Translate

Rabu, 30 Oktober 2013

BAB III Perlindungan Hukum Penyandang Cacat

BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PERWUJUDAN 
HAK ASASI PENYANDANG CACAT
        
III.1. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Cacat 
Sebagaimana telah dijelaskan pada BAB I, bahwa pengertian perlindungan hukum disini mengacu dari telaah teoritik Prof. Philipus M. Hadjon yang mengajukan konsep perlindungan hukum dikaitkan dengan penggunaan wewenang pemerintah. Dengan “tindak pemerintahan” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat), maka telah dibedakan perlindungan hukum bagi rakyat dalam dua hal, yaitu, perlindungan hukum preventif dan represif.  Perlindungan hukum preventif dan represif selalu berkaitan dengan peraturan, penerbitan izin dan/ suatu keputusan pemerintah yang berbentuk definitif.
Yang dimaksud dengan perlindungan hukum preventif adalah : “Kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapatkan bentuk yang definitif.”  Dalam hubungan ini asas keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan sangat penting artinya.
Arti penting dari perlindungan hukum preventif ialah “mencegah sengketa adalah lebih baik daripada menyelesaikan sengketa”.  Mencegah sengketa dapat dilakukan dengan cara ditetapkannya suatu peraturan yang mengakomodir kepentingan rakyat atau diterbitkannya suatu izin. Misalnya supaya tidak terjadi sengketa antar pemerintah dengan penyandang cacat yang ingin melamar sebagai CPNS, maka seharusnya pemerintah menetapkan peraturan yang berisi tentang kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagaai CPNS. Isi ketentuan tersebut dapat berupa kuota penerimaan yang mewajibkan pemerintah untuk menerima penyandang cacat, syarat kompetensi kerja yang harus dipenuhi oleh penyandang cacat dalam memilih suatu jenis pekerjaan, serta pemberian definisi sehat jasmani dan rohani secara jelas dan tidak ambigu. Jadi dengan adanya peraturan atau izin diharapkan dapat melindungi masyarakat dari kerugian oleh tindakan pemerintah.
Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.  Namun, pengaturan tentang sarana perlindungan hukum preventif dalam hukum administrasi positif kita belum memadai. Sehubungan dengan itu usaha kodifikasi hukum administrasi umum berupa Undang-Undang tentang ketentuan umum hukum administrasi akan sangat menunjang hal tersebut di atas.
Di dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Philipus M. Hadjon menceritakan bahwa pada tahun 1975, tim dari Council of Europe (Conseil De L’Europe) mengadakan penelitian tentang “the protection of the individual in relation to acts of administrative authorities”. Penelitian tersebut menitikberatkan pada sarana perlindungan hukum yang preventif. Salah satu penelitiannya ialah “the right to be heard”. 
Dari penelitian tersebut, ditarik kesimpulan tentang arti penting dari “the right to be heard”, yaitu :
Pertama, individu yang terkena tindak pemerintahan dapat mengemukakan hak-haknya dan kepentingannya. Kedua, cara demikian dapat menunjang suatu pemerintahan yang baik (good administration) dan dapat ditumbuhkan suasana saling percaya antara yang memerintah dan yang diperintah. Dengan kata lain, “the right to be heard” punya tujuan ganda, yaitu, menjamin keadilan dan menjamin suatu pemerintahan yang baik. Sehingga kemungkinan sengketa antara pemerintah dan rakyat dapat dikurangi. 
Perlindungan hukum yang represif merupakan upaya untuk menyelesaikan sengketa atas suatu keputusan pemerintah yang telah mendapatkan bentuknya yang definitif, dan pada akhirnya perlindungan hukum represif ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan.
Adapun sarana untuk melakukannya antara lain, bila di negara yang menganut Civil Law System, terdapat dua bentuk pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, yaitu, pengadilan umum (biasa) dan pengadilan administrasi. Sedangkan dalam negara yang menganut Common Law System,  sarana penyelesaian sengketa ada pada satu bentuk pengadilan, yaitu, “Ordinary Court”.  
Selain kedua sistem itu, di negara-negara Skandinavia dikenal adanya lembaga sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa antara rakyat dengan pemerintahnya, yaitu lembaga Ombudsman. 
Dalam penulisan ini, tidak akan membahas lebih jauh mengenai upaya perlindungan hukum preventif karena analisa penulis berangkat dari peraturan-peraturan yang sudah ada. Namun yang perlu ditekankan disini ialah, bagaimana upaya perlindungan hukum represif di Indonesia sebagai negara yang menganut Civil Law System. Serta, apa yang dapat dilakukan oleh penyandang cacat jika hak asasinya untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja dirugikan oleh tindak pemerintahan. Upaya ini perlu dilakukan, sebagai cara untuk meminta pertanggung jawaban dari pemerintah selaku penguasa dan pelaksana roda pemerintahan.

III.2. Sarana-sarana Perlindungan Hukum Represif Dalam Pendekatan Hukum Administrasi Untuk Mewujudkan Hak Asasi Penyandang Cacat Dalam Memperoleh Pekerjaan
Sarana perlindungan hukum represif di Indonesia dapat dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu lembaga yudisial dan lembaga non-yudisial. Lembaga yudisial itu berupa badan peradilan, sedangkan lembaga non-yudisial itu terdiri dari badan-badan khusus, misalnya : Komnas HAM, Ombudsman. 
Dengan bertitik tolak dari Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, badan peradilan yang merupakan sarana perlindungan hukum represif di Indonesia adalah :
1. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
2. Peradilan Militer khusus untuk KTUN ABRI
3. Peradilan Umum

a). Peradilan Tata Usaha Negara
Sebagai sarana pelindungan hukum represif, Pengadilan Tata Usaha Negara, atau disingkat “PTUN”, diserahi kewenangan untuk mengadili suatu perkara atau disebut dengan istilah “kompetensi absolute”. Sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa : “Pengadilan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa  Tata Usaha Negara”. Yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah “sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan”. 
Kompetensi PTUN adalah Keputusan Tata Usaha Negara, yang disingkat “KTUN”. Menuirut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, KTUN memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Suatu penetapan tertulis
Penetapan tertulis atau disebut beschikking ini harus dalam bentuk tertulis. Seperti yang disebutkan dalam penjelasan undang-undang, maka syarat bahwa harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya tetapi asal tampak keluar seperti tertulis. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk mempermudah dalam segi pembuktiannya. Oleh sebab itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut Undang-Undang ini apabila sudah jelas :
a. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta hal mengenai apa isi tulisan itu;
c. Kepada siapa isi tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya. 
2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang berkedudukan di pusat dan di daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan disini ialah kegiatan yang bersifat eksekutif. Apabila suatu tindakan hukum TUN diperbuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu pada saat itu dapat kita anggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
Pengertian tindakan hukum TUN ialah perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Jadi suatu tindakan hukum TUN adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada.
4. Bersifat kongkrit, individual, dan final
Bersifat kongkrit artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jikalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Selain bersifat kongkrit dan individual, KTUN yang dikeluarkan tersebut juga bersifat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
5. Menimbulkan akibat hukum bagi individu atau badan hukum perdata.
Menimbulkan akibat hukum dalam hal ini berarti menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada. Karena penetapan tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum bagi individu maupun badan hukum perdata.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berisi tentang pembatasan terhadap pengertian KTUN dalam Undang-Undang PTUN, dimana berbunyi :
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan peraturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Jika dengan dikeluarkannya suatu KTUN, yang sesuai dengan pengertian pada Pasal 1 angka 3 diatas, mengakibatkan seseorang itu dirugikan maka orang tersebut dapat mengajukan gugatan ke PTUN dengan tuntutan agar KTUN tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.  Dalam hal terjadi gugatan di PTUN, Badan atau Pejabat TUN selalu berkedudukan sebagai tergugat, sedangkan individu atau badan hukum perdata sebagai warga masyarakat yang dirugikan kepentingannya akibat tindakan tersebut bertindak selaku penggugat. Untuk dapat mengajukan gugatan di PTUN, penggugat dapat menggunakan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan :
Pasal 53 ayat (2)
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Suatu KTUN dapat dikatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila keputusan tersebut :
1) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bersifat prosedural/formal.
2) Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat material/substansial.
3) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan asas yang berkembang dalam praktek pengadilan. Asas-asas tersebut meliputi :
a. Asas persamaan;
b. Asas kepercayaan;
c. Asas kepastian hukum;
d. Asas kecermatan;
e. Asas pemberian alasan;
f. Larangan “detournement de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang);
g. Larangan bertindak sewenang-wenang. 
Sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Pasal 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, asas-asas umum pemerintahan yang baik yang telah disebutkan diatas dinamakan asas-asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi :
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas, dan
7. Asas Akuntabilitas.
Alasan-alasan gugatan tersebut merupakan dasar pengujian dan dasar pembatalan bagi PTUN dalam menilai apakah KTUN yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Tidak semua obyek sengketa TUN, yang berupa KTUN, dapat langsung digugat melalui PTUN. Terhadap KTUN yang dalam penyelesaiannya dikenal adanya upaya administrasi, maka penyelesaiannya diharuskan melalui upaya administrasi terlebih dahulu. Apabila penyelesaian melalui upaya administrasi masih belum dapat diterima oleh para pihak, khususnya penggugat, maka sengketa tersebut dapat diajukan gugatan melalui Pengadilan.  Jika gugatan tersebut diajukan ke pengadilan, maka pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.  
Dalam Penjelasan Pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menjelaskan bahwa :
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu KTUN. Prosedur tersebut dilakukan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaiannya itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “banding administratif”. Dalam hal penyelesaian KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut “keberatan”.
KTUN yang tidak mengenal upaya administrasi dalam penyelesaian sengketa, gugatan langsung diajukan melalui PTUN.  Memperhatikan uraian yang telah dijelaskan diatas, bahwa terdapat dua alur penyelesaian sengketa tata usaha negara, yaitu melalui upaya administrasi dan pengadilan tata usaha negara.  Penyelesaian sengketa melalui upaya administrasi biasanya merupakan alur penyelesaian pada sengketa kepegawaian, perburuhan, dan pajak.

