Translate

Jumat, 01 November 2013

PASAL 378 KUHPidana (PENIPUAN)

PENGERTIAN “BARANG” DALAM PASAL 378 KUH PIDANA
Abstrak Hukum:
Sejalan dengan perkembangan tehnologi modern dan kebudayaan, pengertian “barang” dalam pasal 378 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana termasuk juga “jasa”.
Sesuatu yang melekat bersatu pada diri seseorang, dalam hal ini yang dimiliki saksi K. Br. S., juga termasuk dalam pengertian “barang”, karena bukanlah ia telah menyerahkan kehormatannya, karena janji, bila diterima senggama akan dikawini terdakwa.

Pengadilan Tinggi Medan: No.144/Pid./1983/PT. Mdn. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No. 7 April 1986; Hal. 33).

PUTUSAN PERKARA PIDANA BATAL DEMI HUKUM
Melanggar Ketentuan Hukum Acara Pidana.
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri:
Terdakwa dalam persidangan telah didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum melakukan perbuatan pidana:
Primair: pasal 378 KUHPidana.
Subsidiair: pasal 372 KUHPidana.
Hakim Pertama dalam putusannya telah menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana pada dakwaan primair: Penipuan, ex pasal 378 KUHPidana dan kepada terdakwa diajtuhi pidana penjara selama dua tahun. 

Pengadilan Tinggi di Bandung:
Dalam putusannya atas permohonan banding yang diajukan oleh terhukum, telah merobah/memperbaiki putusan Hakim Pertama sekedar hanya mengenai hukuman pidananya yaitu terhadap terdakwa dipidana penjara selama satu tahun. Mengenai kwalifikasi kejahatannya adalah sependapat dengan Hakim Pertama yaitu penipuan (dakwaan Primair).

Mahkamah Agung RI: 
Dalam putusan kasasi atas Permohonan Jaksa Penuntut Umum, Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut adalah batal demi hukum. Selanjutnya Hakim Kasasi memeriksa dan mengadili sendiri kasus ini dengan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan bahwa kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut. 
Putusan Mahkamah ini didasari pertimbangan hukum yang dapat disarikan sebagai berikut:
Bahwa Pengadilan Tinggi dalam memberikan putusannya atas kasus ini telah salah menerapkan hukum, yaitu putusannya tersebut tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal 197 (1) huruf C dan huruf F dari Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Bahwa Pengadilan Tinggi tidak mencantumkan dalam putusannya:
Dakwaan sebagaimana yang terdapat dalam Surat Dakewaan.
Pasal-pasal Undang-Undang yang dilanggar oleh Terdakwa.
Bahwwa dengan tidak dipenuhi Ketentuan Undang-Undang ini, maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa putusan Pengadilan Tinggi ini adalah batal demi hukum.
Bahwa akan tetapi KUHAP tidak mengatur atau tidak menentukan lebih lanjut apakah dengan batalnya putusan tersebut, Hakim Kasasi masih berwenang untuk mengadili lagi kasus pidana ini.
Bahwa atas masalah yuridis ini, Mahkamah Agung berpendirian bahwa “yang batal demi hukum” tersebut hanyalah putusannya saja, sedang “Berita Acara Pemeriksaan Sidang”, secara keseluruhannya masih tetap berlaku.
Bahwa dengan pendirian ini, maka Mahkamah Agung menyatakan dirinya berwenang untuk memeriksa dan mengadili lagi kasus ini.
Bahwa dari hasil pemeriksaan persidangan, Mahkamah Agung tidak memperoleh bukti yang sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan delict sebagaimana yang didakwakan kepadanya, baik Dakwaan Primair maupun pada dakwaan Subsidiair. Karena itu terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut. 

Pengadilan Negeri: No. 33/Pid/B/1986, tanggal 24 Juli 1986.
Pengadilan Tinggi Bandung: No. 227/Pid/B/1986, tanggal 1 Oktober 1986.
Mahkamah Agung RI: No. 402 K/Pid/1987, tanggal 4 April 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.25 Oktober 1987; hal. 52). 

KASUS TILAAR vs JURGEN KUNZEL
Sengketa Pemilikan Rumah Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing Ditinjau dari Segi Hukum Pidana.
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri 
Dalam persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Terdakwa Ny. Eugene Tilaar Mangkom, oleh Jaksa Penuntut Umum, telah didakwa melakukan perbuatan pidana dengan materi kelakuan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dakwaan primair, ex pasal 378 KUH Pidana
Terdakwa bersama dengan anaknya, Nola Tilaar, di Jerman telah menyarankan kepada saksi Jurgen Kunzel, dari pada uang disimpan di Bank, lebih baik dibelikan rumah di Jakarta Indonesia. Sesuai dengan anjuran tersebut, Jurgen Kunzel, saksi bersedia membeli rumah di Jakarta dan karena saksi orang asing tidak boleh memiliki rumah/tanah di Indonesia, maka disarankan agar rumah yang akan dibeli itu diatasnamakan Terdakwa. Untuk menyelubungi maksudnya secara tipu muslihat dan rangkaian kata-kata bohong, terdakwa membuat Akta Notaris No. 135/tgl 12 September 1981, isinya berupa pernyataan Terdakwa, bahwa rumah yang akan dibeli adalah miliknya saksi Jurgen Kunzel. Akta ini lalu dikirimkan kepada saksi ke Jerman oleh Terdakwa. Karena Akta Notaris No. 135 itu, lalu menimbulkan kepercayaan dan dapat membujuk saksi Jurgen Kunzel, sehingga saksi mengirimkan uangnya kepada Terdakwa Rp 185 Juta untuk pelunasan pembelian rumah yang dibeli oleh Terdakwa dari pemiliknya. Selanjutnya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan akal tipu muslihat, terdakwa membuat lagi Akta Notaris yang baru pada Notaris yang lain, No. 11/tgl 12 Pebruari 1982 yang isinya Akta Notaris ini adalah: membatalkan Akta Notaris No. 135/tgl 12 September 1981. setelah itu terdakwa lalu menggadaikan rumahnya itu di Jl. Cempakaputih Raya 139 kepada Bank Rama dan mengontrakkan rumah Jl. Cilandak kepada orang asing, semuanya untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain. 
Dakwaan Subsidiair: ex pasal 372 KUH Pidana. 
Terdakwa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu barang sebagian atau seluruhnya termasuk kepunyaan orang lain, dan barang itu ada pada terdakwa bukan karena kejahatan dengan menggunakan cara-cara seperti diuraikan dalam dakwaan primair.
Dakwaan Lebih Subsidiair, ex pasal 385 KUH Pidana:
Terdakwa dengan maksud menguntungkan dirinya  sendiri atau orang lain dengan melawan hak telah  menjual, menukarkan atau membebani kredit Bank sesuatu hak tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, sedang diketahuinya ada orang lain yang berhak atau turut berhak atas bangunan tersebut, yaitu dilakukan dengan cara-cara seperti dalam dakwaan primair dan selanjutnya rumah Jl. Cempakaputih Raya digadaikan kepada Bank Rama. Dan rumah Jl. Cilandank dikontrakkan kepada orang asing.
Jaksa Penuntut Umum dalam requisitoirnya, menuntut agar terdakwa dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwaan primair: penipuan ex pasal 378 KUH Pidana dan agar terdakwa dijatuhi pidana satu tahun penjara. Mengenai barang bukti berupa dua buah rumah Jaksa memohon agar Hakim mengembalikannya kepada saksi Jurgen Kunzel sejauh hal tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada, khususnya Undang-Undang No.5/1960.
Majelis Hakim Pertama, setelah mendengar semua saksi yang diajukan Jaksa, mendengar keterangan terdakwa serta memeriksa surat-surat bukti, berpendirian bahwa perbuatan terdakwa benar terbukti, akan tetapi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut, bukan merupakan suatu perbuatan pidana (delict) seperti yang tersebut dalam surat dakwaan Jaksa.
Bahwa oleh karena perbutan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, maka unsur-unsur dakwaan yang didakwakan baik dalam dakwaan primair – Subsidiair – lebih Subsidiair, tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Bahwa dengan pendirian Majelis Hakim tersebut, maka terdakwa menurut hukum harus: dilepas dari segala tuntutan hukum.
Bahwa mengenai barang bukti yang telah disita berupa dua buah rumah beserta isinya, harus diserahkan kembali kepada terdakwa.
Atas putusan Hakim Pertama tersebut, Pihak Jaksa telah mengajukan pemeriksaan banding pada Mahkamah Agung RI, 30 September 1983, sebagai pemohon kasasi partai.

Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan atas kasus itu, Majelis Mahkamah Agung telah membatalkan putusan judex facti Pengadilan Negeri, karena dinilainya telah salah dalam menerapkan hukum terhadap kasus ini. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini dengan pertimbangan hukum yang intinya disarikan sebagai berikut:
Bahwa Pengadilan Negeri dalam Pertimbangan putusannya telah menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti telah membujuk orang, saksi …… dst ……… dst. Dari pertimbangan judex facti ini berarti salah satu unsur perbuatan pidana yang didakwakan dalam dakwaan primair tidak terbukti, sehingga terdakwa seharusnya dibebaskan dari dakwaan primair, dan bukan dilepas dari segala tuntutan hukum.
Bahwa judex facti telah keliru dalam pertimbagannya yang menyebutkan: karena perbuatan yang didakwakan pada Dakwaan Primair bukan merupakan perbuatan Pidana, maka unsur-unsur dalam dakwaan subsidiair – Lebih subsidiair – menurut judex facti, tidak perlu dipertimbangkan lagi. Pertimbangan judex facti yang demikian itu berarti bahwa dakwaan “subsidiair” dan “dakwaan lebih subsidiair” masih belum dipertimbangkan oleh judex facti.
Bahwa Mahkamah Agung dapat membenarkan pertimbangan hukum dari judex facti yang menyatakan bahwa terdakwa tidak pernah membujuk saksi Jurgen Kunzel dengan – nama palsu , - keadaan palsu – kata-kata bohong – tipu muslihat - ….. dst, sehingga saksi lalu tergerak hatinya untuk menyerahkan rumah tersebut kepada terdakwa. Dengan alasan ini unsur perbuatan pidana dalam dakwaan primair tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair.
Bahwa oleh karena dakwaan primair tidak terbukti, maka Mahkamah Agung lalu mempertimbangkan dakwaan Subsidiair, ex pasal 372 KUH Pidana, yang unsur-unsurnya, menurut MARI sebagai berikut:
Kesatu: Dengan sengaja memiliki dengan melawan hukum sesuatu barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Kedua: Barang itu ada ditangannya bukan karena kejahatan. 
Bahwa unsur- unsur Pertama, oleh MARI dipertimbangkan demikian: bahwa berdasar atas keterangan saksi Sutrisno – Saldy Sofyan – dan SuharsonoTjipto (Berita Acara), kedua barang bukti yang dibeli dengan memakai nama terdakwa dimaksudkan untuk dipakai sebagai kantor dan mess dalam rangka usaha bersama antara Sutrisno dengan Jurgen.
Bahwa uang sisa pelunasan harga rumah adalah uang dikirimkan dari Jerman berasal dari milik saksi Jurgen.
Bahwa menurut Mahkamah Agung keterangan saksi ini sesuai dengan pernyataan/pengakuan terdakwa yang dituangkan dalam Akta Notaris No.135/12 September 1981.
Bahwa terdakwa telah mengakui satu rumah dijaminkan pada Bank Rama dan satu rumah lainnya dikontrakkan kepada orang asing.
Bahwa pernyatan terdakwa dimuka Notaris yang dituangkan dalam Akta Notaris No.135/12 September 1981, mengandung penegasan pula, bahwa pernyataan terdakwa ini tidak dapat dicabut kembali dengan alasan apapun. Dengan isi penegasan yang demikkian ini, MARI berpendirian, bahwa dengan adanya Akta Notaris yang baru, No. 11/tgl 12 Pebruari 1982 yang isinya terdakwa menarik kembali/mencabut kembali pernyataannya yang disebut dalam Akta Notaris yang terdahulu No.135/September 1981, - dengan alasan satu dan lain hal -, menurut Mahkamah Agung, adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Bahwa dengan alasan ini, maka unsur Pertama dari pasal 372 KUHPidana dalam dakwaan Subsidiair, dinyatakan telah terbukti.
Mengenai unsur kedua dipertimbangkan demikian, bahwa atas dasar keterangan para saksi, dua rumah yang dipercayakan dan diatasnamakan pada terdakwa oleh Jurgen, mengingat dia orang asing dan PT. Profunda SA belum didirikan di Indonesia, maka keterangan saksi itu dinilai Mahkamah Agung telah sesuai dengan isi Akta Notaris No. 135. dengan demikian maka unsur kedua pasal 372 KUHP telah dianggap terbukti.
Bahwa dengan terbuktinya dakwaan subsidiair, ex pasal 372 KUHP, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lagi dakwaan berikutnya.
Bahwa dengan pertimbangan yang intinya diuraikan di atas, maka Mahkamah Agung berpendirian, bahwa secara sah dan meyakinkan, terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwaan Subsidiair, ex pasal 372 KUHPidana dan terdakwa dijatuhi pidana selama enam bulan penjara dengan ketentuan pidana itu tidak akan dijalani, kecuali kalau kemudian dengan putusan Hakim diperintahkan lain atas alasan bahwa terhukum sebelum waktu percobaan satu tahun berakhir telah bersalah melakukan suatu perbuatan pidana.
Bahwa mengenai barang bukti yang telah disita kepolisian, berupa dua buah rumah, Mahkamah Agung berpendirian sebagai berikut:
Kedua rumah ini seharusnya diserahkan kepada saksi Jurgen Kunzel, akan tetapi mengingat dia adalah orang asing, yang menurut pasal 21 (1) jo pasal 36 (1) Undang-Undang No.5/1960, orang asing tidak boleh (dilarang) mempunyai hak atas tanah dimana kedua rumah tersebut berdiri, maka menurut Mahkamah Agung penyerahan kedua rumah tersebut yaitu rumah jl. Cempakahputih Raya 139 Jakpus, serta rumah di Jl. Cilandak1/14 Jaksel, adalah dengan cara demikian:
“setelah kedua rumah tersebut dijual menurut harga pasaran, maka uang hasil penjualannya kedua rumah tersebut harus diserahkan kepada saksi Jurgen Kunzel”.
Bahwa barang bukti yang lain: dua telpon, kursi, a.c. dikembalikan kepada saksi Jurgen Kunzel. Sedang bukti fotocopy surat-surat dilampirkan dalam berkas perkara ini. Dicatat disini.
Bahwa Januari 1988, Pihak Kejaksaan telah melaksanakan eksekusi berupa mengosongkan rumah tersebut dibantu oleh aparat keamanan dan Nola Tilaar mengadakan reaksi penolakan atas pengosongan rumah tersebut. Meskipun demikian upaya pengosongan rumah dapat terlaksana juga. 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 013/1983/Pid.B. tanggal 28 November 1983. 
Mahkamah Agung RI: No.98 K/Pid/1984, tanggal 31 Januari 1985. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 30; Maret 1988; hal. 110).

PROBLEMA JURIDIS “KELAMIN WANITA” DITAFSIRKAN SEBAGAI BARANG
Abstrak Hukum:
Mahkamah Militer:
Didalam siding Mahkamah Militer 111-18 di Ambon, oleh Oditur Militer, terdakwa telah didakwa melakukan perbuatan pidana dengan materi kelakuan yang intinya sebagai berikut:
Kesatu: ex pasal 378 KUHPidana:
Bahwa bulan Agustus 1985, terdakwa berkenalan dengan NN. Serly, sewaktu terdakwa di RST di Ambon. Perkenalan berlanjut dengan hubungan berpacaran. Terdakwa sering berkunjung ke rumah NN. Serly dan berkenalan pula dengan orang tuanya.
Bahwa suatu saat terdakwa bertugas di Namlea dan dengan surat terdakwa minta agar NN. Serly, datang ke Namlea untuk diajak menghadap komandan dalam rangka izin nikah dari Komandan. NN. Serly datang ke Namlea. Di sini terdakwa dengan bujuk rayu dan akan segera menikahi NN. Serly, terdakwa berhasil membujuk NN. Serly untuk disetubuhi.
Bahwa sejak NN. Serly bersedia disetubuhi terdakwa tersebut, terdakwa tidak pernah mengajak Serly menghadap komandannya untuk izin nikah tersebut. Dan akhirnya NN. Serly melaporkan kejadiannya kepada Komandan terdakwa dengan permohonan untuk menindak terdakwa tersebut, karena merugikan dirinya.
Kedua: ex pasal 263 (2) KUHPidana.
Bahwa sewaktu terdakwa mengajukan lamaran untuk memasuki dinas militer, Secatam Wamil 79/80 di Minpersdam XV Pattimura, ia terdakwa telah mempergunakan ijazah sekolah dasar yang dipalsukan yaitu memakai ijazah isterinya yang isinya diganti menjadi nama terdakwa. Dengan ijazah yang dipalsukan isinya tersebut, terdakwa telah berhasil diterima dan memasuki Secata Milwa di Kodiklatdam XV Pattimura Ambon dan setelah tamat dari pendidikan tersebut, terdakwa telah dilantik menjadi militer dengan pangkat prada sejak  01-01-1980 Nrp. 574703 dengan tugas sebagai anggota militer Yonif 731/Terr. Sampai sekarang ini. Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut, Negara dirugikan mengeluarkan biaya pendidikan yang tidak kecil.
Mahkamah Militer setelah memeriksa kasus ini memberikan pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut:
Dakwaan kesatu ex pasal 378 KUHPidana: bahwa unsur tipu muslihat dan rangkaian kata-kata bohong sehingga menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu …. Dan seterusnya telah terbukti j.i. terdakwa telah merayu dan berjanji akan menikahi saksi I dan akan menghadap komandan untuk minta izin kawin di Batalyon. Dengan tipu muslihat yang demikian ini, saksi telah menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa. Terdakwa telah memperoleh kenikamatan yang diberikan oleh saksi I – kepuasan sex – persetubuhan.
Bahwa kemaluan wanita di sini merupakan “suatu barang” karena ia memberikan kenikamatan kepada orang lain – laki-laki. Terdakwa telah memperoleh kenikmatan yang diperoleh dari “barang” milik saksi I NN. Serly tersebut.
Bahwa karena rayuan serta janji-janji dari terdakwa sehingga saksi percaya kepada terdakwa dan menyerahkan “barangnya” itu kepada terdakwa, sehingga terdakwa memperoleh kenikmatan atas barang tersebut.
Mengenai dakwaan kedua, ex pasa 263 (2) KUHPidana, Mahkamah Militer telah berpendirian bahwa unsur yang diharuskan dalam pasal ini telah terbukti dengan sah dan meyakinkan.
Bahwa berdasar atas pertimbangan hukum yang intinya disebutkan tadi, Mahkamah Militer dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana: kesatu penipuan dan kedua: Memalsukan Surat. karena kesalahan ini terdakwa dijatuhi pidana penjara selama enam bulan dan pidana tambahan terdakwa dipecat dari dinas TNI- AD.

Mahkamah Militer Tinggi:
Hakim Banding dalam memeriksa dan mengadili kasus ini memberikan putusan yang menguatkan putusan Hakim Pertama dengan memperbaiki kwalifikasi tindak pidana yang diberikan oleh Hakim Pertama sehingga berbunyi demikian: 
Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana: - penipuan dan Pemalsuan Surat.

Mahkamah Agung RI:
Bahwa atas putusan Hakim Banding Mahkamah Militer Tinggi tersebut, Pihak terdakwa mengajukan permohonan pemeriksaan tingkat kasasi, antara lain dengan alasan bahwa Mahkamah Militer Tinggi telah memperluas pengertian ‘barang’ termasuk kelamin wanita, yaitu hilangnya kegadisan dari saksi korban, sedang terdakwa mengetahui saksi korban tidak gadis lagi d.p.l. sudah pernah dipakai orang lain sebelum dipakai terdakwa.
Bahwa selain alasan tersebut pemohon kasasi juga mengemukakan alasan lain bahwa Mahkamah Militer Tinggi memakai dasar pasal 49 (1) KUHPidana untuk memberikan perlindungan terhadap kehormatan wanita, sedangkan perbuatan tersebut dilakukan atas dasar suka-sama suka.
Bahwa Majelis Mahkamah Agung setelah memeriksa kasus ini berpendirian bahwa alasan/keberatan pemohon kasasi dapat diterima, karena ternyata judex facti telah salah menerapkan hukum, yaitu memperluas pengertian “barang” termasuk kelamin wanita. Menurut pendapat Majelis Mahkamah Agung ini, baik kelamin wanita maupun kehormatan wanita itu, tidak termasuk dalam pengertian “barang” sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 378 KUHPidana.
Bahwa dengan pendirian tersebut, maka MA-RI berpendapat bahwa dalam kasus tidak terbukti ada “barang” yang telah diserahkan oleh saksi korban NN.Serly kepada Terdakwa.
Bahwa mengenai dakwaan kedua ex pasal 263 (2) KUHPidana, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa judex facti telah membuat kesalahan dalam masalah pemberian kwalifikasi tindak pidana atas pasal 263 (2) KUHPidana, karena oleh MA-RI akan diperbaikinya.
Bahwa berdasar atas pertimbangan di atas, maka MA-RI dalam putusannya telah membatalkan putusan judex facti yang dinilainya sebagai salah dalam menerapkan hukum selanjutnya mengadili sendiri kasus ini dengan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu (ex pasal 378 KUHPidana). Membebaskan terdakwa dari dakwaan ini.
Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana: “dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan yang dapat mendatangkan kerugian”.
Menghukum terdakwa dengan hukuman pokok satu tahun penjara ditambah dengan hukuman tambahan: dipecat dari Dinas Militer dengan pencabutan haknya untuk memasuki angkatan bersenjata.
Perlu ditambahkan disini sebagai informasi, bahwa sebelum terbitnya putusan Mahkamah Agung tersebut, selama ini Badan Peradilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding (baik di Sumatera Utara maupun di Jawa Timur) dalam mengahadapi kasus yang serupa, Hakim menafsirakan pengertian “barang” termasuk kelamin wanita/kehormatan wanita, sehingga pasal 378 KUHPidana selalu diterapkan dalam kasus pria yang ingkar janji setelah berhasil menyetubuhi/merusak kehormatan gadis. Dengan adanya putusan MA-RI ini merupakan suatu isyarat tentang masalah juridis, apakah kelamin wanita itu dapat ditafsirkan sebagai barang dalam kaitannya dengan pasal 378 KUHPidana atau tidak. Meskipun demikian masih perlu ditunggu, apakah putusan Mahkamah Agung dalam kasus serupa di masa mendatang akan dapat  menjadi yurisprudensi tetap?

Mahkamah Militer III-18 Ambon: No. Put. 79/III-18/IX/86, tanggal 17 September 1986.
Mahkamah Militer Tinggi Surabaya: No. 33/MMT-III/X/AD/87, tanggal 4 Mei 1987. 
Mahkamah Agung RI: No. 52 K/MIL/1987, tanggal 12 Februari 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.34 Juli 1988; hal. 84). 




