Translate

Senin, 10 Maret 2014

Cara Menghitung Pesangon Berdasarkan Alasan PHK

Secara konsep, ada dua jenis PHK, yaitu PHK secara sukarela dan PHK dengan tidak sukarela. Dalam artikel Berkembangnya Alasan-Alasan PHK dalam Praktik dijelaskan ada beberapa alasan penyebab pemutusan hubungan kerja (“PHK”) yang terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
 
PHK sukarela misalnya, yang diartikan sebagai pengunduran diri buruh tanpa paksaan dan tekanan. Begitu pula karena habisnya masa kontrak, tidak lulus masa percobaan (probation), memasuki usia pensiun dan buruh meninggal dunia. PHK tidak sukarela dapat terjadi karena adanya pelanggaran, baik yang dilakukan buruh maupun pengusaha/perusahaan.
 
Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai rincian pesangon yang didapat oleh pekerja yang mengundurkan diri dan PHK dapat dilihat dari tabel sebagai berikut.
 
 
Alasan PHK
Kompensasi
Pengaturan di UU Ketenagakerjaan
Mengundurkan diri tanpa tekanan
Berhak atas UPH
Pasal 162 Ayat (1)
Tidak lulus masa percobaan
Tidak berhak kompensasi
Pasal 154
Selesainya PKWT
Tidak Berhak atas Kompensasi
Pasal 154 huruf b
Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 161 Ayat (3)
Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 169 Ayat (1)
Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 153
PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 164 (1)
PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi.
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 164 (3)
Peleburan, Penggabungan, perubahan status danPekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 163 Ayat (1)
Peleburan, Penggabungan, perubahan status danPengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 163 Ayat (2)
Perusahaan pailit
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 165
Pekerja meninggal dunia
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 166
Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
UPH dan Uang pisah
Pasal 168 Ayat (1)
Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan)
2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
Pasal 172
Pekerja memasuki usia pensiun
opsional
Sesuai Pasal 167
Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)
1 kali UPMK dan UPH
Pasal 160 Ayat (7)
Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah
1 kali UPMK dan UPH
Pasal 160 Ayat (7)
Keterangan:
UP = Uang Pesangon; UPMK = Uang Penghargaan Masa Kerja; UPH = Uang Penggantian Hak                                 
 
 
Berikut akan kami jelaskan tentang Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak. Kewajiban pengusaha membayar uang pesangon dan uang lainnya tersebut kepada pekerjanya dalam hal terjadi PHK dapat kita jumpai pengaturannya dalam Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yangberbunyi:
 
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
 
Lalu bagaimana cara menghitung uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja? Berikut kami akan uraikan beberapa pasal yang mengatur tentang kedua uang tersebut satu-persatu:
 
a.    Perhitungan Uang Pesangon [Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan]
Masa Kerja
Uang Pesangon yang Didapat
kurang dari 1 (satu) tahun
1 (satu) bulan upah
1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun
2 (dua) bulan upah
2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun
3 (tiga) bulan upah
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun
4 (empat) bulan upah
4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun
5 (lima) bulan upah
5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun
6 (enam) bulan upah
6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun
7 (tujuh) bulan upah
7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun,
8 (delapan) bulan upah
8 (delapan) tahun atau lebih
9 (sembilan) bulan upah
 
b.    Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja [Pasal 156 ayat (3)UU Ketenagakerjaan]
 
Masa Kerja
Uang Penghargaan Masa Kerja yang Didapat
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun
2 (dua) bulan upah
6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun
3 (tiga) bulan upah
9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun
4 (empat) bulan upah
12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun
5 (lima) bulan upah
15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,
6 (enam) bulan upah
18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun
7 (tujuh) bulan upah
21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun
8 (delapan) bulan upah
24 (dua puluh empat) tahun atau lebih
10 (sepuluh ) bulan upah
 
c.    Perhitungan Uang Penggantian Hak [Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan]
Adapun UPH terdiri dari:
a.    cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.    biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.    penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.    hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
 
Dari uraian di atas diketahui bahwa pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela tidak berhak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Ia hanya berhak mendapatkan uang penggantian hak.
 
