Translate

Rabu, 30 Oktober 2013

BAB II Tentang Pengaturan Hak-hak Penyandang Cacat Utk Aksesibilitas dlm Memperoleh Pekerjaan

BAB II
PENGATURAN HAK PENYANDANG CACAT UNTUK MENDAPATKAN JAMINAN AKSESIBILITAS DALAM MEMPEROLEH PEKERJAAN

II.1. Pengaturan Hukum Tentang Hak-hak Penyandang Cacat
Hukum itu adalah untuk orang. Jadi dalam membicarakan hukum, kita tidak dapat lepas dari kehidupan manusia karena hukum itu menyangkut sikap atau perbuatan lahir (yang tampak dari luar) manusia, bukan apa yang dibatin oleh manusia. Sesuai dengan asas cogitationis poenam nemo patitut bahwa tidak seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau dibatinnya.
Selain mengutamakan perbuatan lahir dari tiap manusia secara individu, hukum itu juga mengatur hubungan manusia sebagai makhluk sosial yaitu hubungan hukum yang terdiri dari ikatan-ikatan antara anggota masyarakat atau subyek hukum. Adapun subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari hukum.  Yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum hanyalah orang (natuurlijke person). Jadi orang oleh hukum diakui sebagai penyandang hak dan kewajiban, atau sebagai subyek hukum. Namun dalam perkembangannya, orang bukanlah satu-satunya subyek hukum karena hukum menciptakan subyek hukum lain yang bukan orang, yaitu badan hukum (recht person). Badan hukum adalah sekelompok orang (organisasi) yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban, misalnya: negara dan perseroan terbatas.  Untuk pembahasan selanjutnya, penulis hanya akan membahas subyek hukum orang sebagai topik dalam skripsi ini.
Setiap orang di Indonesia, tanpa kecuali adalah subyek hukum. Sejak dilahirkan manusia mempunyai hak dan kewajiban. Apabila meninggal dunia hak dan kewajibannya akan beralih kepada ahli warisnya. Mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya itu. Walaupun setiap orang pada umumnya mempunyai hak dan kewajiban, tetapi ada beberapa golongan orang yang dianggap tidak cakap melaksankan beberapa hak atau kewajiban. Jadi subyek hukum orang yang pada dasarnya mempunyai kewenangan hukum itu, ada yang dianggap cakap bertindak sendiri (cakap hukum) dan ada yang dianggap tidak cakap bertindak sendiri (tidak cakap hukum). Golongan orang yang tidak cakap hukum disebut juga personae miserabile.  Menurut pasal 1330 BW (KUH Perdata), mereka ini adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa atau anak minderjarige : belum berusia 21 tahun dan belum pernah kawin (lihat pasal 330 BW).
(Telah dicabut dengan pasal 47 jo. pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga parameter dewasa adalah sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin);
2. Orang meerderjarig yang berada dibawah pengampuan, yaitu : sakit ingatan/gila, pemabuk/pemboros;
3. Orang-orang perempuan yang terikat status perkawinan atau seorang istri.
(Telah dicabut dengan pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Penyandang cacat adalah orang. Berdasarkan ketentuan diatas, berarti penyandang cacat juga merupakan subyek hukum yang pastinya memiliki hak dan kewajiban.
Definisi penyandang cacat berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, menyebutkan bahwa :
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental,  yang  dapat  mengganggu  atau  merupakan  rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari :
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental;
c. Penyandang cacat fisik dan mental.
Dalam peraturan perundang-undangan kita tidak hanya mengenal istilah penyandang cacat tapi juga pernah mengenal adanya istilah penderita cacat. Yang dimaksud dengan penderita cacat adalah :
Penderita cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yaitu :
a. Penderita cacat tubuh;
b. Penderita cacat netra;
c. Penderita cacat mental;
d. Penderita cacat rungu/wicara;
e. Penderita cacat bekas penderita penyakit kronis.
Namun sekarang istilah penderita cacat sudah tidak berlaku lagi. Sesuai dengan instrumen hukum internasional yang telah disepakati bersama dan telah diratifikasi oleh Indonesia, maka dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang hanya mengakui istilah atau konsep penyandang cacat.
Hal-hal yang terkait dengan penyandang cacat merupakan persoalan yang mendunia dan telah menjadi kerangka acuan untuk pola pikir masyarakat dunia yang terutama sebagai perwujudan hak asasi manusia. Itulah yang menjadi dasar PBB (United Nations) untuk membuat instrumen hukum internasional tentang hak asasi penyandang cacat (Rights of Persons with Disabilities) baik itu berupa deklarasi PBB (declaration), konvensi (convention), prinsip-prinsip hukum (principles) maupun peraturan standar PBB (standard rules); yaitu :
1. Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons (proclaimed by General Assembly resolution 2856 (XXVI) of 20 December 1971);
2. Declaration on the Rights of Disabled Persons (proclaimed by General Assembly resolution 3447 (XXX) of 9 December 1975);
3. Principles for the protection of persons with mental illness and the improvement of mental health care (adopted by General Assembly resolution 46/119 of 17 December 1991);
4. Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities (adopted by General Assembly resolution 48/96 of 20 December 1993);
5. Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities  (adopted by General Assembly resolution 61/106 of 13 December 2006).
Instrumen hukum internasional ini dibuat oleh PBB untuk menyerukan suatu tindakan nasional dan internasional bagi negara-negara termasuk Indonesia untuk melaksanakan hak-hak penyandang cacat sebagai landasan dalam melindungi hak-hak tersebut.
Adapun definisi penyandang cacat (disabled persons) menurut instrumen hukum internasional tersebut adalah sebagai berikut :
“The term “disabled person” means any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities.”
(Terjemahan : Istilah “penyandang cacat” berarti setiap orang, perempuan atau laki-laki yang tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan normal individu dan /atau kehidupan sosial secara mandiri, sepenuhnya atau sebagian, sebagai akibat dari kekurangan fisik dan mental, baik yang dibawa sejak lahir atau tidak.)
“Persons with disabilities include those who have long-term physical, mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others.”
Setiap penyandang cacat memiliki jenis kecacatan yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Penjelasan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, yang terdiri dari :
a. Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara;
b. Cacat mental adalah kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit;
c. Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecatatan sekaligus.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 104/MENKES/PER/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik, jenis kecacatan dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 6
(2) Cacat fisik meliputi cacat bahasa, penglihatan, pendengaran, skeletal, rupa, visceral dan generalisata.
(3) Cacat mental meliputi cacat intelektual dan psikologi lainnya.
(4) Cacat fisik dan mental mencakup kecacatan baik yang dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3).
Menurut Uning Primaratri, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang, penyandang cacat dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu :
1. Penyandang cacat fisik, meliputi :
b) Penyandang cacat tubuh (tuna daksa);
c) Penyandang cacat netra (tuna netra);
d) Penyandang cacat tuna wicara/rungu;
e) Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis).
2. Penyandang cacat mental, meliputi :
a) Penyandang cacat mental (tuna grahita);
b) Penyandang cacat eks psikotik (tuna laras);
3. Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda.
Berbagai macam kondisi kecacatan menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi tidak dapat terpenuhi. Menurut Departemen Sosial, pada Tahun 2004 jumlah penyandang cacat adalah sebanyak 1.847.692 orang, sedangkan jumlah penyandang cacat eks penderita penyakit kronis sebanyak 216.148 orang.
Jumlah penyandang cacat menurut jenisnya seperti dalam Susenas 2003 dapat diklasifikasikan menjadi :
No Kategori Jumlah Persentase
1 Penyandang cacat penglihatan (tuna netra) 195.332 13.21
2 Penyandang cacat pendengaran (tuna rungu) 106.612 7.21
3 Penyandang cacat bisu (tuna wicara) 118.293 8
4 Penyandang cacat bisu-tuli (tuna wicara dan rungu) 67.575 4.6
5 Penyandang cacat tubuh (tuna daksa) 521.231 35.2
6 Penyandang cacat mental (tuna grahita) 236.439 16
7 Penyandang cacat jiwa 149.789 10.13
8 Penyandang cacat ganda 83.396 5.65
Total 1478.667 100
Sumber : Susenas 2003, BPS-Statistik Indonesia

II.1.1. Hak dan kewajiban penyandang cacat
Kata “recht” dalam bahasa hukum Belanda dibagi menjadi dua, yaitu “objectief recht” yang berarti hukum dan “subjectief recht” yang berarti hak dan kewajiban. Akan tetapi pada umumnya yang dimaksud dengan “subjectief recht” hanyalah hak saja tidak termasuk kewajiban.
Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak adalah hak, sedang di pihak lain ialah kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Hak dan kewajiban ini merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum. Kalau hukum itu sifatnya umum karena berlaku bagi setiap orang, maka hak dan kewajiban itu sifatnya individual atau melekat pada individu. Hak itu memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya, sedangkan kewajiban merupakan pembatasan dan beban, sehingga dari segi aktif yang menonjol dalam hubungan hukum itu ialah hak.
Hak adalah sesuatu yang dapat dituntut oleh tiap manusia termasuk penyandang cacat, karena hak itu sudah melekat pada setiap manusia sejak dilahirkan. Hak penyandang cacat seperti yang tercantum pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 5
Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Pasal 6
Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
5. Rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan
6. Hak yang sama untuk menumbuhkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama pada penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdapat pasal 41, pasal 42, dan pasal 54 yang mengatur tentang hak penyandang cacat sebagai warga negara, yaitu :
Pasal 41
(1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta perkembangan pribadinya secara utuh.
(2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.

Pasal 42
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak, sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pasal 54
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan,pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dari kedua undang-undang diatas menunjukkan bahwa pengaturan hak-hak para penyandang cacat sebagai individu dan warga negara adalah sama dengan hak-hak orang lain.
Hak-hak para penyandang cacat telah lama menjadi pusat perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi Internasional lainnya. Oleh karena itu pada Tahun 1981 ditetapkan sebagai Tahun Penyandang Cacat Internasional 1981 dan melahirkan Program Aksi Dunia mengenai Para Penyandang Cacat yang telah ditetapkan oleh Sidang Umum PBB dalam resolusinya No. 37/52. Tahun Penyandang Cacat Internasional dan Program Aksi Dunia tersebut merupakan tenaga penggerak yang kuat bagi kemajuan dalam bidang kecacatan ini. Kedua hal tersebut memberi tekanan pada hak para penyandang cacat untuk memperoleh kesempatan yang sama seperti warga negara lainnya, serta hak untuk memperoleh bagian yang sama dalam perbaikan kondisi kehidupan sebagai hasil dari pembangunan sosial dan ekonomi. Lalu, setelah beberapa kali diadakan pertemuan internasional maka dihasilkan suatu prinsip yang dijadikan pedoman untuk Program Aksi Dunia mengenai Para Penyandang Cacat yaitu adanya pengakuan atas hak-hak para penyandang cacat. Pengakuan tersebut dinyatakan dengan lahirnya beberapa instrumen hukum internasional tentang penyandang cacat dimana didalamnya memuat hak-hak penyandang cacat. Pada intinya, prinsip-prinsip tentang hak-hak penyandang cacat yang termuat menurut instrumen hukum internasional tersebut ialah :
1. Penyandang cacat berhak untuk hidup baik itu sendiri maupun bersama keluarganya atau bersama orang tua asuh, serta berpartisipasi dalam semua kegiatan-kegiatan sosial, kreatif atau rekreasi.
2. Penyandang cacat berhak untuk mendapatkan bantuan-bantuan yang membantu mereka untuk mencapai kemandirian sebesar mungkin.
3. Penyandang cacat memiliki hak sipil dan hak politik yang sama seperti yang lainnya.
4. Penyandang cacat berhak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan dalam situasi yang genting, misalnya perang, bencana alam.
5. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum, baik itu di depan pengadilan maupun sebagai subyek hukum yang dapat melakukan suatu perbuatan hukum.
6. Penyandang cacat berhak untuk mendapatkan keadilan dalam segala aspek penghidupan dan kehidupan.
7. Penyandang cacat berhak untuk mendapatkan kebebasan dan jaminan keamanan dalam segala aspek penghidupan  dan kehidupan.
8. Penyandang cacat berhak untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi, peraturan-peraturan  dan semua tindakan yang diskriminatif, kejam atau pelecehan.
9. Penyandang cacat berhak untuk mendapatkan kebebasan untuk berpindah tempat, memilih tempat tinggal, dan memperoleh kewarganegaraan.
10. Penyandang cacat berhak untuk bebas dalam berekspresi dan mengeluarkan opini, serta mendapatkan akses informasi, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan suatu informasi maupun pendapat dalam segala bentuk komunikasi.
11. Penyandang cacat berhak untuk menikah dan berkeluarga.
12. Penyandang cacat memiliki hak ekonomi dan jaminan sosial serta hak untuk penghidupan yang layak. Berdasarkan kemampuannya mereka berhak untuk mendapatkan dan memiliki pekerjaan, atau melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat, produktif dan menghasilkan uang  serta bergabung dalam serikat-serikat dagang.
13. Penyandang cacat berhak untuk mendapatkan pendidikan.
14. Penyandang cacat memiliki hak-hak untuk mendapatkan pengobatan medis, pengobatan psikologi dan fungsional, termasuk peralatan protase dan orlotik, rehabilitasi sosial dan medis, pendidikan, pelatihan vokasional dan rehabilitasi, bantuan, bimbingan, pelayanan-pelayanan penempatan kerja dan pelayanan lainnya yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan secara maksimal yang akan mempercepat sosial integrasi dan reintegrasi mereka.
Hak-hak penyandang cacat yang telah disebutkan diatas ditegaskan kembali dengan ditandantanganinya Konvensi tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak serta Martabat Penyandang Cacat (Convention on the Protection and Promotion of the Rights and Dignity of Persons with Disabilities) pada tanggal 30 Maret 2007 oleh lebih dari 80 negara.  Peristiwa tersebut menjadi momentum penting terhadap pengakuan hak penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainnya dan kewajiban Negara Pihak untuk mewujudkannya. Konvensi ini lebih menekankan bahwa penyandang cacat harus diberi kesempatan yang sama dan dijamin hak-haknya sebagaimana warga masyarakat lainnya.
Prinsip persamaan hak mengandung arti bahwa kebutuhan-kebutuhan setiap individu itu sama pentingnya, bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dijadikan sebagai dasar perencanaan masyarakat dan bahwa semua sumber harus dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menjamin agar setiap individu memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.  Oleh karena para penyandang cacat memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara lainnya, maka mereka pun harus mempunyai kewajiban yang sama pula. Kewajiban penyandang cacat berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang cacat, dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)
(1) Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya.
Kewajiban penyandang cacat sebagai warga negara dan anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dimaksud diatur di dalam batang tubuh UUD, dimana yang dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3)
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2)
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal 30 ayat (1)
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Pasal 31 ayat (2)
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar....”
Kewajiban penyandang cacat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dimaksud juga diatur di dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu dalam Bab VI mengenai Kewajiban Dasar manusia, dimana menyatakan sebagai berikut :
Pasal 67
Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 69 ayat (1)
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertinban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Membayar pajak tepat pada waktunya adalah contoh nyata yang merupakan salah satu kewajiban penyandang cacat yang harus dilaksanakan sama seperti warga masyarakat lainnya. Akan tetapi, kewajiban-kewajiban tersebut tidak dapat diterapkan secara langsung sama seperti masyarakat lainnya. Sesuai dengan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang cacat, kewajiban-kewajiban yang dimaksud tetap harus disesuaikan dengan kondisi kecacatan seseorang dan pendidikannya.

