Translate

Jumat, 29 November 2013

Aturan-Aturan Hukum Corporate Social Responsibility

Mengenai perusahaan membangun desa setempat, hal ini terkait dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau Corporate Social Responsibility(“TJSL”). TJSL tidak hanya mengenai kegiatan yang dilakukan perusahaan dimana perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, tetapi juga terkait kewajiban perusahaan dalam melestarikan lingkungan.
 
Dalam hal ini, Anda tidak menyebutkan apa jenis perusahaan tersebut. Oleh karena itu kami akan memaparkan mengenai TJSL dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:
 
 
Mengenai TJSL, diatur dalam Pasal 74 UUPT dan penjelasannya. Pengaturan ini berlaku untuk perseroan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPT, Perseroan (Perseroan Terbatas) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
 
Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
 
Pasal 74 UUPT pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal berikut ini:
a.    TJSL ini wajib untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
Sedangkan yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
b.    TJSL ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
c.    Mengenai sanksi, dikatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.
 
Dalam Pasal 4 PP 47/2012, dikatakan bahwa TJSL dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Rencana kerja tahunan perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan TJSL.
 
Pelaksanaan TJSL tersebut dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS (Pasal 6 PP 47/2012).
 
 
Dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud dengan TJSL menurutPenjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
 
Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing (Pasal 1 angka 4 UU 25/2007).
 
Selain itu dalam Pasal 16 UU 25/2007 juga diatur bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ini juga merupakan bagian dari TJSL.
 
Jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan TJSL, maka berdasarkan Pasal 34 UU 25/2007, penanam modal dapat dikenai sanksi adminisitatif berupa:
a.    peringatan tertulis;
b.    pembatasan kegiatan usaha;
c.    pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d.    pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
 
Selain dikenai sanksi administratif, penanam modal juga dapat dikenai sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 34 ayat (3) UU 25/2007).
 
 
 
Berdasarkan Pasal 68 UU 32/2009, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a.    memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b.    menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c.    menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
 
4.  Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tahun 2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan (“Permen BUMN 5/2007”)
 
Dalam peraturan ini diatur mengenai kewajiban Perusahaan Perseroan (“Persero”), Perusahaan Umum (“Perum”), dan Perusahaan Perseroan Terbuka (“Persero Terbuka”).
 
Berdasarkan Pasal 2 Permen BUMN 5/2007Persero dan Perum wajib melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Sedangkan Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program BinaLingkungan dengan berpedoman pada Permen BUMN 5/2007 yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
 
Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana BUMN (Pasal 1 angka 6 Permen BUMN 5/2007). Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana BUMN (Pasal 1 angka 7 Permen BUMN 5/2007).
 
 
Kegiatan usaha hulu yang dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana wajib memuat ketentuan-ketentuan pokok yang salah satunya adalah ketentuan mengenai pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat (Pasal 11 ayat (3) huruf p UU 22/2001).
 
Selain itu dalam Pasal 40 ayat (5) UU 22/2001 juga dikatakan bahwaBadan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi (kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir) ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat.
 
Melihat pada ketentuan-ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa memang ada peraturan-peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk membangun masyarakat di sekitar.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
6.    Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik NegaraNo. PER-05/MBU/2007 Tahun 2007Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif

1428 HITS
DI: HUKUM PERUSAHAAN
SUMBER DARI: BUNG POKROL www.hukumonline.com

Bisakah Tanah Milik Bersama Dijaminkan oleh Satu Orang?

Dalam hal ini karena yang dijaminkan adalah tanah, maka tanah tersebut dijaminkan dengan hak tanggungan.
 
Sebagaimana terdapat dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UUHT”) pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
 
Mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum berarti pemberi hak tanggungan adalah pihak yang dapat bertindak bebas atas tanah tersebut.
 
Menurut J. Satrio, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I (hal. 249-250), melakukan perbuatan hukum atau tindakan hukum merupakan tindakan yang bisa meliputi bidang yang sangat luas, bisa meliputi tindakan-tindakan pengurusan (beheer) maupun tindakan-tindakan pemilikan (beschikking).
 
Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindakan pengurusan (beheer) adalah tindakan mempertahankan suatu kekayaan atau membuat suatu kekayaan memberikan suatu hasil, termasuk menguangkan kekayaan itu sesuai dengan tujuannya. Sedangkan tindakan pemilikan (beschikking) merupakan tindakan yang membawa (atau bisa membawa) akibat perubahan, tanpa ada keharusan untuk melakukan tindakan tersebut, perubahan itu bisa berupa bertambah atau bahkan berkurangnya suatu kekayaan atau bagian kekayaan tertentu, seperti tindakan menjual, menghibahkan, menukarkan, atau membebani.
 
Menurut J. Satrio, S.H., tindakan membebani termasuk dalam tindakan pemilikan, karena tindakan tersebut bisa merupakan suatu tindakan permulaan, yang berakhir dengan hilang/hapusnya hak atas benda jaminan yang bersangkutan sebagai bagian dari kekayaan seseorang. Jadi, yang dimaksud dengan kewenangan mengambil tindakan hukum dalam Pasal 8 UUHT adalah kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan (Ibid, hal. 251).
 
Pihak yang dapat melakukan tindakan pemilikan adalah pihak yang mempunyai hak milik. Ini karena berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria(“UU Pokok Agraria”) hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.
 
Pasal 20 UU Pokok Agraria:
Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
 
Pasal 6 UU Pokok Agraria:
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
 
Kami beranggapan maksud dari pernyataan ‘tanah tersebut dimiliki oleh 3 (tiga) orang adalah ketiga nama orang tersebut tercantum dalam sertifikat hak atas tanah sebagai pemilik tanah. Selain itu kami berasumsi juga dalam sertifikat tersebut tidak diberikan kepada setiap orang dengan menyebutkan besarnya bagian masing-masing orang sebagaimana terdapat dalam Pasal 31 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
 
Oleh karena tanah tersebut dimiliki oleh 3 (tiga) orang dan tidak ada pembagian secara jelas, maka yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum atas tanah tersebut adalah ketiga-tiganya secara bersama-sama.
 
Ini berarti tidak dapat diletakkan jaminan hak tanggungan di atas tanah tersebut oleh satu orang saja. Kecuali kedua orang yang lain telah memberikan surat kuasa khusus kepada satu orang tersebut untuk bertindak untuk dan atas nama mereka untuk menjaminkan tanah tersebut.
 
Karena pemberian hak tanggungan dilakukan dengan akta PPAT, maka sebagaimana dikatakan dalam Pasal 101 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”), jika dalam pemberian hak tanggungan tersebut, 2 (dua) orang pemegang hak atas tanah yang lain tidak dapat hadir, maka perbuatan hukum tersebut dapat dilakukan oleh orang yang dikuasakan oleh pemegang hak atas tanah dengan surat kuasa tertulis.
 
Pasal 101 ayat (1) Permen Agraria 3/1997:
Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
Adapun kuasa untuk melakukan tindakan hukum yang berhubungan dengan hak atas tanah yang dapat mengakibatkan hilang atau hapusnya hak seseorang atas tanah tersebut, menggunakan surat kuasa dalam bentuk akta notaris. Ini karena akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Dan dengan digunakannya akta notaris, berarti jelas bahwa pemegang hak atas tanah yang tidak dapat hadir pada saat pemberian hak tanggungan, memang datang dan memberikan kuasanya di depan notaris dan disaksikan oleh para saksi.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
4.  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
 
Referensi:
J. Satrio. 1997. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
www.hukumonline.com
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif

1480 HITS
DI: PERTANAHAN & PERUMAHAN
SUMBER DARI: BUNG POKROL

Kamis, 28 November 2013

Penjelasan Soal Putusan Provisi, Putusan Sela, dan Penetapan Sementara

Kami mengasumsikan bahwa maksud dari pertanyaan Anda adalah putusan provisi dalam lingkungan hukum acara perdata.
 