b). Peradilan Umum
Peradilan umum disini menangani sengketa tata usaha negara yang tidak termasuk “kompetensi absolute” PTUN maupun Peradilan Militer. Di Belanda dianut suatu asas bahwa peradilan biasa (peradilan umum kita) mengisi kekosongan perlindungan hukum yang ditinggalkan PTUN.  Atas dasar asumsi tersebut, peradilan umum menangani sengketa-sengketa TUN berupa :
a. Sengketa yang timbul dari perbuatan materil atau timbul dari keputusan yang berupa pengaturan yang bersifat umum;
b. Gugatan ganti rugi tambahan setelah proses PTUN;
c. Gugatan ganti rugi sehubungan dengan eksekusi putusan PTUN. 
Istilah onrechmatige daad yang diterjemahkan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) merupakan salah satu dasar gugatan dalam sengketa keperdataan, selain wanprestasi. Dalam Pasal 1365 BW (KUH Perdata) dirumuskan unsur-unsur PMH, yaitu :
a. Adanya perbuatan/tindakan, yang dilakukan baik secara aktif maupun pasif (karena kelalaian). Namun kelalaian yang dapat menimbulkan PMH biasanya hanyalah kelalaian untuk berbuat sesuatu saja;
b. Perbuatan tersebut melawan hukum / onrechmatig.
Suatu perbuatan/tindakan merupakan PMH ketika memenuhi salah satu dari keempat unsur berikut :
1. Melanggar hak subjektif seseorang;
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
3. Bertentangan dengan kesusilaan;
4. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan masyarakat.
c. Pelaku memiliki  kesalahan, dalam arti kesalahan yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi. Selain itu, antara perilaku dan akibat tersebut harus dapat dipersalahkan pada si pelaku. Hukum perdata tidak membedakan kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (schuld), selama mengenai besarnya ganti rugi sebagai tindakan melawan hukum.
d. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian, yang meliputi kerugian materiil maupun kerugian imateriil yang diderita sebagai akibat dari perbuatan tersebut
Dalam kehidupan bernegara, tidak menutup kemungkinan tindakan PMH dilakukan oleh pemerintah atau penguasa kepada rakyatnya. Dalam hal terjadinya PMH oleh penguasa, para sarjana pada umumnya berpendapat bahwa pemerintah memiliki kedudukan yang sama seperti anggota masyarakat pada pada umumnya dalam lalu lintas hukum dan dengan demikian, ketika melakukan perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUPer, dapat diminta untuk bertanggung jawab.
Sehubungan dengan teori PMH berdasarkan pasal 1365, dapat disimpulkan bahwa PMH yang dilakukan oleh pemerintah dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang perbuatan tersebut memenuhi salah satu dari hal-hal berikut ini :
1. Pemerintah melanggar hak subyektif seseorang.
a. Pemerintah dapat dituntut pertanggungjawabanya atas perbuatan yang dengan sengaja melanggar hak subyektif seseorang, kecuali bila pemerintah dapat membuktikan bahwa tindakannya tersebut merupakan amanat dari UU yang mewajibkannya untuk bertindak sebagaimana dilakukannya;
b. Pemerintah tidak dapat dituntut  pertanggungjawabanya atas perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain bila perbuatan tersebut merupakan pelaksanaan tugas publik dalam bentuk suatu kebijaksanaan / bleid tertentu;
c. Pemerintah dapat dituntut pertanggungjawabannya bila terdapat penyalahgunaan wewenang atau menggunakan kekuasaannya untuk suatu tujuan yang tidak dimaksudkan oleh hukum publik ( detournment de pouvoir ).
2. Pemerintah melanggar kewajiban hukumnya.
a. Pemerintah dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas perbuatan yang melanggar kewajiban hukumnya, baik hukum publik maupun hukum perdata, bila pelanggaran tersebut berdasarkan atas suatu norma jaminan (norma yang mengandung perintah kepada penguasa, dan memberikan hak bagi warganya untuk minta pertanggungjawaban dari penguasa);
b. Sebaliknya, pemerntah tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya atas pelanggaran terhadap kewajiban hukumnya yang didasarkan pada norma instruksi (norma yang mengatur batas-batas kewenangan antar sesama organ penguasa dan tidak memberikan hak tuntut kepada warganya).
3. Pemerintah melanggar kepatutan dalam memperhatikan kepentingan terhadap diri dan harta orang lain
Pemerintah tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya bila melakukan perbuatan yang melanggar kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta warganya, bila dalam melakukan tindakannyan  tersebut, pemerintah berada dalam kualitasnya sebagai penguasa dalam melaksanakan tugas publik yang diletakkan kepadanya.   

c). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Selain melalui pengadilan, upaya hukum lain yang dapat dilaksanakan oleh mereka yang ingin memulihkan hak-haknya adalah melalui lembaga-lembaga, salah satunya ialah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM adalah institusi yang dibentuk dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM.  Pembentukan institusi Komnas HAM oleh pemerintah didengungkan sebagai bukti komitmen pemerintah untuk mewujudkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Dengan disahkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disingkat “UU HAM”, maka Komnas HAM yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut UU HAM dan menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan Pasal 75 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM bertujuan, antara lain :
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asai manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan
b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam mencapai tujuannya tersebut, Komnas HAM melaksanakan beberapa fungsi yang berkaitan dengan hak asasi manusia, yaitu fungsi :
1. Pengkajian;
2. Penelitian;
3. Penyuluhan;
4. Pemantauan, dan
5. Mediasi. 
Komnas HAM adalah lembaga non yudisial yang merupakan salah satu sarana dalam menyelesaikan suatu sengketa tentang hak asasi manusia. Disini Komnas HAM berperan sebagai pihak ketiga yang menyediakan jasa-jasa baik (good offices), yaitu penyelesaian sengketa tentang hak asasi manusia di luar pengadilan. Penyelesaian yang diberikan oleh pihak ketiga bertujuan untuk membantu menemukan solusi yang terbaik bagi para pihak. Hal ini sesuai dengan pelaksanaan fungsi mediasi yang tercantum pada Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa tugas dan wewenang Komnas HAM dalam melaksanakan fungsi mediasi ialah melakukan beberapa hal sebagai berikut :
a. perdamaian kedua belah pihak;
b. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 90 UU HAM, setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak-hak asasinya telah dilanggar, dapat mengajukan laporan dan pengaduan baik lisan atau tertulis kepada Komnas HAM. Bahkan pengaduan dapat diwakilkan pada pihak lain berdasarkan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar. Dengan adanya laporan tersebut, Komnas HAM wajib untuk menerima dan memeriksa pengaduan tersebut. Dari pemeriksaan tersebut, Komnas HAM dapat memberikan saran-saran penyelesaian, yaitu bisa berupa saran penyelesaian melalui badan peradilan atau melalui upaya penyelesaian sesuai dengan pasal 89 ayat (4) huruf b diatas dengan Komnas HAM sebagai mediatornya. Hasil upaya penyelesaian dengan mediasi tersebut berupa kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator. Keputusan tersebut bersifat mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.

d). Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Dengan studi perbandingan, ada tiga pendekatan utama dalam hukum administrasi, yaitu :
a. Pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah.
Di Inggris populer dengan pendekata ultra vires.  Kalau hukum administrasi di Belanda sangat menekankan segi-segi rechtmatigheid yang pada dasarnya berkaitan dengan rechtmatigheidcontrole.  Pendekatan-pendekatan tersebut menggambarkan kekuasaan pemerintahan sebagai fokus hukum administrasi.
b. Pendekatan hak asasi (rights based approach).
Rights based approach merupakan pendekatan baru dalam hukum administrasi Inggris. Fokus utama pendekatan ini ialah pada dua hal, yaitu:
1. Perlindungan hak-hak asasi (principles of fundamnetal rights).
2. Asas-asas pemerintahan yang baik (principles of good administration), antara lain : legality, procedural propriety, participation, openness, reasonableness, relevancy, propriety of purpose, legal certainty and proportionality.  
c. Pendekatan fungsionaris.
Pendekatan ini tidak menggusur pendekatan sebelumnya, tetapi melengkapi pendekatan yang ada dengan titik pijak bahwa yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan adalah pejabat (orang). Oleh karena itu hukum administrasi harus memberikan perhatian kepada perilaku aparat. Dengan pendekatan ini, norma hukum administrasi tidak hanya meliputi norma pemerintahan tapi norma perilaku aparat (overheidsgedrag). Norma perilaku tersebut diukur dengan konsep maladministrasi atau perilaku aparat yang buruk. 
Ada dua norma dasar bagi perilaku aparat, yaitu :
a. sikap melayani (dienstbaarheid).
b. terpercaya (betrouwbaarheid), yang meliputi openheid, nauwgezetheid, mtegriteit, soberheid, eerlijkheid. 
Di Belanda, norma perilaku aparat digali dari praktek Ombudsman. Ombudsman adalah instansi yang kewenangannya untuk menilai maladministrasi. Jadi, lembaga ombudsman merupakan parameter perlindungan hukum dari segi pendekatan fungsionaris.
Menurut Philipus M. Hadjon, pakar hukum administrasi negara, lembaga Ombudsman klasik mempunyai karakter sebagai berikut :
1. Ombudsman merupakan lembaga non-yudisial;
2. Ombudsman merupakan perpanjangan parlemen (fungsinya termasuk fungsi kontrol oleh parlemen);
3. ombudsman tidak memiliki wewenang formal untuk menetapkan suatu upaya pemulihan ( no formal power to award a remedy). 
Beliau menjelaskan lebih jauh mengenai fungsi ombudsman yang pada dasarnya menerima laporan warga masyarakat sehubungan dengan tindak pemerintahan (administration action). Ombudsman hanya memberi rekomendasi atas tindakan aparat yang maladministrasi kepada pejabat yang berwenang memutus. Setiap tahun ombudsman melaporkan kepada parlemen tentang pengawasannya.
Di Indonesia juga ada lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menilai perilaku aparat yang buruk dalam memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, yaitu bernama Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Pada Pasal 2 dalam Kepres tersebut, menyatakan bahwa Ombudsman Nasional adalah :
Lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pada Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, menyatakan tentang tujuan dibentuknya Lembaga Ombudsman, yaitu yang berbunyi :
Pasal 3
Ombudsman Nasional bertujuan :
a. Melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
b. Meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik.
KON juga memiliki tugas-tugas sebagaimana tercantum pada Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, yaitu :
a. Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman.
b. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain.
c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.
d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional.
Peran KON disini adalah menerima pengaduan dari masyarakat, dimana masyarakat  yang dapat memberikan aduan atau melapor adalah :
a. Seluruh lapisan masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh aparatur negara dalam memberikan pelayanan publik.
b. Warga Negara Indonesia / Warga Negara Asing.
c. Pelapor adalah orang yang mempunyai kepentingan terhadap kasus yang dilaporkan. 
Melalui Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan, sebagaimana tertera dalam pasal 9, KON berwenang melakukan klarifikasi atau montoring terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan yang diduga melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan umum, tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya.berdasarkan laporan serta informasi dari masyarakat serta pihak lain yang terkait. Kemudian, hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran, disampaikan kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk menindaklanjuti serta kepada pelapor sendiri.