II.1.2. Hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan
Hak tidak dapat dipisahkan dari kewajiban dan keduanya selalu bersama beriringan. Namun, ada hak yang tidak dapat dikurangi dan mutlak harus diberikan kepada setiap orang tanpa melaksanakan adanya suatu kewajiban. Hak itu ada sejak manusia lahir dan sering disebut sebagai hak asasi. Menurut pandangan umum, hak asasi (right of man atau sekarang dikenal dengan istilah human rights) adalah kebutuhan yang bersifat mendasar bagi umat manusia dan merupakan pemberian langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. Penyandang cacat memiliki hak asasi dan kebebasan dasar yang sama dengan masyarakat pada umumnya. Salah satunya adalah hak untuk hidup dan hal itu tidak dapat diingkari lagi.
Hendarmin Ranadireksa memberikan definisi tentang hak asasi manusia yang pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara.  Maksudnya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Sedangakan menurut Mahfud M.D., hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan pemberian manusia atau negara.
Pengertian Hak Asasi Manusia berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah :
Pasal 1 angka 1
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Pada dasarnya terdapat dua hak dasar pada manusia yaitu hak manusia (human rights) dan hak undang-undang (legal rights). Hak manusia (human rights) adalah hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan.  Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, tidak tergantung dengan ada atau tidaknya orang lain di sekitarnya. Dalam jangkauan yang lebih luas, hak asasi menjadi asas undang-undang. Wujud hak ini antara lain berupa:
a. Hak untuk hidup;
b. Hak untuk tidak disiksa;
c. Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani;
d. Hak beragama;
e. Hak untuk tidak diperbudak;
f. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum;
g. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Sedangkan hak undang-undang (legal rights) adalah hak yang diberikan undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia.  Oleh karena diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Barangsiapa yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang maka kepadanya dapat dikenakan sanksi yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Pengaturan yang jelas tentang hak untuk hidup tercantum pada bagian kesatu dalam Bab III Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dinyatakan sebagai berikut :
Pasal 9 ayat (1)
”Setiap orang berhak untuk hidup, ... dan meningkatkan taraf kehidupannya.”
Pengertian hak untuk hidup itu adalah tidak hanya diberi kesempatan untuk hidup sewaktu dilahirkan, tapi juga diberi hak dan kesempatan untuk meningkatkan taraf kehidupan ketika dewasa. Dalam meningkatkan taraf hidup berarti seseorang itu harus bekerja. Jadi, memperoleh pekerjaan adalah hak asasi bagi penyandang cacat. Hal ini sesuai dengan hak asasi penyandang cacat sebagai warga negara dan individu yang berhak, dimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :
Pasal 38 ayat (1), (2), (3), dan (4) :
(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
(2) Setiap orang berrhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
(3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara, dan serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
(4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Sebagai warga negara, penyandang cacat berhak untuk memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerjaan yang layak disini maksudnya ialah pekerjaan yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Hak atas pekerjaan yang diberikan tersebut tetap harus memperhatikan kemampuan penyandang cacat itu sendiri. Jadi, pekerjaan itu layak diberikan atas dasar bakat, kemampuan dan kecakapan penyandang cacat yang memang sesuai dengan pekerjaan tersebut.
Untuk mewujudkan hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan, harus ada asas persamaan. Asas persamaan (equal opportunity) dapat dibedakan menjadi dua :
a. abstrak formal
Persamaan abstrak formal yaitu memperlakukan semua orang sama dan sederajat. Cerminan dari persamaan abstrak formal adalah One Man One Vote, One Vote One Value.
b. proporsional
Persamaan proporsional atau riil kemasyarakatan ialah tidak memperlakukan semua orang sama, tetapi sesuai dengan kondisinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Geofrey Marshall, bahwa “equal treatment for those in similar circumstances” (Jikalau kondisi atau keadaannya sama maka baru dapat diperlakukan sama, tetapi kalau kondisinya beda maka perlakuannya pun beda pula).
Asas persamaan yang dikaitkan dengan perwujudan hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan dapat berupa adanya kesamaan kesempatan tanpa tindakan yang diskriminasi. Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, Resolusi PBB No. 48/96 Tahun 1993, menjelaskan definisi persamaan kesempatan, yaitu “proses yang menyebabkan berbagai sistem yang terdapat di masyarakat dan lingkungan, seperti sistem pelayanan, kegiatan sosial, informasi dan dokumentasi dapat dinikmati oleh semua orang, khususnya penyandang cacat.”
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik jender, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.  Diskriminasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Diskriminasi Langsung, dimana diskriminasi tersebut terjadi pada saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
b. Diskriminasi Tidak Langsung, yaitu terjadi pada saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Asas persamaan, sebagaimana yang dimaksud dalam teori diatas, telah tercantum pada Pasal 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 2 Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi No.KEP.230/MEN/2003 tentang Golongan dan Jabatan Tertentu yang dapat Dipungut Biaya Penempatan Tenaga Kerja, yang berbunyi : “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”
Dalam memperoleh pekerjaan, kesamaan kesempatan (equal opportunity) tanpa diskriminasi merupakan hal yang sangat penting dalam upaya perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi penyandang cacat. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat sehingga mereka dapat berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan kompetensinya, yaitu kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.  Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, khususnya dalam Bab IV tentang Kesamaan Kesempatan dimana pada pasal 13 menyatakan bahwa :

Pasal 13
Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Maksud dari ketentuan diatas ialah kesamaan kesempatan yang diberikan kepada penyandang cacat tidak diberikan secara absolute kepada penyandang cacat. Artinya, ada batasan-batasan bagi penyandang cacat untuk mendapatkan suatu pekerjaan yaitu tetap harus disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya.
 Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Keputusan Menteri Kesehatan No. 104/MENKES/PER/II/1999 Tentang Rehabilitasi Medik, derajat kecacatan dinilai berdasarkan keterbatasan kemampuan seseorang dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Derajat cacat 1 : mampu melaksanakan aktifitas atau mempertahankan sikap dengan kesulitan.
b. Derajat cacat 2 : mampu melaksanakan kegiatan atau mempertahankan sikap dengan bantuan alat bantu.
c. Derajat cacat 3 : mampu melaksanakan aktifitas, sebagian memerlukan bantuan orang lain dengan atau tanpa alat bantu.
d. Derajat cacat 4 : dalam melaksanakan aktifitas tergantung penuh dengan pengawasan orang lain.
e. Derajat cacat 5 : tidak mampu melaksanakan aktifitas tanpa bantuan penuh orang lain dan tersedianya lingkungan khusus.
f. Derajat cacat 6 : tidak mampu penuh melaksanakan kegiatan sehari-hari meskipun dibantu penuh dengan orang lain.
Tidak hanya kesamaan kesempatan yang harus didapatkan penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan, tetapi perlakuan yang sama tanpa diskriminasi juga harus diberikan pada saat tenaga kerja penyandang cacat dipekerjakan. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dimana dalam pasal tersebut menyatakan sebagai berikut :

Pasal 14
Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan memperkerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.
Asas persamaan juga dapat diwujudkan dengan adanya perlakuan yang sama. Maksud dari perlakuan yang sama ialah keadaan dimana setiap penyandang cacat diperlakukan dengan tanpa adanya diskriminasi dengan warga masyarakat lainnya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Jadi menurut ketentuan diatas, penyandang cacat sebagai tenaga kerja juga berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi baik itu dalam memperoleh pekerjaan maupun pada waktu telah bekerja di perusahaan negara atau swasta. Namun dalam memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama dengan mempekerjakan penyandang cacat, tetap harus memperhatikan dan menyesuaikan antara jenis pekerjaan dengan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya (skill).
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat adalah sesuatu yang penting dan merupakan hak asasi. Selain untuk hidup dan bertahan hidup, dengan bekerja maka penyandang cacat dapat berupaya untuk meningkatkan taraf hidupnya. Adanya kesamaan kesempatan tanpa diskriminasi dengan warga masyarakat lain dalam memperoleh pekerjaan harus terus diupayakan karena hal itu dapat membantu dan menunjang kemandirian penyandang cacat sebagai perwujudan hak asasi manusia.
Terwujudnya hak-hak penyandang cacat, terutama dalam memperoleh pekerjaan, wajib diupayakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Berdasarkan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, menyatakan bahwa : “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Artinya, bahwa pemerintah sebagai penguasa berkewajiban untuk memenuhi hak asasi setiap warga negaranya dan menjadi teladan dalam memberikan contoh-contoh upaya penegakan HAM kepada masyarakat. Adapun atas para penyandang cacat, setiap orang juga berkewajiban untuk memberikan kesempatan kepada para penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan derajat kecacatannya, dan pemerintah wajib menjamin terlaksananya ini.

II.2. Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Dalam Memperoleh Pekerjaan
Kata aksesibel berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Accessible”  yang artinya adalah “mudah”, sehingga aksesibilitas dapat diterjemahkan sebagai kemudahan. Jadi, aksesibilitas bagi penyandang cacat berarti kemudahan yang diberikan atau disediakan bagi penyandang cacat bukan sebagai pengistimewaan, melainkan mencoba meminimalisir keterbatasan mereka sebagai akibat hilangnya atau kurang berfungsinya salah satu atau beberapa fungsi anggota tubuhnya.  Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, menyatakan bahwa :
“Aksesibilitas  adalah   kemudahan    yang   disediakan  bagi   penyandang cacat  guna mewujudkan  kesamaan  kesempatan  dalam  segala  aspek  kehidupan dan penghidupan.”
Aksesibilitas meliputi aksesibilitas fisik dan aksesibilitas non fisik. Aksesibilitas fisik itu seperti : landaian, handrail (susuran tangan, biasa terdapat di tangga-tangga), lebar pintu yang memenuhi standar universal disain yang berarti dapat dilalui oleh pemakai kursi roda secara mandiri,  suara atau audio serta huruf Braille bagi penyandang tunanetra, serta bahasa isyarat dan tulisan bagi penyandang tunarungu. Sedangkan aksesibilitas non fisik itu meliputi :
c. Terbangunnya persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan penyandang cacat bahwa penyandang cacat adalah sama dengan warga negara lain dalam hal kebutuhan pemenuhan segala aspek kehidupan dan penghidupan. Oleh karena itu, masyarakat harus mendorong penyandang cacat agar berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk dalam hal ini adalah hak untuk membina keluarga dan mempunyai keturunan.
d. Para eksekutif dan legislator dapat memproduk peraturan dan perundang-undangan yang aspiratif, akomodatif, serta memberi ruang yang cukup bagi penyandang cacat untuk menikmati hasil-hasil pembangunan.
Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, tercantum pada pasal 10 ayat (1) bahwa penyediaan aksesibilitas itu dapat berupa fisik dan non fisik, antara lain sarana dan prasarana umum; serta informasi dan komunikasi yang diperlukan bagi penyandang cacat untuk memperoleh kesamaan kesempatan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Standar PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia, dimana isinya adalah sebagai berikut :
Akses Terhadap Lingkungan Fisik :
a. Negara-negara seyogyanya mengambil langkah-langkah untuk menghilangkan rintangan-rintangan bagi partisipasi di dalam lingkungan fisik. Langkah-langkah dimaksud seyogyanya berupa pengembangan standar dan pedoman serta pertimbangan untuk memberlakukan undang-undang demi menjamin aksesibilitas terhadap berbagai bidang kehidupan di masyarakat, misalnya sehubungan dengan perumahan, bangunan, pelayanan transportasi umum dan alat transportasi lainnya, jalan raya dan lingkungan luar ruangan lainnya.
b. Negara-negara seyogyanya menjamin agar arsitek, insinyur bangunan dan pihak-pihak lainnya yang secara profesional terkait dalam perancangan dan pembangunan lingkungan fisik, mendapatkan akses terhadap informasi yang memadai tentang kebijaksanaan mengenai kecacatan serta langkah-langkah untuk menciptakan aksesibilitas.
c. Persyaratan aksesibilitas seyogyanya termuat di dalam desain dan konstruksi lingkungan fisik dari awal hingga proses perancangannya.
d. Organisasi-organisasi para penyandang cacat seyogyanya dikonsultasi jika akan mengembangkan standar dan norma-norma bagi aksesibilitas. Organisasi-organisasi ini juga seyogyanya dilibatkan secara langsung sejak tahap perencanaan awal, jika proyek-proyek pembangunan sarana umum dirancang, sehingga aksesibilitas yang maksimum dapat terjamin adanya.

Akses terhadap Informasi dan Komunikasi :
a. Para penyandang cacat dan, bilamana perlu, keluarganya serta para pembelanya seyogyanya memiliki akses terhadap informasi lengkap tentang diagnosis, hak-hak dan pelayanan serta program yang tersedia, pada semua tahap. Informasi semacam ini seyogyanya disajikan dalam bentuk yang dapat diakses oleh para penyandang cacat.
b. Negara-negara seyogyanya mengembangkan strategi-strategi agar pelayanan informasi dan dokumentasi dapat diakses oleh semua kelompok penyandang cacat. Braille, rekaman dalam kaset, tulisan besar (large print) dan teknologi lainnya yang sesuai, seyogyanya dipergunakan untuk memberi akses terhadap informasi dan dokumentasi tertulis bagi para tuna netra. Demikian pula teknologi yang sesuai seyogyanya dipergunakan untuk memberi akses terhadap informasi lisan bagi para tuna rungu atau mereka yang mengalami kesulitan dalam pemahaman.
c. Seyogyanya dipertimbangkan penggunaan bahasa isyarat dalam pendidikan anak-anak tuna rungu, dalam keluarga dan masyarakatnya.
d. Pelayanan penerjemahan bahasa isyarat seyogyanya juga disediakan untuk memudahkan komunikasi antara para tunarungu dengan anggota masyarakat lainnya. Seyogyanya dipertimbangkan pula kebutuhan-kebutuhan orang yang mengalami hambatan komunikasi lainnya.
e. Negara-negara seyogyanya mendorong media massa, terutama televisi, radio dan surat kabar, agar pelayanannya dapat diakses.
f. Negara-negara seyogyanya menjamin komputerisasi informasi dan sistem pelayanan yang diperuntukkan bagi umum dapat diakses atau diadaptasikan sehingga dapat diakses oleh para penyandang cacat.
g. Organisasi-organisasi para penyandang cacat seyogyanya dikonsultasi jika akan mengembangkan langkah-langkah untuk membuat pelayanan informasi dapat diakses.
Penyediaan aksesibilitas sangat penting bagi penyandang cacat dalam kehidupan sehari-hari, karena melalui penyediaan aksesibilitas maka kesamaan kesempatan dapat tercapai. Aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat dapat ditinjau dari dua hal, yaitu paradigma positif warga masyarakat mengenai eksistensi penyandang cacat sebagai individu dan warga negara yang berhak untuk memperoleh kesamaan kesempatan tanpa diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan. Yang kedua, sejauh mana paradigma positif tersebut dapat dituangkan ke dalam suatu produk hukum berupa peraturan-perundang-undangan sehingga penyandang cacat memiliki ruang yang cukup untuk berinteraksi dalam menuntut hak asasinya untuk mendapatkan suatu pekerjaan, baik di perusahaan swasta maupun di pemerintahan (Pegawai Negeri Sipil atau disingkat PNS).
Oleh karena itu, perlu ada perbandingan dari peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang mengatur tentang perusahaan swasta dan peraturan perundang-undangan tentang PNS mengenai sejauh mana ketentuan tentang aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat. Perbandingan sejumlah peraturan tersebut dilakukan guna menelaah dan mengetahui lebih lanjut mengenai sejauh mana pihak swasta dan pemerintah mengatur, menjamin, dan memberikan aksesibilitas tersebut, serta apakah perlakuan perusahaan swasta dan pemerintah terhadap penyandang cacat telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang Penyandang Cacat dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.