Di samping itu, menurut Umar Kasim dalam artikel Apakah Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Mendapat Pesangon?, khusus bagi karyawan yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, maksudnya non-management committee, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UUK juga berhak diberikan Uang Pisah yang nilainya dan pelaksanaan pemberiannya, merupakan kewenangan (domain) para pihak untuk memperjanjikannya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama. Penjelasan lebih lanjut mengenai UPH bagi pekerja yang resign atau dapat Anda simak dalam artikel tersebut.
 
Sementara untuk pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapat kompensasi sesuai alasannya masing-masing sebagaimana sudah diuraikan di tabel di atas.
 
Demikian, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
sumber ;http://www.hukumonline.com/

Dakwaan Budi Mulya Beberkan Kronologis Keputusan Status Bank Century

JUMAT, 07 MARET 2014
Rapat terakhir sebelum status Bank Century diputuskan, 21 November 2008, dihadiri oleh Ketua KSSK Sri Mulyani Indrawati, Boediono, Raden Pardede, dan konsultan hukum Arief Surowidjojo.
NOV
Dibaca: 619 Tanggapan0
Dakwaan Budi Mulya Beberkan Kronologis Keputusan Status Bank Century

Terdakwa Budi Mulya didampingi putrinya, Artis Nadya Mulya di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Proses penentapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik berjalan cukup alot. Silang pendapat mewarnai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Anggito Abimanyu (Kepala Badan Kebijakan Fiskal), Fuad Rahmany (Bapepam-LK), dan Agus Martowardoyo (Dirut Bank Mandiri) bahkan sudah memperingatkan agar KSSK berhati-hati mengambil keputusan yang belum didukung kecukupan data.

Namun, KSSK melanjutkan rapat dengan Komite Koordinasi (KK) tanggal 21 November 2008 yang dihadiri Ketua KSSK Sri Mulyani Indrawati, Boediono, Raden Pardede, dan konsultan hukum Arief Surowidjojo. Berdasarkan hasil rapat itu, Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diminta menangani Century.

Fakta mengenai rapat tersebut terungkap dalam dakwaan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Bidang IV Pengeloaan Devisa dan Moneter Budi Mulya yang dibacakan penuntut umum Antonius Budi Satria di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/3). Antonius mengatakan, Sri Mulyani dan Boediono beberapa kali menggelar rapat.

Pada 16 November 2008, Sri Mulyani, Boediono, Miranda Swaray Gultom, Muliaman Dharmansyah Hadad, Siti Chalimah Fadjriah, Halim Alamsyah, Fuad Rahmany, Noor Rachmat (wakil dari BAPEPAM-LK), dan sejumlah perwakilan dari LPS menggelar rapat terkait perkembangan kondisi Century.

“Dalam rapat tersebut, perwakilan dari LPS, Firdaus Djaelani dan Suharno Eliandy menyampaikan, biaya penyelamatan Century lebih besar ketimbang tidak menyelamatkan atau menutup Century. Sesuai perhitungan Firdaus, biaya untuk menutup Century Rp195,354 miliar, sedangkan penyelamatan Century Rp15,362 triliun,” kata Antonius.

Ia melanjutkan, Boediono yang saat itu menjabat Gubernur BI menyatakan agar Firdaus tidak menghitung berdasarkan sisi mikronya saja. Menindaklanjuti arahan Dewan Gubernur BI, Halim, Wimboh Santoso, dan Agusman menyusun materi presentasi analisa risiko sistemik perbankan Indonesia untuk mengetahui apakah Century berdampak sistemik.

Tanpa melakukan cross check, mereka menggunakan Template for Systemic Assesment Framework yang tercantum dalam MoU otoritas pengawas keuangan bank-bank sentral dan Kementerian Keuangan dari Uni Eropa. Alhasil, disusunlah empat jalur analisis, yaitu pembayaran, pasar, keuangan, dan  sektor riil.

Halim memerintahkan Agusman menambahkan faktor psikologis masyarakat untuk menghubungkan semua jalur analisis dan agar dampak sistemik Century dapat terlihat melalui contagion channels. Halim mempresentasikan analisis itu dalam rapat KSSK, 19 November 2008. KSSK belum mengambil keputusan.

