Translate

Jumat, 29 November 2013

Pengertian Penggunaan Kawasan Hutan Secara Vertikal dan Horizontal?

1.    Penggunaan kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut, kegiatan pembangunan dimaksud adalah untuk kegiatan pertambangan. Istilah penggunaan kawasan hutan secara Vertikal dan secara Horizontal disebutkan dalam PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan (“PP 2/2008”). Namun, dalam peraturan tersebut belum disebutkan dengan jelas mengenai definisi yang pasti mengenai hal tersebut. Maka dilakukan penafsiran hukum terhadap peraturan perundang-undangan tentang Kehutanan yang berlaku.
 
Pasal 5 ayat (1) PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (“PP 24/2010”) menjelaskan bahwa untuk kegiatan pertambangan diperbolehkan untuk menggunakan kawasan hutan yang dilakukan dengan ketentuan:
a.    Dalam kawasan hutan produksi dapat dilakukan: (1) penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan (2) penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah;
b.    Dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan dengan pola pertambangan bawah tanah.
 
Merujuk pada ketentuan tersebut maka dapat diartikan bahwapenggunaan kawasan hutan secara Vertikal adalah penambangan yang dilakukan dengan pola penambangan bawah tanah. Adapun pengertian penambangan di bawah tanah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Perpres No. 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah (“Perpres 28/2011”) yakni penambangan yang kegiatannya dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar) dengan membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adit) termasuk sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pertambangan.
 
Selanjutnya, untuk pengertian penggunaan kawasan hutan secara Horizontal adalah penambangan yang dilakukan dengan pola pertambangan terbuka. Pengertian penambangan dengan pola pertambangan terbuka dapat kita pahami dari pengertian Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara (“Permen 4/2012”) yang menyebutkan bahwa penambangan terbuka adalah metode penambangan yang segala kegiatannya atau aktivitasnya dilakukan di atas atau relatif dekat dengan permukaan bumi dan tempat kerjanya berhubungan langsung dengan udara luar.
 
Perbedaan antara penggunaan kawasan hutan secara Vertikal dan Horizontal adalah terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
(1) luas cakupan, pada penggunaan kawasan hutan secara Horizontal akan mencakup kawasan hutan lebih luas daripada penggunaan kawasan hutan secara Vertikal. Hal ini akan berdampak pada pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Apabila penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan memiliki cakupan yang luas serta bernilai strategis yakni pertambangan yang berada di dalam Wilayah Usaha Pertambangan Khusus(WUPK) yang berasal dari Wilayah Pencadangan Negara(WPN) yang mana perubahan wilayah tersebut telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)maka izin tersebut hanya bisa diberikan oleh Menteri Kehutanan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat dengan mengacu pada ketentuan dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (“Permen P.18/2011”);
(2) jenis hutan, penggunaan kawasan hutan secara Vertikal dapat dilakukan pada jenis hutan produksi dan hutan lindung, sedangkan penggunaan kawasan hutan secara Horizontal hanya dapat dilakukan pada jenis hutan produksi saja;
(3) besaran PNBP, sesuai dengan ketentuan PP 2/2008 disebutkan bahwa besaran jumlah PNBP berbeda antara penggunaan kawasan hutan secara Vertikal dan Horizontal.
 
2.    Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”) dijelaskan bahwa Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Adapun kesepakatan para pihak sebagaimana dituangkan dalam Perjanjian Arbitrase akan menentukan kewenangan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase. Sehingga Pengadilan Negeri tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak yang telah terikat dalam Perjanjian Arbitrase.
 
Apabila dalam suatu Perjanjian terdapat klausul arbitrase di mana dicantumkan lokasi pelaksanaan arbitrase di Singapore, menggunakan hukum acara Singapore International Arbitration Centre (“SIAC”) dan dengan menggunakan ketentuan hukum Indonesia. Karena itu, menurut Pasal 34 UU 30/1999 disebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak. Penyelesaian melalui lembaga arbitrase yang dipilih akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Selanjutnya, pilihan hukum yang akan berlaku atas penyelesaian sengketa tersebut dapat ditentukan secara bebas oleh para pihak, sebagaimana diatur dalamPasal 56 UU 30/1999.
 
Dengan demikian, secara hukum diperbolehkan adanya klausula demikian. Namun, perlu diperhatikan kemungkinan akan adanya hambatan dalam praktik pelaksanaan arbitrase dengan ketentuan demikian. Apabila menunjuk SIAC sebagai lembaga penyelesaian sengketa maka arbitrase akan diselesaikan oleh arbiter yang terdaftar di SIAC. Maka para pihak dituntut harus lebih teliti dalam hal penunjukkan arbiter dan dianjurkan agar memilih arbiter yang memiliki keahlian menguasai dan memahami hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
 
Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan, semoga dapat membatu.
 