III.3. Kasus Posisi
Bekerja adalah pilihan yang harus diambil oleh semua orang, termasuk penyandang cacat, untuk mendapatkan penghasilan. Penghasilan yang diperoleh dari hasil bekerja digunakan untuk membiayai dan mencukupi segala kebutuhan sehari-hari. Begitu pula sebaliknya, jika kita tidak bekerja maka kita tidak akan mendapatkan penghasilan. Jika kita tidak mempunyai uang, kita juga tidak dapat memenuhi segala kebutuhan yang kita perlukan baik itu pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu bekerja adalah hak setiap orang, termasuk penyandang cacat, untuk dapat meneruskan hidup dan kehidupannya.
Bagi sebagian orang, bekerja tidak hanya untuk mencari uang saja tetapi lebih kepada pemenuhan kepuasan diri dan tuntutan usia produktif dimana pada usia produktif itulah kita, secara psikologis, selalu memiliki hasrat untuk terus bekerja, dituntut untuk dapat menghasilkan suatu karya atau prestasi dan dapat memberikan ide-ide kreatif yang dapat memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan di tempat kerja. Bekerja dan meraih suatu penghargaan atas prestasi yang dihasilkan di tempat kerja adalah merupakan keinginan dan hak bagi setiap orang, termasuk penyandang cacat, untuk dapat mewujudkannya.
Pada kenyataannya, masih banyak penyandang cacat yang terabaikan dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya penyandang cacat untuk mendapatkan suatu pekerjaan, terutama pekerjaan di lingkungan pemerintahan atau PNS. Banyak sekali keluhan yang diterima oleh pihak Pemerintah Kota Surabaya dari para penyandang cacat perihal susahnya untuk melamar sebagai PNS. Namun, tetap tidak ada tanggapan atau solusi dari pihak pemkot. 
Wuri Handayani adalah salah satu penyandang cacat lumpuh yang memakai kursi roda, dimana haknya untuk memperoleh pekerjaan terabaikan. Wuri mengalami penolakan sewaktu melamar sebagai CPNS di Surabaya. Adapun kronologis ditolaknya pendaftaran Wuri Handayani sebagai CPNS adalah sebagai berikut : 
1. Dalam rangka pengadaan PNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya (selanjutnya disebut sebagai pemkot Surabaya), Walikota Surabaya dengan pengumuman Nomor : 810/4555/436.1.4/2004 tertanggal 28 Oktober 2004, telah mengumumkan kepada masyarakat tentang penerimaan CPNS di lingkungan pemkot Surabaya. Pengumuman tersebut berisikan tentang jumlah dan formasi lowongan kerja yang ada, persyaratan, waktu pendaftaran, syarat-syarat pendaftaran, dan lain-lain informasi penerimaaan CPNS.
2. Untuk pelaksanaan penyaringan bagi pelamar CPNS, maka berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surabaya dibentuklah Panitia CPNS.
3. Pada tanggal 6 Nopember 2004, Wuri Handayani dengan membawa segala persyaratan yang diperlukan mendatangi kantor pendaftaran CPNS di Convention Hall, Jl. Arief Rahman Hakim No. 131-133 Surabaya. Adapun maksud Wuri ialah untuk mendaftarkan diri dalam bidang akuntansi.
4. Lalu Wuri mendapatkan nomor antrian 2556. Setelah pada gilirannya, Wuri dipanggil oleh petugas panitia pendaftaran CPNS dan dilakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi pendaftaran yang dibawa oleh Wuri. 
5. Setelah 15 (lima belas) menit dilakukan pemeriksaan oleh panitia, yaitu Ibu Novi sebagai petugas pendaftaran, serta dikoordinasikan kepada Ibu Mia, sebagai koordinator pendaftaran, maka panitia pendaftaran (melalui kedua petugas tersebut) menyatakan bahwa lamaran Wuri tidak dapat diproses ke tahap selanjutnya karena tidak memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan.
6. Sambil menunjukkan pengumuman Walikota Surabaya mengenai penerimaan CPNS di lingkungan pemkot Surabaya, Wuri menanyakan point mana yang tidak dapat dipenuhi oleh dirinya. Namun Ibu Novi tidak dapat menunjukkannya, tapi tetap menyatakan menolak untuk memproses pendaftaran Wuri. Kemudian penolakan tersebut ditegaskan oleh Ibu Mia (NIP. 010252514) dengan memberikan surat keterangan penolakan sebagai peserta tes CPNS tertanggal 6 Nopember 2004. Pada surat keterangan tersebut, diberikan catatan tulisan tangan di bawah point 7, dimana menyatakan bahwa Wuri Handayani :
1. Tidak memenuhi persyaratan umum sebagai CPNS Kota Surabaya;
2. Tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani (memakai kursi roda).
7. Pada tanggal 8 Nopember 2004, Wuri mendatangi kantor Walikota Surabaya untuk menyerahkan surat yang berisi permohonan penjelasan atas kebijakan yang melarang penyandang cacat untuk mendaftar sebagai CPNS. Dalam kesempatan tersebut, Wuri hanya ditemui oleh Sekretaris Kota Surabaya dengan didampingi Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Ketua Sub Tim Pengadaan Panitia Penerimaan CPNS. Mereka menjelaskan bahwa :
1. Seluruh persyaratan teknis pelaksanaan dan keputusan yang berkaitan dengan penerimaan CPNS ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Pemerintah Daerah hanya menjadi pelaksana saja, termasuk mengenai persyaratan sehat jasmani dan rohani;
2. Telah ada keluhan dari beberapa orang penyandang cacat netra yang diajukan kepada Walikota Surabaya sehubungan dengan adanya perlakuan yang sama oleh Panitia Penerimaan CPNS kepada Wuri;
3. Seluruh keluhan dari Wuri maupun penyandang cacat lainnya akan dijadikan masukan bagi Pemerintah Kota Surabaya agar di masa mendatang persoalan serupa dapat dipertimbangkan atau difasilitasi.
Terhadap penjelasan tersebut, Wuri berterima kasih atas kesempatan bertemu dan menyatakan bahwa keputusan untuk menolak penyandang cacat dengan menggeneralisir seluruh penyandang cacat lainnya bukanlah suatu keputusan yang bijaksana. Walaupun telah mendapatkan penjelasan lisan, namun Wuri tetap meminta jawaban secara tertulis dari pihak pemkot Surabaya. 
8. Pada tanggal 11 Nopember 2004 Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Ketua Sub Tim Pengadaan Panitia Penerimaan CPNS mengeluarkan surat jawaban secara tertulis dengan Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 tertanggal 11 Nopember 2004 yang ditujukan kepada Wuri Handayani. Dalam surat tersebut menjelaskan bahwa :
a. Dalam Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 810/4555/436.1.4/2004 tertanggal 28 Oktober 2004, disebutkan ketentuan persyaratan umum bagi pelamar adalah sehat jasmani dan rohani (huruf A angka 1 point k);
b. Pemerintah Kota Surabaya dalam menjabarkan ketentuan sehat jasmani dan rohani tersebut adalah tidak cacat fisik maupun mental, mengingat Pemerintah Kota Surabaya merupakan instansi pelayanan masyarakat yang dituntut memiliki mobilitas kerja yang tinggi.
9. Keputusan menolak Wuri Handayani untuk mengikuti ujian masuk CPNS Kota Surabaya sebagaimana yang dimaksud diatas telah menimbulkan kerugian terhadap diri Wuri Handayani. Oleh karena itu, Wuri Handayani mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 3 Februari 2005.
Gugatan Wuri Handayani diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya pada tanggal 3 Februari 2005 dengan Nomor Register 10/G.TUN/2005/PTUN.SBY. Perkara gugatan tata usaha negara tersebut merupakan sengketa antara Wuri Handayani sebagai Penggugat dengan Walikota Surabaya sebagai Tergugat I dan Ketua Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya sebagai Tergugat II. Berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam surat gugatan tersebut dan pertimbangan-pertimbangan hukum lainnya, maka pada tanggal 19 Mei 2005 Hakim PTUN menjatuhkan putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal Surat Walikota Surabaya tertanggal 6 Nopember 2004 dan tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 perihal : Penjelasan Penerimaan CPNS di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya Tahun Anggaran 2004, yang pada pokoknya berisi tentang penolakan Tergugat terhadap Penggugat untuk mendaftar diri sebagai peserta test penerimaan CPNS;
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan yang pada pokoknya memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk mengikuti test penerimaan CPNS di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya pada periode berikutnya;
4. Membebankan kepada Tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 156.500,- (Seratus Lima Puluh Enam Ribu Lima Ratus Rupiah).
 Atas putusan PTUN tersebut, pihak tergugat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Hakim Tinggi yang menangani perkara ini memberikan pertimbangan bahwa pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama telah tepat dan benar. Oleh karena itu, Pengadilan Tinggi TUN mengambil alih pertimbangan-pertimbangan tersebut sebagai pertimbangannya sendiri dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi TUN.
Berdasarkan putusan tersebut, pihak tergugat menolak putusan Pengadilan Tinggi TUN dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, sampai sekarang MA belum menjatuhkan putusan mengenai perkara ini. 
Penolakan atau tidak diberinya kesempatan yang sama tidak hanya dialami oleh Wuri Handayani, penyandang cacat yang ingin memperoleh pekerjaan sebagai PNS, tetapi juga dialami oleh Indratmojo, seorang PNS yang tiba-tiba mengalami kecacatan. Indratmojo yang akrab dipanggil Mamok adalah seorang PNS yang berdinas di Badan Pusat Statistik (BPS) di Kendangsari, Surabaya. Sebelumnya, beliau berdinas di BPS Timor Timur.
Pada tahun 1997, ketika masih berdinas di Timor-Timur mata kanan Mamok tiba-tiba tidak bisa melihat. Dua tahun kemudian mata kiri Mamok mengalami low vision. Tahun 2000, Mamok mulai berdinas di Surabaya. Karena kondisi yang dialaminya, maka atasan Mamok pada saat itu menyarankan agar Mamok berisitirahat dan tidak perlu bekerja dulu sambil mencari jalan untuk mengobati matanya. Selama 3 tahun (2000-2003), Mamok tetap digaji walaupun tanpa harus bekerja. Namun, selama itu pula beliau tetap datang ke kantor setiap hari. 
Ternyata, apa yang terjadi diluar kehendaknya. Mamok merasa diasingkan dengan teman-teman kerjanya. Ketika berada di kantor, dia tidak produktif sama sekali. Bukan karena dia tidak bisa apa-apa tapi karena tidak ada kesempatan yang diberikan kepadanya. Mamok merasa kecewa dan tertekan karena status ketidakjelasan yang dialaminya. Di satu sisi dia masih seorang pegawai, tapi di sisi lain dia sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. 
Pada tahun 2004, terjadi pergantian pimpinan di BPS Surabaya. Mamokpun akhirnya dipanggil oleh atasan yang baru untuk ditinjau ulang keaktifannya sebagai  pegawai. Melihat kondisi kecacatan Mamok, atasannya meminta agar Mamok pensiun dini dengan alasan bahwa kecacatan Mamok akan menghambat tuntutan profesinya sebagai PNS yang harus selalu aktif. Walaupun Mamok telah mengalami kecacatan tapi dia masih tetap ingin terus bekerja, maka dia mengusulkan untuk dimutasikan menjadi tenaga pengajar di SLB. Berbagai usaha dan pendekatan terhadap BPS dan Sub Diknas PLB telah dilaluinya agar dapat terus bekerja. Bahkan dia dengan giat bersekolah lagi untuk mendapatkan ijazah AKTA 4, yaitu surat ijin mengajar SMP dan SMA. Semua persyaratan untuk mutasi sebagai guru SLB telah dipenuhinya. Namun sampai sekarang, SK persetujuan mutasi atas nama Indratmojo belum juga keluar.
Melihat kedua kasus diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyandang cacat dalam mendapatkan hak dalam aspek ketenagakerjaan selalu mendapat kesulitan.