A. Definisi dan Dasar Hukum Putusan Provisi
 
Putusan Provisi atau provisionil menurut Prof. Sudikno Mertokusumoadalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.
 
Dasar hukum pengaturan Putusan Provisi tidak diatur secara tegas, melainkan secara implisit dalam Pasal 180 ayat (1) Het Herziene Indlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 191 ayat (1)Rechtsreglement voor de Buitengewesten (“RBg”).
 
C. Pembeda atau Persamaan Putusan Provisi dengan Putusan Sementara
 
Kami mengasumsikannya maksud dari “penetapan putusan sementara” dalam pertanyaan anda tersebut menjadi 2 (dua), yaitu sebagai:
1.      Putusan Sela sebagaimana terdapat dalam Hukum Acara Perdata; atau
2.      Penetapan Sementara sebagaimana terdapat dalam Pengadilan Niaga pada lingkungan Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”).
 
Putusan Sela
 
Menurut Pasal 185 ayat (1) HIR, terdapat 2 (dua) jenis Putusan Hakim dilihat dari waktu penjatuhannya, yaitu:
 
1.    Putusan Akhir (eind vonnis)
Putusan akhir adalah suatu putusan yang bertujuan mengakhiri dan menyelesaikan suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu (pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung). Putusan Akhir dapat bersifat deklaratif, constitutief, dan condemnatoir.
 
2.    Putusan Sela (tussen vonnis)
Putusan Selaadalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
 
Dalam praktik peradilan terdapat 4 (empat) jenis Putusan Sela yaitu:
 
1.    Putusan Prepatoir: Putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara tanpa mempengaruhi pokok perkara dan putusan akhir.
2.    Putusan Interlucotoir: Putusan yang berisi bermacam-macam perintah terkait masalah pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
3.    Putusan Insidentil: Putusan yang berhubungan dengan adanya insiden tertentu, yakni timbulnya kejadian yang menunda jalannya persidangan. Contoh : putusan insidentil dalam gugatan intervensi dan putusan insidentil dalam sita jaminan.
4.    Putusan Provisionil: Putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Contoh : putusan yang berisi perintah agar salah satu pihak menghentikan sementara pembangunan di atas tanah objek sengketa.
 
(Lihat juga artikel “Putusan Sela”)
 
Penetapan Sementara
 
Penetapan Sementara diatur dalam Pasal 49 s/d Pasal 52 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (“UU Desain Industri”), Pasal 125 s/d Pasal 128 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (“UU Paten”), Pasal 85 s/d Pasal 88Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”), Pasal 67 s/d Pasal 70 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara(“PERMA 5/2012”) adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan berupa perintah yang harus ditaati semua pihak terkait berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Pemohon terhadap pelanggaran hak atas Desain Industri, Paten, Merek dan Hak Cipta, untuk :
a.    Mencegah masuknya barang yang diduga melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual dalam jalur perdagangan
b.    Mengamankan dan mencegah penghilangan barang bukti oleh Pelanggar.
c.    Menghentikan pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar.
 
Pendapat Dr. Lilik Mulyadi dalam tulisannya “Putusan Provisionil dan Penetapan Sementara”, menjelaskan bahwa:
·         Putusan Provisi dan Penetapan Sementara bersifat sangat segera dan mendesak
·         Terdapat nuansa yuridis yang bersifat identik antara Putusan Provisi dengan Penetapan Sementara.
·         Apabila Putusan Provisi dituangkan dalam bentuk Putusan Sela, maka hakekatnya identik dengan Penetapan Sementara.
 
Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Semoga dapat membantu.
 
Dasar Hukum:
1.    Het Herziene Indlandsch Reglement (Reglement Indonesia Diperbaharui) (Staatsblad 1848 No. 16 jo Staatsblad No. 44)
2.    Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement untuk Daerah Seberang) (Staatsblad 1927 No. 227)
7.    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara

www.hukumonline.com
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f750cc51c755/lt4f75611655952.jpg

6770 HITS
DI: ILMU HUKUM
SUMBER DARI: LEGAL 1O1