Translate

Rabu, 30 Oktober 2013

ASAS-ASAS HUKUM


Asas-asas Hukum Administrasi & tata usaha Negara

1. Asas Kepastian Hukum
      adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. (pasal 3 angka 1 dan penjelasannya, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
      adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara. (pasal 3 angka 2 dan penjelasannya, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

3. Asas Kepentingan Umum
      adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. (pasal 3 angka 3 dan penjelasannya, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

4. Asas Keterbukaan
      adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara. (pasal 3 angka 4 dan penjelasannya, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

5. Asas Proporsionalitas
      adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara. (pasal 3 angka 5 dan penjelasannya, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

6. Asas Profesionalitas
      adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  (pasal 3 angka 6 dan penjelasannya, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

7. Asas Akuntabilitas
      Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  (pasal 3 angka 7 dan penjelasannya, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)

8.   Asas Persamaan
Asas persamaan memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan. Bila pemerintahan dihadapkan pada tugas baru, yang dalam rangka itu harus diambil banyak sekali Keputusan Tata Usaha Negara, maka pemerintah memerlukan aturan-aturan atau pedoman-pedoman. Bila ia sendiri menyusun aturan-aturan itu untuk memberi arah pada pelaksanaan (pada dasarnya) wewenang bebasnya, maka itu disebut Aturan-aturan Kebijaksanaan. Jadi, tujuan aturan-aturan kebijaksanaan ialah menunjukkan perwujudan asas perlakuan yang sama atau asas persamaan.
(Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Philipus M. Hadjon et al, Penerbit Gadjah Mada University Press cetakan pertama tahun 1993, halaman 266)

9.   Asas Kepercayaan
Dalam hukum administrasi dianut sebagai asas bahwa harapan-harapan yang ditimbulkan sedapat mugkin harus dipenuhi. Asas ini terutama penting sebagai dasar bagi arti yuridis dari janji-janji, keterangan-keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan bentuk-bentuk rencana (yang tidak diatur dengan perundang-undangan). Bila suatu badan pemerintah atau seorang pejabat yang berwenang bertindak atas nama pemerintah itu memberikan janji kepada seorang warga, asas kepercayaan menuntut supaya badan pemerintah itu (antara lain pada pelaksanaan suatu wewenang memberikan penetapan) terikat pada janjinya.
Asas kepercayaan tidak menghalangi pemerintah mengubah kebijaksanaan (untuk kerugian yang berkepentingan). Tetapi asas ini menghalangi perubahan kebijaksanaan diberlakukan surut. Asas ini dapat pula membawa serta bahwa pada perubahan kebijaksanaan yang merugikan, harus diadakan masa peralihan yang pantas.
(Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Philipus M. Hadjon et al, Penerbit Gadjah Mada University Press cetakan pertama tahun 1993, halaman 267)

10. Asas Kecermatan
asas kecermatan mengandung arti, bahwa suatu keputusan harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat. Badan pemerintahan dalam mempersiapkan dan mengambil ketetapan, dapat dengan berbagai cara melanggar asas ini. Suatu pemaparan secara lengkap tidak mungkin diberikan. Asas kecermatan mensyaratkan, agar badan pemerintahan sebelum mengambil suatu ketetapan, meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan ke dalam pertimbangannya. Bila fakta-fakta penting kurang diteliti, itu berarti tidak cermat. Kalau pemerintah secara keliru tidak memperhitungkan kepentingan pihak ketiga, itupun berarti tidak cermat. Penting adalah pula, peran asas kecermatan dalam urusan dengan nasihat-nasihat dari panitia-panitia penasihat, dsb. Asas kecermatan membawa serta, bahwa badan pemerintah tidak boleh dengan mudah menyimpangi suatu nasihat yang diberikan, apalagi bila dalam panitia penasihat duduk ahli-ahli dalam bidang tertentu. Penyimpangan memang dibolehkan, tetapi mengharuskan suatu pemberian alasan yang tepat dan kecermatan yang tinggi.
(Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Philipus M. Hadjon et al, Penerbit Gadjah Mada University Press cetakan pertama tahun 1993, halaman 269)

11. Asas Pemberian Alasan
Asas pemberian alasan berarti bahwa suatu keputusan harus dapat didukung oleh alasan-alasan yang dijadikan dasarnya. Dapat dibedakan tiga sub varian :
  • 1. Syarat bahwa suatu ketetapan harus diberi alasan. Dari pemerintah diharapkan suatu penyusunan yang rasional. Jadi pemerintah senantiasa harus dapat memberi alasan mengapa ia telah mengambil suatu ketetapan tertentu. Yang berkepentingan berhak mengetahui alasan-alasan itu. Bila suatu ketetapan merugikan satu orang atau lebih yang berkepentingan, pemerintah yang baik mensyaratkan bahwa pemberian alasan sedapat mungkin diumumkan atau diberitahukan bersama-sama dengan ketetapan.   
  • 2. Ketetapan harus memiliki dasar fakta yang teguh.  Bagian dari asas pemberian alasan ini mengandung arti, bahwa kelompok fakta yang menjadi titik tolak dari ketetapan harus benar Bila ternyata bahwa fakta-fakta pokok berbeda dari apa yang dikemukakan atau diterima oleh badan pemerintah, maka dasar fakta yang teguh dari alasan-alasan tidak ada. Perlu dicatat, bahwa hal ini biasanya juga terdapat cacat dalam kecermatan. 
  • 3. Pemberian alasan harus cukup dapat mendukung. alasan-alasan yang dikemukakan harus cukup meyakinkan. Pemberian alasan tidak saja harus masuk akal, tetapi secara keseluruhan harus sesuai dan memiliki kekuatan meyakinkan. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pada akhirnya hampir semua cacat dalam suatu ketetapan dapat dikembalikan pada cacat dalam pemberian alasan.   Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Philipus M. Hadjon et al, Penerbit Gadjah Mada University Press cetakan pertama tahun 1993, halaman 270) 
12. Asas Larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir)
sebagai asas umum pemerintah yang layak dipandang pula aturan, bahwa suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan ia diberikan. Pada umumnya penyalahgunaan suatu wewenang juga akan bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan.
(Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Philipus M. Hadjon et al, Penerbit Gadjah Mada University Press cetakan pertama tahun 1993, halaman 272)

asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan pejabat administrasi negara tidak menggunakan kewenangan atas kekuasaan di luar maksud pemberian kewenangan atau kekuasaan itu. Penggunaan kewenangan di luar maksud pemberiannya dalam hukum dikenal dengan “detournement de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang), satu istilah yang berasal dari tradisi hukum Perancis. Bila pemerintah menggunakan uang untuk pembinaan olah raga yang diambil dari anggaran yang sebenarnya diberikan untuk pembinaan KUD maka tindakan pemerintah itu termasuk detournement de pouvoir.
(Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Moh. Mahfud M.D., Penerbit Liberty, Yogyakarta, Oktober 1987, hlm. 62)

13. Asas larangan penyerobotan wewenang badan administrasi negara yang satu oleh yang lainnya (exes de pouboir)
Makna asas ini adalah apabila sudah diadakan pembagian tugas di antara para pejabat administrasi negara, maka hendaknya para pejabat tersebut melakukan tugasnya dalam batas-batas tugas yang telah diberikan atau tidak melampaui batas tugas yang telah diberikan undang-undang. Asas ini perlu diperhatikan agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam melaksanakan tugas administrasinya, sehingga masyarakat akan bingung, ke mana mereka atau kepada siapa mereka hendak menyelesaikan persoalan administrasinya.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 189)

14. Asas upaya pemaksa atau asas bersanksi
Adapun makna asas ini adalah bahwa adanya sanksi merupakan jaminan terhadap penataan pada hukum administrasi negara. Disebabkan manusia itu mempunyai kecenderungan untuk melanggar norma, karenanya norma itu harus dilindungi oleh sanksi, yaitu sanksi administratif atas pelanggaran hukum administrasi. Sanksi administrasi ini, baik yang tercantum dalam peraturan hukum administrasi itu sendiri maupun yang ada di luar peraturan hukum administrasi.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 190)


15. Asas Nasionalisme
Asas nasionalisme terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 pasal 21 ayat (1) bahwa : “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Apa maksud dan tujuan pembuat undang-undang mencantumkan Pasal 21 ayat (1) yang mengandung asas nasionalisme Indonesia ke dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960? Hak milik itu merupakan hak turun- temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah. Perkataan “ter” ini harus diartikan dengan “paling”, terkuat artinya yang “paling” kuat, terpenuh artinya yang “paling penuh”.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 190)