Terima kasih.
 
Dasar hukum:
4.    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah
5.    Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara
6.    Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt51c288a35cea1/lt51c2afea2feac.jpg

2279 HITS
DI: BISNIS & INVESTASI
SUMBER DARI: ADCO ATTORNEYS AT LAW

Haruskah Mengajukan Somasi Sebelum Permohonan Pailit?

Pada dasarnya somasi dilayangkan untuk mengingatkan debitor bahwa adanya suatu keadaan yang belum dilakukan dan/atau prestasi tertunda berdasarkan perjanjian yang disepakati. Hal mana somasi diatur dalam Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yang menyatakan:
 
“Debitor dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitor harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
 
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa somasi dimaksudkan sebagai upaya itikad baik dari kreditor untuk menegur debitor agar melakukan kewajiban/prestasinya. Hakikatnya, somasi ini ditujukan agar penyelesaian sengketa dapat diselesaikan di luar pengadilan.
 
Di sisi lain, dalam hal belum diaturnya mengenai jatuh tempo atau jangka waktu pemenuhan kewajiban oleh debitor, maka kreditor dapat menegaskan perihal jangka waktu pemenuhan kewajiban tersebut dengan melayangkan somasi. Sehingga dalam hal debitor lalai menjalankan kewajibannya maka somasi sebagai bukti untuk menyatakan lalainya debitor atas kewajiban yang patut ia jalankan. Dengan kata lain membuktikan bahwa adanya suatu prestasi yang telah jatuh tempo dan patut bagi kreditor tagihkan.
 
Secara prinsip tidak ada keharusan untuk melayangkan somasi sebanyak tiga kali. Hal tersebut lebih pada asas kebiasaan dan kepatutan yang jamak dilakukan dalam praktik. Tanggapan terhadap somasi dan upaya penyelesaian melalui teguran ini, menjadi parameter iktikad baik kreditur dalam menyelesaiakan permasalahan yang timbul.
 
Perlu digarisbawahi, kejadian kelalaian tidak selalu ditentukan dari adanya somasi sebanyak 3 kali, namun merujuk kembali pada kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian.
 
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU No.37/2004”)menjelaskan bahwa suatu permohonan pernyataan pailit wajib untuk memenuhi persyaratan adanya suatu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, sebagaimana Pasal 2 ayat (1) UU No.37/2004 menyatakan:
 
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
 
Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak disyaratkan adanya pengajuan somasi terlebih dahulu untuk menentukan adanya utang oleh debitor. Yang justru harus diperhatikan terkait kepailitan adalah mengenai dapat dibuktikannya utang tersebut secara sederhana. Artinya, sudah tidak lagi menjadi konflik mengenai ada atau tidaknya utang debitor kepada kreditor.
 
Seringkali permohonan pailit ditolak karena pemohon pailit (dalam hal ini kreditor) tidak dapat membuktikan mengenai utang secara sederhana. Sehingga berimplikasi, penyelesaian harus dilakukan dahulu di pengadilan negeri atau arbitrase. 
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih.
 
Dasar hukum:
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt5135aa700805e/lt5135aa9c84dac.jpg

612 HITS
DI: BISNIS & INVESTASI
SUMBER DARI: SMART ATTORNEYS AT LAW 

Siapa yang Berhak Memohonkan Pailit atas Penjamin Obligasi?

Jawaban:
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fad21e82f7d2/lt51c28a5791f96.jpg
Menjawab pertanyaan rekan diatas berikut beberapa hal yang dapat kami sampaikan:
 
Kepailitan dalam bahasa perancis berasal kata dari “failite” berartikemacetan pembayaran dimana kondisi seorang debitor tidak mampu lagi melakukan pembayaran secara sempurna kepada kreditor-kreditornya.
 
Jika merujuk kepada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUKepailitan”) maka “Kepailitan adalah SITA UMUM atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan olehKurator di bawah Pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang Ini”
 
Untuk dapat sebuah subjek hukum dinyatakan pailit maka haruslah kita rujuk kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUKepailitantentang syarat dan putusan pailit yang jelas diterangkan dimana “debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
 
Hal ini dapat disimpulkan dimana debitor yang mempunyai dua (2) kreditor yang utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih dapat dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan niaga. Namun tidak semua kreditor dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor sebagaimana kita dapat lihat pembatasan-pembatasannya dalam Pasal 2 ayat (2), (3), (4) dan (5).
 