Sekretaris KSSK Raden Pardede merasa perlu ada surat dari Gubernur BI, dokumen pendukung, memperhatikan Peraturan BI (PBI), dan analisa sistemik untuk pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD). Ia juga memandang perlu menggunakan Pasal 20 Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan sepanjang bank tersebut sistemik.

Mikro-Makro
Dewan Gubernur BI kembali memberi arahan agar Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) menyiapkan kajian untuk mendukung alasan agar Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik. Selain itu, DPNP juga diminta menyiapkan surat dari Gubernur BI untuk diserahkan kepada KSSK.

Kemudian, pada 20 November 2008, Halim meminta Agusman menambahkan jalur pendekatan psikologis pasar atau masyarakat dalam menganalisis dampak sistemik Century. Jalur tersebut tidak dapat dilihat secara kuantitatif, sehingga tidak terukur. Selanjutnya, BI memperoleh neraca bulanan Century.

Antonius mengungkapkan, Capital Adecuancy Ratio (CAR) Century negatif 3,53 persen per 31 Oktober 2008. Berdasarkan ringkasan eksekutif hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Zainal Abidin mengusulkan Century ditetapkan sebagai bank gagal dan diserahkan kepada LPS. Kondisi likuiditas Century semakin menurun, meski sudah diberikan FPJP.

Dewan Gubernur BI meminta KSSK memutuskan kebijakan penanganan Century. Dalam RDG, Fadjriah sempat menyatakan berdasarkan penilaian pengawas BI, Century tidak tergolong sistemik dari sisi invidivual institusi atau mikro. Namun, harus dilihat pula dari sisi makro, seperti ukuran bank dan apakah Century penting dalam sistem perbankan,

Selanjutnya, Budi Rochadi menyatakan ada simpanan Yayasan Kesejahteraan Karyawan BI di Century yang harus diperhatikan jika Century dinyatakan gagal. Budi Mulya mengusulkan, agar tidak terkesan hanya untuk satu bank, ada suatu effort bersama. Akhirnya, dibuatlah data matrik mengenai penilaian dampak sistemik.

Ternyata, dari sisi ukuran, Century tidak signifikan, dari sisi kredit, mayoritas diberikan untuk modal kerja. Fungsi Century tidak begitu penting dalam industri perbankan. Setelah melihat data matrik, Budi dan anggota Dewan Gubernur BI lainnya khawatir KSSK tidak akan menyetujui Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Antonius mengatakan, Budi meminta ditambah satu jalur lain dalam analisis dampak sistemik, yaitu jalur psikologis masyarakat. Budi melihat jalur lembaga keuangan malah melemahkan argumen yang menyatakan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, sehingga Budi meminta data matrik tersebut tidak dilampirkan.

Senada, Miranda menganggap dari jalur kriteria data matrik terkait lembaga keuangan, hanya satu yang memiliki keterkaitan dengan dampak sistemik Century. Miranda meminta lampiran data matrik tidak dimasukkan karena nanti akan ramai. Boediono mulai menanyakan persetujuan masing-masing anggota Dewan Gubernur BI.

“Terdakwa dan seluruh anggota Dewan Gubernur BI menyatakan setuju bahwa Century ditetapkan sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik. Setelah itu, DPNP membuat surat tanggal 20 November 2008, ditandatangani Boediono yang ditujukan kepada Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan dan Ketua KSSK,” ujar Antonius.

Namun, Raden Pardede mengubah isi lampiran analisis, yang semula mencantumkan, “untuk mencapai CAR 8 persen dibutuhkan tambahan modal Rp1,77 trilun”, menjadi “untuk mencapai CAR 8 persen dibutuhkan tambahan modal Rp632 miliar dana akan terus bertambah seiring dengan pemburukan kondisi Century selama November 2008”.

Raden beralasan, jika analisis itu dilampirkan, tidak akan disetujui Menteri Keuangan. Sekitar pukul 23.00 WIB dilaksanakan rapat pra KSSK yang dihadiri Sri Mulyani, Raden, Budi, Boediono, Miranda, Fadjriah, Budi Rochadi, Muliaman, Zainal, Hery Kristiyana, Pahla Santosa, Halim, Anto Prabowo, dan Dicky Kartikoyono.