PROBLEMA JURIDIS ORGAN TUBUH WANITA
Abstrak Hukum:
Bahwa putusan majelis Mahkamah Agung tsb di atas (perkara No. 481.K/Pid/1986 tgl 31 Agustus 1989), berpendirian bahwa alat vital (kemaluan) wanita, tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu “barang”, sebagaimana yang dimaksudkan pasal 378 KUHP. Pendirian ini sama dengan pendirian majelis Mahkamah RI yang mengadili perkara/kasus serupa yang dituangkan dalam putusan Mahkamah RI No.52.K/Mil/1987, tgl 12 Februari 1988.
Pakar ilmu hukum, Prof.Dr. Moh. Koesnoe, S.H dalam suatu diskusi berpendirian hampir sama yaitu: bahwa selama wanita itu masih hidup, maka kemaluan wanita tidak dapat dianggap sebagai “barang” yang dapat menjadi object hukum. Meskipun dalam kehidupan masyarakat ada praktek perdagangan kemaluan wanita dalam bentuk pelacuran namun kemaluan wanita tersebut tetap merupakan bagian individualitas dari wanita sebagai orang (subject hukum), karena organ tubuh ini bersenyawa dengan organ tubuh lainnya. Baru menjadi object hukum, setelah ia meninggal dunia.
Dengan demikian sampai saat ini telah ada dua putusan Mahkamah Agung RI yang berpendirian bahwa alat vital (kemaluan) wanita, tidak dapat diartikan sebagai “barang”, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 378 KUHP.
Terhadap perbuatan tercela ini, pelaku dapat didakwa melakukan pelanggaran Hukum Adat Pidana, dengan sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 5 (3) b. Undang-Undang Darurat No. 1/1951; L.N. Nr. 9/1950 tgl 13 Januari 1951.
Sebagai bahan perbandingan, perlu dicatat disini adanya kasus serupa yang pernah terjadi pada 1980 telah diadili oleh Pengadilan Negeri di Medan dan putusannya dimohonkan pemeriksaan banding pada Pengadilan Tinggi Medan yaitu: putusan Pengadilan Negeri Medan No. 571/KS/1980 tgl 5 Maret 1980 dan Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 144/Pid/1983 tgl 8 Agustus 1983. Putusan ini tidak dimohonkan pemeriksaan kasasi pada Mahkamah Agung RI.
Putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut, pada intinya terdakwa (pria) dinyatakan bersalah melakukan delict: Penipuan, ex pasal 378 KUHP , dengan pertimbangan demikian :
Bahwa unsur “barang” dalam pasal 378 KUHP ditafsirkan secara luas, sehingga pengertian “barang” termasuk pula pengertian “jasa”.
Bahwa sesuatu yang melekat bersatu pada diri tubuh seseorang (kemaluan), juga termasuk pengertian “barang” yang dalam bahasa Tapanuli dikenal istilah “BONDA” yang artinya adalah “barang” yang tidak lain adalah “kemaluan”. Sehingga bilamana gadis menyerahkan kehormatannya kepada pria, maka samalah artinya gadis tersebut menyerahkan “bonda” (barang) kepada pria tersebut.
Bahwa dengan penafsiran secara luas ini, maka unsur “barang” didalam pasal 378 KUHP, telah dapat dipenuhi dalam kasus ini, sehingga terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan delict: penipuan.
Dalam praktek putusan ini banyak diikuti oleh para penegak hukum untuk menjerat pria yang berhasil menyetubuhi gadis dengan janji akan dikawini, tetapi akhirnya pria ingkar janji, dan gadis menjadi korban yang merana seumur hidupnya.

Pengadilan Negeri Ende, (No. 21 Pid/B/1984, tgl 23 maret 1985.
Pengadilan Tinggi Kupang, No 24/Pid/B/1985, tgl 30 November 1985.
Mahkamah Agung RI, No. 481. K/Pid/1986, tgl 31 Agustus 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V, Nomor 55 April 1990; hal. 7).

BATAS MASALAH PIDANA DAN PERDATA
KASUS DIREKTUR ASURANSI
Abstrak Hukum:
Unsur pokok delict penipuan (ex pasal 378 KUH Pidana) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict  untuk menggerakkan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang. Penyerahan barang ini merupakan unsur konstitutip delict penipuan.
Dalam kasus ini, delict tersebut tidak terpenuhi. Karena penyerahan barang berupa girik tanah dari saksi kepada terdakwa segera diikuti peristiwa lainnya berupa: terdakwa menjual “saham perusahaan asuransi” miliknya kepada saksi sebagai pelunasan hutangnya. Karena itu, maka penyerahan girik tanah tersebut adalah bukan sebagai akibat tergeraknya saksi oleh upaya terdakwa; melainkan karena saksi sudah merasa aman dan terjamin piutangnya dengan dikuasainya saham perusahaan milik terdakwa melalui jual-beli saham tersebut. Perhitungan bisnis yang demikian ini  merupakan hasil pemikiran orang yang intelek, sehingga unsur tergerak/terbujuk menjadi terkesampingkan dalam kasus ini. 
Dengan tidak terbuktinya unsur penting dalam delict penipuan tersebut, maka kasus ini, menurut pendapat Mahkamah Agung, adalah merupakan transaksi keperdataan yang tidak ada unsur pidananya. Karena itu, terbukti atau tidaknya unsur penting tersebut adalah merupakan batas penentuan apakah kasus tersebut merupakan masalah pidana ataukah masalah perdata. 

Pengadilan Negeri Jakarta Barat: No. 88/Pid/B/1989, tanggal 27 November 1989.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 20/Pid/1990/PT.DKI, tanggal 15 Februari 1990.
Mahkamah Agung RI: No. 1061 K/Pid/1990, tanggal 26 Juli 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 68; Mei 1991; hal. 5).

PUTUSAN HAKIM TERDAKWA BUKAN DILEPASKAN 
Abstrak Hukum:
Penyerahan uang oleh saksi kepada terdakwa dilakukan secara sukarela dengan disertai bukti kwitansi dan pembuatan Surat Kuasa yang berisi syarat, bila mana saksi tidak berhasil diterima menjadi pegawai negeri, maka terdakwa akan mengembalikan uang yang telah diterimanya itu kepada saksi paling lambat April 1991.
Dengan fakta ini, secara yuridis dapat ditentukan bahwa penyerahan uang kepada terdakwa tersebut, bukan karena “bujukan terdakwa yang melawan hukum” Unsur delict ex pasal 378 KUHP ini adalah tidak terbukti. Karena itu dalam kasus ini, putusan Hakim, amarnya bukan: Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, ex pasal 191 (2) KUHAP, melainkan: membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, ex pasal 191 (1) KUHAP. 

Pengadilan Negeri Karawang: No. 20/Pid.B/1995/PN. KRW, tanggal 22 Juni 1995. 
Mahkamah Agung RI: No. 1168 K/Pid/1995, tanggal 29 Agustus 1996. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.155 Agustus 1998; hal. 81). 

PROBLEM YURIDIS PIDANA ATAU PERDATA
Kasus Yayasan Baret Jingga
Abstrak Hukum:
Seorang Pengusaha Kayu yang telah menerima sejumlah uang, namun ia tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mengirimkan kayu kepada pemesannya, “Yayasan Baret Jingga” yang telah menyerahkan uang pesanannya sesuai dengan isi kontrak yang telah disepakati bersama, maka perbuatan Pengusahan Kayu tersebut, bukan merupakan suatu tindak Pidana ex pasal 378 KUHP, melainkan merupakan “perbuatan ingkar janji atau wanprestasi” yang berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Terdakwa harus diputus dilepas dari segala tuntutan hukum dan harus dibebaskan dari tahanan. 

Pengadilan Negeri Bale Bandung: No. 408/Pid.B/2000/PN.BB, tanggal 16 Oktober 2000. 
Pengadilan TinggiJawa Barat di Bandung: No. 348/Pid/2000/PT. Bdg, tanggal 20 Desember 2000 
Mahkamah Agung RI: No. 449.K/Pid/2001, tanggal 17 Mei 2001. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVII No.203 Agustus 2002; hal. 4).


PEMALSUAN & KETERANGAN PALSU

KASUS UANG PALSU PUTUSAN HAKIM PIDANA YANG ONVOLDOENDE GEMOTIVEERD
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri Pontianak:
Dalam putusannya telah menyatakan terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana, ex pasal 245 KUHP. Dan memberikan pidana penjara kepada terdakwa selama dua tahun.

Pengadilan Tinggi Pontianak:
Dalam putusan ditingkat banding telah memperbaiki putusan Hakim Pertama, yang amarnya antara lain berbunyi sebagai berikut:
Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Pontianak yang dimohonkan Banding, baik, pertimbangan maupun amarnya, hingga seluruh amar putusan tersebut menjadi sebagai berikut:
Terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan dengan sengaja mengedarkan uang kertas yang asli dan tidak dipalsu, pada hal waktu diterimanya diketahui bahwa tidak asli dan palsu, pasal 245 KUHP.
Menjatuhkan pidana penjara atas diri terdakwa: selama dua tahun enam bulan.

Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan ditingkat kasasi telah membatalkan putusan judex facti (Pengadilan Tinggi), karena dinilai putusan judex facti ini, telah salah menerapkan hukum, yaitu:
Bahwa keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi yang intinya menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Pontianak tidak menerapkan pasal 197 (1) sub –c-e (2) KUHP, dapat diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung RI.
Bahwa Pengadilan Tinggi tersebut dalam putusannya ditingkat banding, telah memperbaiki hukuman  pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa oleh Pengadilan Negeri, tanpa memberikan pertimbangan yang cukup (onvoldoende Gemotiveerd) dan tidak pula memberikan alasan-alasan, apakah sebabnya pidana yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri tersebut dipandang terlalu ringan.
Bahwa berdasar atas pertimbangan ini, Mahkamah Agung RI kemudian mengadili sendiri kasus ini.

Pengadilan Negeri Pontianak: No. 24/Pid/B/1985, tanggal 4 Agustus 1985.
Pengadilan Tinggi Pontianak: No.42/Pid/1985, tanggal 25 Oktober 1985.
Mahkamah Agung RI: No.1545.K/Pid/1985, tanggal 26 Februari 1986. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun II No. 20 Mei 1987; hal. 88).

PEMALSUAN AKTA HIPOTIK
– Kasus Hutang Piutang Melalui Notaris – 
Abstrak Hukum:
Bahwa dalam putusan judex facti – Hakim Pertama yang telah membebaskan terdakwa dari segala dakwaan (Vrijspraak), ternyata, Hakim tidak mencantumkan dalam putusannya “Hak Rehabilitasi” dari terdakwa, sebagaimana yang diperintahkan dalam pasal 97 (1) (2) KUHAP.
Bahwa Hakim Pertama dalam usaha membuktikan, apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur delict yang didakwakan; dilakukan dengan cara menarik perbuatan terdakwa kedalam “konstruksi Juridis” yang ada dalam hukum perdata barat – Burgerlijk Wetboek yaitu lembaga hukum “subrogasi” ex pasal 1400 B.W. tentang penggantian Kreditur. Dengan konstruksi yang demikian ini, Judex facti pada suatu titik kesimpulan, bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi semua elemen yang disyaratkan dalam delict yang didakwakan. Sehingga terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan. Cara pembuktian yang ditempuh oleh Hakim Pertama ini, nampaknya tidak dapat diterima oleh MA-RI yang lebih condong menafsirkan delict tersebut secara formil.

Pengadilan Negeri Ujung Pandang: No.90/Pid.B/1985, tanggal 5 Mei 1986.
Mahkamah Agung RI: No.1131.K/Pid/1986, tanggal 19 November 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IV. No. 40 Januari 1989; hal. 5). 

