Translate

Jumat, 29 November 2013

Menghindari Pelanggaran Hak Cipta dalam Menulis

Terkadang, dalam menulis, baik fiksi maupun nonfiksi, penulis hanya terfokus pada penyusunan karyanya tanpa menyadari bahwa ia telah melanggar hak cipta orang lain. Tuduhan plagiat dari pihak yang merasa dirugikan sedikit banyak akan berdampak terhadap reputasi si penulis. Bahkan di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme (disebut plagiator) dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Untuk menghindari plagiarisme dalam menulis, berikut beberapa hal yang perlu dipahami penulis:
 
Prinsip Perlindungan Hak Cipta
Hak cipta lahir seketika setelah sebuah karya dilahirkan (Pasal 2 ayat [1]UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta atau UUHC), yakni pada saat sebuah karya sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu. Pendaftaran di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (“Ditjen HKI”) ataupun pengumuman, tidak menjadi syarat bagi seorang pencipta memperoleh hak cipta. Dalam kaitan dengan menulis buku misalnya, ide-ide penulis tidak dilindungi hak cipta sampai ide-ide tersebut diwujudkan dalam bentuk sebuah buku. Perlindungan hak cipta mencakup semua elemen pada buku yang dapat digolongkan sebagai ekspresi si penulis.
 
Pelanggaran Hak Cipta
Selain buku, hak cipta juga diberikan kepada karya orisinal lainnya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra di antaranya program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; lagu, gambar, foto, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Karya hasil pengalihwujudan misalnya film yang diangkat dari novel, atau sebaliknya.
 
UUHC memberikan pencipta seikat hak, yaitu hak eksklusif untuk mengumumkan atau memperbanyak karyanya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika penulis menggunakan karya atau ciptaan orang lain dalam tulisan atau bukunya, sangat mungkin ia akan melakukan plagiarisme. Plagiarisme adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, naskah, dan sebagainya dari orang lain secara keseluruhan atau sebagian, tanpa menyebut sumber dan membuatnya seolah-olah tulisan dan pendapat sendiri. Dalam hal demikian, untuk menghindar plagiarisme, penulis perlu mengusahakan untuk mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta sebelum memutuskan untuk menggunakan karya pihak tersebut dalam buku yang sedang dibuat.
 
Izin menggunakan karya pencipta lain
Hak cipta atas sebuah buku dapat dipegang penciptanya sendiri, yaitu si penulis (author), atau, pihak lain, misalnya penerbitnya (publisher). Pemegang Hak Cipta dapat berbeda dari Pencipta dalam hal terjadi pengalihan hak cipta dari Pencipta kepada si Pemegang Hak Cipta. Bisa juga Pemegang Hak Cipta adalah pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut pertama kali dari Pencipta.
 
Jika diketahui siapa pemegang hak ciptanya, sebaiknya penulis menghubungi langsung pemegang hak ciptanya. Saat ini Direktorat Hak Cipta, Ditjen HKI, Kementerian Hukum dan HAM RI belum menyediakan data yang lengkap untuk seseorang melakukan pencarian mengenai informasi pencipta atau pemegang hak cipta. Penulis harus melakukan pencarian informasi sendiri melalui internet atau secara pribadi. Permintaan izin harus dibuat tertulis berupa surat yang berisi informasi spesifik tentang karya yang akan digunakan dan bagaimana penggunaanya. Pastikan juga untuk mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta secara tertulis.
 
Izin tidak diperlukan manakala penulis mengutip atau menyalin materi-materi berikut, karena tidak memiliki hak cipta:
·         hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
·         peraturan perundang-undangan;
·         pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
·         putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
·         keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
 
Hak Moral
Sebagaimana disyaratkan oleh Konvensi Berne (Pasal 6bis) yang mana Indonesia juga merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi, UUHC memberi Pencipta hak untuk menuntut dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam karyanya ataupun salinannya dalam hubungan dengan penggunaan secara umum (Hak Moral). Hak Moral terpisah dari Hak Ekonomi dan akan terus mengikuti Pencipta bahkan jika Pencipta telah mengalihkan hak ekonominya kepada pihak lain. UUHC juga melarang perubahan atas suatu karya tanpa izin Pencipta, termasuk perubahan judul dan anak judul karya tulis, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran Pencipta. Termasuk perubahan yang dilarang yaitu distorsi, modifikasi, mutilasi atau bentuk perubahan lainnya yang meliputi pemutarbalikan, pemotongan, perusakan, penggantian yang berhubungan dengan karya cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi dan reputasi Pencipta.
 
Hak-hak tersebut di atas tidak dapat dipindahkan selama Penciptanya masih hidup, kecuali atas wasiat Pencipta berdasarkan peraturan perundang-undangan.
 
Pembatasan Hak Cipta
UUHC mengatur soal pembatasan hak cipta ini di Pasal 14 sampai 18. Pembatasan dan pengecualian hak cipta dikenal dengan istilah "fair use" atau "fair dealing" yang mengizinkan pemakaian, pengambilan atau perbanyakan suatu ciptaan tanpa izin pemegang hak ciptanya sepanjang penggunanya menyebut sumbernya dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial. Fair use yang diatur dalam UUHC di antaranya:
·         pengambilan berita aktual,
·         penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta
·         pengambilan Ciptaan pihak lain guna keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
·         Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
·         pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
 
Domain Publik
Jika hak cipta dari sebuah karya telah berakhir, karya tersebut dianggap milik publik atau menjadi "public domain" dan karenanya siapapun dapat menggunakannya secara gratis tanpa perlu izin penciptanya.
 
Jangka waktu perlindungan hak cipta masing-masing karya cipta dibedakan oleh UUHC. Hak cipta atas buku dan semua hasil karya tulis lainnya, begitu pula dengan ceramah, pidato, kuliah dan karya cipta yang sejenis dengan itu, berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
 
Jika suatu tulisan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penulisnya (anonim) atau pada karya tulis tersebut hanya tertera nama samaran penulis (pseudonim), Penerbit memegang Hak Cipta atas karya tulis tersebut untuk kepentingan Penulisnya. Dalam hal demikian, Hak Cipta berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut pertama kali diterbitkan.
 
Hak Cipta atas foto, database, berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Sedangkan Hak Cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan.
 
Tip menghindari plagiarisme
Agar terhindar dari plagiarisme, beberapa tip berikut perlu diingat dalam menulis:
·         Tulis dalam bentuk kutipan langsung, dalam tanda petik "........." (quotation marks), semua bagian yang disalin dari tulisan orang lain dengan menyebut sumbernya baik dalam teks, di catatan kaki dan di akhir karya tulis berupa daftar pustaka. Untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber karya yang dikutip harus dilakukan secara lengkap dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama Pencipta , judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada;
·    Mengambil ide dari tulisan orang lain dan menuangkan kembali ide, seluruhnya dengan kata-kata sendiri (paraphrasing), tetap dengan menyebut sumbernya. Contoh: Sebagaimana disampaikan Dr. Hari Rusli,........
 
Demikian, semoga bermanfaat. Selamat menulis.
 
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f4f358c51680/lt4f55cfa807ae8.jpg

8963 HITS
DI: HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
SUMBER DARI: GLOBOMARK

Merek Dagang Sama dengan Nama PT Orang Lain, Bisakah Didaftarkan?

Sebelumnya, kami ingin menjelaskan bahwa Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum sebagaimana dikatakan dalam Pasal 1 angka (1)Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam hal ini, kami berasumsi bahwa PT yang Anda maksud adalah perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
 
Kemudian mengenai merek, pada dasarnya berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) merek yang tidak dapat didaftarkan adalah merek yang mengandung salah satu unsur di bawah ini:
a.    bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;
b.    tidak memiliki daya pembeda;
c.    telah menjadi milik umum; atau
d.    merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
 
Selain itu, permohonan pendaftaran merek juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual jika:
a.    mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis (Pasal 6 ayat [1] UU Merek).
b.    mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya (Pasal 6 ayat [1] UU Merek).
c.    Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal (Pasal 6 ayat [1] UU Merek).
d.    Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak (Pasal 6 ayat [3] UU Merek).
e.    Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang (Pasal 6 ayat [3] UU Merek).
f.     Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang (Pasal 6 ayat [3] UU Merek).
 
Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Merek dikatakan bahwa “yang dimaksud dengan nama badan hukum adalah nama badan hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek.”
 
Dengan demikian, pada dasarnya Anda dapat mengajukan permohonan pendaftaran merek atas nama yang sama dengan nama PT tersebut selama nama PT tersebut tidak digunakan sebagai merek dan tidak terdaftar dalam Daftar Umum Merek.
 