III.4. Analisa Kasus Wuri Handayani
Berdasarkan tori hukum diatas, dikaitkan dengan kasus Wuri maka jalur penyelesaian sengketa yang diambil oleh Wuri, yaitu melalui PTUN, sudah tepat. Sengeketa TUN yang dialami Wuri termasuk ke dalam kompetensi PTUN, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa Memo atau Surat Penolakan yang ditandatangani oleh Panitia Penerimaan CPNS Pemkot Surabaya tertanggal 6 Nopember 2004 dan yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Kepegawaian Pemkot Surabaya tertanggal 11 Nopember 2004 adalah KTUN, yang sesuai dengan syarat-syarat KTUN sebagaimana tercantum pada Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
2. Wuri adalah individu yang kepentingannya telah dirugikan dengan dikeluarkannya KTUN tersebut, yaitu Wuri tidak dapat mengikuti tes penerimaan CPNS.
3. Isi KTUN tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu kriteria sehat jasmani yang diidentikkan dengan tidak cacat tersebut telah melanggar hak asasi Wuri dalam memperoleh pekerjaan yang tercantum pada UUD 1945, UU HAM, UU Penyandang Cacat, UU Ketenagakerjaan, dan juga UU Kepegawaian. Isi KTUN tersebut juga telah bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu asas persamaan.
Dalam proses pengadilan PTUN, Hakim telah menjatuhkan putusan untuk memenuhi segala tuntutan Wuri dengan beberapa pertimbangan hukum. Adapun pertimbangan-pertimbangan Hakim TUN adalah sebagai berikut :
1. Bahwa objek sengketa yang dimohonkan pembatalan atau dinyatakan sah serta dimintakan untuk dicabut melalui PTUN adalah Surat tertanggal 6 Nopember 2004 yang ditandatangani oleh Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya dan Surat tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004 yang ditandatangani oleh Kepala Bagian Kepegawaian Pemerintah Kota Surabaya selaku Sub Ketua Tim Pengadaan CPNS.
2. Bahwa penerbitan kedua surat tersebut merupakan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, yaitu merupakan tindakan diskrimintif terhadap para penyandang cacat khususnya penggugat (Wuri Handayani).
3. Bahwa menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 23 Tahun 1993 tentang Kesehatan dan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, jelas terlihat adanya perbedaan definisi antara pengertian sehat dan cacat.
4. Bahwa perbedaan pengertian antara sehat dan cacat juga ditegaskan oleh Direktorat Jendaral dan Rehabilitasi Sosial Depertemen Sosial Republik Indonesia, sebagai mana dalam suratnya tertanggal 31 Desember 2004 No.84/PRS-4/XII/2004, perihal Pemberian Hak dan Kesempatan Yang Sama, Surat Edaran Menteri Sosial RI No.001/PRI/XII-04/SE.MS tanggal 9 Desember 2004 tentang Penerimaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Sektor Pemerintah dan Sektor Swasta, dan keterangan saksi ahli Dr.dr. Ferial Hadi Putro  dimana pada intinya menyebutkan bahwa Penyandang Cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani, kecacatan adalah kelainan bukan penyakit.  
5. Bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan keterangan saksi ahli yang menyebutkan bahwa Penyandang Cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani karena itu untuk menyatakan seseorang itu sehat atau sakit harus dengan pemeriksaan Tim Medis atau Dokter.
6. Bahwa dalam Pasal 6 angka 2 Undang-Undang tentang Penyandang Cacat Tahun1997, menyebutkan bahwa setiap Penyandang Cacat berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya: dan dalam Pasal 13   UU tersebut disebutkan bahwa Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Serta dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.4 Tahun 1997 Jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1998 menyebutkan kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
7. Bahwa Direktorat Jendaral dan Rehabilitasi Sosial Depertemen Sosial Republik Indonesia, sebagai mana dalam suratnya tertanggal 31 Desember 2004 No.84/PRS-4/XII/2004, menyatakan bahwa dalam penerimaan tenaga kerja di sektor Pemerintah dan Swasta, apabila ada penyandnag cacat yang dinyatakan sehat harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengikuti penerimaan CPNS.
8. Bahwa dalam Surat Kepala BKN No. K.26-20/V.5-39/48 tentang Pengangkatan Penyandang Cacat Menjadi Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 22 Maret 2001 dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka pada hakekatnya penyandang cacat dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil asalkan sesuai dengan uraian pekerjaan maupun spesifikasi pekerjaan dan kompetensinya, artinya kecacatan seseorang tidak akan mengganggu efektivitasnya dalam melakukan pekerjaan.
9. Bahwa berdasarkan keterangan saksi ahli Taheri Noor, Dr., MA yang menerangkan bahwa dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, Perusahaan Negara dan Swasta saja diwajibkan untuk menerima penyandang cacat untuk dipekerjakan di perusahaannya dalam porsi tertentu apalagi Pemerintah, tentu saja secara moral berkewajiban untuk menerima pegawai dari penyandang cacat untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. saksi ahli Ir. Ngatiyo Ngayoko, M.M. juga menerangkan bahwa penyandang cacat memiliki hak yang sama dengan WNI lainnya, maka tindakan Walikota Surabaya yang menolak penyandang cacat untuk mengikuti tes penerimaan CPNS merupakan tindakan yang bertentangan dengan program Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, yang menginstruksikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia agar berkenan menerima penyandang cacat sebagai pegawai/karyawan baik dilingkungan BUMN/BUMD, Perusahaan Swasta minimal satu persen dari tenaga kerja yang ada.
10. Bahwa asas persamaan atau larangan diskriminasi adalah bahwa hal-hal atau keadaan-keadaan yang sama harus diperlakukan sama pula. Hal-hal dan keadaan tersebut harus sama pula relevansinya.
11. Bahwa sebagaimana telah diuraikan, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah memberikan kesempatan kepada penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan sama dengan warga negara yang lain. Namun, tindakan Tergugat yang menolak Penggugat sebagai penyandang cacat menunjukkan bahwa penyandang cacat itu tidak sama dengan warga negara yang lain dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Oleh karena itu tindakan Tergugat tersebut merupakan perbuatan yang melanggar asas persamaan atau larangan diskriminasi.
Dari uraian pertimbangan-pertimbangan diatas, Hakim menyimpulkan bahwa :
1. Kecacatan tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani;
2. Tindakan Tergugat yang menolak Penggugat untuk mengikuti tes penerimaan CPNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya, sebagaimana tertuang dalam Surat Tergugat tertanggal 6 Nopember 2004 dan tertanggal 11 Nopember 2004 Nomor : 800/1407/436.1.4/2004, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan: 
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun1992 tentang Kesehatan;
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat;
7. Peraturan Pemeintah Nomor 98 tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil;
8. dan peraturan pelaksana lainnya.
b. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yaitu asas persamaan atau larangan diskriminasi.
Walaupun Wuri menyelesaikan sengketanya melalui Badan Peradilan Administrasi, Wuri juga menempuh sarana perlindungan hukum represif melalui lembaga non-yudisial yaitu Komnas HAM dengan meminta saran atau rekomendasi.
Sesuai dengan Pasal 90 UU HAM, Wuri mengajukan laporan dan pengaduan secara tertulis kepada Komnas HAM mengenai penolakan dirinya ketika melamar sebagai CPNS. Oleh karena itu, sesuai dengan tugas dan wewenang yang tercantum pada Pasal 89 UU HAM, Komnas HAM menindaklanjuti masalah tersebut dengan mengeluarkan Memorandum No. 102/PK-KHUSUS/III/2005 yang ditujukan kepada Wuri Handayani perihal : Pelanggaran HAM Hak Ekosob Penyandang Cacat. Dalam memorandum tersebut, Komnas HAM berpendapat bahwa :
5. Penyandang cacat berhak mendapat perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kecacatannya (Pasal 5 ayat (3) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) dan oleh karena itu penyandang cacat harus diperlakukan lebih melalui pendekatan hak asasi manusia.
6. Penyandang cacat berhak mendapat perlindungan lebih agar harkat martabatnya senantiasa ditingkatkan setara dengan warga negara lainnya dengan berpegang pada asas non diskriminasi, persamaan dan kesemuaan terutama oleh Pemerintah (Pasal 8, 71, 72 UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia) dalam bentuk meredefinisi, mengamandemen, mencabut UU yang berpotensi melanggar Hak sipol/Hak Ekosob para penyandang cacat.
7. Walikota Kota Surabaya seyogyanya mematuhi amanat Pasal 8, Pasal 71, Pasal 72 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang terutama menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah untuk senantiasa melindungi, memajukan, memenuhi, menegakkan, menghormati hak asasi setiap orang.
8. Pada kenyataannya Walikota Kota Surabaya telah menunjukkan ketidakmampuan, ketidakmauan dalam bentuk diskriminasi berupa interpretasi UU untuk pembenaran penolakan bagi penyandang cacat karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani, berupa :
b. Cacat tidak memenuhi syarat kesehatan, oleh karena itu ditolak (UU No. 23/92 tentang Kesehatan).
c. Pemerintah Kota Surabaya tidak mempunyai kewajiban mempekerjakan penyandang cacat (UU No. 4/97 tentang Penyandang Cacat).
d. Penggunaan “mobilitas” sebagai ukuran produktivitas kerja, padahal seharusnya : “bakat, kecakapan, kemampuan” (Pasal 38 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM).
9. Terdapat bukti awal yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran HAM bidang Ekosob yang tercantum pada Pasal 38 UU No. 39/1999 tentang HAM.
10. Pemerintah secara sistematik (melalui interpretasi UU) atau meluas (melalui kasus Wuri Handayani) menunjukkan diskriminasi langsung terhadap para penyandang cacat sehingga teraniaya.
11. Komnas HAM menyarankan agar Wuri meneruskan upaya hukum yaitu melalui PTUN bagi tegaknya HAM para penyandang cacat untuk setara dengan masyarakat lainnya, jauh dari diskriminasi, alienasi, marginalisasi.
12. Jika perlu, walaupun PTUN belum selesai, dapat dipertimbangkan gugatan ke Pengadilan Negeri atas dasar gugatan perbuatan melawan hukum oleh Walikota (onrecht matigoverheid daad) terhadap Wuri sehingga teraniaya karena menyandang cacat.
13. Komnas HAM akan memantau dan mengkaji apakah perlakuan yang diterima Wuri (penganiayaan) termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan telah cukup memenuhi unsur-unsur pidana pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam memperjuangkan hak asasinya, Wuri juga mengirim surat aduan secara tertulis kepada Departemen Sosial perihal adanya diskriminasi pada pendaftaran CPNS Pemkot Surabaya pada tahun 2004. Menindaklanjuti surat tersebut, maka  Departemen Sosial memberikan Surat Rekomendasi No. 84/PRS-4/XII/2004 perihal : Pemberian Hak dan Kesempatan yang sama kepada Ketua Panitia Penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya Tahun 2004. Dalam surat tersebut, Departemen Sosial menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Saudara Wuri Handayani seorang penyandang cacat parapelgia (lumpuh kedua tungkai bawah) memakai kursi roda saat ini tercatat sebagai mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Airlangga.
2. Menurut penuturan sdr. Wuri Handayani, yang bersangkutan telah mengikuti pendaftaran penerimaan CPNS Pemerintah Kota Surabaya, tetapi berkas-berkas pendaftaran telah ditolak karena tidak memenuhi persyaratan umum sehat jasmani dan rohani (memakai kursi roda). Penyandang cacat tidak identik dengan tidak sehat jasmani dan rohani.
3. Dengan adanya Surat Edaran dari Menteri Sosial Nomor : 001/PRS/XII-04/SE.MS tanggal 9 Desember 2004 tentang Penerimaan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Sektor Pemerintah dan Sektor Swasta, sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon apabila ada penyandang cacat yang dinyatakan sehat harus diberi hak dan kesempatan yang sama untuk mengikuti proses seleksi penerimaan CPNS.
Dari kedua surat tersebut, dapat dikatakan bahwa  laporan yang diajukan Wuri kepada dua lembaga yang berbeda ternyata mendapatkan jawaban yang sama., yaitu tindakan Pemkot Surabaya dalam menolak Wuri untuk mengikuti tes CPNS adalah tidak benar. Alasan penolakan beserta penjelasan yang dikemukakan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan telah melanggar hak asasi Wuri sebagai individu dan warga negara Indonesia. Oleh karena itu Wuri maupun penyandang cacat lainnya yang dalam kondisi sehat berkeinginan untuk melamar sebagai CPNS, maka pemerintah harus memberi hak dan kesempatan yang sama. Didalam surat itu juga dikatakan bahwa sehat jasmani tidak identik dengan tidak cacat, artinya syarat sehat jasmani dan rohani tidak diukur dari kondisi fisik seseorang. Alasan-alasan yang tercantum dalam kedua surat rekomendasi tersebut ditegaskan kembali di dalam putusan PTUN dan PT TUN.
Kondisi kecacatan tidak boleh dipersalahkan jika seorang penyandang cacat ingin melamar suatu pekerjaan, karena yang menjadi pedoman dalam merekrut pegawai/karyawan baru ialah kompetensi kerjanya, bukan mobilitasnya yang selalu terhambat dengan kondisi kecacatannya. Mobilitas tidak menjamin produktivitas seseorang, namun jika orang itu memiliki kompetensi kerja yang tinggi berarti orang tersebut dikatakan “produktif”. Jadi ukuran penyandang cacat layak untuk diterima bekerja di suatu perusahaan atau sektor pemerintahan (PNS) bukanlah didasarkan pada mobilitas seseorang akan pekerjaan yang dipilihnya, namun haruslah didasarkan pada kompetensinya, yaitu kecakapan, kemampuan, wawasan, bakat, jenis dan derajat kecacatan, terhadap suatu jenis pekerjaan yang dipilih.
Sehubungan dengan teori PMH yang telah diuraikan diatas, ternyata dapat dikaitkan dengan tindakan Pemkot Surabaya dalam mengeluarkan Surat Penolakan terhadap Wuri. Surat Penolakan tersebut merupakan suatu PMH, karena memenuhi keempat unsur PMH sebagai berikut :
1. Pemkot Surabaya melakukan tindakan dengan tidak memberikan kesempatan kepada Wuri untuk ikut serta dalam ujian penerimaan CPNS di lingkungan Pemkot Surabaya, yang dilakukannya melalui pengeluaran Surat Penolakan.
2. Perbuatan Pemkot Surabaya itu merupakan tindakan yang melanggar hak asasi Wuri untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, hal mana juga dengan sendirinya bertentangan dengan kewajiban Pemkot Surabaya sebagai penguasa untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial dan menjadi panutan bagi rakyatnya dalam kegiatan-kegiatan perwujudan penegakan HAM. Perbuatan Pemkot Surabaya yang melanggar hak orang lain dan kewajiban hukum diri sendiri, merupakan suatu PMH.
3. Perbuatan Pemkot Surabaya tersebut merupakan tindakan yang salah sehingga mengakibatkan Wuri menderita kerugian imateriil.
4. Akibat tindakan Pemkot Surabaya tersebut, maka Wuri jelas mengalami kerugian baik materiil yang berupa biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses lamaran, maupun imateriil yaitu hilangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan, waktu yang terbuang, dan lain sebagainya.  
Dengan demikian pada dasarnya, atas Perbuatan Pemkot Surabaya dalam mengeluarkan Surat Penolakan, Wuri dapat mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri dimana Pemkot Surabaya berkedudukan, dengan dasar gugatan PMH yang dilakukan oleh penguasa, dan dengan tuntutan ganti kerugian baik materiil maupun imateriil.