16. Asas Nondiskriminasi
Undang-Undang Pokok Agraria tidak membeda-bedakan antara sesama warga negara Indonesia, baik ia warga negara Indonesia asli maupun warga negara Indonesia keturunan asing yang merupakan golongan minoritas dalam masyarakat Indonesia. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan WNI asli, seperti tercantum dalam pasal 27 ayat (1) bahwa : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Selain itu, mereka mempunyai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam masyarakat Indonesia, seperti yang dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, yaitu : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 191)

17. Asas fungsi sosial dari Tanah
Undang-undang Dasar Tahun 1945 telah memberikan pokok pikirannya dalam pasal 33 mengenai hak menguasai dari negara atas tanah. Tanah merupakan alat produksi bagi masyarakat tani, maka tanah itu harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Jadi, apabila ada tanah yang tidak digunakan secara efektif (oneffectief gebruik) atau ditelantarkan oleh pemiliknya, maka tanah itu akan dikuasai oleh negara. “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, berarti bahwa tanah itu harus dipergunakan sesuai dengan keadaan tanahnya dan sifat dari haknya, dan tidak dapat dibenarkan pemakaian tanah secara merugikan dan bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 193)

18. Asas Domein Negara
Asas domein negara ini tercantum dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit Stb. 1870-118 dengan nama Domein Verklaring yang menetapkan bahwa untuk semua tanah yang tidak dibuktikan hak eigendom-nya oleh orang adalah domein negara artinya kepunyaan negara. Disini negara berfungsi sebagai pemilik tanah yang boleh menjual tanah kepada siapa saja yang memerlukannya.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 193)

19. Asas Dikuasai Negara
Asas “dikuasai negara” ini tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 jo Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960, yaitu bahwa : “Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Istilah “dikuasai” yang digunakan oleh Pasal 2 ayat (1) ini bukanlah berarti “dimiliki”, sebab negara tidak berfungsi sebagai pemilik tanah. Pengetian hak mengusai yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 adalah sebagai berikut :
“Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 194)

20. Asas Perlekatan (Natrekking Beginsel)
Istilah aslinya natrekking beginsel yang berasal dari kata kerja trekken artinya menarik, sedangkan arti “beginsel” sudah diterangkan di atas pada bagian yang lain, yaitu asas. Jadi, asas natrekking ini berarti asas yang menarik kedudukan benda-benda yang ada di atas tanah ke dalam kedudukan tanah sebagai benda tetap atau benda bergerak, karena benda-benda ini bersatu dengan tanah. Asas pelekatan ini merupakan dasar dari hukum benda perdata Eropa yang dimuat dalam buku kedua KUHS pasal 506 dan seterusnya.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 195)

21. Asas Pemisahan Horizontal
Pembuat Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dengan tegas menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat (Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960), yaitu hukum adat yang telah disempurnakan dan telah disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang modern, yang mempunyai kebutuhan hidup yang banyak dan beraneka macammya, ………….. . Berdasarkan jalan pikiran hukum tersebut maka orang dapat membeli pepohonan yang menghasilkan tanpa membeli tanahnya ataupun orang dapat membeli rumah tanpa tanahnya. Inilah yang disebut asas “Pemisahan Horizontal”, yaitu asas yang melekat dengan tanah, dari tanah tempat benda-benda itu berada agar ada kepastian hukum dalam hal jual-beli benda-benda yang dipisahkan dari tanahnya ini.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 197)

22. Asas Praduga Rechtmatig (Vermoeden Van Rechtmatigheid = Praesumptio Iustae Causa)
Mengenai asas Vermoden Van Rechmategheid = Praesumptio Iustae Causa, setiap tindakan pemerintahan harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya.
Berkenaan dengan asas ini, Van Galen dan Van Maarseven sebagaimana dikutip oleh Phillipus M. Hadjon di dalam bukunya yang sama menyatakan :
Selama tidak dibatalkan oleh hakim, penguasa dianggap telah bertindak rechmatig, A Contrario, selama belum diadakan pembatalan terhadap tindakan pemerintahan tersebut, selama itu pula tindakan termaksud tetap dianggap sebagai tindakan yang sah.
(Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasoi, Suparto Wijoyo, Penerbit Airlangga University Press Surabaya Cetakan Pertama November 1997, halaman 54)

Asas-asas dalam Hukum Pidana

1. Asas Legalitas / Nullum delictum nulla poena sine praevia lege
adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
(asas-asas hukum pidana, Prof. Moeljatno, S.H, Penerbit Rineka Cipta cetakan ke-6 tahun 2000, halaman 23)

2. Asas Kesalahan / Actus non facit reum, nisi mens sit rea / Geen Straf Zonder Schuld
adalah asas yang menentukan bahwa belum berarti bahwa tiap tiap orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut lalu mesti dipidana, sebab untuk memidana seseorang di samping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yang berbunyi : “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
(asas-asas hukum pidana, Prof. Moeljatno, S.H, Penerbit Rineka Cipta cetakan ke-6 tahun 2000, halaman 5)

3. Asas Lex Temporis Delicti
      adalah asas yang menentukan bahwa perbuatan seseorang harus diadili menurut aturan yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan.
(asas-asas hukum pidana, Prof. Moeljatno, S.H, Penerbit Rineka Cipta cetakan ke-6 tahun 2000, halaman 31)

4. Asas Teritorial
adalah asas yang menentukan bahwa perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara, baik dilakukan oleh warga-negaranya sendiri maupun oleh orang asing.
(asas-asas hukum pidana, Prof. Moeljatno, S.H, Penerbit Rineka Cipta cetakan ke-6 tahun 2000, halaman 38)

5. Asas Personal
adalah asas yang menentukan bahwa perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warganegara, di mana saja, juga di luar wilayah Negara. Juga dinamakan prinsip nasional yang aktif.
(asas-asas hukum pidana, Prof. Moeljatno, S.H, Penerbit Rineka Cipta cetakan ke-6 tahun 2000, halaman 38)

6.   Asas Perlindungan atau Asas nasional Pasif
Setiap orang yang melakukan beberapa kejahatan di luar negeri dapat dituntut dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, apabila kejahatan itu amat merugikan kepentingan negara Indonesia.
Misalnya : Seorang WN Belanda di Amsterdam meniru meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dengan maksud hendak menggunakan meterai tersebut sebagai meterai asli. Perbuatan tersebut diancam dengan pidana Pasal 253 ke-1 KUHP. Menurut pasal 4 ke-2 KUHP setiap orang yang melakukan kejahatan meniru meterai yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dapat diadili, maka warga Negara Belanda tersebut dapat diadili di Indonesia.
(Hukum Pidana Materiil (unsur-unsur obyektif sebagai dasar dakwaan),  Soeharto RM, S.H, Penerbit Sinar Grafika cetakan ke-2 tahun 2002, halaman 18)

7.   Asas Universal
menurut asas universal di mana beberapa kejahatan dapat dipidana menurut hukum yang berlaku di Indonesia biarpun kejahatan itu dilakukan di luar teritorial Negara Indonesia oleh warga negara Asing meskipun negara Indonesia dalam hal ini tidak dirugikan. Misalnya : seorang Inggris memalsukan uang kertas Jerman di negara Perancis dapat diadili di negara Indonesia asal ia ditangkap di wilayah negara Indonesia dan perkara itu belum diadili di suatu negara lain.
 (Hukum Pidana Materiil (unsur-unsur obyektif sebagai dasar dakwaan),  Soeharto RM, S.H, Penerbit Sinar Grafika cetakan ke-2 tahun 2002, halaman 18)


8.   Asas Ne bis In Idem
Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal :
1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum
2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
(Pasal 76 ayat (1) dan (2) KUH Pidana)

9.   Asas bahwa apabila ada perubahan dalam perundang-undang sesudah peristiwa itu terjadi, maka dipakailah ketentuan yang paling menguntungkan bagi su Tersangka
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada orang yang diduga melakukan perbuatan pidana yang kemudian terjadi perubahan Undang-undang, maka ia harus dikenakan hukuman yang menguntungkan, yang lebih ringan, yang tercantum dalam undang-undang yang lama atau yang baru. Asas ini tercantum dalam pasal 1 ayat (2) KUHP.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 164)

