Bertolak dari pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan beberapa hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menyatakan bahwa memang benar hak dalam memperoleh pekerjaan merupakan hak asasi penyandang cacat yang wajib mendapatkan perwujudan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, dalam penelitian ini masyarakat diartikan perusahaan swasta, BUMN, dan BUMD. Oleh karena itu jaminan perlindungan hukum secara preventif harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pemerintah, yang berupa jaminan aksesibilitas sebagai upaya mewujudkan kesamaan kesempatan tanpa diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat.
Sejauh ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah memberikan perlindungan hukum secara preventif bagi terwujudnya hak-hak penyandang cacat, terutama dalam memperoleh pekerjaan, namun ternyata ada perbedaan yang sangat mencolok antara ketentuan yang mengatur tentang jaminan aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan di swasta dengan di sektor pemerintahan (PNS). Bahwa pemerintah sebagai penguasa mengharuskan perusahaan untuk mempekerjakan penyandang cacat dengan kewajiban-kewajiban perusahaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan, pemerintah sendiri tidak mewajibkan dirinya sendiri untuk menerima penyandang cacat bekerja sebagai PNS. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya jumlah peraturan dan tidak rincinya peraturan tersebut yang memuat ketentuan tentang tenaga kerja penyandang cacat.
Dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian, peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan jauh lebih mengatur dan menjamin hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan dan sewaktu penyandang cacat tersebut telah bekerja.
b. Bahwa terdapat bermacam sarana perlindungan hukum represif dalam menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan tindak pemerintahan dikaitkan dengan hak asasi manusia. Itu semua bergantung dengan dasar tuntutannya. Seperti dalam kasus Wuri Handayani, karena ingin membatalkan Surat Penolakan yang dianggap merugikan kepentingannya maka ia menempuh jalur yudisial, yaitu melalui PTUN. Keberadaan PTUN ini merupakan pemenuhan prinsip equality before the law (persamaan dalam hukum dan pemerintahan) yang berkaitan dengan syarat objektif bagi suatu negara hukum.
Untuk yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran terhadap hak asasinya, Wuri meminta wewenang Komnas HAM, sebagai lembaga non yudisial, untuk mengkaji dan memeriksa hal tersebut. Selanjutnya, Wuri dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri atas tindakan Walikota dengan alasan perbuatan melawan hukum.
Lain halnya dalam kasus Indratmojo. Pada dasarnya penyelesaian jalur hukum yang dapat ditempuh adalah melalui Komisi Ombudsman Nasional, karena merupakan wewenang KON untuk memeriksa apabila ada tindakan aparat pemerintahan yang buruk dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Sarana-sarana perlindungan hukum represif ini, baik yang yudisial maupun non yudisial, sangat berguna sebagai perwujudan dan penegakan hak-hak asasi penyandang cacat dalam kehidupan dan penghidupan.
IV.2. Saran
a. Walaupun peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang persamaan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan, namun pada kenyataannya penyandang cacat cenderung mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah selaku penguasa lebih mensosialisasikan ketentuan mengenai kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagai pekerja di suatu perusahaan bagi perusahaan swasta, BUMN maupun BUMD pada khusunya dan mayarakat pada umumnya. Dengan begitu, pihak swasta lebih memberikan kesempatan kepada penyandang cacat agar dapat bekerja sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Pemerintah hendaknya segera membuat peraturan tentang kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagai CPNS yang jauh lebih tegas dari yang sudah ada dengan menjelaskan definisi kriteria sehat jasmani dan rohani agar tidak menjadi ancaman bagi penyandang cacat yang ingin melamar sebagai CPNS.
b. Dengan adanya kasus yang melibatkan sengketa antara Walikota Surabaya dengan Wuri Handayani dan diselesaikan melalui PTUN, maka hal ini merupakan yurisprudensi yang pertama bagi terwujudnya hak asasi penyandang cacat. Dengan demikian diharapkan bagi Pemkot Surabaya pada khususnya dan bagi aparat pemerintahan lainnya pada umumnya untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan surat keputusan sejenis di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar