Translate

Kamis, 28 November 2013

Hukum Malpraktik di Indonesia

Berdasarkan penelusuran kami pada Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) ternyata tidak terdapat kata malpraktik dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi hal yang Anda maksud bisa memiliki makna apabila kata “mala” digabung dengan kata “praktik” sehingga bermakna celaka yang diakibatkan dalam pelaksanaan pekerjaan (dokter, pengacara, dsb).
 
Hal serupa diutarakan oleh J. Guwandi dengan mengutip Black’s Law Dictionary, sebagaimana kami sarikan dari buku Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek(Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.) (hal. 23-24):
 
“Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.”
 
Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct.
 
Pada peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Oleh karena itu secara perundang-undangan, menurut Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H., ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
 
Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai berikut:
a.    melalaikan kewajiban;
b.    melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;
c.    mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
d.    melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.
 
Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya kepada suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami akan menjelaskan dengan merujuk pada ketentuan beberapa profesi yang ada, misalnya:
1.    Dokter dan dokter gigi sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”);
2.    Advokat sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”);
3.    Notaris sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU Jabatan Notaris”);
4.    Akuntan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (“UU Akuntan Publik”).
 
Setiap profesi yang telah kami sebutkan juga memiliki kode etik masing-masing sebagai pedoman dalam menjalankan tugas profesi. Selain peraturan perundang-undangan, kode etik biasanya juga dijadikan dasar bagi organisasi profesi tersebut untuk memeriksa apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.
 
Untuk profesi akuntan publik, selain kode etik, ditambah pula dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), yaitu acuan yang ditetapkan menjadi ukuran mutu yang wajib dipatuhi oleh Akuntan Publik dalam pemberian jasanya (Pasal 1 angka 11 UU Akuntan Publik). Seperti juga profesi akuntan publik, profesi dokter dan dokter gigi juga memiliki peraturan disiplin profesional yang diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
 
Atas segala ketentuan terkait pedoman profesi-profesi di atas (baik yang ada dalam peraturan perundang-undangan maupun kode etik), terdapat pihak yang akan melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran ketentuan profesi-profesi tersebut. Biasanya terdapat organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi profesi tersebut.
 
Untuk profesi advokat, pihak yang melakukan pengawasan dan dapat menjatuhkan sanksi terhadap malpraktik advokat adalah Organisasi Advokat dan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat (Pasal 26 UU Advokat). Sedangkan untuk profesi Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas (Pasal 67 UU Jabatan Notaris), untuk profesi akuntan publik dilakukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 53 UU Akuntan Publik), dan untuk profesi dokter serta dokter gigi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia).
 
Organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi biasanya akan menjatuhkan sanksi administratif kepada anggotanya yang terbukti melanggar kode etik. Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa ia dapat pula dikenakan sanksi pidana apabila terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam undang-undang masing-masing profesi.
 
Selain itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga dalam hal ini berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”). Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPK berlaku pada mereka:
 
Pasal 19 ayat (1) UUPK:
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
 
Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing profesi. Setiap tindakan yang terbukti sebagai tindakan malpraktik akan dikenakan sanksi.
 
Untuk melengkapi informasi, Anda dapat pula membaca artikel:
 
Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
8.    Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi;
9.    Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia.
 
Referensi:
Machmud, Syahrul. 2012. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek. Karya Putra Darwati. 
www.hukumonline.com
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif

8161 HITS
DI: PERLINDUNGAN KONSUMEN
SUMBER DARI: BUNG POKROL

Langkah Hukum Jika Dokter Salah Diagnosis?

Menurut laman kamuskesehatan.com, definisi diagnosis adalah identifikasi sifat-sifat penyakit atau kondisi atau membedakan satu penyakit atau kondisi dari yang lainnya. Penilaian dapat dilakukan melalui pemeriksaan fisik, tes laboratorium, atau sejenisnya, dan dapat dibantu oleh program komputer yang dirancang untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan.Selain itu, masih bersumber pada laman yang sama, definisi salah diagnosis adalah kesalahan dalam diagnosis setelah pemeriksaan klinis atau prosedur diagnostik teknis dilakukan.
 
Jika mengacu pada definisi diagnosis di atas, apabila dokter yang menangani adik Anda telah melakukan pemeriksaan fisik terhadap adik Anda, meskipun pemeriksaan fisik tersebut tidak dilakukan bersamaan dengan tes laboratorium, lalu dokter memberikan penilaian terhadap penyakit adik Anda, maka tindakan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai diagnosis.
 
Diagnosis suatu penyakit merupakan salah satu bentuk praktik kedokteran. Hal ini sesuai dengan yang disebut dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) yang mengatakan bahwa dokter atau dokter gigi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki. Salah satu praktik kedokteran yang dimaksud adalah menegakkan diagnosis sebagaimana yang disebut dalamPasal 35 ayat (1) huruf d. Adapun dokter yang berwenang untuk melakukan praktik kedokteran itu sendiri menurut Pasal 29 ayat (1) UU Praktik Kedokteran adalah setiap dokter dan dokter gigi yang memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
 
Mengenai tindakan keluarga Anda memeriksakan penyakit adik Anda ke dokter lain, menurut kami hal tersebut wajar dilakukan. Mengutip pendapatKetua Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran Indonesia, Wawang S. Sukarya, dalam artikel Pemenuhan Hak Pasien Masih Diskriminatifseorang pasien berhak bertanya lebih dalam mengenai penyakit yang dideritanya. Apabila merasa tidak puas, pasien dapat meminta second opinion kepada dokter lain untuk membandingkan diagnosis yang diberikan dokter sebelumnya.
 
Sebelum menjawab apa sanksi hukum bagi dokter yang melakukan kesalahan diagnosis, terlebih dahulu kami akan menjelaskan tentang kesalahan diagnosis jika ditinjau dari praktiknya. Menurut M.Y.P. Ardianingtyas, S.H., LL.M dan Dr. Charles M. Tampubolon dalam artikelKesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah?kesalahan diagnosis yang dilakukan oleh seorang dokter termasuk malpraktek medik/kelalaian medik atau bukan, sepanjang seorang dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasiennya memenuhi UU Kesehatan, Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KODEKI”) dan Standar Profesi Kedokteran, maka sekalipun dokter tersebut melakukan kesalahan diagnosis, tindakan dokter tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik/kelalaian medik. Penjelasan lebih lanjut mengenai apakah kesalahan diagnosis itu merupakan malpraktek atau bukan dapat Anda simak dalam artikel tersebut.
 
Menjawab pertanyaan Anda tentang apa sanksi hukum bila dokter salah mendiagnosis penyakit pasiennya, kami juga bersumber pada artikel tersebut. Di sana dikatakan bahwa setiap kasus kesalahan diagnosis dokter yang mencelakakan pasiennya yang selama ini terjadi di Indonesia selalu dibawa ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”) di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang.
 
Dalam artikel Langkah-Langkah yang Dapat Dilakukan Pasien korban Malpraktik dikatakan bahwa MKEK adalah lembaga penegak KODEKI di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia).Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokterandan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.
 
Jadi, yang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh dokter adalah lembaga khusus bernama MKDKI tersebut, termasuk menentukan apakah kesalahan diagnosis terhadap penyakit adik Anda tersebut merupakan tindakan malpraktik atau bukan. Penentuan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi ini dituangkan dalam bentuk keputusan yang dibuat oleh MKDKI. Keputusan ini dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin (lihat Pasal 69 UU Praktik Kedokteran).
 
Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan Pasal 69 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin yang dimaksud dapat berupa:
a.    pemberian peringatan tertulis;
b.    rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c.    kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
 
Namun, jika keluarga Anda sebagai pihak dari pasien merasa dirugikan atas tindakan dokter tersebut, berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran pasien dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dan pengaduannya itu tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
 
Jadi, apabila adik Anda mengadukan secara tertulis kepada MKDKI atas kerugian yang dideritanya, maka hak untuk melapor adanya tindak pidana dan menggugat secara perdata masih dapat dilakukan. Penjelasan lebih lanjut mengenai upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh adik Anda atas kerugian yang dideritanya dapat Anda simak dalam artikel Langkah-Langkah yang Dapat Dilakukan Pasien Korban Malpraktik.
 
Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
sumber : www.hukumonline.com
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif

2989 HITS
DI: PERLINDUNGAN KONSUMEN
SUMBER DARI: BUNG POKROL

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Belanja Online

Kami akan menjawab pertanyaan Anda dengan menggunakan pendekatan utama pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). PP PSTE sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (“UU ITE”).
 
Pendekatan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli/Belanja secara Online
Dengan pendekatan UU PK, kasus yang Anda sampaikan tersebut dapat kami simpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen.
 
Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :
a.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.    hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.    hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.    hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.    hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.     hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.    hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
 
Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjualonline), sesuai Pasal 7 UU PK adalah:
a.    beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.    memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.    memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.    menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.    memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang  dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.     memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.    memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Terkait dengan persoalan yang Anda tanyakan, lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.
 
Anda selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU PK tersebut berhakmendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuaiPasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugidan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
 
Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi:
 
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
 
Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE
Transaksi jual beli Anda, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan UU ITE dan PP PSTE tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Persetujuan Anda untuk membeli barang secaraonline dengan cara melakukan klik persetujuan atas transaksi merupakan bentuk tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan dalam kesepakatan pada transaksi elektronik. Tindakan penerimaan tersebut biasanya didahului pernyataan persetujuan atas syarat dan ketentuan jual beli secara online yang dapat kami katakan juga sebagai salah satu bentukKontrak Elektronik. Kontrak Elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) PP PSTE dianggap sah apabila:
a.    terdapat kesepakatan para pihak;
b.    dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.    terdapat hal tertentu; dan
d.    objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
 
Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTEsetidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
a.    data identitas para pihak;
b.    objek dan spesifikasi;
c.    persyaratan Transaksi Elektronik;
d.    harga dan biaya;
e.    prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
f.     ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
g.    pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.
 
Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang Anda lakukan, Anda dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahan Anda.
 
Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTEmenegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benarberkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.
 
Lalu, bagaimana jika barang yang Anda terima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan?
Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untukmengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.
 
Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang Anda terima tidak sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), Anda juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang Anda lakukan dengan penjual.
 
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”,wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
 
Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka Anda secara perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang Anda terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web site).
 
Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Secara Online
Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana kami jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.
 
Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITEtentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
 
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
 
Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
 
Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
 
Perbuatan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).
 
Catatan tentang Transaksi Secara Online
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman kami, prinsip utama transaksi secara online di Indonesia masih lebih mengedepankan aspek kepercayaan atau “trust” terhadap penjual maupun pembeli. Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan web site electronic commercebelum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, toko online, maupun blog). Salah satu indikasinya adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Kominfo.
 
Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

sumber : www.hukumonline.com
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f9e2ec7ea443/lt4f9e2f2d5b7ab.jpg