Pada akhirnya, pemeriksa di Kantor Direktorat Merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang akan melakukan pengecekan atau pemeriksaan substantif atas permohonan pendaftaran merek yang Anda ajukan, dan memutuskan apakah nama merek yang Anda ajukan dapat didaftarkan atau ditolak (sebagaimana juga pernah dijelaskan mengenai hal serupa dalam artikel Bisakah Mendaftarkan Nama Usaha yang Mirip Nama Band Terkenal?)
 
Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel-artikel berikut ini:
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif

4161 HITS
DI: HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
SUMBER DARI: BUNG POKROL

Masalah Pendaftaran dan Sengketa Nama Domain

Permasalahan yang dapat kami tangkap dari keterangan yang Anda sampaikan adalah sebagai berikut:
1.    adanya pendaftaran nama domain oleh C, yakni nama yang didaftarkan tersebut merupakan sebuah nama yang tercetus dalam sebuah presentasi pihak lain (A) yang pernah C hadiri; dan
2.    Mengenai nama domain tersebut, kami asumsikan belum pernah didaftarkan A sebelumnya baik sebagai nama domain maupun merek.
Definisi nama domain atau alamat website menurut laman Wikipedia adalah nama unik untuk mengidentifikasi nama server komputer seperti web serveratau e-mail server di jaringan komputer ataupun internet. Contoh nama domain misalnya “hukumonline.com”. Nama domain biasanya menunjukkan nama pemilik website, baik perorangan ataupun perusahaan, brand/merek, slogan/frasa atau kalimat pendek. Nama, brand, kata, slogan atau kalimat pendek tidak termasuk dalam daftar ciptaan yang dilindungi hak cipta, melainkan hanya dilindungi hukum apabila terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (“Ditjen HKI”) sebagai merek dagang sesuai UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”).
Presentasi, yang dianggap sejenis dengan ceramah/kuliah/pidato, termasuk dalam daftar ciptaan yang dilindungi UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta atau UUHC (Pasal 12 ayat [1] huruf b UUHC). Hak Cipta diberikan UUHC secara otomatis kepada sebuah ciptaan sejak ciptaan itu menjadi suatu bentuk kesatuan yang nyata dan dapat diperbanyak (Pasal 12 ayat [3] UUHC). Kata per kata yang terdapat di dalam sebuah presentasi belum cukup dianggap sebagai sebuah ciptaan, karenanya, pengambilan sebuah kata atau kalimat pendek dari sebuah presentasi tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.
Pelanggaran hak cipta atas presentasi A oleh C hanya terjadi apabila C melakukan tindakan-tindakan perbanyakan dan atau pengumuman atas presentasi A tanpa izin A seperti mengambil atau mengutip materi presentasi tanpa menyebut nama sumber, memperbanyak atau menyebarkan rekaman suara atau video presentasi, memperbanyak modul-modul materi presentasi untuk tujuan komersial (melanggar Pasal 2 ayat [1] UUHC). Dari keterangan yang Anda sampaikan, kami tidak melihat adanya pelanggaran hak cipta atas materi presentasi A oleh C, karena C tidak melakukan tindakan-tindakan perbanyakan maupun pengumuman atas materi presentasi A tersebut melainkan hanya mengambil sebuah nama domain yang tercetus dalam presentasi dan kemudian mendaftarkannya sebagai nama domainnya. Selama nama domain tersebut belum pernah didaftarkan A baik sebagai nama domain maupun sebagai merek, A tidak memiliki alas hak yang cukup untuk dapat melakukan tuntutan hukum terhadap C.
Dengan asumsi nama domain telah terdaftar atas nama C, dalam hal A memiliki bukti kepemilikan yang sah atas nama tersebut, A dapat mengupayakan penghapusan nama domain tersebut atau menuntut C atas dugaan pelanggaran merek. Tuntutan itu hanya dapat ditujukan kepada C pribadi karena nama domain terdaftar atas nama C dan tindakan C mendaftarkan nama domain tersebut didasarkan atas inisiatif pribadinya, tanpa sepengetahuan B.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f4f358c51680/lt4f55cfa807ae8.jpg

2505 HITS
DI: HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
SUMBER DARI: GLOBOMARK

Pemakaian Nama PT dan Kaitannya dengan Pendaftaran Merek

1.    Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (“PT”) jelas diatur dalam Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”), dan lebih khusus lagi diatur oleh PP No. 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (“PP 43/2011“).
 