II.2.1. Pengaturan mengenai aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat di perusahaan
Jaminan aksesibilitas untuk memperoleh pekerjaan yang merupakan hak bagi penyandang cacat di lingkungan swasta telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 31 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang kesamaan kesempatan yang menjadi hak dasar setiap pekerja, yaitu berbunyi sebagai berikut :
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
Isi pasal diatas menyatakan bahwa penempatan tenaga kerja dilakukan secara terbuka, bebas, obyektif, adil, dan tanpa diskriminasi, diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan tenaga kerja, dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. Artinya, memperoleh suatu pekerjaan adalah hak penyandang cacat dan penyandang cacat berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti dengan pekerja lainnya.
Sesuai dengan amanat Pasal 15 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, maka di dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat mengatur beberapa hal tentang ketentuan-ketentuan bagi penyandang cacat untuk mendapatkan kemudahan dan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, yaitu :
Pasal 26
Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 27
Pengusaha wajib memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja penyandang cacat.

Pasal 28
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja perusahaannya.

Pasal 29 ayat (1)
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja perusahaannya, bagi yang memiliki pekerja kurang dari 100 (seratus) orang tapi usaha yang dilakukannya menggunakan teknologi tinggi.

Pasal 30 ayat (1)
Persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan bagi penyandang cacat ditetapkan dengan memperhatikan faktor :
a. jenis dan derajat kecacatan
b. pendidikan
c. keterampilan dan/ keahlian
d. kesehatan
e. formasi yang tersedia
f. jenis atau bidang usaha
g. faktor lain
Dari ketentuan pasal-pasal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada keharusan mempekerjakan penyandang cacat pada perusahaan oleh pengusaha dengan kuota 1% (satu persen) dari jumlah pekerja, dengan tetap memperhatikan persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan serta sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan. Pengusaha juga wajib untuk memberikan tanggung jawab dan hak-hak pekerja, termasuk pekerja penyandang cacat, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Namun dalam peraturan ini masih belum diatur mengenai sanksi yang dapat dikenakan kepada para pengusaha jikalau tidak mematuhi peraturan tentang kuota pekerja penyandang cacat.
Sebagai peraturan pelaksana dari UU Ketenagakerjaan, Keputusan Menteri Tenaga Kerja No:KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat telah mengatur lebih spesifik ketentuan mengenai tenaga kerja penyandang cacat. Menurut KepMen ini, pengertian tenaga kerja penyandang cacat adalah tenaga kerja yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental namun mampu melakukan kegiatan secara selayaknya, serta mempunyai bakat, minat dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Jaminan aksesibilitas bagi penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan yang telah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No:KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat, tercantum pada :
Pasal 2
Setiap tenaga kerja penyandang cacat harus dianggap potensial untuk ditempatkan dalam jabatan atau pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2)
(1) Pengusaha wajib memberi kesempatan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat.
(2) Pengusaha yang akan mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat harus berdasarkan hasil analisa kualifikasi tenaga kerja penyandang cacat.

Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)
(1) Untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja, maka pengusaha wajib mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang tenaga kerja penyandang cacat sesuai dengan persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan.
(2) Pengusaha yang menggunakan teknologi tinggi dan mempekerjakan tenaga kerja kurang dari 100 (seratus) orang wajib mempekerjakan satu atau lebih tenaga kerja penyandang cacat.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketentuan diatas adalah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, setiap pengusaha wajib mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat minimal satu orang dari 100 (seratus) orang pekerja yang dimilikinya atau dengan kata lain harus memenuhi kuota 1% (satu persen) dari jumlah pekerja dengan berdasarkan hasil analisa kualifikasi tenaga kerja penyandang cacat. Mempekerjakan penyandang cacat harus melalui proses penempatan individual terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar penyandang cacat dapat ditempatkan ke jabatan atau pekerjaan yang sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
Adapun hal ini diatur dalam Bab III mengenai penempatan tenaga kerja penyandang cacat, dimana dalam pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No:KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat menyatakan bahwa :
Pasal 9 ayat (1)
Penempatan tenaga kerja penyandang cacat dilakukan melalui proses penempatan individual berdasarkan penerapan alat-alat baik reguler maupun khusus dan teknik-teknik penyesuaian bagi tenaga kerja penyandang cacat ke jabatan atau pekerjaan yang sesuai.

Pasal 9 ayat (2)
Proses penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan teknik analisa syarat fisk dan mental.

Pasal 9 ayat (3)
Teknik analisa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya atau aktifitas fisik dan faktor-faktor kondisi kerja dan jabatan atau pekerjaan serta analisa kualifikasi tenaga kerja penyandang cacat.

Pasal 9 ayat (4)
Analisa kualifikasi tenaga kerja penyandang cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi :
a. kemampuan fisik;
b. kemampuan emosional (stabilitas emosi);
c. bakat yang dimiliki;
d. keterampilan yang dimiliki;
e. kepribadian;
f. minat;
g. pendidikan.
Pengusaha berhak untuk menyeleksi penyandang cacat terlebih dahulu sebelum dapat bekerja di perusahaannya. Penyelenggaraan seleksi tersebut harus disesuaikan berdasarkan analisa kualifikasi tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat (4) diatas dengan pekerjaan yang dipilih. Dengan begitu, penyandang cacat dapat bekerja sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya secara nyaman dan mandiri.
Pemberian kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat tidak berarti penyandang cacat dapat seenaknya memilih dan mendapatkan pekerjaan tersebut. Contohnya penyandang cacat tidak mungkin berprofesi sebagai tentara karena tentara membutuhkan kecakapan dan kemampuan fisik yang sempurna. Sesuai dengan kondisi tubuhnya, penyandang cacat pasti akan menyesuaikan diri dengan pilihan pekerjaannya. Mereka tidak akan memilih suatu pekerjaan diluar batas kemampuannya.
Bagi penyandang cacat, mendapatkan suatu pekerjaan adalah hal yang tidak mudah karena mereka memiliki hambatan-hambatan yang tidak dipunyai oleh masyarakat pada umumnya. Namun, dengan adanya kesamaan kesempatan yang diberikan untuk memperoleh pekerjaan dan perlakuan yang sama pada waktu bekerja maka penyandang cacat dapat bekerja, hidup mandiri dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Perlakuan yang sama, yang berupa pemberian aksesibilitas bagi tenaga kerja penyandang cacat sewaktu bekerja oleh perusahaan diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan ini disusun atas dasar komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan pada hak asasi manusia di tempat kerja, yang dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization (ILO). Adapun konvensi dasar ini terdiri dari 4 (empat) kelompok, yaitu :
i. Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);
ii. Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111);
iii. Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan
iv. Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182).
Dasar pemikiran undang-undang ketenagakerjaan ini antara lain memuat :
a. Landasan, asas, dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan;
b. Perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan;
c. Pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh;
d. Pelatihan kerja yang diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan;
e. Pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja secara optimal dan penempatan tenaga kerja pada pekerjaan yang sesuai dengan harkat dna martbat kemanusiaan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam upaya perluasan kesempatan kerja;
f. Penggunaan tenaga kerja asing yang tepat sesuai dengan kompetensi yang diperlukan;
g. Pembinaan hubungan industrial yang sesuai dengan nilai-nilai pancasila diarahkan untuk menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan antar para pelaku proses produksi;
h. Pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, termasuk perjanjian kerja bersama, lembaga kerjasama bipartit, lembaga kerjasama tripartit, pemasyarakatan hubungan industrial dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
i. Perlindungan pekerja/buruh, termasuk perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja;
j. Pengawasan ketenagakerjaan dengan maksud agar dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan ini benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Dengan mencantumkan kesamaan kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, dapat dikatakan bahwa UU Ketenagakerjaan ini telah memuat asas persamaan.
Dari dasar pemikiran pada huruf c diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap tenaga kerja, termasuk tenaga kerja penyandang cacat, mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk itu, setiap pengusaha harus memberikan kesempatan yang sama kepada semua pencari kerja dalam penerimaan pegawai.  Demikian juga pengusaha harus memberikan perlakuan yang sama terhadap semua pekerja, termasuk pekerja penyandang cacat, dalam hal penugasan, promosi, pemberian upah, pemberian penghargaan, dan pemberian tindakan disiplin, sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Sesuai dengan Konvensi ILO No. 111 tahun 1958 tentang Discrimination in Respect of Employment and Occupation, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No. 21 tahun 1999, bahwa tidak boleh dilakukan diskriminasi dalam penerimaan dan perlakuan terhadap pekerja berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, aliran politik, dan suku.
Perlakuan yang sama terhadap penyandang cacat sewaktu bekerja juga dapat dilihat dari aspek perlindungannya. Dari dasar pemikiran huruf i diatas, dapat diketahui bahwa perusahaan juga bertanggung jawab atas pekerja penyandang cacat yang sudah bekerja di perusahaan mereka, yaitu dengan memberikan perlindungan kerja sama seperti dengan pekerja lain yang disesuaikan dengan kondisi penyandang cacat.
Setiap pekerja pada dasarnya berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, serta kesejahteraan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta nilai-nilai agama. Jaminan atas pemberian perlindungan bagi penyandang cacat pada saat bekerja tercantum pada Pasal 67 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa :
Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2)
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan asas persamaan proporsional, bahwa dalam bekerja kondisi penyandang cacat tidak dapat disamakan dengan pekerja yang tidak cacat. Maka dari itu, harus ada kesesuaian antara perlakuan dari pengusaha dengan kondisi penyandang cacat. Hal itu bertujuan untuk menunjang kemandirian dan meningkatkan produktivitasnya dalam bekerja. Perlakuan yang dapat diberikan kepada pekerja penyandang cacat yaitu dengan adanya penyediaan aksesibilitas, pemberian alat kerja, serta alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kecacatannya. Ketiga hal tersebut merupakan contoh jaminan perlindungan kerja, sebagai upaya pemberian perlakuan yang sama, yang diberikan perusahaan bagi penyandang cacat.
Kesamaan kesempatan, perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dan perlindungan kerja adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan, dengan tujuan agar penyandang cacat dapat menikmati haknya dalam bekerja, sesuai dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat yang menyatakan bahwa setiap pekerja penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja lainnya. Ketentuan ini harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan karena berdasarkan Pasal 187 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jikalau terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut maka pengusaha dapat diancam dan dikenakan hukuman pidana penjara antara 1 (satu) sampai dengan 12 bulan atau denda sebesar Rp 10.000.000 - Rp 100.000.000.
Tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh perusahaan dalam penerimaan tenaga kerja dan perlakuan terhadap pekerja, terutama bagi penyandang cacat, juga mendapatkan sanksi yaitu berupa sanksi administratif. Sanksi administratif ini dapat dikenakan berupa surat teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, atau pencabutan izin.
Undang-undang Ketenagakerjaan tidak hanya memberikan perlindungan bagi penyandang cacat yang pada waktu melamar pekerjaan, memang sudah cacat, tapi juga bagi karyawan/pekerja yang mengalami kecacatan sewaktu bekerja. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 153 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Adapun di dalam ketentuan tersebut menyatakan larangan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pekerja dalam keadaan cacat tetap atau sakit akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja. Namun, jikalau PHK tetap dilakukan maka keputusan tersebut akan batal demi hukum dan merupakan kewajiban perusahaan untuk mempekerjakan kembali.
Dalam pasal 11 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat, menyatakan bahwa :
Pasal 11 ayat (1)
Pengusaha harus melaporkan penerimaan tenaga kerja penyandang cacat yang dipekerjakan di perusahaannya kepada Menteri pejabat yang ditunjuk.
Adanya laporan secara berkelanjutan yang dilakukan oleh pengusaha merupakan salah satu cara pengawasan terhadap ditaatinya ketentuan mengenai kewajiban penerimaan tenaga kerja penyandang cacat. Dengan adanya laporan tersebut maka Menteri dapat melihat dan mengawasi perkembangan suatu perusahaan dalam mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat dan memberikan jaminan perlindungan kerja. Dalam hal ini diharapkan pengusaha tidak hanya sekedar memberikan pekerjaan kepada penyandang cacat yang membutuhkan suatu pekerjaan tetapi lebih sebagai upaya untuk mewujudkan asas persamaan dan non diskriminasi.
Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat terdapat Bab IV yang mengatur tentang ketentuan pengawasan, dimana dalam pasal 12 menyatakan sebagai berikut :
Pasal 12
Pengawasan terhadap ditaatinya pelaksanaan Keputusan Menteri ini dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat, menyatakan bahwa peraturan ini berlaku bagi setiap perusahaan baik itu swasta maupun BUMN dan BUMD. Artinya, sudah menjadi keharusan bagi setiap perusahaan untuk wajib taat dan patuh terhadap Kepmen tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu pengawasan, maka dibentuklah badan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai pengawas terhadap ditaatinya pelaksanaan Kepmen tersebut.
Keputusan Menteri tidak tercantum dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia ialah :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah.
Tata urutan peraturan perundang-undangan diatas memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi warga masyarakat. Oleh sebab Keputusan Menteri yang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para perusahaan. Artinya, perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Kepmen Naker tersebut sehingga tidak perlu adanya pengawasan terhadap ditaatinya pelaksanaan Kepmen.
Pada pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa :
Pasal 7 ayat (4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Maksud dari ayat di atas ialah terdapat jenis peraturan yang lain selain jenis peraturan yang telah diatur pada pasal 7 ayat (1) di atas yang dapat memiliki kekuatan hukum yang mengikat apabila peraturan tersebut diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi kedudukannya. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No: KEP-205/MEN/1999 tentang Pelatihan Kerja dan Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat ini secara kasat mata memang bukan sebagai aturan hukum yang mengikat, tetapi karena sebagai pelaksanaan Pasal 18, Pasal 30 dan Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat maka Kepmen tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Jadi setiap perusahaan mau tidak mau harus mematuhi isi dari ketentuan Kepmen tersebut.

II.2.2. Pengaturan mengenai aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat sebagai Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri terdiri dari :
c. Pegawai Negeri Sipil
d. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
e. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri Sipil itu sendiri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah. Setiap warga negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.  Untuk menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil atau disingkat “PNS”, seorang pelamar harus memenuhi kriteria sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut sebagai CPNS). Syarat-syarat CPNS menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil ialah tercantum pada pasal 6 ayat (1), yang berbunyi :
Pasal 6 ayat (1)
Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar adalah :
a. warga negara Indonesia;
b. berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun;
c. tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan;
d. tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta;
e. tidak berkedudukan sebagai calon/Pegawai Negeri;
f. mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan yang diperlukan;
g. berkelakuan baik;
h. sehat jasmani dan rohani;
i. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah; dan
j. syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan.
Penolakan penyandang cacat sebagai CPNS sering didasari pada persyaratan huruf h diatas, yaitu sehat jasmani dan rohani. Padahal menurut Surat Edaran Menteri Sosial No. 001/PRS/XII-04/SE.MS tentang Penerimaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Sektor Pemerintah dan Sektor Swasta point ke 4 huruf a bahwa kecacatan itu tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani, kecacatan adalah kelainan bukan penyakit.  Maksudnya, orang yang cacat bukan berarti mereka itu tidak sehat.
Definisi kesehatan tercantum dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang berbunyi :
Pasal 1 angka 1
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Sehubungan dengan definisi kesehatan, maka harus diketahui pula mengenai kesehatan jiwa, dalam hal ini dapat disebut sebagai kesehatan rohani. Berdasarkan pasal 1 angka 1 yang termuat dalam penjelasan Undang-Undang No. 3 Tahun 1960 tentang Kesehatan Jiwa, menyebutkan pengertian kesehatan jiwa (mental health) menurut faham ilmu kedokteran pada waktu sekarang adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektuil dan emosionil yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang-orang lain.
Sehat mental juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyesuaikan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan. Sebagai perwujudan keharmonisan fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa terjadi, individu merasa puas dan mampu.
 Penyandang cacat dapat melakukan aktifitas berdasarkan kemampuan yang dimilikinya walaupun harus disertai alat bantu untuk menunjang aktifitas tersebut. Hal itu dapat dikatakan bahwa penyandang cacat itu sehat. Untuk menyatakan bahwa seseorang itu sakit atau tidak diperlukan pemeriksaan tertentu oleh dokter. Dalam hal ini berarti setiap penyandang cacat, yang telah memperoleh surat pernyataan sehat dari dokter, harus diberi kesempatan yang sama untuk dapat mengikuti proses seleksi penerimaan CPNS sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Berkenaan dengan upaya pemerintah mewujudkan kesamaan dan kesetaraan penyaluran tenaga kerja penyandang cacat di sektor pemerintahan atau PNS, maka dikeluarkan Surat Kepala BKN No. K.26-20/V.5-39/48 tentang Pengangkatan Penyandang Cacat Menjadi Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 22 Maret 2001. Surat Kepala BKN ini menyatakan bahwa dapat ditarik kesimpulan mengenai pasal 3 dan pasal 6 butir b, butir f, dan butir h Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2001 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, yaitu hal-hal sebagai berikut :
a. Pada hakekatnya penyandang cacat dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil asalkan sesuai dengan uraian pekerjaan maupun spesifikasi pekerjaan dan kompetensinya, artinya kecacatan seseorang tidak akan mengganggu efektivitasnya dalam melakukan pekerjaan.
Contoh : seorang penyandang cacat kaki dapat diterima sebagai tenaga pengetik atau tenaga pengagenda surat-surat masuk/surat-surat keluar.
b. Dalam hubungannya dengan butir-butir a diatas, maka setiap Instansi Pemerintah dalam merekrut pegawai baru (Calon Pegawai Negeri Sipil) hendaknya didasarkan pada uraian pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan (Syarat yang harus dimiliki pekerja) maupun kompetensi yang diharapkan dari seorang pegawai agar dapat melaksanakan tugas/pekerjaannya dengan baik.
Maksud dari butir a diatas, bahwa pada hakekatnya atau pada dasarnya penyandang cacat tersebut bisa saja diangkat menjadi CPNS jika kondisi kecacatannya tidak mengganggu aktifitasnya dalam bekerja. Maksudnya, pekerjaan tersebut tetap dapat berjalan dengan baik dan lancar walaupun pekerjaan tersebut dikerjakan oleh penyandang cacat. Isi dari ketentuan diatas dapat dikatakan lemah. Pertama, tidak dijelaskan makna sehat jasmani dan rohani padahal makna cacat selalu identik dengan tidak sehat jasmani. Lalu yang kedua, oleh karena tidak ada kewajiban bagi pemerintah yang diharuskan untuk menerima tenaga kerja penyandang cacat, maka pemerintah dapat saja mendalilkan alasan tidak kompeten terhadap setiap penyandang cacat yang melamar sebagai CPNS.
Untuk menghindari hal ini, berarti harus ada test kemampuan atau kompetensi bagi penyandang cacat. Hal ini dilakukan sebagai tolak ukur untuk menentukan mampu atau tidak mampu dan efektif atau tidak efektif seorang penyandang cacat bekerja sebagai CPNS. Dengan adanya test kemampuan tersebut, diharapakan mampu menghasilkan pegawai penyandang cacat yang dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik (sesuai dengan tujuan butir b diatas). Selain itu jika penyandang cacat tersebut gagal, maka transparansi alasan penolakan penerimaan penyandang cacat jauh lebih jelas, profesional dan masuk akal.
Sebagai interpretasi butir b dari Surat Kepala BKN diatas, maka pada tanggal 25 Februari 2005 dikeluarkan Memorandum dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 49/D.III/PAN/2/2005 tentang Jabatan PNS yang dapat diduduki oleh penyandang cacat. Dalam memorandum ini terdapat uraian dan spesifikasi pekerjaan yang sesuai untuk dikerjakan oleh penyandang cacat dalam lingkungan pemerintahan (PNS) dimana pekerjaan-pekerjaan yang diberikan adalah pekerjaan yang sesuai dengan jenis, sifat, dan derajat kecacatannya. Dikeluarkannya Memorandum ini bertujuan agar penyandang cacat memiliki kompetensi yang diharapkan dari seorang pegawai sehingga dapat bekerja dan melaksanakan tugasnya dengan sangat baik.
Secara konsepsi, pelaksanaan tugas suatu jabatan menggunakan upaya mental dan upaya fisik. Upaya mental ialah penggunaan fikiran, sedangkan upaya fisik ialah penggunaan fungsi organ tubuh seperti mata, telinga, tangan, kaki, bahu, dan sebagainya. Jabatan-jabatan di lingkungan PNS, selain menggunakan upaya mental, penggunaan aspek fisik pada umumnya menjadi dominan untuk pelaksanaan tugas-tugas. Tugas pelayanan dan perkantoran di lingkungan PNS memerlukan penglihatan dan pendengaran. Penglihatan dan pendengaran tersebut untuk kegiatan membaca dokumen, mengamati dan memperhatikan objek atau bahan kerja secara visual, serta menyesuaikan secara fisik sikap perilaku dengan pihak yang dilayani. Dengan demikian, peluang penyandang cacat tuna netra, tuna rungu, dan tuna grahita untuk duduk dalam jabatan PNS sangat terbatas.
Berdasarkan Memorandum dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 49/D.III/PAN/2/2005 tentang Jabatan PNS yang dapat diduduki oleh penyandang cacat, menyatakan sebagai berikut :
Lampiran Memorandum
Nomor : 49 /D.III/PAN/2/2005
Tangga : 25 /  2005

PEKERJAAN DI LINGKUNGAN PNS
YANG DAPAT DIDUDUKI OLEH PENYANDANG CACAT

JENIS KECACATAN PEKERJAAN
YANG DAPAT DIDUDUKI KETERANGAN
 Tuna Netra Guru khusus untuk Sekolah Luar Biasa dalam bidang pengajaran yang berhubungan dengan kecacatan tuna netra.
Instruktur, khusus untuk pelatihan PNS dan masyarakat yang dipersiapkan menangani pekerjaan penyandang cacat tuna netra
Pekerja Sosial, untuk ditempatkan di panti-panti sosial.
Operator telepon, untuk perangkat telepon hunting system dan sejenisnya. Cacat Tuna netra memiliki sifat tidak memiliki ke mampuan pengamatan visual dan tidak mobilitas sehing- ga penempatannya harus didalam pe kerjaan yang tidak banyak berpindah tempat serta kurang baik untuk pekerjaan yang memerlukan tatap muka dengan pihak ketiga.
Tuna Rungu Pekerja Sosial, untuk ditempatkan di panti-panti sosial
Agendaris atau Arsiparis
Operator komputer.
Jabatan lain yang sifat pekerjaannya tulis menulis, menyalin, menempatkan barang, atau kegiatan fisik lain yang tidak banyak memerlukan komunikasi lisan Cacat Tuna rungu tidak dapat berkomunikasi secara lisan karena biasanya cacat ini juga cacat bisu. Pekejaan yang bisa diduduki yang tidak memerlukan komunikasi lisan.
 Cacat Tangan Untuk tingkat sekolah menengah adalah jabatan ketatausahaan seperta Agendaris, Arsiparis, Pengadministrasi Umum, Operator Telepon, kehumasan, dan yang sejenis.
Untuk tingkat sarjana adalah hampir semua jabatan yang dominan memerlukan pemikiran dapat terbuka untuk penyandang cacat tangan seperti Analis dan yang sejenisnya. Dalam pengertian ini adalah cacat tang sebelah bukan kedua-duanya. Pada dasarnya cacat tangan sebelah tidak terlalu menjadi hambatan pelaksanaan tugas-tugas karena cacat tangan sebelah dapat dibantu dengan alat bantu seperti tangan buatan.

 Cacat Kaki Semua jabatan ketatausahaan dan jabatan teknis non lapangan. Cacat kaki tidak dapat bebas bergerak sehingga mobilitasnya menjadi kurang, sehingga jabatan yang dapat diduduki adalah jabatan yang tidak memerlukan banyak berjalan atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dalam memorandum tersebut, tidak dimasukkan ketentuan mengenai kewajiban pemerintah untuk menerima penyandang cacat di lingkungan PNS. Jadi kesimpulan dari memorandum ini hanya berisikan tentang gambaran umum bidang-bidang pekerjaan di lingkungan PNS yang dimungkinkan dapat diduduki oleh penyandang cacat berdasarkan jenis kecacatannya.  Padahal menempatkan penyandang cacat ke dalam suatu pekerjaan itu tidak hanya berdasarkan jenis kecacatannya saja tetapi juga harus dipertimbangkan berdasarkan derajat kecacatan, pendidikan, kemampuan, keahlian serta produktivitasnya. Seperti manusia biasanya, setiap penyandang cacat memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, seharusnya dibedakan pula pekerjaan yang dapat diduduki oleh penyandang cacat yang memiliki kemampuan yang rata-rata dengan penyandang cacat yang memiliki kemampuan yang luar biasa atau di atas rata-rata.
Berbeda dengan peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan, peraturan perundangan-undangan tentang kepegawaian memang tidak berbicara tentang kuota penerimaan tenaga kerja penyandang cacat sebagai PNS tetapi lebih banyak berbicara mengenai CPNS dan PNS yang mengalami cacat karena dinas.
Yang dimaksud dengan cacat karena dinas adalah :
a. Cacat yang disebabkan oleh kecelakaan yang terjadi di :
1) dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya;
2) dalam keadaan lain yang ada hubungannya dengan dinas, sehingga kecelakaan itu disamakan dengan kecelakaan yang terjadi dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya;
3) karena perbuatan anasir yang tidak bertanggungjawab ataupun sebagai akibat tindakan terhadap anasir itu.
b. Cacat yang disebabkan oleh sakit yang diderita sebagai akibat langsung dari pelaksanaan tugas.
Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa :
Pasal 9 ayat (2)
Setiap Pegawai Negeri yang menderita cacat jasmani atau cacat rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkannya tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga, berhak memperoleh tunjangan.
Pasal 23 ayat (2) huruf d
Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat karena :
d. tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Isi dari pasal 9 ayat (2) diatas menyatakan bahwa PNS yang mengalami kecacatan pada waktu berdinas berhak memperoleh tunjangan jika PNS tersebut tidak dapat bekerja lagi. Akan tetapi tidak diatur selanjutnya mengenai kelanjutan karir PNS tersebut setelah mendapatkan tunjangan, apakah diberhentikan sesuai dengan pasal 23 diatas atau tetap menjadi PNS. Kemudian dalam pasal 23 ayat (2) huruf d diatas menyebutkan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan hormat jika mengalami tidak cakap jasmani sehingga tidak dapat bekerja lagi sebagai PNS. Diberhentikan dengan hormat maksudnya ialah apabila tenaganya tidak diperlukan lagi oleh Pemerintah.  Pengertian tidak cakap jasmani disini tidak jelas, apakah diidentikkan dengan cacat atau mempunyai tolak ukur sendiri. Lalu, tolak ukur yang dapat dinyatakan bahwa kecacatan yang dialami PNS tersebut membuatnya tidak dapat bekerja lagi sebagai PNS, ternyata juga belum diatur. Pada intinya, pengaturan tentang cacat karena dinas belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang Kepegawaian.
Dalam peraturan pelaksana dari Undang-Undang Kepegawaian terdapat ketentuan tentang cacat karena dinas. Salah satu peraturan pelaksana yang mengatur tentang cacat karena dinas adalah Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Adapun dalam Pasal 27 ayat (1) menyatakan tentang pemberhentian PNS yang diakibatkan cacat karena dinas, dimana berbunyi sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (1)
Kepala BKN menetapkan pemberhentian dan pemberian pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang berpangkat Pembina Tingkat I golongan ruang IV/b ke bawah yang tewas, meninggal dunia, cacat karena dinas, dan mencapai batas usia pensiun.
Pemberhentian bagi PNS yang berpangkat Pembina Utama Muda golongan ruang IV/c, Pembina Utama Madya golongan ruang IV/d, dan Pembina Utama golongan ruang IV/e ditetapkan langsung oleh Presiden.  Dalam penjelasannya, disebutkan tentang sebab-sebab PNS tersebut diberhentikan. Pemberhentian tersebut dapat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat. Alasan pemberhentian PNS baik dengan hormat atau tidak dengan hormat, yaitu karena :
f. atas permintaan sendiri;
g. meninggal dunia;
h. hukuman disiplin;
i. perampingan organisasi pemerintah;
j. menjadi anggota partai politik;
k. dipidana penjara;
l. dinyatakan hilang;
m. keuzuran jasmani;
n. cacat karena dinas;
o. tewas;
p. mencapai batas usia pensiun.
Maka dapat ditarik kesimpulan dari isi ketentuan diatas, bahwa PNS yang mengalami cacat karena dinas, walaupun dapat atau tidak dapat bekerja lagi, akan langsung ditetapkan pemberhentiannya sebagai PNS.
Pemberhentian yang disebabkan oleh cacat karena dinas tidak hanya dialami oleh PNS tapi juga berlaku bagi CPNS yang akan diangkat sebagai PNS. Adapun peraturan yang mengatur ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan PNS, dimana dalam salah satu pasalnya menyatakan sebagai berikut :
Pasal 17 ayat (2)
Calon Pegawai Negeri Sipil yang cacat karena dinas, yang oleh Tim Penguji Kesehatan dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam semua jabatan negeri, diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 17 ayat (3)
Calon Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) setelah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan diberikan hak-hak kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jikalau dinyatakan tidak dapat bekerja lagi, CPNS yang terkena cacat karena dinas tetap diangkat menjadi PNS dan setelah itu diberhentikan dengan diberikan hak kepegawaian sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut pasal 17 ayat (2) diatas, yang berwenang menyatakan dapat atau tidak dapat bekerja lagi ialah Tim Penguji Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut tidak diatur mengenai CPNS yang cacat karena dinas tapi masih dapat bekerja, maka secara a contrario ketentuan tersebut berlaku sebaliknya.
Dalam pengaturan tentang cacat karena dinas, tidak ditemukan ketentuan mengenai upaya-upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah jikalau ada PNS/CPNS yang mengalami kecacatan. Padahal masih banyak upaya yang dapat dilakukan selain pensiun dini, misalnya mutasi. Jika PNS/CPNS tersebut sudah tidak sesuai dengan pekerjaannya dan pekerjaan lain di lingkungan pekerjaannya akibat kondisi kecacatannya, maka PNS/CPNS tersebut dapat dimutasikan ke departemen lain dimana pekerjaan tersebut sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Mutasi adalah salah satu solusi bagi PNS/CPNS yang mengalami cacat karena dinas untuk dapat meneruskan haknya untuk bekerja sesuai dengan UUD 1945. Namun belum ada peraturan yang mengatur ketentuan tersebut.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian itu dilaksanakan oleh Presiden, dengan dibantu oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara. Adapun pelanggaran atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian dapat dikenakan tindakan administratif. Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, tindakan administratif yang dimaksud berupa :
a. peringatan;
b. teguran;
c. pencabutan keputusan atas pengangkatan, pemindahan, atau pemberhentian.
Tindakan administratif tersebut dilakukan oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara dan dapat didelegasikan atau dimandatkan kepada pejabat lain di lingkungan kepegawaian.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan PNS tidak ditemukan aturan mengenai kuota penerimaan penyandang cacat sebagai CPNS yang mencerminkan kewajiban pemerintah dalam mempekerjakan penyandang cacat di lingkungan pemerintahan (PNS). Akan tetapi, pemerintah mewajibkan kepada perusahaan baik itu swasta, BUMN maupun BUMD untuk menerima 1 (satu) persen tenaga kerja penyandang cacat sebagai pekerja di perusahaannya, sebagai upaya penegakan HAM. Padahal dengan adanya kuota bagi penyandang cacat, menunjukkan bahwa pemerintah mewajibkan dirinya sendiri untuk mempekerjakan penyandang cacat di lingkungan pemerintahan (PNS) dalam rangka mewujudkan kesamaan kesempatan dalam perwujudan hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan.
Logikanya, bagaimana mungkin pemerintah mewajibkan kepada orang lain (perusahaan) untuk menerima tenaga kerja penyandang cacat sedangkan pemerintah tidak mewajibkan dirinya sendiri untuk mempekerjakan penyandang cacat. Sebagai penguasa seharusnya pemerintah memberikan teladan dalam upaya-upaya penegakan HAM bagi warganya, yaitu dengan pemberian kesempatan kerja dengan mewajibkan dirinya sendiri untuk mempekerjakan penyandang cacat sebagai PNS di lingkungan pemerintahan. Namun, pemerintah justru melakukan pengingkaran terhadap HAM itu sendiri.
Selain itu, pemerintah mewajibkan penegakan hukum atas jaminan perlindungan hak penyandang cacat untuk mendapatkan jaminan aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan bagi perusahaan baik itu swasta, BUMN, dan BUMD. Hal itu dapat dilihat dengan adanya aturan tentang sanksi pidana dan sanksi administrasi bagi setiap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut. Namun hal itu tidak diterapkan bagi pemerintah sendiri. Aturan mengenai sanksi bagi pemerintah dalam menjalankan kewajibannya sebagai penguasa untuk menegakkan HAM, khususnya bagi penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam melamar sebagai CPNS maupun dalam bekerja sebagai PNS, tidak ada.

BAB III Perlindungan Hukum Penyandang Cacat

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PERWUJUDAN 
HAK ASASI PENYANDANG CACAT
        
III.1. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Cacat 
Sebagaimana telah dijelaskan pada BAB I, bahwa pengertian perlindungan hukum disini mengacu dari telaah teoritik Prof. Philipus M. Hadjon yang mengajukan konsep perlindungan hukum dikaitkan dengan penggunaan wewenang pemerintah. Dengan “tindak pemerintahan” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat), maka telah dibedakan perlindungan hukum bagi rakyat dalam dua hal, yaitu, perlindungan hukum preventif dan represif.  Perlindungan hukum preventif dan represif selalu berkaitan dengan peraturan, penerbitan izin dan/ suatu keputusan pemerintah yang berbentuk definitif.
Yang dimaksud dengan perlindungan hukum preventif adalah : “Kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapatkan bentuk yang definitif.”  Dalam hubungan ini asas keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan sangat penting artinya.
Arti penting dari perlindungan hukum preventif ialah “mencegah sengketa adalah lebih baik daripada menyelesaikan sengketa”.  Mencegah sengketa dapat dilakukan dengan cara ditetapkannya suatu peraturan yang mengakomodir kepentingan rakyat atau diterbitkannya suatu izin. Misalnya supaya tidak terjadi sengketa antar pemerintah dengan penyandang cacat yang ingin melamar sebagai CPNS, maka seharusnya pemerintah menetapkan peraturan yang berisi tentang kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagaai CPNS. Isi ketentuan tersebut dapat berupa kuota penerimaan yang mewajibkan pemerintah untuk menerima penyandang cacat, syarat kompetensi kerja yang harus dipenuhi oleh penyandang cacat dalam memilih suatu jenis pekerjaan, serta pemberian definisi sehat jasmani dan rohani secara jelas dan tidak ambigu. Jadi dengan adanya peraturan atau izin diharapkan dapat melindungi masyarakat dari kerugian oleh tindakan pemerintah.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.  Namun, pengaturan tentang sarana perlindungan hukum preventif dalam hukum administrasi positif kita belum memadai. Sehubungan dengan itu usaha kodifikasi hukum administrasi umum berupa Undang-Undang tentang ketentuan umum hukum administrasi akan sangat menunjang hal tersebut di atas.
Di dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Philipus M. Hadjon menceritakan bahwa pada tahun 1975, tim dari Council of Europe (Conseil De L’Europe) mengadakan penelitian tentang “the protection of the individual in relation to acts of administrative authorities”. Penelitian tersebut menitikberatkan pada sarana perlindungan hukum yang preventif. Salah satu penelitiannya ialah “the right to be heard”. 
Dari penelitian tersebut, ditarik kesimpulan tentang arti penting dari “the right to be heard”, yaitu :
Pertama, individu yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-haknya dan kepentingannya. Kedua, cara demikian dapat menunjang suatu pemerintahan yang baik (good administration) dan dapat ditumbuhkan suasana saling percaya antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan kata lain, “the right to be heard” punya tujuan ganda, yaitu, menjamin keadilan dan menjamin suatu pemerintahan yang baik. Sehingga kemungkinan sengketa antara pemerintah dan rakyat dapat dikurangi. 
Perlindungan hukum yang represif merupakan upaya untuk menyelesaikan sengketa atas suatu keputusan pemerintah yang telah mendapatkan bentuknya yang definitif, dan pada akhirnya perlindungan hukum represif ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan.
Adapun sarana untuk melakukannya antara lain, bila di negara yang menganut Civil Law System, terdapat dua bentuk pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, yaitu, pengadilan umum (biasa) dan pengadilan administrasi. Sedangkan dalam negara yang menganut Common Law System,  sarana penyelesaian sengketa ada pada satu bentuk pengadilan, yaitu, “Ordinary Court”.  
Selain kedua sistem itu, di negara-negara Skandinavia dikenal adanya lembaga sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa antara rakyat dengan pemerintahnya, yaitu lembaga Ombudsman. 
Dalam penulisan ini, tidak akan membahas lebih jauh mengenai upaya perlindungan hukum preventif karena analisa penulis berangkat dari peraturan-peraturan yang sudah ada. Namun yang perlu ditekankan disini ialah, bagaimana upaya perlindungan hukum represif di Indonesia sebagai negara yang menganut Civil Law System. Serta, apa yang dapat dilakukan oleh penyandang cacat jika hak asasinya untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja dirugikan oleh tindak pemerintahan. Upaya ini perlu dilakukan, sebagai cara untuk meminta pertanggung jawaban dari pemerintah selaku penguasa dan pelaksana roda pemerintahan.

III.2. Sarana-sarana Perlindungan Hukum Represif Dalam Pendekatan Hukum Administrasi Untuk Mewujudkan Hak Asasi Penyandang Cacat Dalam Memperoleh Pekerjaan
Sarana perlindungan hukum represif di Indonesia dapat dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu lembaga yudisial dan lembaga non-yudisial. Lembaga yudisial itu berupa badan peradilan, sedangkan lembaga non-yudisial itu terdiri dari badan-badan khusus, misalnya : Komnas HAM, Ombudsman. 
Dengan bertitik tolak dari Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, badan peradilan yang merupakan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia adalah :
1. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
2. Peradilan Militer khusus untuk KTUN ABRI
3. Peradilan Umum

a). Peradilan Tata Usaha Negara
Sebagai sarana pelindungan hukum represif, Pengadilan Tata Usaha Negara, atau disingkat “PTUN”, diserahi kewenangan untuk mengadili suatu perkara atau disebut dengan istilah “kompetensi absolute”. Sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa : “Pengadilan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa  Tata Usaha Negara”. Yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah “sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan”. 
Kompetensi PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara, yang disingkat “KTUN”. Menuirut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, KTUN memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Suatu penetapan tertulis
Penetapan tertulis atau disebut beschikking ini harus dalam bentuk tertulis. Seperti yang disebutkan dalam penjelasan undang-undang, maka syarat bahwa harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya tetapi asal tampak keluar seperti tertulis. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk mempermudah dalam segi pembuktiannya. Oleh sebab itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut Undang-Undang ini apabila sudah jelas :
a. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta hal mengenai apa isi tulisan itu;
c. Kepada siapa isi tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya. 
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang berkedudukan di pusat dan di daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan disini ialah kegiatan yang bersifat eksekutif. Apabila suatu tindakan hukum TUN diperbuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu pada saat itu dapat kita anggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
Pengertian tindakan hukum TUN ialah perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Jadi suatu tindakan hukum TUN adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada.
4. Bersifat kongkrit, individual, dan final
Bersifat kongkrit artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jikalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Selain bersifat kongkrit dan individual, KTUN yang dikeluarkan tersebut juga bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
5. Menimbulkan akibat hukum bagi individu atau badan hukum perdata.
Menimbulkan akibat hukum dalam hal ini berarti menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada. Karena penetapan tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum bagi individu maupun badan hukum perdata.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berisi tentang pembatasan terhadap pengertian KTUN dalam Undang-Undang PTUN, dimana berbunyi :
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan peraturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Jika dengan dikeluarkannya suatu KTUN, yang sesuai dengan pengertian pada Pasal 1 angka 3 diatas, mengakibatkan seseorang itu dirugikan maka orang tersebut dapat mengajukan gugatan ke PTUN dengan tuntutan agar KTUN tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.  Dalam hal terjadi gugatan di PTUN, Badan atau Pejabat TUN selalu berkedudukan sebagai tergugat, sedangkan individu atau badan hukum perdata sebagai warga masyarakat yang dirugikan kepentingannya akibat tindakan tersebut bertindak selaku penggugat. Untuk dapat mengajukan gugatan di PTUN, penggugat dapat menggunakan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan :
Pasal 53 ayat (2)
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Suatu KTUN dapat dikatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila keputusan tersebut :
1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bersifat prosedural/formal.
2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial.
3) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan asas yang berkembang dalam praktek pengadilan. Asas-asas tersebut meliputi :
a. Asas persamaan;
b. Asas kepercayaan;
c. Asas kepastian hukum;
d. Asas kecermatan;
e. Asas pemberian alasan;
f. Larangan “detournement de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang);
g. Larangan bertindak sewenang-wenang. 
Sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, asas-asas umum pemerintahan yang baik yang telah disebutkan diatas dinamakan asas-asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi :
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas, dan
7. Asas Akuntabilitas.
Alasan-alasan gugatan tersebut merupakan dasar pengujian dan dasar pembatalan bagi PTUN dalam menilai apakah KTUN yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Tidak semua obyek sengketa TUN, yang berupa KTUN, dapat langsung digugat melalui PTUN. Terhadap KTUN yang dalam penyelesaiannya dikenal adanya upaya administrasi, maka penyelesaiannya diharuskan melalui upaya administrasi terlebih dahulu. Apabila penyelesaian melalui upaya administrasi masih belum dapat diterima oleh para pihak, khususnya penggugat, maka sengketa tersebut dapat diajukan gugatan melalui Pengadilan.  Jika gugatan tersebut diajukan ke pengadilan, maka pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.  
Dalam Penjelasan Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjelaskan bahwa :
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu KTUN. Prosedur tersebut dilakukan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “banding administratif”. Dalam hal penyelesaian KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut “keberatan”.
KTUN yang tidak mengenal upaya administrasi dalam penyelesaian sengketa, gugatan langsung diajukan melalui PTUN.  Memperhatikan uraian yang telah dijelaskan diatas, bahwa terdapat dua alur penyelesaian sengketa tata usaha negara, yaitu melalui upaya administrasi dan pengadilan tata usaha negara.  Penyelesaian sengketa melalui upaya administrasi biasanya merupakan alur penyelesaian pada sengketa kepegawaian, perburuhan, dan pajak.

b). Peradilan Umum
Peradilan umum disini menangani sengketa tata usaha negara yang tidak termasuk “kompetensi absolute” PTUN maupun Peradilan Militer. Di Belanda dianut suatu asas bahwa peradilan biasa (peradilan umum kita) mengisi kekosongan perlindungan hukum yang ditinggalkan PTUN.  Atas dasar asumsi tersebut, peradilan umum menangani sengketa-sengketa TUN berupa :
a. Sengketa yang timbul dari perbuatan materil atau timbul dari keputusan yang berupa pengaturan yang bersifat umum;
b. Gugatan ganti rugi tambahan setelah proses PTUN;
c. Gugatan ganti rugi sehubungan dengan eksekusi putusan PTUN. 
Istilah onrechmatige daad yang diterjemahkan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) merupakan salah satu dasar gugatan dalam sengketa keperdataan, selain wanprestasi. Dalam Pasal 1365 BW (KUH Perdata) dirumuskan unsur-unsur PMH, yaitu :
a. Adanya perbuatan/tindakan, yang dilakukan baik secara aktif maupun pasif (karena kelalaian). Namun kelalaian yang dapat menimbulkan PMH biasanya hanyalah kelalaian untuk berbuat sesuatu saja;
b. Perbuatan tersebut melawan hukum / onrechmatig.
Suatu perbuatan/tindakan merupakan PMH ketika memenuhi salah satu dari keempat unsur berikut :
1. Melanggar hak subjektif seseorang;
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan masyarakat.
c. Pelaku memiliki  kesalahan, dalam arti kesalahan yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi. Selain itu, antara perilaku dan akibat tersebut harus dapat dipersalahkan pada si pelaku. Hukum perdata tidak membedakan kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (schuld), selama mengenai besarnya ganti rugi sebagai tindakan melawan hukum.
d. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian, yang meliputi kerugian materiil maupun kerugian imateriil yang diderita sebagai akibat dari perbuatan tersebut
Dalam kehidupan bernegara, tidak menutup kemungkinan tindakan PMH dilakukan oleh pemerintah atau penguasa kepada rakyatnya. Dalam hal terjadinya PMH oleh penguasa, para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa pemerintah memiliki kedudukan yang sama seperti anggota masyarakat pada pada umumnya dalam lalu lintas hukum dan dengan demikian, ketika melakukan perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUPer, dapat diminta untuk bertanggung jawab.
Sehubungan dengan teori PMH berdasarkan pasal 1365, dapat disimpulkan bahwa PMH yang dilakukan oleh pemerintah dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang perbuatan tersebut memenuhi salah satu dari hal-hal berikut ini :
1. Pemerintah melanggar hak subyektif seseorang.
a. Pemerintah dapat dituntut pertanggungjawabanya atas perbuatan yang dengan sengaja melanggar hak subyektif seseorang, kecuali bila pemerintah dapat membuktikan bahwa tindakannya tersebut merupakan amanat dari UU yang mewajibkannya untuk bertindak sebagaimana dilakukannya;
b. Pemerintah tidak dapat dituntut  pertanggungjawabanya atas perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain bila perbuatan tersebut merupakan pelaksanaan tugas publik dalam bentuk suatu kebijaksanaan / bleid tertentu;
c. Pemerintah dapat dituntut pertanggungjawabannya bila terdapat penyalahgunaan wewenang atau menggunakan kekuasaannya untuk suatu tujuan yang tidak dimaksudkan oleh hukum publik ( detournment de pouvoir ).
2. Pemerintah melanggar kewajiban hukumnya.
a. Pemerintah dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas perbuatan yang melanggar kewajiban hukumnya, baik hukum publik maupun hukum perdata, bila pelanggaran tersebut berdasarkan atas suatu norma jaminan (norma yang mengandung perintah kepada penguasa, dan memberikan hak bagi warganya untuk minta pertanggungjawaban dari penguasa);
b. Sebaliknya, pemerntah tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya atas pelanggaran terhadap kewajiban hukumnya yang didasarkan pada norma instruksi (norma yang mengatur batas-batas kewenangan antar sesama organ penguasa dan tidak memberikan hak tuntut kepada warganya).
3. Pemerintah melanggar kepatutan dalam memperhatikan kepentingan terhadap diri dan harta orang lain
Pemerintah tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya bila melakukan perbuatan yang melanggar kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta warganya, bila dalam melakukan tindakannyan  tersebut, pemerintah berada dalam kualitasnya sebagai penguasa dalam melaksanakan tugas publik yang diletakkan kepadanya.   

c). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Selain melalui pengadilan, upaya hukum lain yang dapat dilaksanakan oleh mereka yang ingin memulihkan hak-haknya adalah melalui lembaga-lembaga, salah satunya ialah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM adalah institusi yang dibentuk dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM.  Pembentukan institusi Komnas HAM oleh pemerintah didengungkan sebagai bukti komitmen pemerintah untuk mewujudkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Dengan disahkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disingkat “UU HAM”, maka Komnas HAM yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut UU HAM dan menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan Pasal 75 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM bertujuan, antara lain :
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asai manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam mencapai tujuannya tersebut, Komnas HAM melaksanakan beberapa fungsi yang berkaitan dengan hak asasi manusia, yaitu fungsi :
1. Pengkajian;
2. Penelitian;
3. Penyuluhan;
4. Pemantauan, dan
5. Mediasi. 
Komnas HAM adalah lembaga non yudisial yang merupakan salah satu sarana dalam menyelesaikan suatu sengketa tentang hak asasi manusia. Disini Komnas HAM berperan sebagai pihak ketiga yang menyediakan jasa-jasa baik (good offices), yaitu penyelesaian sengketa tentang hak asasi manusia di luar pengadilan. Penyelesaian yang diberikan oleh pihak ketiga bertujuan untuk membantu menemukan solusi yang terbaik bagi para pihak. Hal ini sesuai dengan pelaksanaan fungsi mediasi yang tercantum pada Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa tugas dan wewenang Komnas HAM dalam melaksanakan fungsi mediasi ialah melakukan beberapa hal sebagai berikut :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 90 UU HAM, setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak-hak asasinya telah dilanggar, dapat mengajukan laporan dan pengaduan baik lisan atau tertulis kepada Komnas HAM. Bahkan pengaduan dapat diwakilkan pada pihak lain berdasarkan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar. Dengan adanya laporan tersebut, Komnas HAM wajib untuk menerima dan memeriksa pengaduan tersebut. Dari pemeriksaan tersebut, Komnas HAM dapat memberikan saran-saran penyelesaian, yaitu bisa berupa saran penyelesaian melalui badan peradilan atau melalui upaya penyelesaian sesuai dengan pasal 89 ayat (4) huruf b diatas dengan Komnas HAM sebagai mediatornya. Hasil upaya penyelesaian dengan mediasi tersebut berupa kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator. Keputusan tersebut bersifat mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.

d). Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Dengan studi perbandingan, ada tiga pendekatan utama dalam hukum administrasi, yaitu :
a. Pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah.
Di Inggris populer dengan pendekata ultra vires.  Kalau hukum administrasi di Belanda sangat menekankan segi-segi rechtmatigheid yang pada dasarnya berkaitan dengan rechtmatigheidcontrole.  Pendekatan-pendekatan tersebut menggambarkan kekuasaan pemerintahan sebagai fokus hukum administrasi.
b. Pendekatan hak asasi (rights based approach).
Rights based approach merupakan pendekatan baru dalam hukum administrasi Inggris. Fokus utama pendekatan ini ialah pada dua hal, yaitu:
1. Perlindungan hak-hak asasi (principles of fundamnetal rights).
2. Asas-asas pemerintahan yang baik (principles of good administration), antara lain : legality, procedural propriety, participation, openness, reasonableness, relevancy, propriety of purpose, legal certainty and proportionality.  
c. Pendekatan fungsionaris.
Pendekatan ini tidak menggusur pendekatan sebelumnya, tetapi melengkapi pendekatan yang ada dengan titik pijak bahwa yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan adalah pejabat (orang). Oleh karena itu hukum administrasi harus memberikan perhatian kepada perilaku aparat. Dengan pendekatan ini, norma hukum administrasi tidak hanya meliputi norma pemerintahan tapi norma perilaku aparat (overheidsgedrag). Norma perilaku tersebut diukur dengan konsep maladministrasi atau perilaku aparat yang buruk. 
Ada dua norma dasar bagi perilaku aparat, yaitu :
a. sikap melayani (dienstbaarheid).
b. terpercaya (betrouwbaarheid), yang meliputi openheid, nauwgezetheid, mtegriteit, soberheid, eerlijkheid. 
Di Belanda, norma perilaku aparat digali dari praktek Ombudsman. Ombudsman adalah instansi yang kewenangannya untuk menilai maladministrasi. Jadi, lembaga ombudsman merupakan parameter perlindungan hukum dari segi pendekatan fungsionaris.
Menurut Philipus M. Hadjon, pakar hukum administrasi negara, lembaga Ombudsman klasik mempunyai karakter sebagai berikut :
1. Ombudsman merupakan lembaga non-yudisial;
2. Ombudsman merupakan perpanjangan parlemen (fungsinya termasuk fungsi kontrol oleh parlemen);
3. ombudsman tidak memiliki wewenang formal untuk menetapkan suatu upaya pemulihan ( no formal power to award a remedy). 
Beliau menjelaskan lebih jauh mengenai fungsi ombudsman yang pada dasarnya menerima laporan warga masyarakat sehubungan dengan tindak pemerintahan (administration action). Ombudsman hanya memberi rekomendasi atas tindakan aparat yang maladministrasi kepada pejabat yang berwenang memutus. Setiap tahun ombudsman melaporkan kepada parlemen tentang pengawasannya.
Di Indonesia juga ada lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menilai perilaku aparat yang buruk dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, yaitu bernama Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Pada Pasal 2 dalam Kepres tersebut, menyatakan bahwa Ombudsman Nasional adalah :
Lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pada Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, menyatakan tentang tujuan dibentuknya Lembaga Ombudsman, yaitu yang berbunyi :
Pasal 3
Ombudsman Nasional bertujuan :
a. Melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
b. Meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik.
KON juga memiliki tugas-tugas sebagaimana tercantum pada Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, yaitu :
a. Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman.
b. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain.
c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.
d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional.
Peran KON disini adalah menerima pengaduan dari masyarakat, dimana masyarakat  yang dapat memberikan aduan atau melapor adalah :
a. Seluruh lapisan masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh aparatur negara dalam memberikan pelayanan publik.
b. Warga Negara Indonesia / Warga Negara Asing.
c. Pelapor adalah orang yang mempunyai kepentingan terhadap kasus yang dilaporkan. 
Melalui Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan, sebagaimana tertera dalam pasal 9, KON berwenang melakukan klarifikasi atau montoring terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan yang diduga melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan umum, tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya.berdasarkan laporan serta informasi dari masyarakat serta pihak lain yang terkait. Kemudian, hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran, disampaikan kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk menindaklanjuti serta kepada pelapor sendiri.