10. Asas Pembagian Hukuman ke dalam Hukuman Pokok dan Hukuman Tambahan
Asas ini tercantum dalam pasal 10 KUHP. Hukuman pokok adalah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas dari hukuman-hukuman lain, sedangkan hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok. Jadi, hukuman tambahan itu tidak berdiri sendiri. Selain hukuman kurungan biasa, KUHP mengenal juga hukuman kurungan pengganti, yaitu apabila yang dikenakan hukuman denda tidak dapatmembayar denda atau tidak mau membayar denda, maka hukuman denda itu diganti dengan hukuman kurungan (Pasal 30 ayat (2) KUHP).
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 166)

11. Asas Subsidiaritas
Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan hukum orang lain tidak diperkenankan, kalau perhitungan itu dapat dilakukan tanpa atau dengan kurang merugikan. Singkatnya : tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan yang lain. Sehubungan dengan pembelaan terpaksa, ini berarti, antara lain, bahwa pembelaan tidak menjadi keharusan (jadi tidak akan dibenarkan) selama orang masih bisa melarikan diri.
(Hukum Pidana, Prof. Dr. D. Schaffmeister, Penerbit Liberty Yogyakarta, Edisi pertama tahun 1995, halaman 60)

12. Asas Proporsionalitas
Melanggar kepentingan hukum seseorang untuk melindungi kepentingan hukum orang lain dilarang, kalau kepentingan hukum yang dilindungi tidak seimbang dengan pelanggarannya. Jadi harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dan kepentingan yang dilanggar. Sehubungan dengan pembelaan terpaksa, ini berarti bahwa delik yang dilakukan untuk pembelaan tidak boleh demikian beratnya sehingga tidak seimbang dengan beratnya sekarang. Contoh dari literatur, seorang petani penderita rematik yang sulit berdiri dari kursinya tidak boleh menembaki anak-anak yang sedang mencuri buah apel di kebunnya, sekalipun dalam hal ini diperlukan pembelaan, tetapi caranya tidak “diperintahkan (patut)”.
(Hukum Pidana, Prof. Dr. D. Schaffmeister, Penerbit Liberty Yogyakarta, Edisi pertama tahun 1995, halaman 60)

13. Asas “Culpa In Causa”
Menghadapi persoalan apakah pembelaan merupakan keharusan, berperan juga, di samping pertanyaan apakah melarikan diri masih mungkin (asas subsidiaritas). Asas “Culpa In Causa” : barangsiapa yang keberadaannya dalam situasi darurat dapat dicelakan kepadanya tetap bertanggungjawab. Ini berarti, bahwa seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa.
(Hukum Pidana, Prof. Dr. D. Schaffmeister, Penerbit Liberty Yogyakarta, Edisi pertama tahun 1995, halaman 61)

Asas-asas dalam hukum acara pidana

1. Hakim dianggap tahu tentang hukumnya perkara
      adalah asas yang menentukan bahwa jika sekiranya hakim tidak dapat menemukan peraturan dalam Undang-Undang, diwajibkan menemukan hukum dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, jika diperlukan meminta pertimbangan hukum pada pemuka masyarakat dan/atau menanyakan pada ahli di bidang hukum tertentu.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 76)

2.   Hakim memeriksa secara aktif
adalah asas yang menentukan bahwa pemeriksaan perkara pidana di persidangan terutama dalam kasus yang sulit harus bekerja secara aktif untuk menemukan kebenaran tentang peristiwa yang terjadi untuk menjadi dasar keyakinannya menentukan hukum dan keputusannya, sekalipun dalam hal upaya pembuktian tetap menggantungkan alat-alat bukti yang disajikan oleh penuntut umum dan terdakwa atau pembelaannya. Proses pembuktian yang demikian itu tidak mengurangi wewenang hakim untuk berusaha melengkapi alat-alat bukti yang diperlukan melalui tata cara yang benar.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 77)

3.   Sidang terbuka untuk umum
adalah asas yang menentukan bahwa pemeriksaan sidang pengadilan pidana harus dilakukan dengan terbuka untuk umum, kecuali ada peraturan yang menentukan lain berdasarkan alasan khusus karena sifat perkara atau keadaan orangnya yang diperiksa. Dasar pikiran dalam persidangan terbuka yang dapat dihadiri orang lain atau umum itu untuk perlindungan hak asasi manusia yang harus diperlakukan sesuai dengan harkat martabat manusia dan disamping itu untuk pengawasan oleh masyarakat sebagai “social control” selama berlangsungnya persidangan.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 78)

4.   Pemeriksaan secara langsung
adalah asas yang menentukan bahwa sidang pengadilan melakukan pemeriksaan secara langsung kepada terdakwa atau orang lain yang terlibat dengan mengadakan pembicaraan lisan berupa Tanya-jawab di bawah pimpinan Ketua Sidang.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 78)

5.  Bentuk pemeriksaan dengan oraal debat
adalah asas yang menentukan bahwa pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan berbicara satu sama lain atau lisan agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 79)

6.   Kekuasaan bebas tanpa campur tangan pihak luar
adalah asas yang menentukan bahwa Kehakiman yang dijamin dengan kekuasaan yang bebas didorong oleh dasar pikiran pembagian kekuasaan Negara yang terpisah antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislative dan yudikatif. Kebebasan kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisiil tersebut seharusnya dilakukan dengan tanggungjawab dan tidak mutlak karena masih dibatasi oleh asas-asas hukum serta nilai-nilai yang mencerminkan penegakan hukum dan keadilan menurut perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat serta tujuan Negara kea rah kesejahteraan bangsa.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 79)

7.   Hak menguji peraturan undang-undang
adalah asas yang menentukan bahwa pada hakekatnya peraturan yang menjadi produk badan pembentuk undang-undang setelah berlaku selama waktu tertentu akan ketinggalan dengan lajunya kebutuhan hukum masyarakat yang telah maju. Jika tugas badan pembentuk undang-undang tidak dapat segera mengubah peraturan tidak sesuai lagi kebutuhan masyarakat, maka menjadi tugas hakim untuk menyatakan tidak sesuainya peraturan tersebut untuk mengujinya disamping tugas menafsirkan.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 80)

8.   Badan peradilan pidana oleh negara
adalah asas yang menentukan bahwa peradilan pidana oleh Negara tanpa dibarengi dengan pembatasan kewenangan yang tidak menjurus pada peradilan yang otoriter dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia serta kemanusiaan, maka arti penting peradilan akan jauh dari harapan keadilan yang didambakan semua warga masyarakat.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 80)

9. Hakim peradilan pidana yang tidak memihak
adalah asas yang menentukan bahwa Hakim wajib memeriksa perkara dengan tidak memihak dan hakim wajib mengundurkan diri dari tugas mengadili perkara tertentu apabila ternyata ada hubungan keluarga dengan petugas yang turut memeriksa perkara dan hubungan keluarga dengan terdakwa atau penasehat hukum.
(Pola Dasar Teori – Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana, Prof. Dr. Bambang Poernomo, S.H, Penerbit Liberty, Yogyakarta cetakan pertama tahun 1993, halaman 80)

10. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
adalah asas yang menentukan bahwa tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut constante justitie semakin ditekankan dalam KUHAP. Dalam HIR sudah ada ketentuan semacam itu misalnya pasal 71 HIR mengatakan jika Hulp Magistraat (Magistrat pembantu) menahan orang, maka dalam waktu satu kali dua puluh empat jam harus melapor kepada Magistraat. Dalam penjelasan umum butir 3 e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dikatakan “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.”
(Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Dr. Andi Hamzah, S.H, Penerbit Ghalia Indonesia cetakan pertama tahun 1984, halaman 20)

11. Presumption of Innocence
adalah asas yang menentukan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Dr. Andi Hamzah, S.H, Penerbit Ghalia Indonesia cetakan pertama tahun 1984, halaman 22)

12. Asas Oportunitas
      Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai Monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan kepadanya. Jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.
(Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Dr. Andi Hamzah, S.H, Penerbit Ghalia Indonesia cetakan pertama tahun 1984, halaman 23)

13. Tersangka/Terdakwa berhak mendapat Bantuan Hukum
diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari pembayaran.
(Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Dr. Andi Hamzah, S.H, Penerbit Ghalia Indonesia cetakan pertama tahun 1984, halaman 30)

14. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitoir)
kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas Akusator itu. Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Sebagai telah diketahui, asas inkisitor itu berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Sejak tahun 1926 di negeri Belanda telah dianut asas gematigd accusatoir yang berarti asas bahwa tersangka dipandang sebagai pihak pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu pada pemeriksaan perkara-perkara politik, berlaku asas inkisitor.
Asas inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha mendapat pengakuan dari tersangka. Kadang-kadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan.
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli.
(Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Dr. Andi Hamzah, S.H, Penerbit Ghalia Indonesia cetakan pertama tahun 1984, halaman 32)