Pasal 16 ayat (1) huruf a UU PT melarang Perseroan memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau sama pada pokoknya dengan nama Perseroan lain, sedangkan ketentuan padaPasal 5 ayat (1) huruf b PP 43/2011 mengatur lebih khusus, antara lain bahwa:
 
(1) Nama Perseroan yang diajukan harus memenuhi persyaratan:
 
b. belum dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau tidak sama pada pokoknya dengan Nama Perseroan lain.
 
Apabila terjadi kesamaan nama antara PT yang diajukan dengan PT yang telah terdaftar, maka Menteri menolak pengajuan nama PT tersebut sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP 43/2011. Adapun mengenai kriteria “sama pada pokoknya” sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf b PP 43/2011, Penjelasan pasal tersebut mengatur sebagai berikut:
 
Yang dimaksud dengan “sama pada pokoknya dengan Nama Perseroan lain” adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Nama Perseroan yang satu dan Nama Perseroan yang lain yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan mengenai cara penulisan atau persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam Nama Perseroan, walaupun pemiliknya sama.Misalnya PT BHAYANGKARA dengan PT BAYANGKARA, PT SAMPURNA dengan PT SAMPOERNA, PT BUMI PERTIWI dengan PT BUMI PRATIWI, PT HIGH-DESERT dengan PT HIGH DESERT, PT JAYA DAN MAKMUR dengan PT DJAJA & MAKMUR.”
 
Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) merupakan sebuah system komputerisasi pendirian Badan Hukum yang diterapkan di Kementrian Hukum dan HAM R.I. Database SABH memuat seluruh badan hukum yang ada di Indonesia dan tingkat kecermatannya cukup menjamin SK yang dikeluarkan sesuai dengan peraturan yang ada sehingga pemberian nama PT yang sama hampir tidak mungkin terjadi.
 
2.    Tentang Pengajuan Merek Coffita di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (“Ditjen HKI”)
 
Pengajuan permohonan pendaftaran merek “Coffita” di Ditjen HKI tidak akan terganjal oleh Pasal 6 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”) semata-mata berdasarkan eksistensi PT Koppita milik pihak lain. Sesuai penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Merek, hanya nama badan hukum yang digunakan sebagai Merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek di Ditjen HKI yang dapat dijadikan dasar bagi Ditjen HKI menolak sebuah permohonan pendaftaran merek berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU Merek.
 
Demikian penjelasan kami semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4f4f358c51680/lt4f55cfa807ae8.jpg

4112 HITS
DI: HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
SUMBER DARI: GLOBOMARK

Penegakan Hukum Perdagangan Barang-barang 'KW'

Mengenai perdagangan produk atau barang palsu atau yang juga dikenal dengan barang "KW", dalam Pasal 90 – Pasal 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek  (“UU Merek”) diatur mengenai tindak pidana terkait merek:
 
Pasal 90
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 
Pasal 91
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
 
Pasal 92
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
 
Pasal 93
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
 
Pasal 94
(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran Dan secara tegas pula, dalam Pasal 95, UU Merek menggolongkan seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut sebagai delik aduan, bukan delik biasa. Dalam keilmuan hukum, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana dalam UU Merek diberlakukan setelah adanya laporan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain sehingga terkait delik aduan pun penyidikan kepolisian dapat dihentikan hanya dengan adanya penarikan laporan polisi tersebut oleh si pelapor sepanjang belum diperiksa di pengadilan.
 
Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya dapat ditindak jikaada aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari perumusanPasal 95 UU Merek:
 
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan.”
 
Ini berarti bahwa penjualan produk atau barang palsu hanya bisa ditindak oleh pihak yang berwenang jika ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hal tersebut, dalam hal ini si pemilik merek itu sendiri ataupemegang lisensi (Pasal 76 dan Pasal 77 UU Merek).
 
Mengenai tugas Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual terkait penindakan terhadap para penjual barang palsu, berdasarkan Pasal 89 ayat (1) UU Merek, selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (“PPNS HKI”) diberi wewenang khusus sebagai penyidiksebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek.
 
PPNS HKI berwenang (Pasal 89 ayat [2] UU Merek):
a.    melakukan pemeriksaan atas kebenaran aduan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek;
b.    melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Merek berdasarkan aduan tersebut pada huruf a;
c.    meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Merek;
d.    melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang Merek;
e.    melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Merek; dan
f.     meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Merek.
 
