jo pasal-pasal KUH Pidana).        
Secara a contrario dapat dikatakan bahwa bila kepala adat tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap si pelanggar hukum adat, maka Hakim Badan peradilan Negara berwenang penuh mengadilinya, berdasar atas kekuatan ex pasal 5 (3) b. UU No. 1/Drt/1951 jo KUH Pidana. 

Pengadilan Negeri Kendari: No. 17/Pid/B/1987/PN.Kdi, tanggal 15 Juni 1987.
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara di Kendari: No. 32/Pid/B/1987/ PT.SULTRA, tanggal 11 November 1987
Mahkamah Agung RI: No. 1644.K/Pid/1988, tanggal 15 Mei 1991.(Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 72 September 1991; hal. 77).


BUKTI FOTOCOPY SERTIFIKAT DALAM PERKARA PIDANA
Abstrak Hukum:
Seoroang yang mengajukan permohonan Penetapan Ahli Waris kepada Hakim Pengadilan Negeri, agar ia ditetapkan sebagai anak kandung dan Ahli waris dari suami isteri almarhum. Hakim mengabulkan dan menerbitkan “Penetapan Ahli Waris” tersebut. Kemudian ternyata bahwa keterangannya kepada Hakim tersebut adalah palsu dan t idak benar. Dari segi hukum Pidana, maka pemohon tersebut tidak dapat dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana ex pasal 266 (1) KUHPidana, yaitu: “Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu Akta Otentik” (Penetapan Hakim).
Dalam Perkara Pidana, suatu barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, berupa fotocopy sertifikat Hak Milik Tanah/HGB, yang sudah disahkan oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan aslinya, maka bukti fotocopy sertifikat HGB ini dapat diterima sebagai bukti yang sah dan merupakan bukti yang sempurna.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No.91/Pid/S/1990/PN.Jkt.Pst, tanggal 13 April 1991.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No.60/Pid/1991/PT.DKI, tanggal 6 Juli 1991.
Mahkamah Agung RI: No.1490.K/Pid/1991, tanggal 31 Agustus 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No.95. Agustus 1993; hal. 40).

PERSELINGKUHAN SUAMI – ISTRI SANKSI ADAT HAPUSKAN PENUNTUTAN JAKSA
Abstrak Hukum:
Perbuatan perselingkuhan suami-istri dengan pihak lain yang selama ini dikenal dengan kualifikasi delik perzinahan, ex pasal 284.K.U.H.P. dari kasus ini ternyata bahwa bilamana pelaku (dader) telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat dari para pemangku Dewan Adat, dimana Hukum Adat, masih dihormati dan hidup subur di dalam masyarakat adat yang bersangkutan, maka Penuntutan Jaksa terhadap para pelaku (dader) ex pasal 284, K.U.H.P. secara juridis, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Undang – Undang No.1/Drt/1951, pasal 5 (3) sub “b” telah mengatur hubungan antara delik adat dengan delik dalam K.U.H.P. 

Pengadilan Negeri di Poso: No. 83/Pid/B/1994, tanggal 28 Pebruari 1995. 
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu: No. 23/Pid.B/1995 PT. Palu, tanggal 30 Januari 1996.
Mahkamah Agung RI: No. 984 K/Pid/1996, tanggal 15 Nopember 1996. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.151 April 1998; hal. 27).

“JUAL – BELI TANAH WARISAN” BERAKIBAT PIDANA PENJARA
Judex Facti Salah Menerapkan Hukum
Abstrak Hukum:
Permohonan Kasasi Jaksa dapat diterima Mahkamah Agung karena Jaksa dapat membuktikan bahwa putusan Pengadilan tersebut merupakan “bebas tidak murni”.
Majelis Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi atas perkara pidana tersebut diatas, berpendirian bahwa putusan Judex Facti dinilai salah dalam menerapkan “Hukum Pembuktian”, khususnya pembuktian unsur-unsur delict yang diatur dalam pasal 263 KUHPidana, sehingga putusan Judex Facti a’quo harus dibatalkan. Selanjutnya, Majelis Mahkamah Agung dalam kasus tersebut, telah meneliti, mengurai dan menganalisa kembali semua bukti saksi dan surat-surat yang ada dalam Berita Acara Persidangan untuk dipertimbangkan dan dimasukkan kedalam masing-masing unsur delict pasal 263 KUHPid, yang didakwakan pada terdakwa. Akhirnya Mahkamah Agung berpendapat bahwa bukti-bukti tersebut dinilai telah memenuhi semua unsur pasal 263 KUHPid, sehingga perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dinilai telah terbukti secara sah dan meyakinkan, bahwa terdakwa bersalah melakukan Tindak Pidana: “Pemalsuan Surat”, ex pasal 263 KUHPid. 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 1817/Pid.B/2001/PN.Jkt.Pst, tanggal 12 Juli 2002.
Mahkamah Agung RI: No. 1739.K/Pid.B/2002, tanggal 25 Juni 2003. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XX 233 Februari 2005; hal. 82).


Tidak ada komentar: