Translate

Kamis, 28 November 2013

Prosedur Hibah Tanah dan Bangunan kepada Keluarga

Di dalam hukum positif, mengenai hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUHPerdata, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barangsecara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
 
Berikut kami uraikan syarat dan tata cara hibah berdasarkan KUHPerdata:
1.    Pemberi hibah harus sudah dewasa, yakni cakap menurut hukum, kecuali dalam hak yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu KUH Perdata (Pasal 1677 KUHPerdata)
2.    Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris (Pasal 1682 KUHPerdata)
3.    Suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan suatu akibat mulai dari penghibahan dengan kata-kata yang tegas yang diterima oleh si penerima hibah (Pasal 1683 KUHPerdata)
4.    Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua (Pasal 1685 KUHPerdata)
 
Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), bagi mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, akta hibah harus dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris sebagaimana yang kami sebutkan di atas. Namun, setelah lahirnya PP 24/1997, setiap pemberian hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
 
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997:
 
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jikadibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
 
Kemudian, berdasarkan Pasal 38 ayat (1) PP 24/1997, pembuatan akta dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.
 
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa hibah tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta yang dibuat oleh PPAT, yakni berupa akta hibah. Jadi, bila seorang kakak ingin menghibahkan tanah serta bangunannya kepada adik kandungnya seperti dalam cerita Anda, hibah itu wajib dibuatkan akta hibah oleh PPAT. Selain itu, perbuatan penghibahan itu dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua saksi.
 
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 40 PP 24/1997, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar dan PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan kepada para pihak yang bersangkutan.
 
Mengenai bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT (termasuk akta hibah) terdapat dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Anda dapat simak pula penjelasan terakit ini dalam artikel Perubahan Blangko Akta-akta PPAT (AJB, Akta Hibah, APHT dll.).
 
Kemudian, kami akan menjawab pertanyaan Anda lainnya mengenai bagaimana penghitungan pajak bagi tanah dan bangunan yang dihibahkan.Hibah atas Tanah dan/atau Bangunan, bukan merupakan objek Pajak Penghasilan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU PPh”) yang menyatakan:
 
Yang tidak termasuk Objek Pajak adalah: harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikian, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.”
 
Mengacu ketentuan di atas, hibah tanah dan bangunan yang dilakukan oleh kakak kepada adik kandungnya (keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat) dalam cerita Anda bukan merupakan objek pajak penghasilan. Akan tetapi, hibah atas tanah dan/atau bangunan ini merupakan objek pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”).
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 200 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (“UU BPHTB”)BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas sebuah peristiwa hukum berupa perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
 
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dimaksud meliputi pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah (lihat Pasal 2 ayat [2] huruf a UU BPHTB).
 
Berdasarkan Pasal 5 UU BPHTB dikatakan bahwa tarif BHPTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Menurut UU BPHTB, dasar pengenaan BPHTB ini adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (“NPOP”). Untuk hibah, NPOP ditetapkan sebesar nilai pasar. Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, maka berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU BPHTBdasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
 
Berdasarkan Pasal 8 UU BPHTBNilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah NPOP dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (“NPOPTKP”). NPOPTKP tersebut sebesar Rp60 juta, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (“NPOPKP”).
 
Jadi, secara sederhana, BPHTB terutang dihitung dengan cara:
BPHTB Terutang = 5% x NPOPKP
NPOPKP = NPOP - NPOPTKP
 
Keterangan:
NPOPKP = Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
NPOP = Nilai Perolehan Objek Pajak
NPOPTKP = Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
 
Berdasarkan Pasal 4 UU BPHTB, yang menjadi subjek pajak (pihak yang dikenakan pajak tersebut) adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak.
 
Oleh karena itu, adik kandung Anda yang harus membayar BPHTB karena ia adalah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan tersebut. Dengan demikian, kewajiban untuk membayar BPHTB terutang terletak pada adik Anda, yakni sebesar perhitungan yang telah kami jelaskan di atas.
 
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU BPHTB, penentuan waktu BPHTB terutang atas tanah dan bangunan yang diperoleh melalui hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Namun demikian, saran kami, untuk mengetahui lebih jauh mengenai tata cara pembayaran BPHTB terhutang ini dapat Anda konsultasikan langsung dengan kantor layanan pajak setempat.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
5.    Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

 sumber : www.hukumonline.com

Senin, 25 November 2013

Kekuatan Pembuktian Perjanjian Sewa Menyewa Rumah

Pada dasarnya, perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dalam perjanjian tersebut seketika pada saat perjanjian tersebut dibuat secara sah. Demikian ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Syarat sah perjanjian itu sendiri antara lain adalah:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Akan tetapi, Anda perlu melihat lagi dalam hal perjanjian tersebut digunakan sebagai bukti. Perjanjian termasuk ke dalam salah satu alat bukti berdasarkanPasal 1866 KUHPer yaitu bukti tertulis. Berdasarkan Pasal 1866 KUHPer dan Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR)/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB) (“HIR”), alat-alat bukti itu sendiri dalam hukum perdata ada bermacam-macam yang terdiri atas:
1. bukti tertulis;
2. bukti saksi;
3. persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
 
Berdasarkan Pasal 1867 KUHPer dan Pasal 165 HIR, bukti tertulis dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Bukti tulisan-tulisan otentik (akta otentik)
Yaitu suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat (Pasal 1868 KUHPer dan Pasal 165 HIR).
2.      Bukti tulisan-tulisan di bawah tangan
Suatu akte yang ditandatangani di bawah tangan dan dibuat tidak dengan perantaraan pejabat umum, seperti misalnya akte jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan lain sebagainya yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum (Penjelasan Pasal 165 HIR).
 
Akan tetapi, walaupun akta otentik dan akta di bawah tangan atau perjanjian di bawah tangan sama-sama merupakan alat bukti, kekuatan pembuktiannya dapat menjadi berbeda. Kekuatannya dapat menjadi berbeda karena:
1.      Akte otentik itu merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang disebutkan dalam akte itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja. Isi dari akte otentik itu dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa apa yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai benar, tetapi tidaklah demikian halnya (Penjelasan Pasal 165 HIR). Hal serupa juga dikatakan dalam Pasal 1870 KUHPer, bahwa akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
 
2.      Sedangkan untuk suatu akta di bawah tangan atau perjanjian di bawah tangan, akan berlaku sebagai bukti yang sempurna sebagai suatu akta otentik jika diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai (Pasal 1875 KUHPer dan Penjelasan Pasal 165 HIR). Jika salah satu pihak memungkiri tulisan atau tanda tangannya, atau ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya menerangkan tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.
 
3.     Perbedaan lain adalah: apabila pihak lain mengatakan, bahwa isi akta otentik itu tidak benar, maka pihak yang mengatakan itulah yang harus membuktikan, bahwa akta itu tidak benar, sedangkan pihak yang memakai akta itu tidak usah membuktikan, bahwa isi akta itu betul, sedangkan pada akta bawah tangan, apabila ada pihak yang meragukan kebenaran akta tersebut, maka pihak ini tidak perlu membuktikan, bahwa akta itu tidak betul, akan tetapi pihak yang memakai akta itulah yang harus membuktikan bahwa akta itu adalah betul (Penjelasan Pasal 165 HIR).
Jadi yang menentukan kekuatan pembuktian suatu akta atau perjanjian bukanlah adanya materai atau tidak pada perjanjian yang telah ditandatangani tersebut. Tetapi kekuatan pembuktian terletak pada siapa yang membuat akta atau perjanjian tersebut. Materai digunakan agar perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. (Mengenai materai, Anda dapat membaca artikel Keabsahan PKWT Tanpa Meterai)
 
Berdasarkan uraian di atas, pada dasarnya perjanjian sewa menyewa tersebut tetap mengikat kedua belah pihak, dan berdasarkan Pasal 1576 KUHPer, dengan dijualnya barang yang disewa, persewaan tidak menjadi putus (kecuali telah diperjanjikan sebelumnya pada waktu menyewakan barang).
 