15. Asas Peradilan dilakukan berdasarkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Asas ini tercantum dalam pasal 4. Pasal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi :
1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
Rumusan ini berlaku untuk semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 168)

16. Asas Hak untuk meminta Peninjauan Kembali
Artinya, bahwa terhadap keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Hak untuk minta peninjauan kembali ini tentu ada syarat-syaratnya yang harus dipenuhi, baik syarat formal maupun syarat materiel. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah syarat yang menyangkut berhak atau tidaknya si pemohon mengajukan peninjauan kembali.  Sedangkan yang dimaksud dengan syarat materiel adalah syarat yang menyangkut keputusan pengadilan yang dimintakan untuk ditinjau kembali. Misalnya, bila ada alat bukti yang baru ditemukan, yang tidak disampaikan kepada hakim pada waktu pemeriksaan perkara yang bersangkutan (Pasal 263).
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 169)

17. Asas Perintah Tertulis untuk Penangkapan
Artinya, bahwa perintah penangkapan harus dilakukan oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas dan penyerahan surat perintah penangkapan kepada si tersangka (Pasal 18 ayat (1)). Asas ini memberikan jaminan kepada orang yang disangka melakukan tindak pidana, bahwa ia tidak ditangkap secara gelap oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, tetapi ia ditangkap secara legal atau resmi oleh petugas kepolisian yang diberi wewenang untuk itu karena ia diduga telah melakukan tindak pidana. Surat perintah penangkapan itu isinya harus menyebutkan alasan-alasan penangkapan dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Kemudian, kepada keluarganya harus diberikan tembusan surat perintah penangkapan tersebut (Pasal 18 ayat (3)).
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 170)

18. Asas Perintah Tertulis untuk Penahanan
Perintah penahanan atau penahananlanjutan harus memenuhi syarat undang-undang, yaitu (Pasal 21 ayat (1)) :
a. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan.
b. Karena dikhawatirkan tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Syarat perintah penahanan juga harus dengan syarat penangkapan, yaitu dengan memberikan surat perintah penahanan kepada tersangka atau terdakwa, atau surat penetapan hakim dan mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa serta menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan dan tempat ia ditahan (Pasal 21 ayat (2)). Kemudian, tembusan surat perintah penahanan itu harus diberikan kepada keluarganya (Pasal 21 ayat (3)).
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 170)

Asas-asas Hukum Perdata

1. Asas Lex Spesialis derogat Lex Generalis
Yang maksudnya Hukum khusus mengalahkan Hukum Umum atau apabila Hukum Umum berbeda/bertentangan dengan Hukum Khusus, maka yang berlaku ialah Hukum Khusus. Hukum khusus ialah hukum yang bersifat lebih spesialisasi sesuai dengan pembidangan dari Hukum Umum itu. Maka dalam Hukum Perdata pun ada yang bersifat umum (lex generalis) dan bersifat khusus (lex spesialis).
(Hukum Perdata Material jilid I, Marhainis Abdulhay, S.H, Penerbit Pradnya Paramita Jakarta cetakan pertama tahun 1984, halaman 32)

2. Asas Konsensualisme
Bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.
(Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Purwahid Patrik, S.H, Badan Penerbit UNDIP Semarang cetakan pertama tahun 1986, halaman 3)

3. Asas Kekuatan Mengikat Dari Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1338 KUH Perdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak.
(Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Purwahid Patrik, S.H, Badan Penerbit UNDIP Semarang cetakan pertama tahun 1986, halaman 3)

4. Asas Kebebasan Berkontrak
Orang bebas, membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.
(Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Purwahid Patrik, S.H, Badan Penerbit UNDIP Semarang cetakan pertama tahun 1986, halaman 3)

5. Asas Iktikad Baik (Bona Fides)
Yaitu berasal dari hukum romawi yang disebut “Bona Fides” (fides = percaya, bonus = saleh). Berbuat sesuai dengan bonafides berarti berbuat berdasar pengertian yang baik, jujur dan lurus. Didalam berlakunya kepatutan dan iktikad baik ini secara klasik dapat dibedakan antara berlakunya sebagai pelengkap dan berlaku sebagi melenyapkan. Berlaku sebagai pelengkap dapat diartikan bahwa kepatutan dan iktikad baik dapat dimasukkan sebagai pelengkap oleh hakim dalam suatu perjanjian yang menghadapi keadaan yang lain dari apa yang dibayangkan semula dengan mengingat sifat dari perjanjian itu yang dapat diambil dari sumber-sumber yang tercantum dalam pasal 1339 KUH Perdata ialah : kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
(Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Purwahid Patrik, S.H, Badan Penerbit UNDIP Semarang cetakan pertama tahun 1986, halaman 17)

6. Asas Actio Pauliana
Untuk melindungi hak tuntutan kreditur-kreditur, pasal 1341 BW memberikan wewenang kepada setiap kreditur untuk dalam keadaan tertentu mengajukan pembatalan terhadap perbuatan debitur yang tidak diwajibkan yang merugikan kreditur-kreditur.
(Pokok-Pokok Hukum Perikatan, R. Setiawan, S.H, Penerbit Binacipta Bandung  cetakan kedua tahun 1979, halaman 55)

7. Asas Subrogasi
Subrogasi adalah penggantian kreditur dalam suatu perikatan sebagai akibat adanya pembayaran. Menurut pasal 1400, subrogasi terjadi karena adanya pembayaran oleh pihak ketiga kepada kreditur. Ketentuan ini sebenarnya tidak sesuai dengan terjadinya subrogasi tersebut dalam pasal 1401 ayat 2, dimana yang membayar adalah debitur, sekalipun untuk itu ia meminjamkan uang dari pihak ketiga. Pihak ketiga dapat saja merupakan pihak dalam perikatan, misalnya sama-sama menjadi debitur dalam perikatan tanggung-renteng.
(Pokok-Pokok Hukum Perikatan, R. Setiawan, S.H, Penerbit Binacipta Bandung  cetakan kedua tahun 1979, halaman 111)

8. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
(Kompilasi Hukum Perikatan, Prof. Dr. Mariam Darus Badruljaman, S.H. dkk, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2001, halaman 87)

9. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
(Kompilasi Hukum Perikatan, Prof. Dr. Mariam Darus Badruljaman, S.H. dkk, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2001, halaman 88)

10. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur. Namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
(Kompilasi Hukum Perikatan, Prof. Dr. Mariam Darus Badruljaman, S.H. dkk, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2001, halaman 88)

11. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
(Kompilasi Hukum Perikatan, Prof. Dr. Mariam Darus Badruljaman, S.H. dkk, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2001, halaman 88)

12. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra-prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam Zaakwaarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya juga asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada “kesusilan (moral)”, sebagai panggilan dari hati nuraninya.
(Kompilasi Hukum Perikatan, Prof. Dr. Mariam Darus Badruljaman, S.H. dkk, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2001, halaman 88)

13. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Menurut hemat saya, asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rsa keadilan dalam masyarakat.
(Kompilasi Hukum Perikatan, Prof. Dr. Mariam Darus Badruljaman, S.H. dkk, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2001, halaman 89)

14. Asas yang membagi hak manusia ke dalam hak kebendaan dan hak perorangan (zakelijke rechten dan persoonlijke rechten)
Yang dimaksud dengan hak kebendaan adalah hak untuk menguasai secara langsung suatu kebendaan dan kekuasaan tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Karena demikian, hak itu disebut hak mutlak (hak absolute), seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan seterusnya. Sedangkan yang dimaksud dengan hak perorangan adalah hak seseorang untuk menuntut suatu tagihan kepada seseorang tertentu. Dalam hal ini, hanya orang ini saja yang harus mengakui hak orang tersebut. Dengan demikian, hak ini disebut hak relative atau nisbi. Misalnya hak untuk menagih suatu uang sewa atas barangnya yang disewakan atau hak untuk menagih suatu piutang kepada seorang tertentu (debitur). Hak seseorang ini juga disebut hak tagihan.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 149)