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG DIPALSUKAN
      Abstrak Hukum:
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut di atas telah dipalsukan, sehingga amar putusannya berbunyi yang pada pokoknya sebagai berikut: Terdakwa tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan. Barang bukti 146 ton rotan dikembalikan kepada terdakwa.
Kepalsuan surat putusan MA RI ini terungkap beberapa waktu lamanya, setelah advokat terdakwa mengadakan konferensi pers yang memberikan informasi bahwa putusan MA telah membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Kejaksaan sempat mengeksekusi putusan MA yang palsu ini.
Setelah kasus ini menjadi isu nasional, maka Direktur Pidana MA turun ke Surabaya menemui Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, sambil membawa “asli putusan MA” untuk meneliti turunan putusan MA yang tersimpan di PN. Akhirnya ketahuan putusan yang ada disimpan di PN Surabaya adalah putusan MA yang palsu. Dengan memakai putusan asli MA RI akhirnya terdakwa Toni Goritman di-eksekusi oleh pihak Kejaksaan sesuai dengan amar putusan MA RI yang asli.

Pengadilan Negeri di Surabaya: No. 07/Pid.B/Ek/1988, tgl 21 Juni 1989.
Mahkamah Agung RI: No. 1805.K/Pid/1989, tgl 21 Maret 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 64 Januari 1991; hal. 57)

MASALAH JURIDIS PEMALSUAN MERK = SUBVERSI =
Abstrak hukum:
“Orang yang melakukan perbuatan memalsukanobat anti hama tanaman pangan”, dengan memakai kemasan dan merk meniru yang asli, selanjutnya barang tersebut diedarkan dan dijual kepada masyarakat petani di beberapa daerah. Perbuatan ini dilakukannya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam waktu yang singkat. Karena peredaran barang yang palsu ini terbukti belum mengganggu Program pemerintah dibidang pangan, maka perbuatan tersebut belum dapat dikwalifisir sebagai kejahatan SUBVERSI, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 11/PNPS/1963.
Delict yang dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut adalah delict ex pasal 256 (1) KUH Pidana yang dirumuskan sebagai berikut: “memalsukan merk yang asli dengan maksud untuk memakai barang itu seolah-olah merknya asli dan tidak palsu”.
Putusan judex facti yang dalam pertimbangan hukumnya berpendirian bahwa terdakwa (karena tidak terbukti kesalahannya) harus dibebaskan dari “Dakwaan Subsidair” dan “Dakwaan Lebih Subsidair”, maka judex facti dalam Diktum (Amar) putusannya, masalah tersebut harus dengan tegas diberikan putusan yang menyebutkan tentang pembebasan terdakwa dari “Dakwaan Subsidair” dan “Dakwaan Lebih Subsidair”. Bila hal ini tidak diindahkan maka putusan judex facti tersebut akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI, seperti halnya dalam kasus ini.  

Pengadilan Negeri di Garut: No. 7/Pid/B/1990, tanggal 16 Juni 1990.
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 254/Pid/1990/PT.Bdg, tanggal 15 September 1990. 
Mahkamah Agung RI: No. 2314.K/Pid/1990, tanggal 10 April 1991. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII No. 75 Desember 1991; hal. 41).

PENERAPAN DELIK PEMALSUAN SURAT
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat abstrak hukum sebagai berikut:
Penerapan ex pasal 263 (1) KUHPidana dimana salah satu unsurnya berbunyi: bilamana pemakaiannya dapat menimbulkan suatu kerugian, haruslah ditafsirkan bahwa timbulnya kerugian itu tidak perlu harus sudah terjadi atau betul-betul terjadi; akan tetapi sudah cukup apabila pemakaian surat yang dipalsukan itu, ada kemungkinan akan dapat menimbulkan kerugian. Dalam delict ini tidak disyaratkan keharusan timbulnya kerugian yang nyata, melainkan juga sudah cukup bila hanya kemungkinan akan timbulnya suatu kerugian.

Pengadilan Negeri di Lumajang: No. 01/Pid/B/1988, tanggal 4 Mei 1988.
Mahkamah Agung RI: No. 1778.K/Pid/1988, tanggal 20 April 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No. 86. November 1992; hal.  54).




PEMALSUAN SURAT PENGAMBILAN UANG BANK
Abstrak Hukum:
Surat Keterangan Kepala Desa yang berisikan suatu fakta kejadian yang ditanda tangani oleh Kepala Desa. Surat ini dimaksudkan untuk digunakan mengurus/menyelesaikan suatu kepentingan (hak) seseorang. Bilamana kemudian ternyata bahwa Surat Keterangan tersebut dibuat dan ditanda tangani oleh seseorang yang tidak berhak atau bukan menjabat sebagai Kepala Desa, maka Pembuatan Surat Keterangan yang demikian itu dikualifikasikan sebagai kejahatan PEMALSUAN SURAT ex pasal 263 KUHPidana.
Seseorang datang ke suatu Bank dengan maksud untuk mengambil uang simpanan milik orang lain tanpa menunjukkan buku simpanan Bank. Ia hanya menunjukkan dua surat berupa 1). Surat Keterangan Kematian pemilik uang dari Kantor Kecamatan; 2). Surat Laporan Kepolisian tentang hilangnya buku simpanan uang. Petugas Bank disamping kedua surat itu, masih minta surat tambahan berupa Surat Keterangan Ahli Waris, agar uang simpanan Bank di Bank tersebut dapat diambil. Orang ini pulang dari Bank tanpa hasil. Selanjutnya orang ini tidak pernah datang lagi ke Bank untuk meneruskan niatnya mengambil uang di Bank. Orang ini belum pernah menerima uang sepeserpun dari Bank tersebut. 
Perbuatan orang yang tidak berhasil mengambil uang dari Bank tersebut, bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan karena tidak mungkinnya orang itu memperoleh Surat Ahli Waris. Dengan fakta ini, maka perbuatan orang tersebut sudah merupakan delict “PERCOBAAN PENIPUAN” ex Pasal 378 jo 53 KUHPidana. 

Pengadilan Negeri Sinabang: No.3/Pid/B/1990, tanggal 23 Agustus 1990.
Mahkamah Agung RI: No.2006.K/Pid/1990, tanggal 10 Juni 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX, No.98. November 1993; hal. 55).

PEMALSUAN AKTA OTENTIK KASUS NOTARIS - PPAT
Abstrak Hukum:
Seseorang yang melakukan perbuatan hukum untuk/atas nama orang lain, harus disadari adanya “kuasa” dari orang lain itu. Kuasa ini, baik berbentuk tertulis ataupun secara lesan (kecuali untuk orang di bawah perwalian atau curatele dilakukan oleh walinya (curatornya).
Yang dimaksud “Kuasa Lesan” adalah pemberian kuasa secara lesan dihadapan Pejabat yang bersangkutan i.c Notaris – PPAT sendiri.
Adalah bukan wewenang Notaris untuk menilai keahliwarisan menurut Hukum adat, apalagi Notaris tersebut menganggap bahwa seseorang itu adalah anak angkat (tanpa ada bukti apapun) dan berhak untuk/atas nama ibu angkatnya, menjual tanah miliknya (tanpa ada kuasa dari pemiliknya/yang berhak).
Seseorang dihadapan Notaris PPAT menyatakan dan mengakui bahwa ia adalah anak angkat yang telah menerima kuasa lesan dari Ibu angkatnya untuk menjual tanah milik Ibu angkatnya tersebut. Notaris PPAT lalu membuat Akta jual beli tanah yang dimaksudkan oleh para pihak tersebut. Kemudian ternyata, bahwa pembuatan Akta jual beli tersebut isinya adalah tidak benar, karena:
1. Tidak ada bukti kuasa dari pemilik tanah
2. Tidak ada bukti surat/akta pengangkatan anak.
3. Tidak ada pembayaran uang sesenpun dari pihak pembeli kepada penjual tanah
4. Jal-beli tanah tersebut merupakan jual beli pura-pura.
Perbuatan Notaris PPAT yang demikian itu, dikualifikasikan sebagai kejahatan: Pemalsuan Akta Authentik.

Pengadilan Negeri Ujung Pandang: No. 134/B/1987/PN. Uj.Pdg tanggal 22 September 1988
Mahkamah Agung RI: No. 775.K/Pid/1989 tanggal 30 September 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX No. 101 Februari 1994; hal. 5)

DELICT PEMALSUAN SURAT RESTITUSI PAJAK
Abstrak hukum:
Dalam persidangan tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku yang membuat surat palsu atau memalsukan Surat Kuasa tersebut. Namun terbukti, bahwa terdakwa telah menggunakan “Surat Kuasa” tersebut beberapa kali untuk mengurus dan mengambil uang restitusi pajak yang menjadi hak perusahaan, dimana terdakwa bekerja, padahal pimpinan perusahaan tidak pernah memberi Surat Kuasa kepada terdakwa untuk maksud tersebut. Dengan Surat Kuasa ini, uang Restitusi Pajak berhasil diurus dan dicairkan serta diterima oleh terdakwa dan tidak pernah dilaporkan kepada perusahaannya. Uang tersebut ternyata dipergunakan untuk kepentingan diri pribadi terdakwa, sehingga perusahaan dirugikan karenanya;
Perbuatan terdakwa yang demikian ini harus ditafsirkan (dianggap) bahwa terdakwa sejak semula telah mengetahui bahwa Surat Kuasa tersebut adalah palsu yang pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian;
Karena itu, terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana ex pasal 263 (2) Jo. 64 KUH Pidana, yang kwalifikasinya dirumuskan demikian;
“Dengan sengaja menggunakan surat palsu, seolah-olah asli dan tidak dipalsukan, yang mendatangkan kerugian, dilakukan berturut-turut dalam perbuatan berlanjut”.

Pengadilan Negeri di Sidoarjo: No. 63/Pid/B/1990/PN. Sda, tanggal 24 April 1991.
Mahkamah Agung RI: No. 1522 K/Pid/1991 tanggal 9 Juni 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun X No. 109 Oktober 1994; hal. 5).

KASUS KREDIT CARD PALSU
     Abstrak Hukum:
Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya mendakwa bahwa Terdakwa melakukan kejahatan ex pasal 263 (2) jo pasal 65 (1) KUHP. (Concurcus Realis). Namun dalam persidangan judex facti menilai bahwa perbuatan Terdakwa yang terbukti adalah pasal 263 (2) jo Pasal 64 (Voorgezette handeling), meskipun pasal 64 KUHP ini tidak dirumuskan dalam Surat Dakwaan Jaksa.
Putusan judex facti yang mempersalahkan Terdakwa ex pasal 263 (2) jo pasal 64 KUHP tersebut adalah tidak merupakan putusan yang salah menerapkan hukum atau melanggar pasal 143 (2) huruf “b” KUHP. Alasannya karena baik pasal 64 maupun pasal 65 KUH Pidana tersebut, hanyalah merupakan penentuan maksimum pidana, in case, walaupun pasal 64 KUH Pidana tidak didakwakan, maka putusan judex facti dapat dibenarkan, karena ancaman pidananya lebih rendah, akan tetapi tetap mengenai perbuatan materiil yang didakwakan.
Terdakwa yang dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum didakwa sebagai “pelaku”, maka dalam dakwaan tidak perlu menyebutkan pasal 55 (1) KUH Pidana.
Berat ringannya pidana yang diberikan judex facti yang bersangkutan dan tidak tunduk pada Kasasi.
Masalah Recidive, yang dilafalkan dalam kalimat: …….., yang dilakukan sebelum lampau masa 5 (lima) tahun setelah di hukum melakukan pidana sejenis, “adalah tidak perlu dirumuskan didalam amar putusan”, sudah cukup disebutkan dalam pertimbangan hukumnya saja.

Pengadilan Negeri di Batam: No. 82/Pid/B/1993/PN BTM, tanggal 04 Maret 1994. 
Pengadilan Tinggi Riau di Pekanbaru: No. 11/Pid/1994/PT. R, tanggal 10 Mei 1994.
Mahkamah Agung R.I: No. 863 K/Pid/1994, tanggal 10 Agustus 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun X, No. 113, Februari 1995; hal. 55). 