III.3. Kasus Posisi
Bekerja adalah pilihan yang harus diambil oleh semua orang, termasuk penyandang cacat, untuk mendapatkan penghasilan. Penghasilan yang diperoleh dari hasil bekerja digunakan untuk membiayai dan mencukupi segala kebutuhan sehari-hari. Begitu pula sebaliknya, jika kita tidak bekerja maka kita tidak akan mendapatkan penghasilan. Jika kita tidak mempunyai uang, kita juga tidak dapat memenuhi segala kebutuhan yang kita perlukan baik itu pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu bekerja adalah hak setiap orang, termasuk penyandang cacat, untuk dapat meneruskan hidup dan kehidupannya.
Bagi sebagian orang, bekerja tidak hanya untuk mencari uang saja tetapi lebih kepada pemenuhan kepuasan diri dan tuntutan usia produktif dimana pada usia produktif itulah kita, secara psikologis, selalu memiliki hasrat untuk terus bekerja, dituntut untuk dapat menghasilkan suatu karya atau prestasi dan dapat memberikan ide-ide kreatif yang dapat memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan di tempat kerja. Bekerja dan meraih suatu penghargaan atas prestasi yang dihasilkan di tempat kerja adalah merupakan keinginan dan hak bagi setiap orang, termasuk penyandang cacat, untuk dapat mewujudkannya.
Pada kenyataannya, masih banyak penyandang cacat yang terabaikan dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya penyandang cacat untuk mendapatkan suatu pekerjaan, terutama pekerjaan di lingkungan pemerintahan atau PNS. Banyak sekali keluhan yang diterima oleh pihak Pemerintah Kota Surabaya dari para penyandang cacat perihal susahnya untuk melamar sebagai PNS. Namun, tetap tidak ada tanggapan atau solusi dari pihak pemkot. 
Wuri Handayani adalah salah satu penyandang cacat lumpuh yang memakai kursi roda, dimana haknya untuk memperoleh pekerjaan terabaikan. Wuri mengalami penolakan sewaktu melamar sebagai CPNS di Surabaya. Adapun kronologis ditolaknya pendaftaran Wuri Handayani sebagai CPNS adalah sebagai berikut : 
1. Dalam rangka pengadaan PNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya (selanjutnya disebut sebagai pemkot Surabaya), Walikota Surabaya dengan pengumuman Nomor : 810/4555/436.1.4/2004 tertanggal 28 Oktober 2004, telah mengumumkan kepada masyarakat tentang penerimaan CPNS di lingkungan pemkot Surabaya. Pengumuman tersebut berisikan tentang jumlah dan formasi lowongan kerja yang ada, persyaratan, waktu pendaftaran, syarat-syarat pendaftaran, dan lain-lain informasi penerimaaan CPNS.
2. Untuk pelaksanaan penyaringan bagi pelamar CPNS, maka berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya dibentuklah Panitia CPNS.
3. Pada tanggal 6 Nopember 2004, Wuri Handayani dengan membawa segala persyaratan yang diperlukan mendatangi kantor pendaftaran CPNS di Convention Hall, Jl. Arief Rahman Hakim No. 131-133 Surabaya. Adapun maksud Wuri ialah untuk mendaftarkan diri dalam bidang akuntansi.
4. Lalu Wuri mendapatkan nomor antrian 2556. Setelah pada gilirannya, Wuri dipanggil oleh petugas panitia pendaftaran CPNS dan dilakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi pendaftaran yang dibawa oleh Wuri. 
5. Setelah 15 (lima belas) menit dilakukan pemeriksaan oleh panitia, yaitu Ibu Novi sebagai petugas pendaftaran, serta dikoordinasikan kepada Ibu Mia, sebagai koordinator pendaftaran, maka panitia pendaftaran (melalui kedua petugas tersebut) menyatakan bahwa lamaran Wuri tidak dapat diproses ke tahap selanjutnya karena tidak memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan.
6. Sambil menunjukkan pengumuman Walikota Surabaya mengenai penerimaan CPNS di lingkungan pemkot Surabaya, Wuri menanyakan point mana yang tidak dapat dipenuhi oleh dirinya. Namun Ibu Novi tidak dapat menunjukkannya, tapi tetap menyatakan menolak untuk memproses pendaftaran Wuri. Kemudian penolakan tersebut ditegaskan oleh Ibu Mia (NIP. 010252514) dengan memberikan surat keterangan penolakan sebagai peserta tes CPNS tertanggal 6 Nopember 2004. Pada surat keterangan tersebut, diberikan catatan tulisan tangan di bawah point 7, dimana menyatakan bahwa Wuri Handayani :
1. Tidak memenuhi persyaratan umum sebagai CPNS Kota Surabaya;
2. Tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani (memakai kursi roda).
7. Pada tanggal 8 Nopember 2004, Wuri mendatangi kantor Walikota Surabaya untuk menyerahkan surat yang berisi permohonan penjelasan atas kebijakan yang melarang penyandang cacat untuk mendaftar sebagai CPNS. Dalam kesempatan tersebut, Wuri hanya ditemui oleh Sekretaris Kota Surabaya dengan didampingi Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Ketua Sub Tim Pengadaan Panitia Penerimaan CPNS. Mereka menjelaskan bahwa :
1. Seluruh persyaratan teknis pelaksanaan dan keputusan yang berkaitan dengan penerimaan CPNS ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah hanya menjadi pelaksana saja, termasuk mengenai persyaratan sehat jasmani dan rohani;
2. Telah ada keluhan dari beberapa orang penyandang cacat netra yang diajukan kepada Walikota Surabaya sehubungan dengan adanya perlakuan yang sama oleh Panitia Penerimaan CPNS kepada Wuri;
3. Seluruh keluhan dari Wuri maupun penyandang cacat lainnya akan dijadikan masukan bagi Pemerintah Kota Surabaya agar di masa mendatang persoalan serupa dapat dipertimbangkan atau difasilitasi.
Terhadap penjelasan tersebut, Wuri berterima kasih atas kesempatan bertemu dan menyatakan bahwa keputusan untuk menolak penyandang cacat dengan menggeneralisir seluruh penyandang cacat lainnya bukanlah suatu keputusan yang bijaksana. Walaupun telah mendapatkan penjelasan lisan, namun Wuri tetap meminta jawaban secara tertulis dari pihak pemkot Surabaya. 
8. Pada tanggal 11 Nopember 2004 Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Ketua Sub Tim Pengadaan Panitia Penerimaan CPNS mengeluarkan surat jawaban secara tertulis dengan Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 tertanggal 11 Nopember 2004 yang ditujukan kepada Wuri Handayani. Dalam surat tersebut menjelaskan bahwa :
a. Dalam Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 810/4555/436.1.4/2004 tertanggal 28 Oktober 2004, disebutkan ketentuan persyaratan umum bagi pelamar adalah sehat jasmani dan rohani (huruf A angka 1 point k);
b. Pemerintah Kota Surabaya dalam menjabarkan ketentuan sehat jasmani dan rohani tersebut adalah tidak cacat fisik maupun mental, mengingat Pemerintah Kota Surabaya merupakan instansi pelayanan masyarakat yang dituntut memiliki mobilitas kerja yang tinggi.
9. Keputusan menolak Wuri Handayani untuk mengikuti ujian masuk CPNS Kota Surabaya sebagaimana yang dimaksud diatas telah menimbulkan kerugian terhadap diri Wuri Handayani. Oleh karena itu, Wuri Handayani mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 3 Februari 2005.
Gugatan Wuri Handayani diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 3 Februari 2005 dengan Nomor Register 10/G.TUN/2005/PTUN.SBY. Perkara gugatan tata usaha negara tersebut merupakan sengketa antara Wuri Handayani sebagai Penggugat dengan Walikota Surabaya sebagai Tergugat I dan Ketua Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya sebagai Tergugat II. Berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam surat gugatan tersebut dan pertimbangan-pertimbangan hukum lainnya, maka pada tanggal 19 Mei 2005 Hakim PTUN menjatuhkan putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Walikota Surabaya tertanggal 6 Nopember 2004 dan tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 perihal : Penjelasan Penerimaan CPNS di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya Tahun Anggaran 2004, yang pada pokoknya berisi tentang penolakan Tergugat terhadap Penggugat untuk mendaftar diri sebagai peserta test penerimaan CPNS;
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan yang pada pokoknya memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk mengikuti test penerimaan CPNS di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya pada periode berikutnya;
4. Membebankan kepada Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 156.500,- (Seratus Lima Puluh Enam Ribu Lima Ratus Rupiah).
 Atas putusan PTUN tersebut, pihak tergugat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Hakim Tinggi yang menangani perkara ini memberikan pertimbangan bahwa pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama telah tepat dan benar. Oleh karena itu, Pengadilan Tinggi TUN mengambil alih pertimbangan-pertimbangan tersebut sebagai pertimbangannya sendiri dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi TUN.
Berdasarkan putusan tersebut, pihak tergugat menolak putusan Pengadilan Tinggi TUN dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, sampai sekarang MA belum menjatuhkan putusan mengenai perkara ini. 
Penolakan atau tidak diberinya kesempatan yang sama tidak hanya dialami oleh Wuri Handayani, penyandang cacat yang ingin memperoleh pekerjaan sebagai PNS, tetapi juga dialami oleh Indratmojo, seorang PNS yang tiba-tiba mengalami kecacatan. Indratmojo yang akrab dipanggil Mamok adalah seorang PNS yang berdinas di Badan Pusat Statistik (BPS) di Kendangsari, Surabaya. Sebelumnya, beliau berdinas di BPS Timor Timur.
Pada tahun 1997, ketika masih berdinas di Timor-Timur mata kanan Mamok tiba-tiba tidak bisa melihat. Dua tahun kemudian mata kiri Mamok mengalami low vision. Tahun 2000, Mamok mulai berdinas di Surabaya. Karena kondisi yang dialaminya, maka atasan Mamok pada saat itu menyarankan agar Mamok berisitirahat dan tidak perlu bekerja dulu sambil mencari jalan untuk mengobati matanya. Selama 3 tahun (2000-2003), Mamok tetap digaji walaupun tanpa harus bekerja. Namun, selama itu pula beliau tetap datang ke kantor setiap hari. 
Ternyata, apa yang terjadi diluar kehendaknya. Mamok merasa diasingkan dengan teman-teman kerjanya. Ketika berada di kantor, dia tidak produktif sama sekali. Bukan karena dia tidak bisa apa-apa tapi karena tidak ada kesempatan yang diberikan kepadanya. Mamok merasa kecewa dan tertekan karena status ketidakjelasan yang dialaminya. Di satu sisi dia masih seorang pegawai, tapi di sisi lain dia sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. 
Pada tahun 2004, terjadi pergantian pimpinan di BPS Surabaya. Mamokpun akhirnya dipanggil oleh atasan yang baru untuk ditinjau ulang keaktifannya sebagai  pegawai. Melihat kondisi kecacatan Mamok, atasannya meminta agar Mamok pensiun dini dengan alasan bahwa kecacatan Mamok akan menghambat tuntutan profesinya sebagai PNS yang harus selalu aktif. Walaupun Mamok telah mengalami kecacatan tapi dia masih tetap ingin terus bekerja, maka dia mengusulkan untuk dimutasikan menjadi tenaga pengajar di SLB. Berbagai usaha dan pendekatan terhadap BPS dan Sub Diknas PLB telah dilaluinya agar dapat terus bekerja. Bahkan dia dengan giat bersekolah lagi untuk mendapatkan ijazah AKTA 4, yaitu surat ijin mengajar SMP dan SMA. Semua persyaratan untuk mutasi sebagai guru SLB telah dipenuhinya. Namun sampai sekarang, SK persetujuan mutasi atas nama Indratmojo belum juga keluar.
Melihat kedua kasus diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyandang cacat dalam mendapatkan hak dalam aspek ketenagakerjaan selalu mendapat kesulitan.

III.4. Analisa Kasus Wuri Handayani
Berdasarkan tori hukum diatas, dikaitkan dengan kasus Wuri maka jalur penyelesaian sengketa yang diambil oleh Wuri, yaitu melalui PTUN, sudah tepat. Sengeketa TUN yang dialami Wuri termasuk ke dalam kompetensi PTUN, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa Memo atau Surat Penolakan yang ditandatangani oleh Panitia Penerimaan CPNS Pemkot Surabaya tertanggal 6 Nopember 2004 dan yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Kepegawaian Pemkot Surabaya tertanggal 11 Nopember 2004 adalah KTUN, yang sesuai dengan syarat-syarat KTUN sebagaimana tercantum pada Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
2. Wuri adalah individu yang kepentingannya telah dirugikan dengan dikeluarkannya KTUN tersebut, yaitu Wuri tidak dapat mengikuti tes penerimaan CPNS.
3. Isi KTUN tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu kriteria sehat jasmani yang diidentikkan dengan tidak cacat tersebut telah melanggar hak asasi Wuri dalam memperoleh pekerjaan yang tercantum pada UUD 1945, UU HAM, UU Penyandang Cacat, UU Ketenagakerjaan, dan juga UU Kepegawaian. Isi KTUN tersebut juga telah bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas persamaan.
Dalam proses pengadilan PTUN, Hakim telah menjatuhkan putusan untuk memenuhi segala tuntutan Wuri dengan beberapa pertimbangan hukum. Adapun pertimbangan-pertimbangan Hakim TUN adalah sebagai berikut :
1. Bahwa objek sengketa yang dimohonkan pembatalan atau dinyatakan sah serta dimintakan untuk dicabut melalui PTUN adalah Surat tertanggal 6 Nopember 2004 yang ditandatangani oleh Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya dan Surat tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Sub Ketua Tim Pengadaan CPNS.
2. Bahwa penerbitan kedua surat tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, yaitu merupakan tindakan diskrimintif terhadap para penyandang cacat khususnya penggugat (Wuri Handayani).
3. Bahwa menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 23 Tahun 1993 tentang Kesehatan dan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, jelas terlihat adanya perbedaan definisi antara pengertian sehat dan cacat.
4. Bahwa perbedaan pengertian antara sehat dan cacat juga ditegaskan oleh Direktorat Jendaral dan Rehabilitasi Sosial Depertemen Sosial Republik Indonesia, sebagai mana dalam suratnya tertanggal 31 Desember 2004 No.84/PRS-4/XII/2004, perihal Pemberian Hak dan Kesempatan Yang Sama, Surat Edaran Menteri Sosial RI No.001/PRI/XII-04/SE.MS tanggal 9 Desember 2004 tentang Penerimaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Sektor Pemerintah dan Sektor Swasta, dan keterangan saksi ahli Dr.dr. Ferial Hadi Putro  dimana pada intinya menyebutkan bahwa Penyandang Cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani, kecacatan adalah kelainan bukan penyakit.  
5. Bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan keterangan saksi ahli yang menyebutkan bahwa Penyandang Cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani karena itu untuk menyatakan seseorang itu sehat atau sakit harus dengan pemeriksaan Tim Medis atau Dokter.
6. Bahwa dalam Pasal 6 angka 2 Undang-Undang tentang Penyandang Cacat Tahun1997, menyebutkan bahwa setiap Penyandang Cacat berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya: dan dalam Pasal 13   UU tersebut disebutkan bahwa Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Serta dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.4 Tahun 1997 Jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1998 menyebutkan kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
7. Bahwa Direktorat Jendaral dan Rehabilitasi Sosial Depertemen Sosial Republik Indonesia, sebagai mana dalam suratnya tertanggal 31 Desember 2004 No.84/PRS-4/XII/2004, menyatakan bahwa dalam penerimaan tenaga kerja di sektor Pemerintah dan Swasta, apabila ada penyandnag cacat yang dinyatakan sehat harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti penerimaan CPNS.
8. Bahwa dalam Surat Kepala BKN No. K.26-20/V.5-39/48 tentang Pengangkatan Penyandang Cacat Menjadi Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 22 Maret 2001 dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka pada hakekatnya penyandang cacat dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil asalkan sesuai dengan uraian pekerjaan maupun spesifikasi pekerjaan dan kompetensinya, artinya kecacatan seseorang tidak akan mengganggu efektivitasnya dalam melakukan pekerjaan.
9. Bahwa berdasarkan keterangan saksi ahli Taheri Noor, Dr., MA yang menerangkan bahwa dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, Perusahaan Negara dan Swasta saja diwajibkan untuk menerima penyandang cacat untuk dipekerjakan di perusahaannya dalam porsi tertentu apalagi Pemerintah, tentu saja secara moral berkewajiban untuk menerima pegawai dari penyandang cacat untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. saksi ahli Ir. Ngatiyo Ngayoko, M.M. juga menerangkan bahwa penyandang cacat memiliki hak yang sama dengan WNI lainnya, maka tindakan Walikota Surabaya yang menolak penyandang cacat untuk mengikuti tes penerimaan CPNS merupakan tindakan yang bertentangan dengan program Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, yang menginstruksikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia agar berkenan menerima penyandang cacat sebagai pegawai/karyawan baik dilingkungan BUMN/BUMD, Perusahaan Swasta minimal satu persen dari tenaga kerja yang ada.
10. Bahwa asas persamaan atau larangan diskriminasi adalah bahwa hal-hal atau keadaan-keadaan yang sama harus diperlakukan sama pula. Hal-hal dan keadaan tersebut harus sama pula relevansinya.
11. Bahwa sebagaimana telah diuraikan, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah memberikan kesempatan kepada penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan sama dengan warga negara yang lain. Namun, tindakan Tergugat yang menolak Penggugat sebagai penyandang cacat menunjukkan bahwa penyandang cacat itu tidak sama dengan warga negara yang lain dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Oleh karena itu tindakan Tergugat tersebut merupakan perbuatan yang melanggar asas persamaan atau larangan diskriminasi.
Dari uraian pertimbangan-pertimbangan diatas, Hakim menyimpulkan bahwa :
1. Kecacatan tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani;
2. Tindakan Tergugat yang menolak Penggugat untuk mengikuti tes penerimaan CPNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya, sebagaimana tertuang dalam Surat Tergugat tertanggal 6 Nopember 2004 dan tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan: 
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan;
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;
7. Peraturan Pemeintah Nomor 98 tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil;
8. dan peraturan pelaksana lainnya.
b. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu asas persamaan atau larangan diskriminasi.
Walaupun Wuri menyelesaikan sengketanya melalui Badan Peradilan Administrasi, Wuri juga menempuh sarana perlindungan hukum represif melalui lembaga non-yudisial yaitu Komnas HAM dengan meminta saran atau rekomendasi.
Sesuai dengan Pasal 90 UU HAM, Wuri mengajukan laporan dan pengaduan secara tertulis kepada Komnas HAM mengenai penolakan dirinya ketika melamar sebagai CPNS. Oleh karena itu, sesuai dengan tugas dan wewenang yang tercantum pada Pasal 89 UU HAM, Komnas HAM menindaklanjuti masalah tersebut dengan mengeluarkan Memorandum No. 102/PK-KHUSUS/III/2005 yang ditujukan kepada Wuri Handayani perihal : Pelanggaran HAM Hak Ekosob Penyandang Cacat. Dalam memorandum tersebut, Komnas HAM berpendapat bahwa :
5. Penyandang cacat berhak mendapat perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kecacatannya (Pasal 5 ayat (3) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) dan oleh karena itu penyandang cacat harus diperlakukan lebih melalui pendekatan hak asasi manusia.
6. Penyandang cacat berhak mendapat perlindungan lebih agar harkat martabatnya senantiasa ditingkatkan setara dengan warga negara lainnya dengan berpegang pada asas non diskriminasi, persamaan dan kesemuaan terutama oleh Pemerintah (Pasal 8, 71, 72 UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam bentuk meredefinisi, mengamandemen, mencabut UU yang berpotensi melanggar Hak sipol/Hak Ekosob para penyandang cacat.
7. Walikota Kota Surabaya seyogyanya mematuhi amanat Pasal 8, Pasal 71, Pasal 72 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang terutama menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah untuk senantiasa melindungi, memajukan, memenuhi, menegakkan, menghormati hak asasi setiap orang.
8. Pada kenyataannya Walikota Kota Surabaya telah menunjukkan ketidakmampuan, ketidakmauan dalam bentuk diskriminasi berupa interpretasi UU untuk pembenaran penolakan bagi penyandang cacat karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani, berupa :
b. Cacat tidak memenuhi syarat kesehatan, oleh karena itu ditolak (UU No. 23/92 tentang Kesehatan).
c. Pemerintah Kota Surabaya tidak mempunyai kewajiban mempekerjakan penyandang cacat (UU No. 4/97 tentang Penyandang Cacat).
d. Penggunaan “mobilitas” sebagai ukuran produktivitas kerja, padahal seharusnya : “bakat, kecakapan, kemampuan” (Pasal 38 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM).
9. Terdapat bukti awal yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran HAM bidang Ekosob yang tercantum pada Pasal 38 UU No. 39/1999 tentang HAM.
10. Pemerintah secara sistematik (melalui interpretasi UU) atau meluas (melalui kasus Wuri Handayani) menunjukkan diskriminasi langsung terhadap para penyandang cacat sehingga teraniaya.
11. Komnas HAM menyarankan agar Wuri meneruskan upaya hukum yaitu melalui PTUN bagi tegaknya HAM para penyandang cacat untuk setara dengan masyarakat lainnya, jauh dari diskriminasi, alienasi, marginalisasi.
12. Jika perlu, walaupun PTUN belum selesai, dapat dipertimbangkan gugatan ke Pengadilan Negeri atas dasar gugatan perbuatan melawan hukum oleh Walikota (onrecht matigoverheid daad) terhadap Wuri sehingga teraniaya karena menyandang cacat.
13. Komnas HAM akan memantau dan mengkaji apakah perlakuan yang diterima Wuri (penganiayaan) termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan telah cukup memenuhi unsur-unsur pidana pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam memperjuangkan hak asasinya, Wuri juga mengirim surat aduan secara tertulis kepada Departemen Sosial perihal adanya diskriminasi pada pendaftaran CPNS Pemkot Surabaya pada tahun 2004. Menindaklanjuti surat tersebut, maka  Departemen Sosial memberikan Surat Rekomendasi No. 84/PRS-4/XII/2004 perihal : Pemberian Hak dan Kesempatan yang sama kepada Ketua Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya Tahun 2004. Dalam surat tersebut, Departemen Sosial menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Saudara Wuri Handayani seorang penyandang cacat parapelgia (lumpuh kedua tungkai bawah) memakai kursi roda saat ini tercatat sebagai mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Airlangga.
2. Menurut penuturan sdr. Wuri Handayani, yang bersangkutan telah mengikuti pendaftaran penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya, tetapi berkas-berkas pendaftaran telah ditolak karena tidak memenuhi persyaratan umum sehat jasmani dan rohani (memakai kursi roda). Penyandang cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani.
3. Dengan adanya Surat Edaran dari Menteri Sosial Nomor : 001/PRS/XII-04/SE.MS tanggal 9 Desember 2004 tentang Penerimaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Sektor Pemerintah dan Sektor Swasta, sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon apabila ada penyandang cacat yang dinyatakan sehat harus diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mengikuti proses seleksi penerimaan CPNS.
Dari kedua surat tersebut, dapat dikatakan bahwa  laporan yang diajukan Wuri kepada dua lembaga yang berbeda ternyata mendapatkan jawaban yang sama., yaitu tindakan Pemkot Surabaya dalam menolak Wuri untuk mengikuti tes CPNS adalah tidak benar. Alasan penolakan beserta penjelasan yang dikemukakan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan telah melanggar hak asasi Wuri sebagai individu dan warga negara Indonesia. Oleh karena itu Wuri maupun penyandang cacat lainnya yang dalam kondisi sehat berkeinginan untuk melamar sebagai CPNS, maka pemerintah harus memberi hak dan kesempatan yang sama. Didalam surat itu juga dikatakan bahwa sehat jasmani tidak identik dengan tidak cacat, artinya syarat sehat jasmani dan rohani tidak diukur dari kondisi fisik seseorang. Alasan-alasan yang tercantum dalam kedua surat rekomendasi tersebut ditegaskan kembali di dalam putusan PTUN dan PT TUN.
Kondisi kecacatan tidak boleh dipersalahkan jika seorang penyandang cacat ingin melamar suatu pekerjaan, karena yang menjadi pedoman dalam merekrut pegawai/karyawan baru ialah kompetensi kerjanya, bukan mobilitasnya yang selalu terhambat dengan kondisi kecacatannya. Mobilitas tidak menjamin produktivitas seseorang, namun jika orang itu memiliki kompetensi kerja yang tinggi berarti orang tersebut dikatakan “produktif”. Jadi ukuran penyandang cacat layak untuk diterima bekerja di suatu perusahaan atau sektor pemerintahan (PNS) bukanlah didasarkan pada mobilitas seseorang akan pekerjaan yang dipilihnya, namun haruslah didasarkan pada kompetensinya, yaitu kecakapan, kemampuan, wawasan, bakat, jenis dan derajat kecacatan, terhadap suatu jenis pekerjaan yang dipilih.
Sehubungan dengan teori PMH yang telah diuraikan diatas, ternyata dapat dikaitkan dengan tindakan Pemkot Surabaya dalam mengeluarkan Surat Penolakan terhadap Wuri. Surat Penolakan tersebut merupakan suatu PMH, karena memenuhi keempat unsur PMH sebagai berikut :
1. Pemkot Surabaya melakukan tindakan dengan tidak memberikan kesempatan kepada Wuri untuk ikut serta dalam ujian penerimaan CPNS di lingkungan Pemkot Surabaya, yang dilakukannya melalui pengeluaran Surat Penolakan.
2. Perbuatan Pemkot Surabaya itu merupakan tindakan yang melanggar hak asasi Wuri untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, hal mana juga dengan sendirinya bertentangan dengan kewajiban Pemkot Surabaya sebagai penguasa untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial dan menjadi panutan bagi rakyatnya dalam kegiatan-kegiatan perwujudan penegakan HAM. Perbuatan Pemkot Surabaya yang melanggar hak orang lain dan kewajiban hukum diri sendiri, merupakan suatu PMH.
3. Perbuatan Pemkot Surabaya tersebut merupakan tindakan yang salah sehingga mengakibatkan Wuri menderita kerugian imateriil.
4. Akibat tindakan Pemkot Surabaya tersebut, maka Wuri jelas mengalami kerugian baik materiil yang berupa biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses lamaran, maupun imateriil yaitu hilangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan, waktu yang terbuang, dan lain sebagainya.  
Dengan demikian pada dasarnya, atas Perbuatan Pemkot Surabaya dalam mengeluarkan Surat Penolakan, Wuri dapat mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri dimana Pemkot Surabaya berkedudukan, dengan dasar gugatan PMH yang dilakukan oleh penguasa, dan dengan tuntutan ganti kerugian baik materiil maupun imateriil.