Apabila perjanjian sewa menyewa rumah tersebut bukan dibuat dalam bentuk akta otentik (bukan dibuat oleh notaris atau dibuat di hadapan notaris), maka sebagai akta di bawah tangan, perjanjian sewa menyewa tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna seperti akta otentik selama para pihak mengakui akta tersebut. Akan tetapi apabila salah satu pihak tidak mengakui adanya akta tersebut, dalam hal ini misalnya pihak yang menyewakan tidak mengakui perjanjian sewa menyewa, maka Anda sebagai pihak yang memakai akta itu untuk membuktikan bahwa ada hubungan sewa menyewa atas rumah tersebut, harus membuktikan bahwa perjanjian itu benar adanya.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

Bolehkah Menjual Tanah yang Dibebani Hak Tanggungan?

Kami kurang mendapat informasi yang jelas dari pertanyaan Anda. Kami berasumsi maksud pertanyaan Anda adalah apakah tanah yang dibebani dengan hak tanggungan boleh dijual oleh si pemilik tanah (pemberi hak tanggungan).
 
Pada dasarnya, hak tanggungan merupakan hak kebendaan, yang mana salah satu ciri hak kebendaan adalah hak tersebut mengikuti bendanya di tangan siapa pun benda tersebut berada (droit de suite). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”), yang berbunyi:
 
“Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.”
 
Dalam Penjelasan Pasal 7 UU Hak Tanggungan dikatakan bahwa sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji.
 
Ini berarti pada dasarnya tidak menjadi masalah jika hak tanggungan tersebut dijual oleh si pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) kepada orang lain, karena hak tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah yang dijaminkan (dengan asumsi bahwa hak tanggungan tersebut telah didaftarkan ke Kantor Pertanahan sehingga hak tanggungan tersebut telah lahir).
 
Akan tetapi, pada praktiknya penerima hak tanggungan seringkali memperjanjikan bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan mengalihkan objek hak tanggungan, serta diperjanjikan pula bahwa sertifikat tanah yang dijaminkan akan dipegang oleh penerima hak tanggungan.
 
Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan mengalihkan objek hak tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g UU Hak TanggunganJ. Satrio dalam bukunya berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (Buku 2) (hal. 103), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa dengan dimuatnya klausula tersebut, pemberi hak tanggungan terikat untuk tidak melakukan tindakan atau mengambil sikap yang bisa mengakibatkan beralihnya pemilikan objek hak tanggungan kepada pihak lain tana persetujuan pemegang hak tanggungan.
 
Sedangkan, janji bahwa penerima hak tanggungan akan memegang sertifikat tanah (Pasal 11 ayat [2] huruf k jo. Pasal 14 ayat [4] UU Hak Tanggungan) akan berakibat bahwa pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) tidak dapat menjual tanah yang dijaminkan. Ini karena untuk melakukan jual beli tanah dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ("PPAT"), PPAT akan meminta sertifikat asli atas tanah tersebut (Pasal 39 ayat [1] Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
 
Jadi, pada dasarnya pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) tetap dapat menjual objek hak tanggungan. Akan tetapi, harus dilihat terlebih dahulu hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam Akta Hak Tanggungan. Selain itu, pada umumnya karena hak tanggungan tetap mengikuti objek hak tanggungan di tangan siapapun tanah tersebut berada, maka jarang ada pembeli yang ingin membeli tanah yang dijaminkan dengan hak tanggungan, kecuali dalam jual beli tersebut diperjanjikan hal-hal guna melindungi kepentingan pembeli.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
J. Satrio. 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2. PT Citra Aditya Bakti.

Balik Nama Tanah Setelah Menikah, Apakah Statusnya Menjadi Harta Bersama?

Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Apakah Jual Beli Tanah Bisa Dibatalkan?berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hukum agraria yang berlaku di Indonesia ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Dalam hukum adat, jual beli tanah itu bersifat terang dan tunaiTerang itu berarti jual beli tersebut dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang, dalam hal iniPejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Sedangkan, yang dimaksud dengan tunai adalah hak milik beralih ketika jual beli tanah tersebut dilakukan dan jual beli selesai pada saat itu juga. Apabila harga tanah yang disepakati belum dibayar lunas oleh pembeli, maka sisa harga yang belum dibayar akan menjadi hubungan utang piutang antara penjual dan pembeli.
 
Mengenai pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 37 ayat (1) jo. Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, setelah ditandatanganinya akta jual beli tanahtersebut (yang dibuat oleh PPAT), dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya akta jual beli tersebut, PPAT wajib menyampaikan akta jual beli tersebut kepada Kantor Pertanahan.
 
Akan tetapi, perlu Anda ketahui bahwa nama pembeli di akta jual beli tersebut haruslah nama Anda. Karena dalam balik nama sertifikat tanah tersebut dari nama kakak Anda menjadi nama Anda, Anda harus melampirkan fotokopi identitas penerima hak (yaitu Anda sebagai pembeli). Oleh karena itu, nama pembeli dalam akta jual beli haruslah nama Anda sebagai pihak penerima hak. Lebih jauh tentang apa saja yang dibutuhkan untuk balik nama, Anda dapat membaca artikel kami yang berjudul Balik Nama Sertifikat Tanah.
 
Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn, dalam bukunya yang berjudulHukum Pertanahan (hal. 33), mengatakan bahwa untuk kondisi normal, dalam arti tanah tersebut tidak bermasalah, maka proses balik nama tersebut akan berlangsung selama maksimal 1 (satu) bulan sejak didaftarkan. Namun demikian, pembeli sudah berstatus sebagai pemilik tanah yang baru, terhitung sejak ditandatanganinya akta jual beli atas tanah dan/atau bangunan yang dimaksud.
 
Berdasarkan penjelasan di atas, berarti bahwa Anda sudah menjadi pemilik tanah tersebut sejak jual beli terjadi tanpa menunggu adanya balik nama atas tanah tersebut. Dengan demikian, tanah yang telah Anda beli sebelum menikah tersebut, menjadi harta bawaan Anda dan tidak masuk ke dalam harta bersama (Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
Purnamasari, Irma Devita. 2010. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan. Penerbit Kaifa

Langkah Hukum Bila Tak Sepakat Besaran Ganti Rugi Pembebasan Tanah

Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan layang yang merupakan jalan umum, memang termasuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (“UU 2/2012”):
                              
Pasal 10 UU 2/2012:
“Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a.    …;
b.    jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
…”
 
Pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil sebagaimana dikatakan dalam Pasal 9 ayat (2) UU 2/2012.
 
Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai (Pasal 33 jo. Pasal 32 UU 2/2012). Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan (Pasal 31 ayat (1) UU 2/2012). Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum (Pasal 34 ayat (1) UU 2/2012).
 
Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publiktersebut (Pasal 63 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).
 
Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 34 ayat (3) UU 2/2012).
 
Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Lembaga Pertanahan dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 37 ayat (1) UU 2/2012). Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU 2/2012).
 
Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan (Pasal 37 ayat (2) UU 2/2012).
 
Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012). Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan (Pasal 38 ayat (2) UU 2/2012).
 
Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (Pasal 38 ayat (3) UU 2/2012). Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima (Pasal 38 ayat (4) UU 2/2012).
 
Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan (Pasal 38 ayat (5) UU 2/2012).
 
Jika pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012, maka karena hukum pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah (Pasal 39 UU 2/2012).
 
Melihat dari ketentuan-ketentuan di atas, jika Anda dan para pemilik tanah lainnya tidak setuju dengan besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil perundingan, maka Anda dapat mengajukan keberatan pada pengadilan negeri setempat.
 
Anda tidak dapat digusur dengan paksa karena berdasarkan Pasal 5 UU 2/2012, pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
 
Jadi, selama belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian dan belum ada pemberian ganti kerugian, Anda tidak wajib melepaskan tanah Anda.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
2.    Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Langkah Hukum Jika Bank Tidak Mengembalikan Sertifikat Hak Milik

Anda mengatakan bahwa yang dijadikan jaminan adalah SHM.Kami beranggapan bahwa SHM yang Anda maksud adalah sertifikat hak atas tanah yaitu Sertifikat Hak Milik yang dijaminkan dengan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).
 
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan, hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c.   pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
 
Melihat pada ketentuan di atas, hak tanggungan tersebut hapus karena Anda sudah melunasi utang Anda.
 