15. Asas hak milik itu adalah suatu fungsi sosial
Asas ini mempunyai arti bahwa orang tidak dibenarkan untuk membiarkan atau menggunakan hak miliknya secara merugikan orang atau masyarakat. Kalau terjadi “Penyalahgunaan hak milik” (misbruik van recht), maka ia, karena salahnya, dapat dituntut ganti kerugian oleh orang yang merasa dirinya dirugikan berdasarkan pasal 1365 KUHS.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 150)

16. Asas bahwa semua harta kekayaan seseorang menjadi jaminan atau tanggungan semua hutang-hutangnya (pasal 1131 KUHS)
Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada seorang kreditur terhadap debiturnya yang lalai, bahwa piutangnya itu dapat dilunasi dengan hasil penjualan harta kekayaan debitur yang disita oleh pengadilan atas permohonan kreditur (Pasal 1132 KUHS)
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 157)

Asas-asas Hukum Acara Perdata

1. Asas Audi Alteram Partem (Pasal 131 HIR)
Pemeriksaan persidangan harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang. Pengadilan atau majelis yang memimpin pemeriksaan persidangan, wajib memberi kesempatan yang sama (ti give the same opportunity to each party) untuk mengajukan pembelaan kepentingan masing-masing.
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 72)

2. Asas Ultra Petitum Partium atau Ultra Vires
Pengadilan hanya terbatas mengabulkan hal-hal yang diminta secara tegas dalam petitum gugatan. Meskipun sesuatu hal atau hak dikemukakan secara jelas dan tegas dalam dalil gugatan,serta hal atau hak itu dapat dibuktikan penggugat dalam persidangan, namun hal itu, tidak dapat dikabulkan apabila tidak diminta dalam petitum. Ketentuan ini dapat dilihat dalam salah satu putusan yang menyatakan, bahwa sesuatu yang tidak dituntut dalam petitum tidak dapat dipertimbangkan dalam putusan. Begitu juga dalam putusan lain ditegaskan, mengabulkan bunga yang tidak diminta dalam petitum, dianggap melanggar asas ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR (mengabulkan melebihi dari apa yang dituntut).
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 67)

3. Asas Imparsialitas
Asas imparsialitas (impartiality) mengandung pengertian yang luas, meliputi pengertian :
Tidak memihak (impartial)
Bersikap jujur atau adil (fair and just)
Tidak bersikap diskriminatif, tetapi menempatkan dan mendudukkan para pihak yang berperkara dalam keadaan setara di depan hukum (equal before the law).
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 73)

4. Asas Vicarious Liability
Pasal 1367 KUHPerdata menggariskan prinsip pertanggungjawaban hukum atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahan. Menurut prinsip ini, majikan atau atasan bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul dari perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan pegawai atau bawahan. Prinsip ini dikenal juga dengan sebutan vicarious liability.
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 128)

5. Asas Actor Sequitur Forum Rei
Patokan ini digariskan Pasal 118 ayat (1) HIR yang menegaskan :
Yang berwenang mengadili suatu perkara adalah PN tempat tinggal tergugat,
Oleh karena itu, agar gugatan yang diajukan penggugat tidak melanggar batas kompetensi relatif, gugatan harus diajukan dan dimasukkan kepada PN yang berkedudukan di wilayah atau daerah hukum tempat tinggal tergugat.
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 192)

6. Asas Forum Rei Sitae
Makna forum rei sitae, gugatan diajukan kepada PN berdasarkan patokan tempat terletak benda tidak bergerak yang menjadi objek sengketa. Penggarisan forum ini, diatur dalam pasal 118 ayat (3) HIR kalimat terakhir, yang berbunyi :
“atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap (tidak bergerak), maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang itu.”
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 198)

7. Asas Lex Fori
Asas Lex Fori merupakan prinsip hukum perdata internasional yang menganjurkan hukum acara yang diterapkan ialah hukum nasional dari hakim yang memeriksa dan memutus perkara. Bertitik tolak dari prinsip tersebut, tata cara pemanggilan kepada tergugat, meskipun dia pejabat diplomatik negara asing, tunduk kepada hukum acara Negara tempat pengajuan gugatan. Kalau pengajuan gugatan dalam sengketa perkara berdasarkan Hukum Acara Indonesia maka acara pemanggilan pun dilakukan berdasarkan ketentuan Hukum Acara Indonesia, dalam hal ini HIR sebagaimana yang diatur dalam pasal 124 dan 390 HIR.  
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 227)

8. Asas Saisie Sur Saisie Ne Vout
Seperti telah dijelaskan, dalam penyitaan barang bergerak berlaku secara mutlak asas saisie sur saisie ne vout yang digariskan pasal 463 Rv, yaitu melarang sita rangkap atas barang bergerak dalam waktu yang bersamaan. Yang boleh dibebankan adalah sita penyesuaian (vergelijkende beslag).
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 346)

9. Asas Onsplitbaar Aveau
Apabila pengakuan diberikan terhadap sebagian dalil gugatan yang disebut  pengakuan berklausul atau pengakuan bersyarat, hakim dituntut untuk menegakkan asas pengakuan tidak boleh dipisah (onsplitbaar aveau) atau undividable confession. Pengakuan tidak boleh dipisah-pisah. Hakim dilarang hanya mengambil pengakuan yang menguntungkan saja , dan menyingkirkan pengakuan yang merugikan. Prinsip tersebut ditegaskan dalam pasal 176 HIR dan pasal 1924 KUH Perdata.
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 464)

10. Asas Ius Curia Novit
Yakni pengadilan atau hakim dianggap mengetahui segala hukum positif. Bahkan bukan hanya hukum positif, tetapi meliputi semua hukum. Pihak yang berperkara tidak perlu menyebut hukum mana yang dilanggar dan diterapkan, karena hal itu dianggap sudah diketahui hakim.
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 508)

11. Asas Unus Testis Nullus Testis
Begitu juga keterangan saksi, selain hanya terdiri dari satu orang sehingga tidak bernilai sebagai alat bukti sesuai asas seorang saksi bukan saksi atau unus testis nullus testis yang digariskan pasal 1905 KUH Perdata, pasal 169 HIR. Juga saksi yang bersangkutan hanya berkualitas sebagai saksi de auditu, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai saksi yang digariskan pasal 1907 KUH Perdata, pasal 171 ayat (1) HIR, oleh karenaitu keterangan saksi itu tidak sah sebagai alat bukti.
(Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika Jakarta tahun 2005, halaman 539)

12. Asas hakim bersifat menunggu
Dalam perkara perdata, inisiatif untuk mengajukan perkara ke pengadilan sepenuhnya terletak pada pihak yang berkepentingan. Jadi, apakah perkara itu akan diproses atau tidak, atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, hal ini sepenuhnya diserahkan kepada yang berkepentingan. Apabila tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada hakim. Itulah pemeo di dunia peradilan. Jadi, hakim sifatnya menunggu tuntutan hak itu diajukan kepadanya. Setelah ada tuntutan hak dalam bentuk surat gugatan yang telah ditandatangani oleh pihak penggugat atau kuasanya, baru perkara tersebut diproses oleh pengadilan (Pasal 118 HIR, 142 RBG).
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 158)

13. Asas Hakim dilarang menolak perkara
Apabila suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan alasan hukumnya tidak atau kurang jelas. Asas hakim dilarang menolak perkara ini (pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) dimaksudkan karena hakim dianggap tahu akan hukumnya. Apabila ia tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali hukum (rechts scheppen) yang hidup dalam masyarakat atau mencarinya dalam yurisprudensi.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 158)

14. Asas Hakim Bersifat Aktif
Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1970).
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 159)

15. Asas persidangan yang terbuka
Asas ini dimaksudkan agar sosial kontrol dari masyarakat atas jalannya sidang pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperoleh keputusan hakim yang objektif, tidak berat sebelah, dan tidak memihak (pasal 17 dan pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970)
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 159)

16. Asas Putusan harus disertai Alasan-alasan
Apabila proses pemeriksaan perkara sudah selesai, maka hakim memutuskan perkara itu dan keputusan hakim ini harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadilinya (pasal 23 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan pasal 184 (1) HIR). Alasan-alasan itu dicantumkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas keputusannya kepada para pihak dan kepada masyarakat, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah, maka putusan hakim mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 159)

17. Asas Hak Menguji Undang-Undang tidak dikenal Undang-Undang Dasar 1945
Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh undang-undang dasar kita. Akan tetapi, menurut pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, hak menguji diberikan kepada Mahkamah Agung terhadap peraturan undang-undang yang tingkatannya lebih rendah dari undang-undang, dan dapat dinyatakan peraturan undang-undang itu tidak sah.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 160)