Selain fungsi penyidikan di atas, sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel yang berjudul Dephukham Revitalisasi Fungsi Penyidik HKI, Direktorat Penyidikan HKI juga berfungsi untuk memonitor penegakan hukum HKI, memberikan peringatan terhadap pelanggar HKI, litigasi dan menjadi ahli HKI dalam proses hukum. Dijelaskan juga bahwa selama ini peran monitoring tidak dilakukan oleh Ditjen HKI. Baru setelah ada Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI (“Timnas HKI”) yang dibentuk pada 27 Maret 2006, pemantauan penegakkan HKI dilakukan.
 
Mengenai Timnas HKI, dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (“Keppres 4/2006”). Dalam Pasal 1 Keppres 4/2006, dikatakan bahwa dibentuk Timnas HKI, untuk mengkoordinasikan penanggulangan pelanggaran HKI di Indonesia, serta penyelesaian berbagai permasalahan yang timbul dalam pelaksanaannya.
 
Timnas HKI bertugas antara lain (Pasal 2 Keppres 4/2006):
a.    merumuskan kebijakan nasional penanggulangan pelanggaran HKI;
b.    menetapkan langkah-langkah nasional yang diperlukan dalam rangka penanggulangan pelanggaran HKI;
c.    mengkaji dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan strategis mengenai penanggulangan pelanggaran HKI, termasuk pencegahan dan penegakan hukum sesuai tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing anggota;
d.    melakukan koordinasi dalam sosialisasi dan pendidikan di bidang HKI guna penanggulangan pelanggaran HKI kepada instansi, lembaga terkait dan masyarakat melalui berbagai kegiatan;
e.    mengadakan dan meningkatkan kerjasama secara bilateral, regional maupun multilateral dalam rangka penanggulangan pelanggaran HKI.
 
Jadi, pada dasarnya Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan Timnas HKI inilah yang akan melakukan pemantauan dan penegakan hukum terkait HKI. Akan tetapi, untuk melakukan tindakan terhadap pihak yang menjual barang palsu, tetap harus ada pengaduan terlebih dahulu dari pemilik merek atau pemegang lisensi.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
3.    Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2006 tentangPembentukan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b46e0113e026.gif

2564 HITS
DI: HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
SUMBER DARI: BUNG POKROL

Prosedur dan Perizinan Penjualan Tenaga Listrik Oleh Swasta

1.        Keran privatisasi usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebenarnya telah dibuka oleh Pemerintah melalui Keppres Nomor 37 Tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta (“Keppres 37/1992”). Privatisasi kemudian semakin dikukuhkan dengan adanya Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (“UU 30/2009”) yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak swasta, baik berbentuk badan usaha, koperasi, maupun swadaya masyarakat untuk berpartisipasi pada tiap jenis usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
 
2.        UU 30/2009 menganut skema unbundling system, yang mana tiap jenis usaha penyediaan tenaga listrik, baik pembangkit tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik, penjualan tenaga listrik, ataupun secara terintegrasi, dilaksanakan oleh satu badan usaha untuk setiap jenis usaha dan wilayah usaha. Ketentuan ini dikecualikan bagi PT PLN, sebagai Badan Usaha Milik Negara(BUMN).
 