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU Hak Tanggungan, setelah hak tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Dengan hapusnya hak tanggungan, sertifikat hak tanggungan tersebut akan ditarik dan bersama-sama buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan (Pasal 22 ayat (2) UU Hak Tanggungan).
 
Jika sertifikat hak tanggungan karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah hak tanggungan (Pasal 22 ayat (3) UU Hak Tanggungan).
 
Permohonan pencoretan hak tanggungan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat hak tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa hak tanggungan hapusBaikkarena piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan itu sudah lunas, atau ada pernyataan tertulis dari kreditor bahwa hak tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan (Pasal 22 ayat (4) UU Hak Tanggungan).
 
Dalam perkara ini, Anda sebagai pihak yang berkepentingan, dapat melakukan permohonan pencoretan hak tanggungan dengan melampirkan sertifikat hak tanggungan dan surat pernyataan dari kreditor bahwa utang Anda telah lunas.
 
Dengan dicoretnya hak tanggungan, Anda sebagai pemilik tanah tersebut akan mendapatkan kembali hak atas tanah Anda sepenuhnya tanpa ada beban di atas tanah tersebut.
 
Mengenai kreditor yang tidak juga memberikan sertifikat hak milik Anda dan sertifikat hak tanggungan, J. Satrio dalam bukunya Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (Buku 2) (hal. 298) mengatakan bahwa dalam hal sertifikat hak tanggungan tidak disertakan bersama-sama dengan permohonan roya, maka yang demikian itu tidak menghalangi pelaksanaan roya; dan hal itu cukup dicatat saja pada buku tanah hak tanggungan. Ini juga sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 22 ayat (3) UU Hak Tanggungan.
 
Sedangkan mengenai pengembalian sertifikat hak atas tanah (SHM) kepada debitor, berdasarkan UU Hak Tanggungan, SHM tidak dibutuhkan untuk mencoret hak tanggungan. Akan tetapi, J. Satrio masih dalam buku yang sama mengatakan bahwa sekalipun tidak disebutkan dalam Pasal 22 ayat (4) UU Hak Tanggungan, tentunya juga dilampirkan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Ini karena sertifikat hak atas tanah (yang merupakan salinan buku tanah) harus disesuaikan dengan buku tanah sebagai induknya.
 
Karena pada dasarnya dalam UU Hak Tanggungan tidak diatur mengenai keharusan melampirkan sertifikat hak atas tanah, maka tidak ada ketentuan yang mengatur dalam hal kreditor tidak mau bekerja sama memberikan sertifikat atas tanah kepada debitor untuk melakukan pencoretan hak tanggungan.
 
Dalam UU Hak Tanggungan diatur jika kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan tertulis bahwa hak tanggungan telah hapus karena utang sudah lunas, debitor (yang berkepentingan) dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat hak tanggungan yang bersangkutan didaftar (Pasal 22 ayat (5) UU Hak Tanggungan).
 
Hal serupa juga dikatakan oleh Kartini Muljadi dan Gunawan Widjajadalam bukunya yang berjudul Hak Tanggungan (hal. 272-273), sebagaimanapernah dikutip dalam artikel Arti Istilah Roya, yang mengatakan bahwa untuk keperluan pencoretan hak tanggungan, pemberi hak tanggungan diperbolehkan untuk mempergunakan semua sarana hukum yang diperbolehkan (termasuk permohonan perintah pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri), dan karenanya juga mempergunakan semua alat bukti yang diperkenankan yang membuktikan telah hapusnya hak tanggungan tersebut.
 
Jika kreditor tetap tidak mengembalikan sertifikat hak atas tanah Anda (SHM Anda), Anda dapat mencoba meminta dengan cara kekeluargaan. Akan tetapi jika cara tersebut tetap tidak berhasil, Anda dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
 
Sebagaimana dikatakan dalam artikel yang berjudul Hukum Menahan Surat Berharga Milik Karyawan yang Sudah Berhenti Bekerja, perbuatan melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu; dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian). Lebih jauh, simak Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Referensi:
J. Satrio. 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.