Rapat tersebut dihadiri pula Darmin Nasution, Anggito Abimanyu, Fuad Rahmany, Agus Martowardoyo, Rudjito, dan Firdaus Djaelani. Rudjito selaku Ketua Dewan Komisioner LPS menyampaikan, dalam keadaan normal, seharusnya Century tidak terkategori sebagai bank berdampak sistemik. LPS memerlukan justifikasi yang lebih terukur.

Dalam rapat, Anggito berpendapat, analisis risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur. Analisis lebih kepada analisis dampak psikologis. Sama halnya dengan Fuad. Menurutnya, ukuran (size) Century tidak besar secara finansial, sehingga tidak menimbulkan risiko signifikan terhadap bank-bank lain.

Selain itu, Fuad menyampaikan, risiko sistemik yang dianalisa BI lebih kepada dampak psikologis. Apabila bank kecil saja dinyatakan dapat menimbulkan risiko sistemik, akan menimbulkan persepsi bahwa perbankan Indonesia sangat rentan. Dari sisi pasar modal juga tidak sistemik karena saham Century tidak aktif di perdangan.

Sementara, Agus Martowardoyo menyampaikan supaya berhati-hati dalam mengambil keputusan dengan informasi terbatas. Setelah selesai sesi tanya jawab, Sri Mulyani menutup rapat dengan tidak memperoleh kesimpulan. Namun, sekitar pukul 04.30 WIB tanggal 21 November 2008, KSSK kembali melanjutkan rapat dengan KK.

Menurut Antonius, rapat subuh hari itu dihadiri Sri Mulyani, Boediono, Raden, serta Arief Surowidjojo selaku konsultan hukum. “Kemudian, diputuskan Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik dan meminta LPS melakukan penanganan terhadap Century sesuai UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS,” tuturnya.

Singkat cerita, LPS melakukan penyetoran dana Penyertaan Modal Sementara (PMS) sejak 24 November 2008 sampai 24 Juli 2009 ke rekening Century di BI melalui Real Time Gross Settlement (RTGS) seluruhnya berjumlah Rp6,762 triliun. Akibatnya, sesuai penghitungan BPK, kerugian negara mencapai Rp6,762 triliun.

Skrup Kecil
Pengacara Budi, Luhut MP Pangaribuan merasa keberatan dengan dakwaan penuntut umum. Ia berpendapat, disadari atau tidak, ada sejumlah poin yang secara eksplisit justru membenarkan perbuatan Budi. Misalnya, soal FPD, Boediono menyampaikan agar jangan dilihat secara mikro saja, melainkan harus dilihat juga secara makro.

Kemudian, mengenai pernyataan Rudjito bahwa Century tidak akan berdampak sistemik dalam keadaan normal. “Dalam keadaan normal, memang tidak perlu ditolong dan tidak sistemik. Nah, waktu itu kan keadannya abnormal, makanya ada istilah FPD dan makro. Jadi, jangan dilihat keadaan darurat ini sebagai keadaan normal,” jelasnya.

Luhut menilai, dalam situasi krisis, ada kewenangan luar biasa. Syarat-syarat yang berlaku pun bukan syarat umum, melainkan syarat khusus. Itulah yang akhirnya mempengaruhi keputusan RDG yang selanjutnya disetujui KSSK. Dengan demikian, Luhut menampik perbuatan kliennya sebagai perbuatan melawan hukum maupun penyalahgunaan.