Asas-asas Hukum Waris Adat

1. Asas kesamaan hak dalam hukum waris adat
Dalam hukum waris adat di Jawa seperti semua anak, baik ia laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orag tuanya. Juga, perbedaan agama dan umur tidak menjadi soal. Sedangkan menurut hukum waris Islam tidak demikian adanya. Perbandingan hak atas harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2 (dua) berbanding 1 (satu).
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 138)

2. Asas Penggantian waris (Plaatsvervulling)
Dalam hukum waris adat berlaku asas, bahwa apabila seseorang meninggal dunia, sedangkan orang tuanya masih hidup, maka anak-anak dari orang yang meninggal dunia itu bersama-sama menggantikan kedudukan ayahnya atas harta warisan kakek-neneknya (Yurisprudensi tanggal 16 Desember 1938, T. 150 hal. 239)
 (Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 138)

3. Asas kedudukan hukum seorang janda
Dalam hukum adat, seorang janda yang ditinggalkan suaminya karena meninggal dunia berhak tetap tinggal di rumah tangganya dengan hak untuk memegang harta benda yang ditinggalkan suaminya untuk nafkah hidup seterusnya walaupun ia tidak mempunyai kedudukan sebagai ahli waris. Hal ini didukung oleh yurisprudensi tertanggal 29 Desember 1939, T. 152. hal. 162; 24 November 1939, T. 152 hal. 140, dan seterusnya yang menetapkan bahwa janda memang bukan ahli waris. Akan tetapi, ia berhak mendapat penghasilan dari harta peninggalan suaminya, sehingga janda itu dapat meneruskan kehidupannya seperti pada waktu masih dalam perkawinan.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 138)

4. Asas Kedudukan Hukum seorang duda
Di Jawa kedudukan sorang duda terhadap harta peninggalan setelah istrinya meninggal dunia pada asasnya sama dengan seorang janda. Ini sesuai dengan system keluarga di Jawa yang berdasarkan pada keturunan dari kedua belah pihak orang tuanya. Jadi, seorang duda berhak atas nafkah hidup dari harta benda keluarganya setelah istrinya meninggal dunia.
Akan tetapi, dalam kenyataan sosialnya, seorang duda pada umumnya tidak mempunyai alasan alasan-alasan yang begitu mendesak seperti halnya dengan seorang  janda, untuk menahan pembagian harta warisan peninggalan istrinya itu. Apabila duda itu sungguh-sungguh memerlukan nafkah hidup dari harta peninggalan istrinya, maka ia dapat menuntut supaya harta peninggalan istrinya disediakan bagi kehidupannya. Lihat Yurisprudensi tertanggal 22 September 1937, T. 148, hal. 303.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 139)

5. Asas Kedudukan Hukum Anak Angkat
Kedudukan hukum anak angkat dalam hukum waris adapt adalah bahwa anak angkat adalah sebagai anggota rumah tangga (gezinslid), sedangkan ia bukanlah ahli waris. Anak angkat berhak mendapat nafkah hidup dari harta peninggalan seperti halnya dengan janda. Kedudukan hukum anak angkat dalam harta peninggalan memang disamakan dengan kedudukan seorang janda. Dalam keluarga yang tidak mempunyai anak, barang-barang asal suami dan barang-barang pencaharian serta barang gono-gini jatuh kepada janda dan anak angkatnya.. Maka dikatakan bahwa anak angkat itu menerima air dari 2 (dua) sumber air. Karena anak itu tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan ia juga berhak untuk mendapat nafkah hidup dari harta peninggalan orang tua angkatnya.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 140)

6. Kedudukan hukum anak tiri
Kedudukan hukum anak tiri dalam hukum adapt adalah bahwa anak tiri itu adalah anggota rumah tangga (gezinslid) karena telah hidup bersama dalam 1 (satu) rumah tangga yang membawa hak-hak dan kewajiban-kewajiban di antara anggota yang satu terhadap anggota-anggota yang lainnya. Terhadap ibu-bapak kandungnya ia adalah ahli waris, tetapi terhadap ibu-bapak tirinya ia bukan ahli waris, melainkan teman serumah tangga. Jadi, anak tiri itu bukanlah ahli waris dari harta benda keluarga ibu-bapak tiri, ia hanya ahli waris orang tua kandungnya.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 140)

7. Asas Ahli-ahli waris lainnya
Kalau tidak mempunyai anak, maka orang tua yang meninggal dunia menjadi ahli waris, dan kalau orang tuanya juga tidak ada, maka saudara-saudara kandung yang meninggal dunia menjadi ahli waris. Jadi, yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah. Menurut garis vertikal ke bawah, yaitu anak-anak kandungnya sebagai ahli waris golongan pertama, keatas yaitu kedua orang tua kandungnya sebagai ahli waris golongan kedua. Menurut garis horizontal : ke samping terdiri dari saudara-saudara kandungnya, baik laki-laki maupun perempuan dari yang meninggal dunia.
(Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bachsan Mustafa, S.H., Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung Edisi 2003 tahun 2003, halaman 140)











Perlindungan Hukum bagi Penyandang Cacat untuk Mendapatkan Jaminan Aksesibilitas dalam Memperoleh Pekerjaan