KASUS PERKAWINAN DENGAN SURAT PALSU
      Abstrak Hukum:
Terdakwa yang menerima blanco kosong model Na, untuk persyaratan pernikahan, yang sudah ditanda tangani oleh Sekretaris Desa dan telah diberikan pula stempel desa, kemudian Terdakwa sendiri yang mengisi blanco tersebut dengan menulis dalam blanco: bahwa status terdakwa adalah “jejaka” pada hal sebenarnya ia adalah “duda”
Hal ini dilakukan oleh Terdakwa karena Sekretaris Desa tersebut tidak berani memenuhi keinginan Terdakwa agar dirinya dicantumkan sebagai jejaka, untuk mempermudahkan pelaksanaan pernikahannya.
   Perbuatan Terdakwa ini, dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana ex pasal 266 (1) Jo. 55 ke 1 KUHP.

Pengadilan Negeri Di Bogor: No. 387/Pid/B/1991/PN. Bgr, tanggal 6 Juli 1992.
Mahkamah Agung Republik Indonesia: No. 1360 K/Pid/1992, tanggal 18 Juli 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun X, No. 117, Juni 1995; hal. 105)

KETERANGAN PALSU DALAM AKTA NOTARIS 
      Abstrak Hukum:
Seseorang (Tamin, Saksi Pengenal Notaris) mengetahui bahwa sebidang tanah telah diperjanjikan untuk dijual oleh Kuasa Pemilik (Djoefri) kepada seseorang lain (So Peh Sui), sehingga terbit Akta Notaris Nomor 22.
Pada tahun berikutnya, kuasa pemilik (Djoefri) membuat lagi perjanjian untuk jual beli dengan orang lainnya lagi (Ny. Oei Soei Lian), sehingga terbit Akte Notaris Nomor 101.
Penerbitan Akte kedua kali ini (Akte Nomor 101) dapat terjadi karena baik kuasa pemilik (Djoefri) maupun Tamin (saksi Pengenal), dimana mereka telah mengetahui dan ikut berperan serta dalam Akta Nomor 22, ternyata kedua orang ini tidak memberikan keterangan yang tidak benar kepada Notaris yang membuat Akta 101.
Dengan adanya Akta Notaris Nomor 101 yang terbitnya belakangan, maka yang berhak atas tanah adalah yang tercantum dalam Akta Notaris Nomor 22 yang diterbitkan sebelumnya. Perbuatan kedua orang tersebut (Kuasa Penjual dan Saksi Penjual) termasuk kwalifikasi delict:
“Menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam Akta Otentik”, Ex Pasal 266 (I) Jo 55 (I) Ke I KUHP.

Pengadilan Negeri di Medan: Nomor: 418/Pid/B/1994/PN.Mdn, tanggal 28 September 1994.
Mahkamah Agung Republik Indonesia: Nomor 268.K/Pid/1995, tanggal 29 Juni 1995. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No.122, November 1995; hal. 41)

PENETAPAN AHLI WARIS BERDASARKAN KETERANGAN PALSU
      Abstrak Hukum:
Adjis mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk memperoleh “Penetapan Ahli Waris”. Dalam surat permohonan maupun dalam keterangannya dibawah sumpah, dimuka persidangan, pemohon menyatakan dimuka Hakim, bahwa pemohon satu-satunya ahli waris dari ayahnya almarhum Dulgani. Keterangan pemohon ini dikuatkan dengan dua orang saksi yang memberikan keterangan disidang dibawah sumpah. Kenyataannya, pemohon masih mempunyai ibu dan saudara-saudara kandung yang masih hidup, namun diterangkannya bahwa keduanya telah meninggal dunia. Perbuatan Pemohon itu termasuk dalam kwalifikasi kejahatan ex pasal 242 (1) KUHP Dengan sengaja memberikan keterangan palsu dibawah sumpah dalam keadaan dimana undang-undang mengikatkan akibat hukum pada keterangan itu.

Pengadilan Negeri Sekayu: No. 95/Pts.Pid/B/1992/Pn.Sekayu, tanggal 28 Juli 1992. 
Mahkamah Agung RI: Reg. No. 521.K/Pid/1993. Tgl 30 Jan 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No.123, Desember 1995; hal. 5).

MENGEDARKAN UANG RI PALSU
Abstrak Hukum:
Kwalifikasi perbuatan pidana ex pasal 245 jo 55 (1) ke 1 KUHPidana adalah: “dengan sengaja mengedarkan mata uang seperti mata uang yang asli dan tidak ditiru, yang pada waktu diterima olehnya diketahui palsu”. 

Pengadilan Negeri di Kota Baru: No. 35/Pid.B/1996/PN.KTB, tanggal 21 Oktober 1996. 
Pengadilan Tinggi Kalimantan Selatan di Banjarmasin: No. 64/Pid/1996/PT. Bjm, tanggal 18 Februari 1997. 
Mahkamah Agung RI: No. 541 K/Pid/1997, tanggal 13 Agustus 1997. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.151 April 1998; hal. 58).

PROBLEMA JURIDIS S.T.N.K. YANG ASPAL
Abstrak hukum:
Terdakwa sejak semula dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar (palsu) kepada pejabat Dinas LLAJR tentang keadaan mobilnya. Dengan mengacu pada keterangan terdakwa yang tidak benar tersebut, maka Dinas LLAJR menerbitkan “Surat Keterangan” tentang perobahan bentuk mobil untuk memperoleh STNK yang baru di Polisi. Pihak SAMSAT Kepolisian bersandar pada “Surat Keterangan” DLLAJR yang isinya tidak benar tersebut, kemudian diterbitkan STNK yang baru untuk mobil terdakwa. Isi dari STNK yang baru ini adalah juga tidak benar atau palsu. Meskipun STNK dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, karena isinya palsu, maka terdakwa yang memakai STNK baru ini perbuatannya dikwalifisir sebagai perbuatan pidana: menggunakan surat palsu, ex pasal 263 (2) KUH Pidana. 

Pengadilan Negeri di Palopo: No. 28/Pid.B/1996/PN.Plp, tamnggal 2 September 1996. 
Mahkamah Agung RI: No. 7779 K/Pid/1996, tanggal 22 Januari 1998. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIV No.160 Januari 1999; hal. 79). 

AKTA KELAHIRAN YANG PALSU
TUNTUTAN JAKSA GUGUR
Abstrak Hukum:
Hak Jaksa untuk menuntut terdakwa yang didakwa melakukan perbuatan pidana ex pasal 266 jo 277 KUH Pidana, Penuntutan menjadi gugur karena kadaluarsa berdasar pasal 78 (3) KUH Pidana, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut terjadi pada tahun 1964, sedangkan Penunutan Jaksa terhadap terdakwa dilakukan oleh Jaksa Penuntut umum pada bulan Februari 1984, sehingga melebihi/melewati waktu 12 tahun bagi kejahatan yang didakwakan kepada terdakwa tersebut. 

Pengadilan Negeri Magelang: No. 09/1984.Pid, tanggal 12 Juni 1984. 
Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang: No. 137/1984/Pid/PT. Smg, tanggal 7 Nopember 1984. 
Mahkamah Agung RI (Kasasi): No. 726 K/Pid/1985, tanggal 23 Mei 1987.
Mahkamah Agung RI (Peninjauan Kembali): No. 01.Pk/Pid/1998, tanggal 11 Januari 1999. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIV No.168 September 1999; hal. 64).

“HAKIM SALAH MENERAPKAN HUKUM PEMBUKTIAN”
Abstrak Hukum:
Dalam persidangan terbukti fakta bahwa Terdakwa II dan III bersama-sama dengan terdakwa I telah mengajukan “Surat yang dipalsukan” tersebut sebagai alat bukti dalam pemeriksaan gugatan perdata di Pengadilan Negeri No.162/Pdt/.G/1998/PN.Bdg dalam rangka untuk meneguhkan gugatannya agar gugatannya dikabulkan oleh Hakim.
Perbuatan terdakwa II dan III yang demikian itu mengandung arti, bahwa mereka berdua mempunyai keinsyafan/kesadaran yang sama dengan terdakwa I untuk menggunakan surat Palsu tersebut sebagai alat bukti dalam persidangan.
Keadaan yang demikian ini, maka pasal 55 (1) KUHPidana tentang “pernyataan atau mededadershap” dapat diterapkan terhadap terdakwa II dan III tersebut, ex pasal 263 (2) jo pasal 55 (1) KUHPidana.
Syarat utama pasal ini adalah adanya keinsyafan atau kesadaran bersama diantara mereka.
Judex facti – Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum pembuktian, karena menurut ketentuan pasal 67 KUHAP, suatu putusan bebas (Vrijspraak) menurut pasal 191 KUHAP adalah bila kesalahan terdakwa atas perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. 

Pengadilan Negeri Bandung: No. 04/Pid.B/2000/PN.Bdg, tanggal 30 Agustus 2000. 
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 372/Pid/2000/PT.Bdg, tanggal 17 Januari 2001. 
Mahkamah Agung RI: No. 805 K/Pid.2001, tanggal 29 April 2002. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVIII No.206 November 2002; hal. 48).

PENERAPAN HUKUM PASAL 266 K.U.H.PIDANA
Hakim Salah Menerapkan Hukum
Abstrak Hukum:
Unsur delik ex pasal 266 ayat (1) KUH Pidana antara lain disebutkan: menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam “akta authentik” unsur delik akta authentik ini haruslah diartikan sebagaimana yang ditentukan didalam pasal 165 H.I.R jo pasal 1868 BW. KUHPerdata: bahwa yang dimaksud dengan akta authentik adalah akta yasng dibuat oleh Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Oleh karena “Certificate of Appraisal”, tidak dibuat oleh Pejabat Umum, melainkan dibuat oleh suatu perusahaan penilai, PT. Kharisma, maka Certificate of Appraisal a’quo secara yuridis tidak dapat digolongkan sebagai akta authentik, sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 165 H.I.R. jo pasal 1868 B.W. sehingga dalam kasus diatas, meskipun “Certificate of Appraisal” mengandung isi/keterangan yang tidak benar/palsu, yang kemudian dimasukkan/dicantumkan dalam Akta Notaris Perjanjian Hutang/Kredit, maka perbuatan Terdakwa yang memasukkan/atau menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam Certificate of Appraisal, adalah tidak dapat dikualifikasikan sebagai “Perbuatan Pidana (Strafbaar feit)” ex pasal 266 ayat (1) KUHPidana. 

Pengadilan Negeri di Bandung: No. 870/Pid/B/2002/PN.Bdg, tanggal 12 September 2002. 
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 324/Pid/2002/PT. Bdg, tanggal 23 Oktober 2002. 
Mahkamah Agung RI: No. 1893-K/Pid/2002, tanggal 27 Februari 2003. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIX No. 218 November 2003; hal. 41). 


DELIK KESUSILAAN

DELICT KESUSILAAN PENERAPAN PASAL 293 KUH PIDANA.
Abstrak Hukum:
Dari putusan MA-RI tersebut diatas dapat dicatat  “Abstrak hukum” demikian:
“Rayuan Pria berupa janji untuk mengawini si gadis, sehingga sigadis bersedia digauli oleh pria ini, adalah merupakan suatu perbuatan yang dinilai telah memenuhi salah satu unsur ex pasal 293 (1) KUHPidana berupa: menyalahgunakan kelebihan (pengaruh)………. Dan seterusnya. 

Pengadilan Negeri Manado: No. 168/Pid.S/1986, tgl. 24 Juni 1986.
Mahkamah Agung RI: No. 1330.K/Pid/1986, tanggal 22 Desember 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 45. Juni 1989; hal. 63).

PROBLEMA JURIDIS PENERAPAN DELICT ZINA
      Abstrak Hukum:
Bahwa dalam menghadapi kasus “perbuatan zinah” ex pasal 284 KUHP, Hakim pertama dengan mendasarkan dirinya pada putusan MA RI No. 561.K/Pid/1982, serta putusan MA RI pada tahun berikutnya, telah diputuskan bahwa Pengaduan dan dakwaan jaksa ex pasal 284 KUHP adalah “tidak dapat diterima” dan menjadi “batal” bilamana hal tersebut tidak diikuti dengan gugat perceraian antara suami-istri yang bersangkutan. (Vide Putusan MA RI No. 1080.K/Pid/1987 tgl 21 september 1989 Varia Peradilan No. 59).
Bahwa pendirian MA tersebut diatas nampaknya sudah mulai ditinggalkan. Hal mana ternyata dalam putusannya terhadap perkara yang dihadapinya sekarang ini, yang berpendirian sebagai berikut:
- Bahw pasal 284 KUHP berlaku juga bagi seorang suami yang tidak tunduk pada pasal 27 BW.
- Untuk dapat “diindahkannya pengaduan” ex pasal 284 KUHP, tidak berarti harus terlebih dulu ada perceraian perkawinan antara suami-istri yang bersangkutan.  
Dari putusan MA RI terhadap kasus yang diselesaikan sekarang ini, kita dapat menarik “Abstrak hukum” yang intinya demikian: bahwa pengaduan suami isteri satu terhadap lainnya, karena dakwaan melakukan perbuatan zina, untuk dapat diindahkannya pengaduan tersebut, tidak harus diikuti dengan tindakan perceraian perkawinan sebelumnya.
Bahwa putusan MA RI terakir ini menunjukkan adanya perobahan pendirian terhadap kasus perzinahan yang pernah diputus pada tahun-tahun sebelumnya.

PN Waingapu No. 36/Pid/B/1987, tgl 18 September 1987. 
MA RI No. 135.K/Pid/1988, tgl 28 Februari 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 62 November 1990; hal. 75).

PENERAPAN DELICT MERUSAK KESUSILAAN UMUM
      Abstrak hukum:
Bahwa perbuatan seorang pemuda yang merayu seorang gadis disuatu “Taman Kota” pada remang-remang malam hari, dengan macam-macam rayuan khas selera laki-laki. Gadis kemudian menyerah pada pemuda tersebut untuk dicumbui dan digauli ditempat Taman Kota itu pula. Meskipun ditempat tersebut gelap, sepi dan tidak ada orang lain yang melihatnya, maka perbuatan pemuda tersebut adalah merupakan perbuatan: sengaja merusak kesusilaan (kesopanan) umum, sebagaimana yang dimaksudkan pasal 281 (1) KUHP.
Bahwa untuk menerapkan ketentuan ex pasal 281 (1) KUHP adalah tidak diperlukan bahwa perbuatan “a susila” itu, dilihat oleh orang lain, sehingga orang lain menjadi tersinggung “rasa malunya” atau menimbulkan “rasa jijiknya”. Hal yang demikian bukan merupakan unsur delict ex pasal 281 (10) KUHP.
Disamping itu, kita dapat mencatat hal yang menarik dari kasus ini yaitu: batasan dan pengertian “kesusilaan” masyarakat Indonesia dewasa ini. Hal ini nampak adanya perbedaan pendirian antara judex facti dengan Mahkamah Agung tentang batasan dan pengertian “kesusilaan” tersebut. Apakah karena pengaruh modernisasi dan globalisasi disegala bidang kehidupan, maka pengertian kesusilaan masyarakat Indonesia menjadi bisa bergeser dari pengertian tradisionalnya? hal ini perlu renungan dan kajian.

Mahkamah Militer II-10-Semarang: No. 010/K/093-M.II-10/POL/I/1989, tgl 17 Januari 1989.
Mahkamah agung RI: No. 13.K.K/MIL/1989, tgl 21 April 1990.(Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 64 Januari 1991; hal. 36).

WANITA TUNA SUSILA
Abstrak Hukum:
Tidak dapat dibenarkan adanya pendirian bahwa keterangan yang diberikan dibawah sumpah dipersidangan Pengadilan, oleh para saksi yang berprofesi sebagai Wanita Tuna Susila (WTS) itu adalah keterangan yang diragukan dan tidak diyakini akan kebenarannya oleh Hakim. Alasannya karena Wanita Tuna Susila tidak akan menyadari apa arti dari sumpah yang diucapkannya itu.
Benar atau tidaknya keterangan yang diberikan oleh saksi dibawah sumpah itu adalah tidak tergantung pada profesi orang yang bersangkutan. Mahkamah Agung dapat menerima sebagai sesuatu yang benar, keterangan dibawah sumpah yang diberikan oleh para saksi yang berprofesi sebagai Wanita Tuna Susila.
Mengenai nilai kebenaran keterangan saksi, maka Hakim harus memperhatikan ketentuan pasal 185 (6) KUHAP. 

Pengadilan Negeri Simalungun: No. 189/Pid/1985/PN. Sim, tanggal 15 Januari 1986
Mahkamah Agung RI: No. 664.K/Pid/1986, tanggal 29 November 1990.     (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 71 Agustus 1991; hal. 56)

PUTUSAN JUDEX FACTI MELANGGAR UNDANG-UNDANG KASUS KESUSILAAN
Abstrak Hukum.
Dari kasus ini nampak kepada kita, bahwa judex facti, Hakim Pertama yang putusannya dibenarkan oleh Hakim Banding, ternyata putusan tersebut dinilai Mahkamah Agung, sebagai putusan yang melanggar Undang-Undang No.8/1981, ex pasal 153 (3) (4) yang menentukan bahwa Hakim wajib (Imperatip) untuk melakukan persidangan dengan pintu tertutup, bilamana perkara yang diperiksanya itu mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan. Ketentuan ini, bila dilanggar oleh Hakim, menimbulkan akibat hukum berupa: putusan Hakim adalah batal demi hukum.
“Hakim dalam melakukan pemeriksaan persidangan yang menyangkut perkara pidana kesusilaan, maka ia wajib menyatakan persidangan dengan pinntu tertutup”. Dilanggarnya aturan hukum ini (ex pasal 153 (3) (4), Undang-Undang No.8/1981), maka berakibat putusan Hakim yang bersangkutan menjadi batal demi hukum.
Persidangan Pengadilan dengan pintu tertutup; juga wajib dilakukan oleh Hakim, bila ia memeriksa perkara pidana yang terdakwanya adalah ank-anak.

Pengadilan Negeri di Banjarnegara. No.5/Pid/B/1990/PN. Bjn, tanggal 5 Mei 1990.
Pengadilan Tinggi Jawa  Tengah di Semarang. No. 279/Pid/1990/PT. Smg, tanggal 17 Juli 1990
Mahkamah Agung RI No.1866.K/Pid/1990, tanggal 7 Februari 1991. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VII, No. 77. Februari 1992; hal.  77). 

SALAH MENERAPKAN DELICT SUSILA
Abstrak Hukum:
Seorang buruh wanita, di samping tugasnya sebagai buruh pada pabrik, ia masih dapat tugas tambahan sebagai pembantu rumah tangga majikannya. Bila buruh wanita yang masih dibawah umur ini lalu disetubuhi oleh suami majikannya pada saat buruh wanita ini sedang melakukan pekerjaan sebagai rumah tangganya, maka disini terdapat hubungan “majikan dan bawahannya”. Karena itu ex pasal 294 (1) KUHPidana dapat diterapkan terhadap kasus tersebut.

Pengadilan Negeri Kodya Blitar: No.60/Pid/B/1990/PN. Blt, tanggal 22 November 1990.
Mahkamah Agung RI: No. 384.K/Pid/1991, tanggal 28 Juni 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX, No.99. Desember 1993; hal. 5).

DELIK KESUSILAAN
Abstrak hukum:
Hubungan seks atau persetubuhan yang dilakukan berulang kali antara pria dan wanita di luar pernikahan yang sah, tidak dapat dikwalifisir sebagai perbuatan pidana perkosaan ex pasal 285 KUH Pidana.
Untuk membuktikan fakta adanya persetubuhan, adalah tidak mungkin hanya terpaku pada saksi mata saja, maka adanya bukti petunjuk, cukup memadai untuk membentuk keyakinan hakim akan terbuktinya fakta tersebut.
Persetubuhan di luar pernikahan yang sah antara pria dengan wanita yang dilakukan di tempat umum (seperti: pemandian umum, gardu jaga), maka terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana: “dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan” ex pasal 281 (1) KUH Pidana.
Kasus semacam, dapat pula didakwa perbuatan pidana adat melanggar tata susila, yang landasan hukumnya diatur dalam pasal 5 (3) sub “b” Undang-Undang darurat No. 1 tahun 1951.

Pengadilan Negeri di Bondowoso: No. 07/Pid/B/1987/PN.Bdw tanggal 2 Februari 1988.
Mahkamah Agung RI: No. 340 K/Pid/1990 tanggal 24 Februari 1994. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX No. 107 Agustus 1994; hal. 71).

DELIK KESUSILAAN
Abstrak hukum:
Hubungan seks atau persetubuhan yang dilakukan berulang kali antara pria dan wanita di luar pernikahan yang sah, tidak dapat dikwalifisir sebagai perbuatan pidana perkosaan ex pasal 285 KUH Pidana.
Untuk membuktikan fakta adanya persetubuhan, adalah tidak mungkin hanya terpaku pada saksi mata saja, maka adanya bukti petunjuk, cukup memadai untuk membentuk keyakinan hakim akan terbuktinya fakta tersebut.
Persetubuhan di luar pernikahan yang sah antara pria dengan wanita yang dilakukan di tempat umum (seperti: pemandian umum, gardu jaga), maka terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana: “dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan” ex pasal 281 (1) KUH Pidana.
Kasus semacam, dapat pula didakwa perbuatan pidana adat melanggar tata susila, yang landasan hukumnya diatur dalam pasal 5 (3) sub “b” Undang-Undang darurat No. 1 tahun 1951.

Pengadilan Negeri di Bondowoso: No. 07/Pid/B/1987/PN.Bdw tanggal 2 Februari 1988.
Mahkamah Agung RI: No. 340 K/Pid/1990 tanggal 24 Februari 1994. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX No. 107 Agustus 1994; hal. 71).

MENYERANG KEHORMATAN SUSILA KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN
      Abstrak Hukum:
Dalam menerapkan pasal 289 K.U.H.P., maka unsur delict berupa, “Kekerasan” atau “ancaman kekerasan memaksa orang lain….”, harus ditafsirkan secara luas, yaitu tidak hanya berupa kekerasan phisik (lahiriah), melainkan juga termasuk kekerasan dalam arti psychis (kejiwaan)-psychische dwang-. paksan kejiwaan tersebut, sedemikian rupa, sehingga korban menjadi tidak bebas lagi sesuai kehendaknya, yang akhirnya korban menuruti saja kemauan si pemaksa tersebut.
Judex facti dalam menghadapi Dakwan ex pasal 335 K.U.H.P., maka unsur delict dari pasal ini, pihak Jaksa Penuntut Umum harus menguraikan secara rinci, cermat dalam surat dakwaannya. Bilamana tidak, maka Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut adalah obscuur Libel. Akibat hukumnya; Judex facti harus menyatakan Dakwaan Jaksa, tidak dapat diterima oleh Pengadilan.
Sebutan kejahatan atau kwalifikasi ex pasal 289 K.U.H.P. adalah “Menyerang Kehormatan Susila”.

Pengadilan Negeri di Bale Bandung: No.08/Pid/B/1993/PN.BB, tgl. 23 September 1993. 
Mahkamah Agung RI: No.552.K/Pid/1994/tgl 28 September 1994. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No. 121, Oktober 1995; hal. 73).