III.5. Analisa Kasus Indratmojo
Berdasarkan teori hukum yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai upaya penyelesaian terhadap kondisi yang dialami oleh Indratmojo. Dilihat dari kasus posisi, Indratmojo atau Mamok ini masih berstatus sebagai PNS, walaupun Mamok dilarang bekerja selama tujuh tahun akibat kecacatan yang dialami. Melihat kenyataan ini, pemerintah sama sekali tidak memberikan reaksi.
Dalam Pasal 1 ayat (4) UU PTUN dinyatakan bahwa sengketa kepegawaian termasuk sengketa TUN. Dalam Pasal 48 UU PTUN, menyatakan bahwa dalam hal suatu Badan atau Pejabat TUN diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa TUN tertentu secara administratif, maka sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif, sebelum dapat diajukan ke PTUN. Walaupun kasus Mamok ini termasuk ke dalam sengketa kepegawaian karena Mamok masih berstatus sebagai PNS, namun tidak dapat diselesaikan melalui upaya administratif maupun PTUN karena tidak adanya objek sengketa yang dikeluarkan oleh instansi tempat Mamok bekerja.
PNS adalah aparat pemerintahan yang melayani pelayanan publik. Jadi, PNS termasuk ke dalam pendekatan fungsionaris atau perilaku aparat pemerintahan sebagai penyelenggara negara yang berkaitan dengan maladministrasi. Dikaitkan dengan kasus Mamok, bahwa instansi tempat Mamok bekerja, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), merupakan aparat pemerintahan yang dapat dinilai perilakunya. Sesuai penjelasan teori diatas, bahwa Ombudsman ialah lembaga pengawasan yang berwenang untuk menilai perilaku aparat yang maladministrasi. Dengan demikian, dengan perilaku BPS yang buruk maka yang berwenang untuk memeriksa hal tersebut ialah Komisi Ombudsman Nasional.
Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, menyebutkan bahwa “Komisi Ombudsman Nasional ... berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai ... pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan ... dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat”. Dalam ketentuan tersebut jelas menyatakan bahwa pengaduan diajukan oleh masyarakat atas tindakan yang maladministrasi dalam memberikan pelayanan umum. 
Dikaitkan dengan kasus Mamok, bahwa Mamok ialah seorang pegawai yang masih berstatus sebagai PNS dan dia merupakan aparat pemerintahan. Dalam hal ini, Mamok tidak dilihat dari statusnya sebagai PNS tapi sebagai person/orang yang mengalami perlakuan yang tidak adil oleh aparatur negara. Jadi pada dasarnya, Mamok dapat mengajukan laporan/aduan kepada KON atas kondisi yang dialaminya, yaitu tindakan aparat yang terkesan lama atau bertele-tele dalam prosedur untuk menerbitkan izin mutasi sehingga hak Mamok untuk bekerja telah dilanggar.
Prosedur penyampaian pengaduan yang dapat diajukan oleh Mamok adalah sebagai berikut :
a. Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b. Laporan pengaduan harus disertai kronologis kasus yang dijabarkan secara jelas dan sistematis serta ditandatangani.
c. Mencantumkan identitas diri antara lain fotokopi KTP/SIM/Passport.
d. Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya.
e. Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar langsung ke kantor Komisi Ombudsman Nasional atau melalui website (www.ombudsman.or.id).
f. Lakukan tahapan berikut untuk mengirimkan pengaduan melalui website :
1. Lakukan pendaftaran pelapor dengan mengisi formulir pendaftaran secara lengkap dan Kami akan mengirimkan informasi password dan username melalui email.
2. Lakukan login untuk mengirimkan pengaduan serta melihat perkembangan pengaduan. 

BAB IV Penutup

BAB IV
PENUTUP

IV.1. Kesimpulan
Bertolak dari pembahasan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Bahwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan beberapa hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menyatakan bahwa memang benar hak dalam memperoleh pekerjaan merupakan hak asasi penyandang cacat yang wajib mendapatkan perwujudan baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, dalam penelitian ini masyarakat diartikan perusahaan swasta, BUMN, dan BUMD. Oleh karena itu jaminan perlindungan hukum secara preventif harus dilaksanakan sebaik-baiknya oleh pemerintah, yang berupa jaminan aksesibilitas sebagai upaya mewujudkan kesamaan kesempatan tanpa diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan bagi penyandang cacat.
Sejauh ini, peraturan perundang-undangan yang berlaku telah memberikan perlindungan hukum secara preventif bagi terwujudnya hak-hak penyandang cacat, terutama dalam memperoleh pekerjaan, namun ternyata ada perbedaan yang sangat mencolok antara ketentuan yang mengatur tentang jaminan aksesibilitas dalam memperoleh pekerjaan di swasta dengan di sektor pemerintahan (PNS). Bahwa pemerintah sebagai penguasa mengharuskan perusahaan untuk mempekerjakan penyandang cacat dengan kewajiban-kewajiban perusahaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan, pemerintah sendiri tidak mewajibkan dirinya sendiri untuk menerima penyandang cacat bekerja sebagai PNS. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya jumlah peraturan dan tidak rincinya peraturan tersebut yang memuat ketentuan tentang tenaga kerja penyandang cacat.
Dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan tentang kepegawaian, peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan jauh lebih mengatur dan menjamin hak asasi penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan dan sewaktu penyandang cacat tersebut telah bekerja.
b. Bahwa terdapat bermacam sarana perlindungan hukum represif dalam menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan tindak pemerintahan dikaitkan dengan hak asasi manusia. Itu semua bergantung dengan dasar tuntutannya. Seperti dalam kasus Wuri Handayani, karena ingin membatalkan Surat Penolakan yang dianggap merugikan kepentingannya maka ia menempuh jalur yudisial, yaitu melalui PTUN. Keberadaan PTUN ini merupakan pemenuhan prinsip equality before the law (persamaan dalam hukum dan pemerintahan) yang berkaitan dengan syarat objektif bagi suatu negara hukum.
Untuk yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran terhadap hak asasinya, Wuri meminta wewenang Komnas HAM, sebagai lembaga non yudisial, untuk mengkaji dan memeriksa hal tersebut. Selanjutnya, Wuri dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri atas tindakan Walikota dengan alasan perbuatan melawan hukum.
Lain halnya dalam kasus Indratmojo. Pada dasarnya penyelesaian jalur hukum yang dapat ditempuh adalah melalui Komisi Ombudsman Nasional, karena merupakan wewenang KON untuk memeriksa apabila ada tindakan aparat pemerintahan yang buruk dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Sarana-sarana perlindungan hukum represif ini, baik yang yudisial maupun non yudisial, sangat berguna sebagai perwujudan dan penegakan hak-hak asasi penyandang cacat dalam kehidupan dan penghidupan.

IV.2. Saran 
a. Walaupun peraturan perundang-undangan telah mengatur tentang persamaan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan, namun pada kenyataannya penyandang cacat cenderung mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah selaku penguasa lebih mensosialisasikan ketentuan mengenai kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagai pekerja di suatu perusahaan bagi perusahaan swasta, BUMN maupun BUMD pada khusunya dan mayarakat pada umumnya. Dengan begitu, pihak swasta lebih memberikan kesempatan kepada penyandang cacat agar dapat bekerja sesuai dengan tingkat kemampuannya. 
Pemerintah hendaknya segera membuat peraturan tentang kewajiban penerimaan penyandang cacat sebagai CPNS yang jauh lebih tegas dari yang sudah ada dengan menjelaskan definisi kriteria sehat jasmani dan rohani agar tidak menjadi ancaman bagi penyandang cacat yang ingin melamar sebagai CPNS.
b. Dengan adanya kasus yang melibatkan sengketa antara Walikota Surabaya dengan Wuri Handayani dan diselesaikan melalui PTUN, maka hal ini merupakan yurisprudensi yang pertama bagi terwujudnya hak asasi penyandang cacat. Dengan demikian diharapkan bagi Pemkot Surabaya pada khususnya dan bagi aparat pemerintahan lainnya pada umumnya untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan surat keputusan sejenis di masa yang akan datang.