Terkait permohonan pailit kepada penjamin obligasi haruslah kita mengetahui terlebih dahulu akan apa itu obligasi dan siapa itu penjamin obligasi.
 
Obligasi adalah suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi (Investor) yang disertai janji untuk membayar pokok utang disertai dengan bunga pada saat jatuh tempo dalam suatu periode tertentu.
 
Khusus untuk obligasi yang diterbitkan pemerintah RI dalam rangka Rekapitalisasi, secara khusus diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)No.1/10/PBI/1999 tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi tertanggal 3 Desember 1999, PBI No. 2/2/PBI/2000 tertanggal 21 Jauari 2000 dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 2/1/DPM tertanggal 21 Januari 2000 tentang Tata Cara Pencatatan Kepemilikan Dan Penyelesaian Transaksi Obligasi Pemerintah. Dimana kesemua hal tersebut merupakan penjewantahan dari ketentuan yang diatur dalam Bab 6 dan 7 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
 
Siapa yang bisa menerbitkan obligasi? Pada umumnya setiap badan hukum dapat menerbitkan obligasi namun dalam praktiknya hanya badan hukum perseroan (“PT”) yang biasanya menerbitkan obligasi diluar Lembaga Supranasional (contoh ADB), Pemerintah suatu Negara, Sub-Sovereign (Obligasi daerah), Lembaga Pemerintahan, Special Purpose Vehicles. 
 
Siapa itu penjamin obligasi? Di dalam proses umum pada setiap penerbitan obligasi selalu melibatkan penjamin emisi efek atau yang lebih dikenal dengan underwriting.Dalam hal perusahan akan melakukan initial public offering (“IPO”) khususnya dalam hal ini obligasi selalu melibatkan underwriting dimana fungsi dari underwriting adalah guna menjamin obligasi yang akan ditawarkan tersebut akan diserap seluruhnya. Dalam hal tidak diserap 100% oleh pasar maka underwriting wajib mengambilnya.
 
Di dalam proses IPO penjamin emisi obligasi selalu akan membuat perjanjian-perjanjian dengan pihak lain seperti Perjanjian Pendahuluan Pencatatan Efek, Perjanjian Pendaftaran Obligasi di KSEI dan lain-lain. Namun ada dua perjanjian yang selalu menjadi fokus bagi penjamin emisi dalam proses IPO yakni Perjanjian Penjamin Emisi Obligasi dan Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi.
 
Para pihak dalam perjanjian penjamin emisi obligasi adalah emiten dan penjamin emisi obligasi dimana salah satu isi dari perjanjian tersebut memuat janji dari penjamin emisi obligasi untuk membeli sisa efek yang tidak terserap seluruhnya oleh pasar. Sedangkan para pihak dalam perjanjian perwaliamanatan adalah emiten dengan pemegang obligasi yang diwaliki oleh wali amanat.
 
Berikut ilustrasinya:
 
 
Sehingga menjawab pertanyaan rekan siapa yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap penjamin obligasi? maka dengan merujuk kepada penjabaran diatas yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap penjamin emisi obligasi adalah emiten.
 
Jawaban yang kami sampaikan ini dalam konteks pasar modal dan tidak menutup kemungkinan penjamin emisi obligasi membuat perjanjian dengan pihak lain yang menempatkan penjamin emisi obligasi sebagai debitor.
 
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan dan semoga bermanfaat. Terima Kasih,
 
 
 
Note: tulisan ini merupakan pendapat pribadi penjawab dan bukan merupakan pendapat hukum.

 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt51c288a35cea1/lt51c2afea2feac.jpg

673 HITS
DI: BISNIS & INVESTASI
SUMBER DARI: ADCO ATTORNEYS AT LAW

Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Berdasarkan penelusuran kami, tidak ditemukan definisi litigasi secara eksplisit di peraturan perundang-undangan. Namun, Pasal 6 ayat (1)Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”) berbunyi:
 
“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”
 
Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa (hal. 1-2) mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
 
Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, S.H., M.H. dalam bukunya Mediasi di Pengadilan (hal. 8), bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution(ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
 
Dari hal-hal di atas dapat kita ketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
 
Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
 
Arbitrase sendiri adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS).
 