“Secara hukum itu dibenarkan. Sama seperti Presiden memberlakukan Perppu sebagai pengganti undang-undang. Waktu itu ada empat Perppu yang diundangkan, termasuk Perppu tentang BI. Budi Mulya ini hanya satu skrup kecil dalam pengambilan keputusan. Dalam arti, dia bagian dari RDG dan itu kebijakan institusi,” tandasnya. sumber: http://www.hukumonline.com/

Selasa, 14 Januari 2014

Aspek Hukum Jasa Konstruksi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi


Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional, di mana pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, dirasakan perlu pengaturan secara rinci dan jelas mengenai jasa konstruksi, yang kemudian dituangkan dalam di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi).
Jasa Konstruksi Secara Umum
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbentuk badan hukum. Penyedia jasa konstruksi yang merupakan perseorangan hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil. Sedangkan pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.
Perizinan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi
Penyedia jasa konstruksi yang berbentuk badan usaha harus (i) memenuhi ketentuan perizinan usaha di bidang jasa konstruksi dan (ii) memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja adalah pengakuan tingkat keahlian kerja setiap badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di bidang usaha jasa konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan demikian, hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di bidang usaha jasa konstruksi.
Berkenaan dengan izin usaha jasa konstruksi, telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP 28/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 28/2000 (PP 4/2010) dan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional.
Pengikatan Suatu Pekerjaan Konstruksi
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau terbatas, dan dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung. Pemilihan penyedia jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. Badan-badan usaha yang dimilki oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara bersamaan. Berkenaan dengan tata cara pemilihan penyedia jasa ini, telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP 29/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 29/2000.
Kontrak Kerja Konstruksi
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai (i) para pihak; (ii) rumusan pekerjaan; (iii) masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan; (iv) tenaga ahli; (v) hak dan kewajiban para pihak; (vi) tata cara pembayaran; (vii) cidera janji; (viii) penyelesaian perselisihan; (ix) pemutusan kontrak kerja konstruksi; (x) keadaan memaksa (force majeure); (xi) kegagalan bangunan; (xii) perlindungan pekerja; (xiii) aspek lingkungan. Sehubungan dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Uraian mengenai rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi (a) volume pekerjaan, yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan; (b) persyaratan administrasi, yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi; (c) persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa; (d) pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat; (e) laporan hasil pekerjaan konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
Peran Masyarakat dan Masyarakat Jasa Konstruksi
Masyarakat juga memiliki peran dalam suatu penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi, diantaranya untuk (i) melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi; (ii) memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan konstruksi; (iii) menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa konstruksi; (iv) turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
Masyarakat jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi. Masyarakat jasa konstruksi ini diselenggarakan melalui suatu forum jasa konstruksi yang dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Forum ini bersifat mandiri dan memiliki serta menjunjung tinggi kode etik profesi. Peran masyarakat jasa konstruksi ini diatur lebih lanjut dalam PP 4/2010.
Peran Pemerintah
Pemerintah juga memiliki peran dalam penyelenggaraan suatu jasa konstruksi, yaitu melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan. Pengaturan yang dimaksud dilakukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan dan standar-standar teknis. Sedangkan pemberdayaan dilakukan terhadap usaha jasa konstruksi dan masyarakat untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi. Selanjutnya, mengenai pengawasan, dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembinaan ini dapat dilakukan bersama-sama dengan masyarakat jasa konstruksi. Pembinaan jasa konstruksi ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Gugatan Masyarakat
Dalam suatu penyelenggaraan usaha jasa konstruksi, terdapat kemungkinan bahwa masyarakat mengalami kerugian sebagai akibat dari penyelenggaraan pekerjaan konstruksi tersebut. Karena itulah, masyarakat memiliki hak mengajukan gugatan perwakilan. Yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat dari kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Sanksi
Sanksi administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran UU Jasa Konstruksi adalah berupa (i) peringatan tertulis; (ii) penghentian sementara pekerjaan konstruksi; (iii) pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; (iv) larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi (khusus bagi pengguna jasa); (v) pembekuan izin usaha dan/atau profesi; dan (vi) pencabutan izin usaha dan/atau profesi. Selain sanksi administratif tersebut, penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenakan denda paling banyak sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak atau pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
- See more at: http://www.hukumproperti.com/2010/11/02/aspek-hukum-jasa-konstruksi-berdasarkan-undang-undang-nomor-18-tahun-1999-tentang-jasa-konstruksi/#sthash.P3xd5ADx.dpuf
Helen Taurusia, S.H.