Rabu, 05 Juni 2013

BUKU KETIGA "PELANGGARAN"

BUKU KETIGA
PELANGGARAN

BAB I
TENTANG PELANGGARAN KEAMANAN UMUM BAGI ORANG ATAU BARANG DAN KESEHATAN
Pasal 489

(1) Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.

(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.

Pasal 490

Diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah:
1. barang siapa menghasut hewan terhadap orang atau terhadap hewan yang sedang ditunggangi,  atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan;
2. barang siapa tidak mencegah hewan yang ada di bawah penjagaannya, bilamana hewan itu menyerang orang atau hewan yang lagi ditunggangi, atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan;
3. barang siapa tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada di bawah penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian;
4. barang siapa memelihara binatang buas yang berbahaya tanpa melaporkan kepada polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati peraturan yang diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu.
Pasal 491
Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah:
1. barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga;


2. barang siapa diwajibkan menjaga seorang anak, meninggalkan anak itu tanpa dijaga sehingga oleh karenanya dapat timbul bahaya bagi anak itu atau orang lain.

Pasal 492

(1) Barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.

(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, atau karena hal yang dirumuskan dalam pasal 536, dijatuhkan pidana kurungan paling lama dua minggu.
Pasal 493

Barang siapa secara melawan hukum di jalan umum membahayakan kebebasan bergerak orang lain, atau terus mendesakkan dirinya bersama dengan seorang atau lebih kepada orang lain yang tidak menghendaki itu dan sudah tegas dinyatakan, atau mengikuti orang lain secara mengganggu, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.

Pasal 494

Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah:

1. barang siapa tidak mengadakan penerangan secukupnya dan tanda-tanda menurut kebiasaan pada penggalian atau menumpukkan tanah di jalan umum, yang dilakukan oleh atau atas perintahnya, atau pada benda yang ditaruh di situ oleh atau atas perintahnya;


2. barang siapa tidak mengadakan tindakan seperlunya pada waktu melakukan suatu pekerjaan di atas atau di pinggir jalan umum untuk memberi tanda bagi yang lalu di situ, bahwa ada kemungkinan bahaya;

3. barang siapa menaruh atau menggantungkan sesuatu di atas suatu bangunan, melempar atau

menuangkan ke luar dari situ sedemikian rupa hingga oleh karena itu dapat timbul kerugian pada orang yang sedang menggunakan jalan umum;


4. barang siapa membiarkan di jalan umum, hewan untuk dinaiki, untuk menarik atau hewan muatan tanpa mengadakan tindakan penjagaan agar tidak menimbulkan kerugian;

5. barang siapa membiarkan ternak berkeliaran di jalan umum tanpa mengadakan tindakan penjagaan, agar tidak menimbulkan kerugian;

6. barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang, menghalang-halangi sesuatu jalanan untuk umum didarat maupun di air atau menimbulkan rintangan karena pemakaian kendaraan atau kapal yang tidak semestinya.

Pasal 495

(1) Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, di tempat yang dilalui orang memasang ranjau perangkap, jerat, atau perkakas lain untuk menangkap atau membunuh binatang buas,diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.


(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sesudah adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lamaenam hari.

Pasal 496

Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, membakar barang tak bergerak kepunyaan sendiri, diancam dengan pidana denda paling tinggi tujuh ratus lima puluh rupiah.


Pasal 497
Diancam dengan pidana denda paling tinggi tiga ratus tujuh puluh lima rupiah:
1. barang siapa di jalan umum atau di pinggirnya, ataupun di tempat yang sedemikian dekatnya dengan bangunan atau barang, hingga dapat timbul bahaya kebakaran, menyalakan api atau tanpa perlu menembakkan senjata api;


2. barang siapa melepaskan balon angin di mana digantungkan bahan-bahan menyala.
Pasal 498 dan 499
Ditiadakan berdasarkan S. 32-143 jo. 33-9.
Pasal 500
Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, membikin obat ledak, mata peluru atau peluru untuk senjata api, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.

Pasal 501

(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah:
1. barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan
untuk dijual atau dibagikan, barang makanan atau minuman yang dipalsukan atau yang busuk, ataupun air susu dari ternak yang sakit atau yang dapat mengganggu kesehatan;


2. barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan daging ternak yang dipotong karena sakit atau mati dengan sendirinya.


(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama enam hari.

Pasal 502

(1) Barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang untuk itu, memburu atau membawa senjata api kedalam hutan negara di mana dilarang untuk itu tanpa izin, diancam dengan pidana kurungan paling lamasatu bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah;


(2) Binatang yang ditangkap atau ditembak serta perkakas dan senjata yang digunakan dalam pelanggaran, dapat dirampas.

BAB II
PELANGGARAN KETERTIBAN UMUM
Pasal 503

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:
1. barang siapa membikin ingar atau riuh, sehingga ketenteraman malam hari dapat terganggu;
2. barang siapa membikin gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadat yang dibolehkan atau untuk sidang pengadilan, di waktu ada ibadat atau sidang.


Pasal 504

(1) Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.


(2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Pasal 505

(1) Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.


(2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.

Pasal 506

Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 507

Diancam dengan pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah:
1. barang siapa tanpa wewenang memakai suatu gelar ningrat, atau suatu tanda kehormatan Indonesia;
2. barang siapa tanpa izin Presiden, manakala itu diperlukan, menerima suatu tanda kehormatan, gelar, pangkat atau derajat asing;


3. barang siapa ketika ditanya oleh penguasa yang berwenang tentang namanya, memberi nama yang palsu.

Pasal 508

Barang siapa tanpa wenang memakai dengan sedikit penyimpangan suatu nama atau tanda jasa yang pemakaiannya menurut ketentuan undang-undang, semata-mata untuk suatu perkumpulan atau personal perkumpulan, atau personal dinas kesehatan tentara, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 508 bis

Barang siapa di muka umum tanpa wenang memakai pakaian yang menyamai pakaian jabatan yang ditetapkan untuk pegawai negeri atau pejabat yang bekerja pada negara, pada suatu provinsi, pada suatu daerah yang berdiri sendiri yang diakui atau yang diatur dengan undang-undang sehingga patut ia dapat dipandang orang sebagai pegawai atau pejabat itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


Pasal 509
Barang siapa tanpa izin meminjamkan uang atau barang dengan gadai, atau dalam bentuk jual-beli dengan boleh dibeli kembali ataupun dalam bentuk kontrak komisi, yang nilainya tidak lebih dari seratus rupiah, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan, atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 510
(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu:


1. mengadakan pesta atau keramaian untuk umum;
2. mengadakan arak-arakan di jalan umum.
(2) Jika arak-arakan diadakan untuk menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan, yang bersalah diancam dengan pidana kurungan paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.

Pasal 511

Barang siapa di waktu ada pesta arak-arakan, dan sebagainya, tidak menaati perintah dan petunjuk yang diadakan oleh polisi untuk mencegah kecelakaan oleh kemacetan lalu lintas di jalan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.

Pasal 512

(1) Barang siapa tidak diwenangkan melakukan pencarian yang menurut aturan-aturan umum harus diberi kewenangan untuk itu, melakukannya tanpa keharusan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


(2) Barang siapa diwenangkan melakukan pencarian yang menurut aturan-aturan umum harus diberi kewenangan untuk itu, dalam melakukan pencarian tersebut tanpa keharusan melampaui batas kewenangannya, diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.


(3) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, maka dalam hal ayat pertama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama dua bulan, dan dalam hal ayat kedua, paling lama satu bulan.

Pasal 512a

Barang siapa sebagai mata pencarian, baik khusus maupun sebagai sambilan menjalankan pekerjaan dokter atau dokter gigi dengan tidak mempunyai surat izin, di dalam keadaan yang tidak memaksa, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda setinggi-tingginya seratus lima puluh ribu rupiah.

Pasal 513

Barang siapa menggunakan atau membolehkan digunakan barang orang lain yang ada padanya karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya, untuk pemakaian yang tak diizinkan oleh pemiliknya, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.

Pasal 514

Seorang pekerja harian, pembawa bungkusan, pesuruh, pemikul atau kuli, yang dalam menjalankan pencariannya melakukan kelalaian atau kekurangan dalam pengembalian perkakas yang diterima untuk dipakai, atau dalam penyampaian barang yang diterima untuk diangkut, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Pasal 515
(1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah;


1. barang siapa pindah kediaman dari bagian kota, desa atau kampung di mana dia menetap, tanpa
memberitahukan sebelumnya kepada penguasa yang berwenang dengan menyebut tempat menetap yang baru;


2. barang siapa setelah menetap di bagian kota, desa atau kampung, tidak memberitahukan hal itu
kepada penguasa yang berwenang dalam tenggang waktu empat belas hari, dengan menyebut
nama, pencarian dan tempat asalnya.
(2) Ketentuan dalam ayat pertama tidak berlaku bagi orang yang pindah tempat kediaman dan menetap, yang masih di dalam satu kota.

Pasal 516

(1) Barang siapa menjadikan sebagai pencarian untuk memberi tempat bermalam kepada orang lain, dan tidak mempunyai register terus-menerus, atau tidak mencatat atau menyuruh catat nama, pencarian atau pekerjaan, tempat kediaman, hari datang dan perginya orang yang bermalam di situ, atau atas permintaan kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, tidak memperlihatkan register itu, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.


(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama enam hari.

Pasal 517

(1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah:


1. barang siapa membeli, menukar, menerima untuk hadiah, gadai, pakai atau simpan dari seorang
tentara di bawah pangkat perwira; atau menjualkan, menggadaikan, meminjamkan atau menyimpankan barang tersebut untuk seorang tentara di bawah pangkat perwira, yang diberikan


tanpa izin dari atau atas nama perwira.
2. barang siapa menjadikan kebiasaan atau pencarian untuk membeli barang-barang yang demikian, tidak menaati peraturan mengenai pencatatan dalam register yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.


(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatkan dua kali.

Pasal 518

Barang siapa tanpa wenang memberi pada atau menerima seorang terpidana sesuatu barang, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.