Frans Winarta dalam bukunya (hal. 7-8) menguraikan pengertian masing-masing lembaga penyelesaian sengketa di atas sebagai berikut:
a.    Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
b.    Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
c.    Mediasi: cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
d.    Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.
e.    Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya
 
Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang dilakukan di dalam pengadilan (litigasi). Kita ambil contoh mediasi. Dari pasal tersebut kita ketahui bahwa mediasi itu adalah penyelesaian di luar pengadilan, akan tetapi dalam perkembangannya, mediasi ada yang dilakukan di dalam pengadilan.
 
Rachmadi Usman, (Ibid, hal. vii-viii) mengatakan dengan diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.
 
Lebih lanjut, Rachmadi Usman, sebagaimana ia kutip dari naskah akademis yang dibuat oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa sebenarnyalembaga mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, dimana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapore mempunyai lembaga mediasi, baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai istilah antara lain: Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution, Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain.
 
Sebagai referensi lain untuk Anda, Anda juga dapat menyimak artikel kami berjudul Penyelesaian Perkara Pidana dan Perdata di Luar Jalur Pengadilandan Penyelesaian Sengketa di Arbitrase.
 
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Artinya, bukan merupakan bagian dari lembaga litigasi meskipun dalam perkembangannya adapula yang menjadi bagian dari proses litigasi, seperti mediasi yang dilakukan di pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan litigasi itu sendiri adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
2.    Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
 
Referensi:
1.    Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.
2.    Rachmadi Usman2012. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif

82 HITS
DI: BISNIS & INVESTASI
SUMBER DARI: BUNG POKROL

Pencabutan Izin Perseroan dalam Likuidasi

Sebagaimana yang kami pahami bahwa untuk pembubaran suatu badan hukum perseroan (Likuidasi) diatur dalam Bab X, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Hal mana menurut Pasal 142 ayat (1) UUPT Likuidasi dapat terjadi karena:
 
a)    berdasarkan keputusan RUPS;
b)    karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c)    berdasarkan penetapan pengadilan;
d)    dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e)    karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f)     karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengasumsikan bahwa likuidasi yang dimaksud adalah likuidasi yang terjadi dan telah ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
 
Hal mana likuidasi yang dilakukan berdasarkan RUPS dimaksud, untuk pencabutan izin usaha perseroan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
 
1.     Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan(“UU No.28/2007”), Pasal 2 ayat (6) UU No.28/2007, suatu perseroan yang dilikuidasi untuk penghapusan NPWP dilakukan dengan cara memohonkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) domisili hukum perseroan.
 
Adapun prosesnya selama 6 (enam) bulan sejak permohonan diajukan dan akan dikabulkan dengan ketentuan utang pajak telah dilunasi atau hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa, kecuali dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, sebagaimana diatur dalam  Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor.20/PMK. 03/2008 Tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
 
2.  Tanda Daftar Perusahaan (TDP), menurut Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 37/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan (“Permendag No.37/2007”), Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3), dilakukan oleh likuidator perusahaan bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan pembubaran perseroan kepada Kementerian Hukum dan HAM, dan kemudian melaporkan pembubaran dimaksud kepada Kepala Kantor Pendaftaran Perusahaan Kabupaten/Kota/Kotamadya setempat dengan melampirkan dokumen sebagai berikut :
(a)     bukti penerimaan pemberitahuan dari Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan;dan
(b)      TDP asli.
 
3.     Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag No. 36/2007”) jo.  Peraturan Menteri Perdagangan No.46/M-DAG/PER/9/2009 TEntang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.36/M-DAG/PER/9/2007 tentang penerbitan Surat izin usaha perdagangan (“Permendag No. 46/2009”); dan terakhir kali diubah    Peraturan Menteri Perdagangan No. 39/M-DAG/PER/12/2011 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag No. 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag No. 39/2011”), dalam Pasal 18 menyatakan bahwa Pemilik SIUP yang menutup perusahaannya wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Pejabat Penerbit SIUP disertai alasan penutupan dan mengembalikan SIUP asli.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pencabutan dan/atau penghapusan izin perusahaan dilakukan setelah proses Likuidasi perusahaan telah ditetapkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih.
 
 
Dasar hukum:
3.         Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 73/PMK.03/2012 Tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
4.         Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor.44/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak.
5.         Peraturan Menteri Keuangan Nomor.20/PMK. 03/2008 Tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
9.         Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 37/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan.
10.      Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor. SE - 48/PJ/2012 Tentang Kebijakan Pelaksanaan Verifikasi.

http://images.hukumonline.com/frontend/lt5135aa700805e/lt5135aa9c84dac.jpg

808 HITS
DI: HUKUM PERUSAHAAN
SUMBER DARI: SMART ATTORNEYS AT LAW /www.hukumonline.com