BAB I
PENDAHULUAN

 I.1  Latar Belakang
            Negara Indonesia adalah negara hukum. The founding fathers ketika mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merumuskan bahwa negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat).[1] Oleh karena itu, hukum hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 Indonesia sebagai negara hukum, setidaknya harus memiliki tiga ciri-ciri pokok sebagai berikut :
a.       Pengakuan dan perlindungan atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;
b.      Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan lain apapun;
c.       Menjunjung tinggi asas legalitas.[2]
            Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia juga mencakup aspek kemanusiaan. Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu tercantum pada pasal 28A yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Hak-hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia termasuk juga kepada penyandang cacat.  
            Namun pada kenyataannya, penyandang cacat sering dikelompokkan berbeda dengan anggota masyarakat lainnya dalam mempertahankan kehidupannya. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, kebutuhan dan kepentingan penyandang cacat selalu dibeda-bedakan bahkan terabaikan baik oleh pemerintah maupun anggota masyarakat sekitarnya. Hal tersebut dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang membatasi ruang gerak penyandang cacat dan fasilitas-fasilitas yang tidak cukup memadai bagi penyandang cacat dalam melakukan aktivitasnya.
            Misalnya dalam bidang pendidikan, telah dicantumkan persyaratan dalam penerimaan murid baru sekolah menengah atas tahun 2005, bahwa calon siswa hendaknya tidak memiliki cacat fisik karena dianggap siswa cacat fisik dapat menggangu kegiatan belajar mengajar.[3] Lalu, masih banyak penyandang cacat yang tidak sekolah dikarenakan kurangnya Sekolah Luar Biasa (SLB) di suatu daerah. Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan dikarenakan tidak adanya fasilitas yang memadai di Sekolah Luar Biasa (SLB) maupun di sekolah umum untuk kegiatan belajar mengajar para penyandang cacat.[4]
            Contoh lainnya yaitu dalam aksesibilitas fasilitas-fasilitas publik. Dapat dilihat bahwa sangat jarang fasilitas publik seperti kantor pemerintah, tempat ibadah, bank, rumah makan, sekolah, airport, kantor pos, stasiun kereta api, mal/plaza dan lainnya yang menyediakan jalan bagi kursi roda. Bahkan seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit.[5]
            Dalam ajaran agama, kita mengetahui bahwa makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna adalah manusia karena manusia memiliki akal budi, pikiran, hati, rasa dan karsa yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya. Walaupun manusia merasa dirinya berbeda-beda secara fisik, materi, status sosial dan kedudukan namun Tuhan melihat ciptaannya itu sama. Tapi pada hakekatnya manusia sendiri sering memberikan perlakuan yang berbeda atau yang bersifat diskriminatif terhadap sesamanya. Pembedaan perlakuan terhadap penyandang cacat adalah salah satu contohnya. Jadi banyaknya pembedaan yang ada di sekitar kita adalah perbuatan manusia sendiri terhadap sesamanya, yaitu penyandang cacat baik berwujud sikap, perilaku maupun perlakuannya. Seperti pada contoh diatas, perlakuan yang tidak setara dan tidak adil sering dialami oleh penyandang cacat dalam semua bidang. Apalagi pada kenyataannya, penyandang cacat sangat sulit untuk mendapatkan hak akses ketenagakerjaan di Indonesia.
Ketentuan pasal 27 ayat (2) UUD 1945 memberi kerangka acuan global bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan .” Makna yang terkandung didalamnya mempunyai arti bahwa tidak ada perbedaan setiap warga untuk memperoleh pekerjaan, baik warga penyandang cacat maupun masyarakat pada umumnya.
Namun pada kenyataannya, banyak sekali penyimpangan terhadap pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang terjadi di sekitar kita. Seperti pengalaman seorang penyandang cacat tuna pendengaran dan bahasa yang selalu ditolak ketika melamar pekerjaan di perusahaan swasta dan BUMN di Propinsi Banjarmasin. Dia adalah lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) ternama dengan predikat terbaik di daerah tersebut dan IQnya rata-rata. Dia juga menguasai berbagai program komputer yang praktis untuk pekerjaan kantor. Tetapi pada waktu melamar pekerjaan, hampir semua perusahaan swasta dan BUMN selalu menganggap anak bisu dan tuli ini tidak dapat bekerja. Mereka menganggap bahwa orang bisu dan tuli tidak perlu mencari pekerjaan, karena masih banyak orang yang normal dimana merupakan lulusan sekolah umum, perguruan tinggi dan mahir menggunakan komputer.[6]
Di Kalimantan ada seorang ibu dari seorang anak cacat mental (IQ rendah) yang sedang mencarikan pekerjaan kasar untuk anaknya di proyek bangunan. Namun, mandor proyek langsung menolaknya dengan alasan lebih baik mencari pemuda sehat mental agar mudah diarahkan dalam bekerja.[7]
Kasus serupa juga dialami oleh Nine, seorang penyandang cacat tuna netra lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada saat mau mengisi formulir pendaftaran CPNS 2004 Kabupaten Karang Anyar Jateng, Ibu S, yang duduk sebagai ketua panitia pendaftaran CPNS 2004 Kabupaten Karang Anyar Jateng, langsung menolak Nine karena Nine tidak memenuhi persyaratan utuh secara jasmani dan dianggap pasti tidak mampu bekerja. Padahal Nine sudah memiliki brevet lengkap sebagai pengajar bahasa Inggris.[8]
Ketiga contoh diatas adalah sebagian kecil keluhan dan masalah penyandang cacat ketika mencari pekerjaan. Mereka masih sangat merasakan adanya pembedaan yang didapat dari lingkungan sekitar sejak mereka lahir maupun setelah dewasa. Padahal kecacatan ini tentu tidak diharapkan oleh semua manusia.
Persepsi orang-orang tentang penyandang cacat juga sangat menyedihkan. Berdasarkan contoh kasus diatas, banyak orang yang masih beranggapan bahwa penyandang cacat tidak dapat produktif atau dengan kata lain mereka hanya ditempatkan sebagai masyarakat yang harus disantuni. Padahal tidak sedikit penyandang cacat yang memiliki kemampuan dan keterampilan diatas rata-rata. Contohnya adalah Wuri Handayani, penyandang cacat lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga yang lulus dengan predikat cumlaude. Ketika mendaftar sebagai pelamar CPNS untuk mengisi lowongan sebagai akuntan, Wuri menerima tindakan penolakan oleh panitia rekrutmen CPNS. Pada waktu mendaftar, panitia langsung menolak Wuri yang dengan alasan tidak memenuhi persyaratan umum yaitu tidak sehat jasmani karena menggunakan kursi roda.[9]
Kondisi di Indonesia berbeda dengan yang ada di negara lain. Salah satu contohnya di Jepang. IBM Computer yang mempekerjakan 3000 tenaga kerja dapat mempekerjakan lebih dari 200 orang pemakai kursi roda sebagai computer programmer. Artinya, kondisi seperti itu telah melebihi quota wajib 1,6% bagi perusahaan swasta di Jepang, dikarenakan aksesibilitas untuk diffabel (penyandang cacat) sudah baik. Di transportasi umum maupun di dalam gedung sudah ada ‘jalan masuk’ (aksesibilitas) yang dapat digunakan oleh pemakai kursi roda secara mandiri.[10]
Pada abad ke 21 ini seharusnya Indonesia mengalami kemajuan dalam menangani persoalan tentang penyandang cacat sebagai perwujudan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, dilihat dari kenyataan yang ada masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Sebagai negara hukum, perlindungan hak-hak asasi, termasuk hak asasi penyandang cacat, adalah hal yang seharusnya menjadi prioritas bagi Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahan dan itu merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai penguasa. Pemerintah sebagai penguasa disini terkait erat dengan kekuasaan pemerintahan (bestuur;Verwaltung), yang merupakan objek hukum administrasi.
Dalam sejarah hukum Eropa Kontinental, hukum administrasi lahir sebagai konsekuensi dari konsep negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatsidee) pada abad ke-19. Konsep dasar negara hukum liberal adalah keterikatan kekuasaan pemerintahan pada undang-undang (asas legalitas; wetmatigheidbeginselen) dan jaminan perlindungan hak-hak asasi.[11] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum administrasi merupakan instrumen negara hukum. Hal ini berarti sejak awal lahirnya, hukum administrasi memiliki fungsi utama yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dikaitkan dengan konsep ini, ukuran atau indikasi negara bukanlah negara hukum in realita apabila hukum administrasi tidak berfungsi.[12]
Ruang lingkup hukum administrasi (bestuursrecht/administratiefrecht; administrative law) ialah :
1.            Mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat;
2.            Mengatur cara-cara partisipasi warganegara dalam proses pengaturan dan pengendalian tersebut;
3.            Perlindungan hukum (rechtsbescherming);
4.            (hukum administrasi Belanda) Menetapkan norma-norma fundamental bagi penguasa untuk pemerintahan yang baik : (algemene beginselen van behoorlijk bestuur/abbb).[13]
Salah satu makna diatas menggambarkan bahwa hukum administrasi itu memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Pengertian perlindungan hukum bagi rakyat disini berkaitan dengan rumusan dalam kepustakaan berbahasa Inggris, yaitu legal protection of the individual in relation to acts of administrative authorities.[14]
Istilah perlindungan hukum dalam bahasa Inggris diberi terminologi “legal protection” dan dalam bahasa Belanda “Rechts bescherming”. Untuk menjelaskan istilah tersebut dapat dibandingkan dari dua sumber, yaitu dalam kamus hukum Black’s Law dan dari pemikiran akademis oleh Philipus M. Hadjon.
Dalam kamus Black’s Law, perlindungan hukum sejajar dengan konsep “legal protection”, istilah dasarnya adalah “protection” yaitu “the protection of an individual by government is on condition of his sub-mission to the laws”[15] (perlindungan bagi individu oleh pemerintah dalam kondisinya yang harus tunduk pada hukum). Pada konsepsi ini jelas terdapat dua unsur penting, yaitu unsur penundukan hukum dan unsur pemerintah. Jadi dalam konsep perlindungan hukum akan terkait dua unsur penting yaitu aspek hukumnya di satu sisi dan aspek pemerintah di sisi lain.[16]
Dalam telaah teoritik yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, konsep perlindungan hukum dikaitkan dengan penggunaan wewenang pemerintahan (administrative authorities). Oleh sebab itu dikemukakan adanya dua bentuk perlindungan hukum yaitu preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa sedangkan perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa.[17] Jadi pengertian tersebut harus selalu dikaitkan dengan sengketa antara pemerintah, yang menyangkut tindak pemerintahan (bestuurshandeling; administrative action), dengan rakyat.
Dengan mengkaitkan konsep perlindungan hukum dengan permasalahan yang terjadi pada hak-hak asasi penyandang cacat, berarti bahwa bestuur harus memberikan suatu jaminan perlindungan hukum bagi hak asasi penyandang cacat, terutama untuk mendapatkan kesamaan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Jaminan perlindungan hukum atas hak asasi penyandang cacat tersebut dapat dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan, sehingga fungsi jaminan tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Konsep perlindungan hukum sangat penting artinya bagi perlindungan hak-hak asasi manusia di suatu negara. Jika tidak ada pengaturan mengenai perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak asasi penyandang cacat, di suatu negara maka dapat dikatakan perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi tidak terwujud. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa hukum administrasi suatu negara tidak berfungsi dengan baik. Dengan demikian, negara tersebut dapat dikatakan bukanlah suatu negara hukum in realita.
Jaminan perlindungan hukum bagi penyandang cacat atas hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam segala aspek kehidupan termasuk aspek ketenagakerjaan telah tercantum dalam Pasal 28 D ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, yang berbunyi :
Pasal 28D
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28E
(1)    Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal 28I
(2)    Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif  itu.
Hal yang penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan untuk menghindari perlakuan yang diskriminatif dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan adalah adanya aksesibilitas. Jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang cacat tercantum dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, yang berbunyi :
Pasal 28H
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Untuk tetap hidup dan mempertahankan kehidupannya, penyandang cacat harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Dengan bekerja, maka penyandang cacat baru dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Berbekal pada kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, tidak sedikit penyandang cacat yang berhasil mengangkat tingkat kesejahteraan dalam kehidupan yang lebih baik.
Hal ini dibuktikan oleh para tunanetra yang saat ini bekerja sebagai operator telepon di beberapa perusahaan di Jakarta, seperti PT Indosiar Visual Mandiri, Bank Muamalat, Rumah Sakit Hermina, Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan sebagainya (tercatat kurang lebih 16 perusahaan di Jakarta yang telah menerima 29 tunanetra dan satu di perusahaan pertambangan batubara di SawahLunto sebagai operator telepon yang telah dilatih Yayasan Mitra Netra.[18] Lalu ada Gufroni Sakaril, penyandang cacat fisik berumur 30 tahun, yang kini menjabat sebagai Public Relation Manager Indosiar.[19]
 Dari kedua contoh diatas adalah bukti dimana para penyandang cacat dapat mandiri dan bekerja. Tidak mungkin selamanya penyandang cacat adalah tukang pijat atau melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan skill, karena sebagian besar penyandang cacat memiliki kemampuan yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, pada praktek kehidupan sehari-hari mereka harus diperlakukan sama, diberi hak yang sama dan kesempatan untuk dapat membuktikannya.