Pasal 519

(1) Barang siapa membikin, menjual, menyiarkan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau disiarkan, ataupun memasukkannya ke Indonesia, barang cetakan, potongan logam atau benda-benda lain yang bentuknya menyerupai uang kertas, mata uang, benda-benda emas atau perak dengan merek negara, atau prangko pos, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


(2) Benda-benda yang merupakan pelanggaran dapat dirampas.
Pasal 519 bis
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan, atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah:


1. barang siapa mengumumkan isi apa yang ditangkap lewat pesawat penerima radio yang dipakai olehnya atau yang ada di bawah pengurusannya, yang sepatutnya harus diduganya bahwa itu tidak untuk dia atau untuk diumumkan, maupun memberitahukannya kepada orang lain, jika sepatutnya harus diduganya bahwa itu akan diumumkan dan memang lalu disusul dengan pengumuman;
2. barang siapa mengumumkan berita yang ditangkap lewat pesawat penerima radio, jika ia sendiri, maupun orang dari mana berita itu diterimanya, tidak berwenang untuk itu.
Pasal 520
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan:
1. barang siapa yang setelah mendapat pengunduran pembayaran hutang dengan kehendak sendiri melakukan perbuatan-perbuatan, untuk mana menurut aturan-aturan umum, diharuskan adanya kerja sama dengan pengurus;


2. seorang pengurus atau komisaris perseroan, maskapai, perkumpulan atau yayasan, yang setelah mendapat pengunduran bayar hutang, dengan kehendak sendiri melakukan perbuatan-perbuatan untuk mana menurut aturan-aturan umum, diharuskan adanya kerja sama dengan pengurus.

BAB III
PELANGGARAN TERHADAP PENGUASA UMUM
Pasal 521

Barang siapa melanggar ketentuan peraturan penguasa umum yang telah diumumkan mengenai pemakaian dan pembagian air dari perlengkapan air atau bangunan pengairan guna keperluan umum, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari, atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 522

Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 523

Barang siapa tanpa alasan yang sah membiarkan tidak dikerjakannya pekerjaan rodi, pekerjaan desa atau pekerjaan perusahaan kebun negara, diancam dengan pidana kurungan paling tinggi tiga hari atau pidana denda paling tinggi sepuluh rupiah. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat enam bulan sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, dapat diancam dengan pidana kurungan paling tinggi tiga bulan.

Pasal 524

Diancam dengan pidana paling banyak sembilan ratus rupiah:
1. barang siapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa, atau orang yang sudah atau akan dibawah pengampuan, atau orang yang akan atau sudah dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, dipanggil untuk didengar selaku keluarga sedarah atau semenda, selaku suami/istri, wali atau wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas oleh hakim atau atas perintahnya oleh kepala polisi, tidak datang sendiri maupun dengan perantaraan kuasanya jika itu dibolehkan, tanpa alasan yang dapat diterima;


2. barang siapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa atau orang yang sudah atau akan dibawah pengampuan, dipanggil untuk didengar oleh kantor peninggalan harta atau atas permintaannyaoleh kepala polisi, tidak datang sendiri maupun dengan perantaraan kuasanya jika itu dibolehkan, tanpa alasan yang dapat diterima;


3. barang siapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa dipanggil untuk didengar oleh majelis perwalian atau atas permintaannya oleh kepala polisi, tidak datang sendiri atau dengan perantaraan kuasanya, tanpa alasan yang dapat diterima.

Pasal 525

(1) Barang siapa ketika ada bahaya umum bagi orang atau barang, atau ketika ada kejahatan tertangkap tangan diminta pertolongannya oleh penguasa umum tetapi menolaknya, padahal mampu untuk memberi pertolongan tersebut tanpa menempatkan diri langsung dalam keadaan yang membahayakan, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah;


(2) Ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang menolak memberi pertolongan karena ingin menghindari atau menghalaukan bahaya penuntutan bagi salah seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau menyimpang, sampai derajat kedua atau ketiga, atau bagi suami (istri) atau bekassuaminya (istrinya).

Pasal 526

Barang siapa menyobek, membikin tak terbaca atau merusak suatu pemberitahuan di muka umum dari pihak penguasa yang wenang atau karena ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.


Pasal 527

Ditiadakan berdasarkan L.N. 1955-28.
Pasal 528
(1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak empat ribulima ratus rupiah, barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang:

1. membikin salinan atau petikan dari surat-surat jabatan negara dan alat-alatnya, yang dengan

perintah penguasa umum harus dirahasiakan;
2. mengumumkan seluruh atau sebagian surat-surat tersebut dalam butir 1;
3. mengumumkan hal-hal yang termaktub dalam surat-surat tersebut dalam butir 1, padahal sewajarnya dapat diduga bahwa hal-hal itu harus dirahasiakan.


(2) Perbuatan itu tidak dipidana, jika perintah merahasiakan jelas diberikan karena alasan lain daripada kepentingan dinas atau umum.


BAB IV
PELANGGARAN MENGENAI ASAL-USUL DAN PERKAWINAN
Pasal 529

Barang siapa tidak memenuhi kewajibannya menurut undang-undang untuk melaporkan pada pejabat Catatan Sipil atau perantaranya tentang kelahiran dan kematian, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.

Pasal 530

(1) Seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan dihadapan pejabat Catatan Sipil, sebelum dinyatakan padanya bahwa pelangsungan di muka pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.


(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama dua bulan.

BAB V
PELANGGARAN TERHADAP ORANG YANG MEMERLUKAN PERTOLONGAN
Pasal 531

Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

BAB VI
PELANGGARAN KESUSILAAN
Pasal 532

Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:


1. barang siapa di muka umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan;
2. barang siapa di muka umum mengadakan pidato yang melanggar kesusilaan;
3. barang siapa di tempat yang terlihat dari jalan umum mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan.
Pasal 533
Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah:
1. barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan dengan judul, kulit, atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda, yang mampu membangkitkan nafsu berahi para remaja;


2. barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu berahi para remaja;


3. barang siapa secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan suatu tulisan, gambar atau barang yang dapat merangsang nafsu berahi para remaja maupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambar yang dapat membangkitkan nafsu berahi para remaja;


4. barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau
memperlihatkan gambar atau benda yang demikian, pada seorang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun;


5. barang siapa memperdengarkan isi tulisan yang demikian di muka seorang yang belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas tahun.

Pasal 534

Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah.

Pasal 535

Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 536

(1) Barang siapa terang dalam keadaan mabuk berada di jalan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.


(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang dirumuskan dalam pasal 492, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.


(3) Jika terjadi pengulangan kedua dalam satu tahun setelah pemidanaan pertama berakhir dan menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama dua minggu.
(4) Pada pengulangan ketiga kalinya atau lebih dalam satu tahun, setelah pemidanaan yang kemudian sekali karena pengulangan kedua kalinya atau lebih menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
Pasal 537
Barang siapa di luar kantin tentara menjual atau memberikan minuman keras atau arak kepada anggota Angkatan Bersenjata di bawah pangkat letnan atau kepada istrinya, anak atau pelayan, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi seribu lima ratus rupiah.
Pasal 538
Penjual atau wakilnya yang menjual minuman keras yang dalam menjalankan pekerjaan memberikan atau menjual minuman keras atau arak kepada seorang anak di bawah umur enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 539
Barang siapa pada kesempatan diadakan pesta keramaian untuk umum atau pertunjukan rakyat atau diselenggarakan arak-arakan untuk umum, menyediakan secara cuma-cuma minuman keras atau arak dan atau menjanjikan sebagai hadiah, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari atau pidana denda paling tinggi tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Pasal 540
(1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama delapan hari atau pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah:
1. barang siapa menggunakan hewan untuk pekerjaan yang terang melebihi kekuatannya;
2. barang siapa tanpa perlu menggunakan hewan untuk pekerjaan dengan cara yang menyakitkan
atau yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
3. barang siapa menggunakan hewan yang pincang atau yang mempunyai cacat lainnya, yang
kudisan, luka-luka atau yang jelas sedang hamil maupun sedang menyusui untuk pekerjaan yang
karena keadaannya itu tidak sesuai atau yang menyakitkan maupun yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
4. barang siapa mengangkut atau menyuruh mengangkut hewan tanpa perlu dengan cara yang
menyakitkan atau yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
5. barang siapa mengangkut atau menyuruh mengangkut hewan tanpa diberi atau disuruh beri makan atau minum.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama karena salah satu pelanggaran pada pasal 541 atau karena kejahatan berdasarkan pasal 302, dapat dikenakan pidana kurungan paling lama empat belas hari.
Pasal 541
(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:
1. barang siapa menggunakan sebagai kuda beban, tunggangan atau kuda penarik kereta pada hal
kuda tersebut belum tukar gigi atau kedua gigi dalamnya di rahang atas belum menganggit kedua
gigi dalamnya di rahang bawah;
2. barang siapa memasangkan pakaian kuda pada kuda tersebut dalam butir 1 atau mengikat maupun memasang kuda itu pada kendaraan atau kuda tarikan;
3. barang siapa menggunakan sebagai kuda beban, tunggangan atau penarik kereta seekor kuda
induk, dengan membiarkan anaknya yang belum tumbuh keenam gigi mukanya, mengikutinya.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang berdasarkan pasal 540, ataupun karena kejahatan berdasarkan pasal 302, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.
Pasal 542
Ditiadakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974.
Pasal 543
Ditiadakan berdasarkan S. 23-277, 352.

Pasal 544

(1) Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu mengadakan sabungan ayam atau jangkrik di jalan umum atau di pinggirnya, maupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan.
Pasal 545
(1) Barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan.
Pasal 546
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib;
2. barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.

Pasal 547
Seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan di bawah sumpah menurut ketentuan undangundang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
BAB VII
PELANGGARAN MENGENAI TANAH, TANAMAN, DAN PEKARANGAN
Pasal 548
Barang siapa tanpa wenang membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
Pasal 549
(1) Barang siapa tanpa wenang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, di padang rumput atau di ladang rumput atau di padang rumput kering, baik di tanah yang telah ditaburi, ditugali atau ditanami ataupun yang sudah sedia untuk ditaburi, ditugali atau ditanami atau yang hasilnya belum diambil, ataupun di tanah kepunyaan orang lain oleh yang berhak dilarang dimasuki dan sudah diberi tanda larangan yang nyata bagi pelanggar, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
(2) Ternak yang menyebabkan pelanggaran, dapat dirampas.
(3) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama empat belas hari.
Pasal 550
Barang siapa tanpa wenang berjalan atau berkendaraan di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
Pasal 551
Barang siapa tanpa wenang, berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
BAB VIII
PELANGGARAN JABATAN
Pasal 552
Seorang pejabat yang berwenang mengeluarkan salinan atau petikan putusan pengadilan, jika mengeluarkan salinan atau petikan demikian itu sebelum putusan ditandatangani sebagaimana mestinya, diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.