3.        Dengan demikian, UU 30/2009 membuka kesempatan kepada pihak swasta untuk dapat menjual secara langsung tenaga listrik milik PT PLN melalui skema kerja sama dengan PT PLN. Berikut ini kami sajikan tahapan penyelenggaraan penjualan tenaga listrik oleh pihak swasta:
a.            Penetapan Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
Usaha penjualan tenaga listrik oleh pihak swasta hanya dapat diselenggarakan dalam satu wilayah usaha. Oleh karena itu, berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tata Cara Permohonan Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (“Permen ESDM 28/2012”), pihak swasta wajib untuk mengajukan permohonan penetapan wilayah usaha penyediaan tenaga listrik kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ("Menteri”). Wilayah usaha yang akan ditetapkan setidaknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
i)     wilayah tersebut belum terjangkau oleh pemegang wilayah usaha yang sudah ada;
ii)    pemegang wilayah usaha yang sudah ada tidak mampu menyediakan tenaga listrik atau jaringan distribusi tenaga listrik dengan tingkat mutu, dan keandalan yang baik; atau
iii)   pemegang wilayah usaha yang sudah ada mengembalikan sebagian atau seluruh wilayah usahanya kepada Menteri.
b.            Kerja sama dengan PT PLN
Berdasarkan Pasal 4 ayat (6) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Ketenagalistrikan untuk Lintas Provinsi atau yang Terhubung dengan Jaringan Transmisi Nasional (“Permen ESDM 10/2005”), pihak swasta hanya dapat menyelenggarakan penjualan tenaga listrik dalam wilayah usaha PT PLN atau pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (“IUPTL”) Terintegrasi. Dalam hal pihak swasta akan menyelenggarakan usaha penjualan tenaga listrik di wilayah usaha PT PLN, maka pihak swasta harus melaksanakan kerja sama dengan PT PLN. Oleh karena itu, pihak swasta dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada kantor PT PLN di wilayah usaha yang telah mendapatkan persetujuan Menteri. Kerja sama tersebut nantinya akan dituangkan dalam bentuk perjanjian jual beli tenaga listrik atau biasa disebut Power Purchase Agreement (“PPA”).
c.            Penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (“RUPTL”)
Penyusunan RUPTL atau Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik merupakan prasyarat utama dalam menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik. RUPTL memuat mengenai analisis rencana pengembangan tenaga listrik dan kebutuhan investasi pada satu wilayah usaha. Penyusunan RUPTL oleh pihak swasta harus terintegrasi dan selaras dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dan Daerah. RUPTL akan disahkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, bersamaan dengan terbitnya IUPTL.
d.            Pemberian IUPTL untuk Kepentingan Umum
Setiap badan usaha yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum wajib untuk memiliki IUPTL. Permohonan pemberian IUPTL diajukan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Namun, untuk usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dalam lintas provinsi, baik sarana maupun energi listriknya tidak atau terhubung dengan jaringan transmisi nasional, maka wajib untuk mengajukan permohonan IUPTL kepada Menteri. Setelah memperoleh IUPTL, maka pihak swasta dapat secara sah melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.
e.            Penentuan Tarif Tenaga Listrik
Tahap selanjutnya bagi pihak swasta untuk dapat menjual tenaga listrik secara langsung kepada masyarakat adalah dengan menentukan tarif tenaga listrik. Berdasarkan Pasal 41 ayat (2) UU 30/2009, tarif tenaga listrik ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
i)     keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik;
ii)    kepentingan dan kemampuan masyarakat;
iii)   kaidah industri dan niaga yang sehat;
iv)   biaya pokok penyediaan tenaga listrik;
v)    efisiensi pengusahaan;
vi)   skala pengusahaan dan interkoneksi sistem; dan
vii) tersedianya sumber dana untuk investasi.
 
Tarif tenaga listrik yang disediakan oleh pemegang IUPTL wajib untuk mendapatkan persetujuan dari:
i)     Menteri, setelah memperoleh persetujuan dari DPR, dalam hal IUPTL ditetapkan oleh Menteri;
ii)    Gubernur, setelah memperoleh persetujuan dari DPRD Provinsi, dalam hal IUPTL ditetapkan oleh Gubernur; atau
iii)   Bupati/Walikota, setelah memperoleh persetujuan dari DPRD Kabupaten/Kota, dalam hal IUPTL ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
 
Setelah tarif tenaga listirk ditetapkan, pemegang IUPTL dapat menerima pembayaran secara langsung dari masyarakat. Namun, pemegang IUPTL tidak dapat melakukan pemungutan pajak penerangan jalan. Hal ini karena kewenangan pemungutan pajak berada di tangan Pemerintah. Selain tarif tenaga listrik, Pemegang IUPTL dapat melakukan pemungutan biaya lain setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Biaya lain sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (“PP 14/2012”) meliputi:
i)     biaya penyambungan;
ii)    uang jaminan langganan; atau
iii)   biaya denda keterlambatan pembayaran listrik.
4.        Bagaimana bila pihak swasta melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa izin yang sah? Sebagaimana yang diatur dalam UU 30/2009 jo. PP 14/2012, untuk dapat menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, pihak swasta wajib untuk memiliki IUPTL. Tanpa adanya IUPTL, maka kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik yang dilakukan adalah ilegalPasal 49 ayat (1) UU 30/2009 memberikan ancaman pidana kepada setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa memiliki IUPTL, yakni dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
 
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
3.    Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik oleh Swasta;
4.    Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Ketenagalistrikan untuk Lintas Provinsi atau yang Terhubung dengan Jaringan Transmisi Nasional;
5.    Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tata Cara Permohonan Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
http://images.hukumonline.com/frontend/lt51c288a35cea1/lt51c2afea2feac.jpg

2700 HITS
DI: BISNIS & INVESTASI
SUMBER DARI: ADCO ATTORNEYS AT LAW