III.5. Analisa Kasus Indratmojo
Berdasarkan teori hukum yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai upaya penyelesaian terhadap kondisi yang dialami oleh Indratmojo. Dilihat dari kasus posisi, Indratmojo atau Mamok ini masih berstatus sebagai PNS, walaupun Mamok dilarang bekerja selama tujuh tahun akibat kecacatan yang dialami. Melihat kenyataan ini, pemerintah sama sekali tidak memberikan reaksi.
Dalam Pasal 1 ayat (4) UU PTUN dinyatakan bahwa sengketa kepegawaian termasuk sengketa TUN. Dalam Pasal 48 UU PTUN, menyatakan bahwa dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa TUN tertentu secara administratif, maka sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif, sebelum dapat diajukan ke PTUN. Walaupun kasus Mamok ini termasuk ke dalam sengketa kepegawaian karena Mamok masih berstatus sebagai PNS, namun tidak dapat diselesaikan melalui upaya administratif maupun PTUN karena tidak adanya objek sengketa yang dikeluarkan oleh instansi tempat Mamok bekerja.
PNS adalah aparat pemerintahan yang melayani pelayanan publik. Jadi, PNS termasuk ke dalam pendekatan fungsionaris atau perilaku aparat pemerintahan sebagai penyelenggara negara yang berkaitan dengan maladministrasi. Dikaitkan dengan kasus Mamok, bahwa instansi tempat Mamok bekerja, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), merupakan aparat pemerintahan yang dapat dinilai perilakunya. Sesuai penjelasan teori diatas, bahwa Ombudsman ialah lembaga pengawasan yang berwenang untuk menilai perilaku aparat yang maladministrasi. Dengan demikian, dengan perilaku BPS yang buruk maka yang berwenang untuk memeriksa hal tersebut ialah Komisi Ombudsman Nasional.
Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, menyebutkan bahwa “Komisi Ombudsman Nasional ... berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai ... pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan ... dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat”. Dalam ketentuan tersebut jelas menyatakan bahwa pengaduan diajukan oleh masyarakat atas tindakan yang maladministrasi dalam memberikan pelayanan umum. 
Dikaitkan dengan kasus Mamok, bahwa Mamok ialah seorang pegawai yang masih berstatus sebagai PNS dan dia merupakan aparat pemerintahan. Dalam hal ini, Mamok tidak dilihat dari statusnya sebagai PNS tapi sebagai person/orang yang mengalami perlakuan yang tidak adil oleh aparatur negara. Jadi pada dasarnya, Mamok dapat mengajukan laporan/aduan kepada KON atas kondisi yang dialaminya, yaitu tindakan aparat yang terkesan lama atau bertele-tele dalam prosedur untuk menerbitkan izin mutasi sehingga hak Mamok untuk bekerja telah dilanggar.
Prosedur penyampaian pengaduan yang dapat diajukan oleh Mamok adalah sebagai berikut :
a. Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b. Laporan pengaduan harus disertai kronologis kasus yang dijabarkan secara jelas dan sistematis serta ditandatangani.
c. Mencantumkan identitas diri antara lain fotokopi KTP/SIM/Passport.
d. Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya.
e. Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar langsung ke kantor Komisi Ombudsman Nasional atau melalui website (www.ombudsman.or.id).
f. Lakukan tahapan berikut untuk mengirimkan pengaduan melalui website :
1. Lakukan pendaftaran pelapor dengan mengisi formulir pendaftaran secara lengkap dan Kami akan mengirimkan informasi password dan username melalui email.
2. Lakukan login untuk mengirimkan pengaduan serta melihat perkembangan pengaduan. 

BAB IV Penutup

BAB IV
PENUTUP

IV.1. Kesimpulan
Bertolak dari pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan beberapa hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menyatakan bahwa memang benar hak dalam memperoleh pekerjaan merupakan hak asasi penyandang cacat yang wajib mendapatkan perwujudan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, dalam penelitian ini masyarakat diartikan perusahaan swasta, BUMN, dan BUMD. Oleh karena itu jaminan perlindungan hukum secara preventif harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pemerintah, yang berupa jaminan aksesibilitas sebagai upaya mewujudkan kesamaan kesempatan tanpa diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat.
Sejauh ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah memberikan perlindungan hukum secara preventif bagi terwujudnya hak-hak penyandang cacat, terutama dalam memperoleh pekerjaan, namun ternyata ada perbedaan yang sangat mencolok antara ketentuan yang mengatur tentang jaminan aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan di swasta dengan di sektor pemerintahan (PNS). Bahwa pemerintah sebagai penguasa mengharuskan perusahaan untuk mempekerjakan penyandang cacat dengan kewajiban-kewajiban perusahaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan, pemerintah sendiri tidak mewajibkan dirinya sendiri untuk menerima penyandang cacat bekerja sebagai PNS. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya jumlah peraturan dan tidak rincinya peraturan tersebut yang memuat ketentuan tentang tenaga kerja penyandang cacat.
Dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian, peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan jauh lebih mengatur dan menjamin hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan dan sewaktu penyandang cacat tersebut telah bekerja.
b. Bahwa terdapat bermacam sarana perlindungan hukum represif dalam menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan tindak pemerintahan dikaitkan dengan hak asasi manusia. Itu semua bergantung dengan dasar tuntutannya. Seperti dalam kasus Wuri Handayani, karena ingin membatalkan Surat Penolakan yang dianggap merugikan kepentingannya maka ia menempuh jalur yudisial, yaitu melalui PTUN. Keberadaan PTUN ini merupakan pemenuhan prinsip equality before the law (persamaan dalam hukum dan pemerintahan) yang berkaitan dengan syarat objektif bagi suatu negara hukum.
Untuk yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran terhadap hak asasinya, Wuri meminta wewenang Komnas HAM, sebagai lembaga non yudisial, untuk mengkaji dan memeriksa hal tersebut. Selanjutnya, Wuri dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri atas tindakan Walikota dengan alasan perbuatan melawan hukum.
Lain halnya dalam kasus Indratmojo. Pada dasarnya penyelesaian jalur hukum yang dapat ditempuh adalah melalui Komisi Ombudsman Nasional, karena merupakan wewenang KON untuk memeriksa apabila ada tindakan aparat pemerintahan yang buruk dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Sarana-sarana perlindungan hukum represif ini, baik yang yudisial maupun non yudisial, sangat berguna sebagai perwujudan dan penegakan hak-hak asasi penyandang cacat dalam kehidupan dan penghidupan.

IV.2. Saran 
a. Walaupun peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang persamaan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan, namun pada kenyataannya penyandang cacat cenderung mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah selaku penguasa lebih mensosialisasikan ketentuan mengenai kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagai pekerja di suatu perusahaan bagi perusahaan swasta, BUMN maupun BUMD pada khusunya dan mayarakat pada umumnya. Dengan begitu, pihak swasta lebih memberikan kesempatan kepada penyandang cacat agar dapat bekerja sesuai dengan tingkat kemampuannya. 
Pemerintah hendaknya segera membuat peraturan tentang kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagai CPNS yang jauh lebih tegas dari yang sudah ada dengan menjelaskan definisi kriteria sehat jasmani dan rohani agar tidak menjadi ancaman bagi penyandang cacat yang ingin melamar sebagai CPNS.
b. Dengan adanya kasus yang melibatkan sengketa antara Walikota Surabaya dengan Wuri Handayani dan diselesaikan melalui PTUN, maka hal ini merupakan yurisprudensi yang pertama bagi terwujudnya hak asasi penyandang cacat. Dengan demikian diharapkan bagi Pemkot Surabaya pada khususnya dan bagi aparat pemerintahan lainnya pada umumnya untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan surat keputusan sejenis di masa yang akan datang.