Pasal 553
Ditiadakan berdasarkan S. 35-576; lihat pasal 528.
Pasal 554
Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, seorang bekas pejabat yang tanpa izin penguasa yang berwenang menahan surat-surat jabatan.
Pasal 555
Diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah kepala lembaga pemasyarakatan, tempat menahan orang tahanan sementara atau orang yang disandera, atau kepala rumah pendidikan negara atau rumah sakit jiwa, yang menerima atau menahan orang dalam tempat itu dengan tidak meminta diperlihatkan kepadanya lebih dahulu surat perintah penguasa yang berwenang, atau putusan pengadilan, atau yang alpa menuliskan menurut aturan dalam daftar hal penerimaan itu dan perintah atau keputusan yang menjadi alasan orang itu diterima.
Pasal 556
Seorang pejabat catatan sipil yang sebelum melangsungkan perkawinan tidak minta diberikan padanya buktibukti atau keterangan-keterangan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 557
Diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah:
1. seorang pejabat catatan sipil yang bertindak berlawanan dengan ketentuan aturan-aturan umum
mengenai register atau akta catatan sipil, mengenai tata cara sebelumnya perkawinan atau pelaksanaan perkawinan;
2. setiap orang lain penyimpan register itu yang bertindak berlawanan dengan ketentuan aturan-aturan umum mengenai register dan akta catatan sipil.
Pasal 557a
Seorang perantara catatan sipil yang bertindak berlawanan dengan ketentuan reglemen pemeliharaan register catatan sipil orang-orang Cina diancam dengan denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
Pasal 558
Seorang pejabat catatan sipil yang tidak memasukkan suatu akta dalam register atau menuliskan suatu akta di atas kertas lepas, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 558a
Seorang perantara catatan sipil yang tidak membikin akta daripada suatu pemberitahuan kepadanya menurutketentuan tentang pemeliharaan register catatan sipil bagi orang-orang Cina, atau menuliskan suatu akta di atas kertas lepas, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.
Pasal 559
Diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah:
1. seorang pejabat catatan sipil yang tidak melaporkan kepada penguasa yang berwenang sebagaimana diharuskan oleh ketentuan undang-undang;
2. seorang pejabat yang tidak melaporkan kepada pejabat catatan sipil, sebagaimana diharuskan oleh ketentuan undang-undang.
BAB IX
PELANGGARAN PELAYARAN
Pasal 560
Seorang nakhoda kapal Indonesia yang berangkat sebelum dibikin dan ditandatangani daftar anak buah yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Pasal 561
Seorang nakhoda kapal Indonesia yang tidak mempunyai di kapalnya kertas-kertas kapal, buku-buku dan suratsurat yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Pasal 562
Diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. seorang nakhoda kapal Indonesia yang tidak menjaga supaya buku-buku harian di kapal dipelihara menurut aturan-aturan umum, atau tidak memperlihatkan buku-buku harian itu di mana dan apabila menurut ketentuan undang-undang itu diharuskan padanya;
2. seorang nakhoda kapal Indonesia yang tidak memelihara register pidana yang diharuskan oleh aturanaturan umum menurut ketentuan undang-undang, atau tidak memperlihatkannya di mana dan apabila menurut ketentuan undang-undang itu diharuskan padanya;
3. seorang nakhoda kapal Indonesia yang jika register pidana tidak ada, tidak memberi keterangan kepada hakim sebagaimana diharuskan menurut ketentuan undang-undang;
4. seorang pengusaha pelayaran, pemegang buku atau nakhoda kapal Indonesia yang menolak permintaan untuk memperlihatkan kepada yang berkepentingan buku-buku harian yang dipelihara di kapalnya, atau menolak untuk memberi salinan dari buku-buku itu, dengan membayar biayanya.
Pasal 563
Seorang nakhoda kapal Indonesia yang tidak mencukupi kewajibannya menurut undang-undang mengenai pencatatan dan pemberitahuan kelahiran dan kematian selama perjalanannya, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.

Pasal 564
Seorang nakhoda atau anak buah yang tidak memperhatikan ketentuan undang-undang untuk mencegah tabrakan disebabkan karena atau terdampar, diancam dengan pidana empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 565
Barang siapa tanpa wewenang menggunakan suatu tanda pengenal walaupun dengan sedikit perubahan, menurut ketentuan undang-undang yang hanya boleh dipakai oleh kapal-kapal rumah sakit,sekoci-sekoci kapalkapal yang demikian, maupun perahu-perahu yang digunakan untuk pekerjaan merawat orang sakit, diancam dengan pidana denda pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 566
Seorang nakhoda kapal Indonesia yang tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya menurut pasal 358a Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 567
Seorang penguasa pelabuhan atau nakhoda kapal Indonesia yang menggunakan untuk pekerjaan anak buah orang-orang yang tidak mengadakan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau yang tidak menjalankan perusahaan di atas kapal atas biaya sendiri, ataupun menggunakan orang-orang yang namanya tidak ada dalam daftar anak buah, dalam hal ini diharuskan oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah untuk tiap-tiap orang yang bekerja demikian.
Pasal 568
Barang siapa menandatangani konosemen yang dikeluarkan dengan melanggar ketentuan pasal 517b Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, begitu pula orang untuk siapa dibutuhkan tanda tangan sesuai dengan kewenangannya, diancam, jika konosemen lalu dikeluarkan, dengan pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.
Pasal 569
(1) Barang siapa menandatangani surat jalan yang dikeluarkan dengan melanggar ketentuan pasal 533b Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, begitu pula orang untuk siapa dibutuhkan tanda tangan sesuai dengan kewenangannya, diancam, jika surat lalu dikeluarkan, dengan pidana denda paling banyak tujuh puluh ribu rupiah.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa bertentangan dengan pasal 533b Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, memberikan surat jalan yang tidak ditandatangani, begitu pula orang untuk siapa surat diberikan menurut kewenangannya.

Rabu, 20 Juni 2012

sambungan "Tentang Alat Bukti Surat"


3. Surat bukan akta
Kekuatan surat bukan akta tidaklah sekuat akta karena surat ini bukan ditujukan sebagai alat bukti. Oleh karena itu, surat bukan akta dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah Pembuktian. Artinya adalah bahwa surat tersebut dapat
diajukan ke pengadilan sebagai petunjuk yang dapat menambah keyakinan hakim yang memeriksa perkara.
.
4. Salinan
Kekuatan pembuktian alat bukti tertulis dalam bentuk salinan terletak pada dokumen aslinya. Artinya adalah bahwa penggunaan salinan di pengadilan harus pula dengan menunjukkan naskah aslinya. Sementara itu, jika salinan tersebut memperoleh tanda legalisasi (seperti pada ijazah), maka di pengadilan pihak yang memberikan (menandatangani) legalisasi harus memberikan pengakuan atas pernyataan legalisasi yang dimaksud di muka hakim. Penggunaan Materai dalam Alat bukti tertulis UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, menyatakan bahwa bea materai adalah pajak atas dokumen, termasuk di dalamnya surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. Saat ini, bea meterai telah diatur secara sederhana, yaitu cukup dengan membeli materai
tempel atau kertas meterai (kertas segel), sehingga tidak perlu datang lagi ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.
Penempelan meterai pada dasarnya tidak berhubungan (serta tidak menjamin) sah atau tidaknya perbuatan hukum para pihak yang membuat dokumen, karena meterai adalah suatu
bukti pelunasan pembayaran pajak. Tidak dilunasinya bea meterai dalam dokumen tersebut akan berdampak terhadap
kekuatannya sebagai alat bukti karena bea meterai adalah pajak atas dokumen, kontrak, surat lainnya yang digunakan sebagai alat bukti tertulis di muka hakim. Jika dokumen yang tidak membayar bea materai ternyata akan dipergunakan sebagai alat bukti, maka UU tentang Bea Meterai mengatur bahwa dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200 % (dua ratus persen) dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar. Cara pembayarannya adalah pemegang
dokumen harus melunasi bea meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kembali (nazegeling) yang dapat dilakukan melalui Pejabat Kantor Pos.
---------o0o----------
Anda menemukan
masalah atau komplain
terhadap pelaksanaan
PPK?
Hal-hal penting dalam masalah pembuktian:
1. Siapkan sedikitnya dua alat bukti yang dapat diperiksa di   pengadilan.
2. Surat pernyataan dibuat secara tertulis oleh yang membuat pernyataan.
3. Surat pernyataan didukung oleh berita acara pembuatan surat yang ditandatangani oleh pembuat dan sedikitnya dua orang saksi.
4. Sebagai langkah antisipasi, siapkan materai dengan nilai yang sesuai dengan aturan.
5. Bila bukti yang diajukan adalah salinan, pastikan keberadaan akta / surat aslinya.
6. Legalisasi salinan bisa menjadi alternatif namun ada konsekuensinya.

AlatPembuktian Tertulis

Alat Pembuktian Tertulis

Pada edisi sebelumnya telah dibahas mengenai bagaimana membangun perjanjian yang efektif dimana perjanjian yang efektif adalah dilakukan secara tertulis. Pentingnya membangun perjanjian yang efektif adalah untuk memberikan kepastian dan sebagai bukti bila ada perselisihan dalam hubungan hukum yang terjadi dimana tujuan dari pembuktian pada hakikatnya adalah untuk mencapai suatu kebenaran yang sesungguhnya yaitu kebenaran dari hubungan hukum dari hubungan hukum bagi para pihak yang berselisih.
            Di dalam sistem hukum yang berlaku diIndonesia saat ini, baik pidana maupun perdata secara umum memiliki bentuk-bentuk pembuktian yang dapat digunakan yaitu bukti
tertulis, bukti kesaksian dan persangkaan hakim. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa kegiatan PPK telah menciptakan sejumlah hubungan perikatan dimana tidak tertutup kemungkinan adanya perselisihan atau masalah yang penanganannya sangat memerlukan proses pembuktian.        Melihat kondisi tersebut, maka sebagai pelaku PPK perlu untuk mengetahui dan memahami alat pembuktian apabila ada hal yang sangat memerlukan pembuktian. 

                Apa saja alat bukti tertulis?
Baik hukum pidana maupun perdata, alat bukti tertulis terdiri dari:
  a. Akta Otentik, adalah surat yang dibuat oleh dan/atau di    hadapan pejabat umum yang ditentukan undang-undang, misalnya; akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses verbal pensitaan, surat perkawinan, akta kelahiran dan surat kematian;

b. Akta di bawah tangan, yaitu akta yang dibuat dan ditandatangani pembuat dengan maksud agar surat itu dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian, misalnya surat pernyataan, tanda terima, dan kwitansi yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum (yaitu: Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, dan Pejabat Catatan Sipil) ;

c. Surat bukan akta, yaitu surat-surat yang sengaja dibuat oleh seseorang yang tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di
kemudian hari, contoh: surat korespondensi dan laporan; dan

d. Salinan, yaitu duplikat, ikhtisar, kutipan atau fotokopi dari sebuah akta.

            Kekuatan pembuktian alat bukti tertulis. Kekuatan pembuktian secara hukum dari masing-masing alat bukti tertulis tersebut adalah:
1. Akta Otentik
Akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang
sempurna karena kebenaran dari hal-hal tertulis
dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim
sehingga isinya dianggap benar selama
kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat
membuktikan sebaliknya. Keunggulan dari akta ini
adalah dalam pembuktiannya tidak memerlukan
tambahan alat pembuktian lainnya.

2. Akta di bawah tangan
Berbeda dengan akta otentik, akta di bawah
tangan akan menjadi alat bukti yang sempurna
apabila ada pengakuan dari pembuatnya di
hadapan hakim. Oleh karena itu, kekuatan
pembuktiannya tergantung dari dari pengakuan
pembuatnya atau perlu dukungan alat bukti
lainnya.

            Contoh Penggunaan Alat Bukti Tertulis (Akta di
Bawah Tangan):
Fulan melakukan penyimpangan dana kelompok.
Setelah diklarifikasi & diperiksa, ia mengakui
perbuatannya dan berjanji mengembalikan dana
tersebut.
Pengakuan dan janji ini ia nyatakan dalam surat
pernyataan yang ia buat dengan tambahan
pernyataan bahwa pernyataan yang ia buat tidak
di bawah paksaan/tekanan & mengakui
tandatangan yang ia cantumkan.