DELICT KESUSILAAN PENERAPAN PASAL 293 KUHP.
Abstrak hukum:
Meskipun tiada hubungan langsung antara seorang anak majikan dengan buruh Pembantu Rumah Tangga dari orang tuanya, maka anak majikan dinyatakan bersalah melakukan Tindak Pidana Ex Pasal 293 (1) KUHP, karena Terdakwa sebagai anak dari majikan telah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan dimana saksi korban yang baru berusia 15 tahun tersebut adalah Pembantu Rumah Tangga orang tuanya Terdakwa. Dalam status yang demikian itu, maka Terdakwa sebagai anak majikan mempunyai otoritas wibawa terhadap Pembantu Rumah Tangga orang tuanya (Saksi Korban).
Kwalifikasi ex Pasal 293 (1) KUHP sebagai berikut: Dengan menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan dengan sengaja menggerakkan orang lain yang diketahuinya dibawah umur untuk membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia.

Pengadilan Negeri di Medan: No. 550 / Pid. B / 1992 / PN. Mdn, tanggal 10 Pebruari 1993.
Mahkamah Agung RI: No. 1304. K / Pid / 1993, tanggal 27 April 1995. (Majalah Varia Peradilan, Tahun XII, No. 134, November 1996; hal. 66) 

BUKAN PERKARA PIDANA
Abstrak Hukum:
Penjual tanah yang tidak mau menyerahkan tanah yang dijualnya, dengan alasan pembeli belum menyerahkan uangnya, merupakan perkara wanprestasi yang masuk ruang lingkup perdata dan bukan perkara pidana. 

Pengadilan Negeri Raba Bima: No. 48/Pid.B/1996/PN. Rbi, tanggal 24 Juli 1996. 
Pengadilan Tinggi Mataram: No. 90/Pid/1996/PT. Mtr, tanggal 18 Maret 1997.
Mahkamah Agung RI: 1263 K/Pid/1997, tanggal 19 Januari 1998. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIV No. 163 April 1999; hal. 59).

BUKAN KASUS PIDANA MELAINKAN PERKARA PERDATA
Hakim salah menerapkan hukum
Abstrak hukum:
Perbuatan terdakwa yang belum/tidak membayar hutangnya berupa 93 buah invoice atau Airway Bill, dalam rangka pesanan space cargo pengiriman ikan yang diexport melalui jasa freight forwarding PT. Translink, merupakan suatu perbuatan wanprestasi suatu perjanjian, dalam ruang lingkup hukum perdata dan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum dalam lingkup Hukum Pidana.
Keterangan hanya satu orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya, ex pasal 185 ayat (2) KUHAP. Unus testis nullus testis. 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 502/Pid.B/1999/PN.Jkt.Pst, tanggal 16 Februari 2000. 
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 66/Pid/2000/PT. DKI, tanggal 23 Mei 2000. 
Mahkamah Agung RI (Kasasi): No. 1720.K/Pid/2000, tanggal 29 November 2001.
Mahkamah Agung RI (Peninjauan Kembali): No. 42-PK/Pid/2002, tanggal 10 Oktober 2002.  (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVIII No.215 Agustus 2003; hal. 91).


Yurisprudensi Mahkamah Agung: Menerapkan Hukum Pembuktian

SALAH MENERAPKAN HUKUM PEMBUKTIAN
Abstrak Hukum:
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi telah membatalkan putusan Judex Facti – Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri – serta mengadili sendiri kasus pidana ini, yang amarnya sebagai berikut:
- Menyatakan bahwa kesalahan terdakwa, Utuh Hirang, atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah.
- Membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.
- Memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan.
- Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Putusan Mahkamah Agung tersebut di atas, didasarkan atas pertimbangan yuridis yang pada intinya adalah sebagai berikut;
- Bahwa judex facti telah menerapkan suatu peraturan hukum, tidak sebagaimana mestinya, yaitu salah menerapkan peraturan hukum pembuktian.
- Bahwa judex facti telah mempersalahkan terdakwa tentang kejahatan tersebut hanya berdasarkan atas keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang saja, tanpa diperkuat oleh alat bukti yang sah.
- Bahwa dengan demikian, maka perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa tersebut adalah tidak terbukti secara sah, dan ia, terdakwa, harus dibebaskan. 

Pengadilan Negeri Tembilahan: No. 39/Pid/B/1984, tanggal 18 Oktober 1984. 
Pengadilan Tinggi Pekan Baru: No. 37/Pid/1984, tanggal 28 Nopember 1984. 
Mahkamah Agung RI: No. 131 K/Pid/1985, tanggal 12 Maret 1985. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 18 Maret 1987; hal.78). 

MAHKAMAH AGUNG DALAM PEMERIKSAAN KASASI MENELITI DAN MENILAI PENERAPAN HUKUM PEMBUKTIAN DAN ALAT-ALAT BUKTI SERTA AD INFORMADUM.
Abstrak Hukum:
Mahkamah Agung dalam putusan Kasasitelah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa, akan tetapi menerima kasasi yang diajukan oleh Para terdakwa.
Mahkamah Agung berpendirian bahwa putusan judex facti, Pengadilan Tinggi yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri harus dibatalkan dan akan mengadili sendiri kasus ini, dengan amar putusan yang pada pokoknya sebagai berikut: 
- Menyatakan para terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Dakwaan Kesatu. Membebaskan terdakwa dari dakwaan ini.
- Menyatakan perbuatan para terdakwa seperti yang didakwakan dalam Dakwaan Kedua terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Melepaskan para terdakwa dari tuntutan hukum atas dakwaan kedua ini. 
- Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Membebankan biaya perkara kepada negara.
Putusan Mahkamah Agung diatas didasari oleh pendirian bahwa putusan judex facti adalah salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan hukum yang pada intinya sebagai berikut: 
Bahwa dalam Surat Dakwaan Kesatu, tidak dicantumkan secara tegas bahwa delict tersebut dilakukan “oleh” atau “atas nama” suatu Badan Hukum, ex pasal 15 (1) (2) UU No.7/1955, sehingga secara yuridis hal ini diartikan bahwa delict tersebut dilakukan oleh terdakwa secara pribadi, bukan oleh atau atas nama suatu Badan Hukum.
Bahwa menurut Berita Acara persidangan ternyata delict yang didakwakan itu dilakukan oleh suatu Badan Hukum (PT Gunung Gahapi).
Bahwa dengan alasan ini, para terdakwa secara pribadi tidak terbukti bersalah melakukan delict dalam Dakwaan Kesatu.
Bahwa Mahkamah Agung telah menerima bahan-bahan bukti berupa Surat-surat resmi, yang meskipun menurut Hukum Acara, bahan tersebut hanya bersifat sebagai ”ad informandum” saja, namun akan diperhatikan dalam meninjau segi Keadilan.
Bahwa Mahkamah Agung setelah meneliti seluruh berkas dengan seksama sesuai dengan ketentujan pasal 185 (6) jo pasal 188 (3) KUHAP, berpendapat:
Bahwa menurujt putusan judex facti ada dua orang saksi (Hasnul dan Wajudi) yang menjadi dasar dalam membentuk keyakinannya sehingga terdakwa dinyatakan bersalah. Pada hal para saksi ini sering menjawab hal-hal yang tidak ditanyakan, seperti menghafal suatu pengarahan sebelumnya. Dan berdasar atas Surat Pengakuan yang dilampirkan dalam Memori Kasasi, para saksi mengakui telah diberikan pengarahan dan uang oleh saksi pelapor.
Bahwa para saksi decharge dalam pertimbangan putusan yudex facti ternayta telah dikesampingkan dengan alasan mereka ada hubungan kerja dengan terdakwa. Dipihak lain putusan tersebut didasarkan atas keterangan saksi ade charge yang juga ada hubungan kerja dengan para terdakwa.
Bahwa para saksi yang lain menyatakan barang yang diimport tersebut sesuai dengan PPUD.
Bahwa judex facti dalam “pemeriksaan di tempat kejadian” dengan begitu saja cepat mengambil kesimpulan (bukan berdasar fakta), bahwa peralatan mesin dalam peti tersebut adalah barau tanpa diberikan alasan mengapa Hakim berkesimpulan demikian.
Bahwa berdasar atas “bahan-bahan ad informandum” yang sudah ada sebelum kasus ini diputus oleh Pengadilan, yaitu berupa surat Pengkopkamtib yang menyatakan bahwa kasus ini bukan kasus penyelundupan serta adanya surat dari Pengkopkambtibda Medan yang menyatakan bahwa kasus ini timbul karena persaingan ekonomi antara dua perusahaan.
Dengan pertimbangan hukum di atas ini, maka Mahkamah Agung telah memberikan putusan seperti diuraikan di atas.
Bahwa kasus penyelundupan ini oleh Pengadilan Ekonomi Medan telah diberikan putusan yang pada pokoknya bahwa para terdakwa dinyatakan bersalah secara bersama-sama mengimport barang tanpa mengindahkan ketentuan dari Ordonansi dan Reglement yang terlampir padanya, ex pasal 55 (1) KUHPidana jo pasal 26-b-RO jo UU. 7/DRT/1955 jo UU 8/DRT jo UU.21/Prp/1959. Dan kepada para terdakwa masing-masing dijatuhi pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan serta denda masing-masing Rp. 5.000.000,- subs 6 6 bulan kurungan.
Bahwa putusan Hakim Pertama ini kemudian dimohonkan banding, baik oleh Jaksa maupun oleh para Terdakwa. Dan Hakim Banding dalam putusannya telah menguatkan putusan Hakim Pertama. 

Pengadilan Negeri/Ekonomi Medan: No. 354/Ek/1983, tanggal 30 April 1984.
Pengadilan Tinggi Medan: No. 02/Pid/Ek/1984, tanggal 6 Nopember 1984.
Mahkamah Agung RI: No. 259 K/Pid/1985, tanggal 22 April 1986. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.25 Oktober 1987; hal. 18). 

SALAH MENERAPKAN HUKUM 
- Sanksi delict sconomi bersifat komulatip -
Abstrak Hukum
Pengadilan Negeri Ekonomi Tarakan:
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri/Ekonomi di Tarakan, Terdakwa telah didakwa oleh Jaksa melakukan delict ekonomi berupa penyelundupan komoditi udang ke luar negeri yang inti dakwaannya sebagai berikut:

Primair:
Bahwa Terdakwa pada tahun 1983 – 1984 di Tarakan berturut-turut dengan sengaja membujuk orang lain Hadam bin Ali untuk mengeluarkan (export) ke luar negeri Tawao-Malaysia dari wilayah RI, sejumlah komoditi export udang dengan menggunakan perahu motor, tanpa mengindahkan ketentuan hukum yang berlaku. –ex pasal 55 (1) ke 2 jo pasal 64 jo 65 KUHPidana jo pasal 26.b. RO jo UU 7/Drt/55 jo UU 8/Drt/1958 jo pasal 2 (1) Kepres 73/1967.
Subsidiair:
Bahwa terdakwa pada waktu dan tempat dalam dakwaan primair, dengan sengaja memberikan bantuan menyediakan kapal perahu motor beserta peralatannya kepada Hadam bin Ali untuk mengeluarkan (export) komoditi export udang ke luar Wilayah RI – Tawao -  Malaysia, tanpa mengindahkan ketentuan hukum yang berlaku. Ex pasal 56 (1) jo UU No. 7/Drt/1955 jo ……dan seterusnya.
Hakim Pertama setelah memeriksa perkara tersebut memberikan putusan yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ekonomi seperti dalam dakwaan primair, dengan dictum yang pokoknya sebagai berikut:
Dengan sengaja turut serta melakukan penyelundupan dengan jalan memberikan kesempatan, sarana atau menjanjikan sesuatu atau sengaja membujuk atau menganjurkan orang lain untuk melakukan perbuatan mengexport barang dengan tidak mengindahkan peraturan yang berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam Rechten Ordonantie beserta lampirannya.
Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama 3 bulan, dengan ketentuan hukuman tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali bila dikemudian hari sebelum lewat waktu 9 bulan, terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
Barang bukti kapal motor dikembalikan kepada terdakwa.
Pengadilan Tinggi Samarinda
Dalam putusan banding atas kasus ini, Hakim Tinggi memberikan putusan berupa menguatkan putusan Hakim Pertama dengan perbaikan sepanjang mengenai kwalifikasi delict dan barang bukti, dengan amar putusan yang intinya sebagai berikut:
Menyatakan terdakwa terbukti menurut hukum dan keyakinan bersalah melakukan perbuatan pidana: “dengan sengaja turut serta melakukan penyelundupan”.
Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama 3 bulan, dengan ketentuan bahwa hukuman tersebut tidak perlu dijalankan, kecuali bila dikemudian hari ada perintah hakim, karena terpidana sebelum lampau waktu satu tahun melakukan delict.
Barang bukti berupa perahu motor dirampas untuk Negara.

Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan kasasi atas permohonan Jaksa, Mahkamah Agung memberikan putusan berupa membatalkan putusan judex facti – Pengadilan Tinggi yang memperkuat putusan Pengadilan Negeri – karena dinilai putusan judex facti tersebut telah salah dalam menerapkan hukum mengenai masalah penjatuhan sanksinya.
Pendirian Mahkamah Agung ini didasari oleh pertimbangan hukum yang pada pokoknya dapat disarikan bahwa menurut pasal 1 (1) Undang-Undang No.21/Perpu/1959, telah ditentukan bahwa ancaman sanksi terhadap pelaku tindak pidana/delict ekonomi adalah bersifat komulatip yaitu berupa pidana penjara (kurungan) dan pidana denda.
Bahwa dengan demikian maka putusan judex facti yang salah dalam menerapkan hukum tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini dengan putusan dimana terdakwa dinyatakan bersalah serta dijatuhi hukuman pidana penjara dan pidana denda.
Bahwa kwalifikasi delik yang diberikan oleh Mahkamah Agung untuk kasus ini dirumuskan sebagai berikut:
“Mengeluarkan barang dari daerah pabean tanpa mengindahkan peraturan Rechten Ordonantie dan Reglemen yang terlampir padanya”. 

Pengadilan Negeri/Ekonomi Tarakan: No. 04/Pid.E/1984, tanggal 4 Februari 1985.
Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur di Samarinda: No. 03/Pid. Ek/1985.
Mahkamah Agung RI: No. 929 K/Pid/1985, tanggal 13 Oktober 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 30; Maret 1988; hal. 76).

SALAH MENERAPKAN HUKUM PEMBUKTIAN
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI dalam perkara ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Judex Facti karena putusan Judex Facti, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, dinilai sebagai putusan yang salah dalam menerapkan hukum pembuktian, yaitu berupa ketentuan hukum yang diatur dalam KUHAP:
Pasal 1 butir ke 27 KUHAP;
Bahwa keterangan saksi yang bernilai sebagai “alat bukti” dalam perkara pidana adalah keterangan saksi yang melihat sendiri, mendengar sendiri, mengalami sendiri dan menyebutkan alasan-alasannya pengetahuannya itu. Kesaksian yang tidak demikian itu merupakan testimonium de auditu. Kesaksian de auditu ini, bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan oleh Hakim. 

Pasal 168 jo pasal 169 KUHAP:
Bahwa kesaksian dari seorang saksi yang mempunyai hubungan kekeluargaan tertentu (darah/semenda) dengan terdakwa, tidak dapat didengar sebagai saksi dengan sumpah, terkecuali saksi ini menghendakinya dan kehendak ini disetujui dengan tegas oleh terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum.

Pasal 189 (3) KUHAP
Bahwa keterangan seorang terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Ini berarti bahwa keterangan seorang terdakwa yang satu tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk memberatkan terdakwa lainnya.
Bahwa karena judex facti tidak mengindahkan ketentuan diatas ini, maka Majelis Mahkamah Agung membatalkan putusan Judex Facti tersebut, selanjutnya mengadili sendiri dengan amar putusan berupa: membebaskan terdakwa ke II, pemohon kasasi, dari dakwaan jaksa. Akan tetapi bagaimana nasib terdakwa ke I (wanita Samsiah) yang tidak mohon kasasi atas putusan judex facti. Dalam putusan MA-RI tersebut, baik dalam pertimbangan maupun dalam amarnya tidak menyinggung masalah terdakwa ke I ini. 

Pengadilan Negeri Sengkang: No.27/Pid.B/1985, tgl. 5 Agustus 1985.
Pengadilan Tinggi Ujung Pandang: No. 187/Pid/1985, tgl 3 Pebruari 1986.
Mahkamah Agung RI: No.1370.K/Pid/1986, tgl 30 Juli 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 42. Maret 1989; hal. 27).

PERADILAN ANAK PUTUSAN SALAH MENERAPKAN HUKUM
Abstrak Hukum:
Menghadapi terdakwa, pelaku delict yang umurnya masih belum dewasa, bilamana Hakim akan memberikan putusan bahwa terdakwa yang masih muda belia ini akan diserahkan kepada Pemerintah untuk dididik menjadi  “Anak Negara”, maka harus dipenuhi dua persyaratan:
1. Bahwa delict yang dilakukan oleh terdakwa ini adalah termasuk dalam salah satu delict yang dicantumkan secara limitatip dalam pasal 45 KUHPidana. (delict pelanggaran).
2. Bahwa anak ini termasuk pelaku delict kembuhan (recidivist).
Bahwa dalam menghadapi kasus dimana terdakwanya masih dibawah umur (anak-anak), maka perlu diperhatikan:
1. Ketentuan dalam Pasal 45 s/d 47 KUHPidana.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.3/1959.
3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.MA/Pemb/048/1971.
4. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/1987.

Pengadilan Negeri Kabupaten Cirebon di Sumber: No. 06/Pid.B/-AN/1988, PN. Sbr, tgl. 15 September 1988.
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 227/Pid.B/AN/-1988/PT.Bdg, tanggal 28 November 1988.
Mahkamah Agung RI: No. 371.K/Pid/1989, tgl 27 April 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 50. November 1989; hal. 72).

KURANG BUKTI TERDAKWA DIHUKUM
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, dapat kita ketahui, bahwa putusan judex facti (Pengadilan Tinggi yang membenarkan dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri), telah dibatalkan, karena dinilai oleh MA-RI, sebagai putusan yang salah menerapkan “hukum pembuktian dalam perkara pidana” yaitu: Hakim telah melanggar ketentuan undang-undang, ex pasal 183 KUHAP. Mengenai  “batas minimum pembuktian” untuk dapat menyatakan terdakwa bersalah dan menghukumnya.
Bahwa mengenai “batas minimum pembuktian” yang diatur dalam pasal 183 ini, harus dikaitkan dengan pasal 184(1) KUHAP.
Dalam kasusu ini, Hakim telah menghukum terdakwa berdasar atas bukti yang tidak lengkap dan “kurang dari” batas minimum yang diwajibkan oleh undang-undang No. 8/1981 (sistim pembuktian negatief wettelijk).
Bahwa dengan demikian, maka kita dapat menarik  “Abstrak hukum” sebagai berikut:
      Bahwa pengakuan terdakwa didalam persidangan yang menyatakan bahwa ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, tanpa disertai atau didukung oleh alat bukti lainnya, maka pengakuan terdakwa ini saja, masih belum memenuhi “Asas batas minimum pembuktian” sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang (KUHAP).

Pengadilan Negeri Kotabumi-Lampung No: 018/Pid.B/1988, tanggal 7 Ju1988.
Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No. 132/Pid.B/1988, tanggal 24 Desember 1988.
Mahkamah Agung RI: No.1071.K/Pid/1989, tanggal 9 Agustus 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 54.Maret 1990; hal. 5)

BUKTI TIDAK LENGKAP TERDAKWA DIHUKUM
Abstrak Hukum:
Putusan Pengadilan Tinggi telah dibatalkan, karena judex facti melanggar undang-undang “melanggar garis batas minimum pembuktian” yang wajib diikuti oleh Hakim (imperatip) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 8/1981 ek pasal 183 jis 184 dan 185 (2), ketentuan Hukum pembuktian ini, kita kenal sebagai: sisitem pembuktian yang bersifat negative wettelijk.
Dalam kasus ini, karena pembuktian tidak mencapai batas minimum bukti, seperti yang dikehendaki oleh undang-undang, maka menurut MA-RI, judex facti seharusnya membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut.

Pengadilan Negeri Garut No. 31/Pid.B/1988, tgl 27 januari 1989.
Pengadilan Tinggi Bandung No. 109/Pid/1989, tgl 24 April 1989.
Mahkamah Agung RI No. 1485 K/Pid/1989, tgl 5 Okt 1989. (Majalah Hukum, Varia Peradilan Tahun V No. 56, Mei 1990; hal. 76).

MASALAH SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA
      Abstrak Hukum:
Bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh Undang-Undang untuk mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut, sebagai saksi dipersidangan Pengadilan Negeri, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam “satu berkas perkara” dengan terdakwa yang diberikan kesaksian (gesplit).
Teman terdakwa yang diajukan sebagai saksi terhadap terdakwa lainnya seperti disebutkan diatas dalam ilmu hukum disebut: “Saksi Mahkota” atau “kroon getuige”.
Bahwa Pengadilan Tinggi dapat dibenarkan oleh MA RI untuk mengambil alih seluruh pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri, bilamana hal tersebut dinilainya sebagai hal yang sudah benar dan tepat dalam menyelesaikan kasus perkara yang dimohon pemeriksaan banding itu.

PN Sumenep Madura No. 40/Pid/B/1988/PN.Smp. tgl 11 Maret 1989. 
Pengadilan Tinggi Jawa Timur – Surabya No. 145/Pid/1989/Pt. Sby, tgl 30 Juni 1989.
MA RI No. 1986.K/Pid/1989, tgl 21 Maret 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 62 November 1990; hal. 19)

NILAI BUKTI SAKSI
      Abstrak hukum
Bahwa keterangan saksi “dibawah sumpah” yang diberikannya dihadapan Penyidik kepolisian (karena saksi ini nantinya tidak akan dapat hadir disidang pengadilan) dan oleh penyidik keterangan saksi dibawah sumpah itu, kemudian dituangkan dalam “Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan”.
Bilamana keterangan saksi ini dibacakan didalam persidangan pengadilan, maka keterangan saksi tersebut “disamakan nilainya” dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diberikan didalam persidangan pengadilan. Karena itu adalah sah sebagai alat bukti menurut UU (KUHAP).

Mahkamah Agung RI No. 661.K/Pid/1988, tgl 19 juli 1990. 
Pengadilan Negeri di Baturaja Sumatera Selatan No. 190/Pid/B/1987/PN.BTA, tgl 30 desember 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 63 Desember 1990; hal. 115)

PUTUSAN HAKIM PIDANA SALAH MENERAPKAN HUKUM
Abstrak Hukum:
Dalam suatu perkara pidana yang terdakwanya terdiri dari orang dewasa dan anak, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam melakukan persidangan untuk memeriksa dan mengadili perkara ini harus dilakukan dalam persidangan secara tertutup, karena salah seorang terdakwanya masih berusia 17 tahun. Aturan ini sesuai dengan ketentuan pasal 153 ayat 3 dan 4 KUHAP jo pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No.3 tahun 1997. Hakim yang melanggar ketentuan ini, putusannya batal demi hukum dan Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Negeri memeriksa terdakwa tersebut dalam persidangan tertutup. Periksa Jurisprudensi Mahkamah Agung No. 84. K/Pid/1991. 

Pengadilan Negeri Garut: No. 160/Pid.B/1998/PN.Grt, tanggal 2 Juli 1998. 
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 151/Pid/1998/PT.Bdg, tanggal 3 September 1998. 
Mahkamah Agung RI: No. 1558 K/Pid/1998, tanggal 22 Januari 1999. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XV No.173/2000; hal. 58).