I.2 Rumusan Masalah
Indonesia adalah negara hukum yang mengakui, menjunjung tinggi, dan   melindungi hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu dapat diangkat dua rumusan masalah dalam penulisan ini, yaitu :
1.      Apakah peraturan perundang-undangan di Indonesia menjamin hak-hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan?
2.      Perlindungan hukum yang dapat ditempuh jika terjadi penyimpangan dalam mewujudkan hak asasi penyandang cacat.

I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a.       Untuk memahami dan menelaah lebih dalam lagi sejauh mana jaminan hukum atas persamaan dan kesempatan kerja yang diberikan kepada tenaga kerja penyandang cacat guna meningkatkan kesejahteraan hidup. Serta untuk mengetahui peran pemerintah dalam memberikan jaminan perlindungan hukum bagi penyandang cacat.
b.      Untuk mengetahui macam-macam sarana perlindungan hukum represif dan menemukan problem solving jika terjadi pelanggaran yang berkaitan dengan hak asasi penyandang cacat terhadap bentuk-bentuk praktek penyelenggaraan persamaan kesempatan dalam aspek ketenagakerjaan.

I.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dan wawasan bagi siapa saja yang memiliki keingintahuan tentang para penyandang cacat dan berkeinginan membantu atau mencari solusi untuk mewujudkan kesetaraan antara penyandang cacat dengan masyarakat pada umumnya dalam memperoleh pekerjaan baik itu sebagai pegawai negeri maupun pegawai swasta sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat dalam kehidupan yang lebih baik.

I.5 Metode Penelitian
a.      Pendekatan Masalah
Penelitian hukum itu ada 2 (dua) macam, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penulisan dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif. Di dalam kepustakaan anglo american terdapat tiga tipe penelitian hukum yang dapat dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif (legal research), yaitu :
1.      Penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif.
2.      Penelitian yang berupa usaha-usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma/doktrin) hukum positif.
3.      Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum in concreto yang sesuai untuk diterapkan guna menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.[20]
Sesuai dengan judul penulisan dan permasalahan yang dirumuskan maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1.      Statute approach atau pendekatan peraturan perundang-undangan.
2.      Conceptual approach atau pendekatan konseptual, yaitu berdasarkan konsep-konsep teknik yuridis dan teoritis.
3.      Case approach atau pendekatan yurisprudensi, yaitu berdasarkan putusan pengadilan.
           
b.                              Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penulisan ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1.      bahan hukum primer, berupa norma-norma hukum. Bahan hukum primer ini akan dikumpulkan dari peraturan perundang-undangan, konsep teknik yuridis, dan putusan pengadilan.
2.      bahan hukum sekunder, berupa pendapat-pendapat hukum yang berkaitan atau relevan dengan masalah dalam penelitian ini, yaitu tentang perlindungan hukum bagi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Bahan hukum sekunder ini akan dikumpulkan dari buku-buku hukum, jurnal hukum, makalah seminar, surat kabar, internet, catatan kuliah, internet, dan skripsi mahasiswa hukum Universitas Airlangga.
Bahan-bahan hukum diatas akan dikumpulkan dari :
1.                                          UU....
2.                                          UU
3.                                          ....
4.                                          ...
5.                                          ....
6.                                          ....

c.       Pengumpulan Bahan Hukum
Pertama-tama peneliti mengumpulkan semua sumber bahan hukum yang terkait dengan penelitian ini atau disebut dengan inventarisasi. Lalu peneliti membaca sumber bahan hukum tersebut. Setelah membacanya, kemudian mengidentifikasi bahan hukum atau memisahkan bahan hukum antara yang berkaitan dengan masalah dengan yang tidak relevan dengan masalah dalam penelitian ini.  

d.      Analisis Bahan Hukum
Setelah semua bahan hukum primer dan sekunder terkumpul maka dapat dianalisis dengan 2 (dua) cara, yaitu pertama-tama peneliti terlebih dahulu mengklasifikasi bahan-bahan hukum primer dan sekunder berdasarkan rumusan masalah yang diajukan. Setelah itu, peneliti membaca semua bahan hukum yang ada untuk menemukan hukumnya. Kemudian peneliti menjelaskan setiap permasalahan berdasarkan rumusan masalah yang diajukan dengan menggunakan teknik interpretasi atau penafsiran. Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.[21] Metode ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui dan menjelaskan makna undang-undang, dimana pada akhirnya bertujuan untuk merealisir fungsi agar hukum positif itu berlaku.


[1] Joko Setiyono, “Kebijakan Legislatif Indonesia Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat”, dalam H. Muladi (ed), Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, Januari 2005, h. 120.
[2] Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, PT Gramedia, Jakarta, 1983, h. 27.
[3] Badriah, ”Orang Cacat Dilarang Sekolah di Sekolah Umum”, http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/06/09/brk,20050609-62251,id.html, 09 Juni 2005.
[4] Nurul Fatchiati, “Rendah, Kesempatan Sekolah Penyandang Cacat”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/04/jogja/1031372.htm, 4 Desember 2006.
[5] Titiana Adinda, “Menggugat Pelaksanaan Kebijakan untuk “Diffable””, http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20061212165731, 12 Desember 2006.
[6] Edi Nugroho,” Sulitnya Penyandang Cacat Cari Kerja”, http://www.banjarmasinpost.com/opini/opini_contoh2&bahas sulitnya penyandang cacat cari kerja.htm, 15 Desember 2005.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Wawancara dengan Wuri Handayani, 12 Mei 2006.
[10] “Aksesibilitas dan diffabelitas”, http://mitranetra.or.id/news/index.asp?lg=2&id=21406959&mrub=3, 21 April 2006.
[11] Philipus M.Hadjon, “Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Administrasi”, dalam Muladi (ed), Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyaraka, PT Refika Aditama, Bandung, Januari 2005, h. 63
[12] Ibid.
[13] Philipus M. Hadjon et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet. VIII, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, h. 28.
[14] Lihat Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, cet.I, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 1.
[15] Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, ST. Paul. Minn, West Publishing co. 1990, h. 1223.
[16] Wiwik Budi Wasito, “Perlindungan Hukum terhadap Hak Warga negara untuk Memperoleh Pendidikan yang Bermutu dan Tanpa Diskriminasi”, skripsi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005, h. 12.
[17] Philipus M. Hadjon III, op.cit., h. 2.
[18] “Difersifikasi Peluang Kerja Bagi Tenaga Kerja Tunanetra Sebuah Upaya Sarat Tantangan”, http://www.mitranetra.or.id/arsip/index.asp?kat=Naker&id=06110101.
[19] “Penyandang Cacat jadi Profesional Muda, Tentu Bisa!”, http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=1041&tbl=psejat, 8 Desember 2005.
[20] Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, h. 10.
[21] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Ed. IV, Cet. II, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1999, h. 154.