Translate

Jumat, 01 November 2013

HUKUM PERDATA

JUAL BELI TANAH HAK MEMBELI KEMBALI
Abstrak Hukum:
Bahwa Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 adalah berdasar pada Hukum Adat. Dalam sisitim Hukum Adat ini tidak dikenal adanya lembaga hukum berupa : Jual Tanah dengan Hak Membeli Kembali. Karena itu setiap perjanjian yang menyangkut peralihan hak atas tanah yang diberikan bentuk hubungan hukum berupa : Perjanjian Jual Tanah/Rumah dengan Hak Membeli Kembali , adalah bertentangan dengan sistim Hukum Agraria Nasional, yaitu : Undang-Undang Pokok Agraria beserta Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaanya. Oleh karena bertentangan dengan sistim hukum Agraria nasional, maka semua perjanjian yang demikian itu adalah batal demi hukum.
Dalam menghadapi kasus perjanjian jual tanah dengan hak membeli kembali, nampaknya Mahkamah agung tetap konsisiten pada pendirian sebagai mana yang diuraikan diatas tadi. Karena itu terhadap masalah tersebut dapat dikatakan telah terbentuk “standard jurisprudensi”.

Pengadilan Negeri di Surabaya No. 306/1979/Pdt, tgl 4 Desember 1979.
Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya, No.372/1981/Pdt, tanggal 12 Agustus 1981.
Mahkamah Agung RI (Kasasi) No. 3953.K/Sip/1981, tgl 7 Januari 1984.
Mahkamah Agung RI (Peninjauan Kembali) No. 381. PK/Pdt/1986 tgl 20 Maret 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 55 April 1990).

KASUS ARCHITECT FEE
Abstrak Hukum :
Dalam perkara ini kita melihat bahwa majelis MA-RI dalam pemeriksaan kasasi telah melakukan penelitian terhadap materi surat-surat bukti yang diajukan oleh penggugat dalam persidangan. Penelitian mana ternyata menghasilkan kesimpulan yang berbeda antara majelis MA-RI dengan judex facti.
Menurut pernilaian majelis MA-RI dari surat-surat bukti tersebut,tidak dapat diketahui rincian uang yang menjadi hak Penggugat. Pernilaian mana berbeda dengan judex facti. Karena Penggugat tidak dapat membuktikan rincian besarnya uang yang menjadi haknya (seperti yang dituntut dalam surat gugatannya), maka gugatan tersebut telah ditolak oleh majelis MA-RI.
Abstrak Hukum yang dapat digali dari putusan MA-RI : seseorang yang menuntut suatu hak untuk pembayaran sejumlah uang atas hasil pekerjaanya kepada pihak lain, maka penggugat ini, harus dapat membuktikan rincian besarnya uang yang menjadi haknya tersebut, sehingga pengadilan dapat mengetahui dengan jelas, bagaimana perhitungannya sampai pada jumlah uang yang dituntutnya itu. Tanpa hal ini, penggugat dinilai tidak dapat membuktikan haknya.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 285/Pdt/G/85 tgl 31 Okt. 1985.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.478/Pdt/1986, tgl 29 Sept. 1986.
Mahkamah Agung RI No. 817.K/Pdt/1987, tgl 21 Sept 1989 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 55 April 1990)

JUDGE MADE LAW HUKUM WARIS
      Abstrak Hukum :
Bahwa Mahkamah Agung RI membenarkan pertimbangan dan putusan Hakim Pengadilan Negeri yang berpendirian bahwa ketentuan hukum kewarisan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek yang berlaku bagi golongan keturunan Cina, dapat dikesampingkan dan tidak diberlakukan, bilamana pewaris (golongan Cina) tersebut dalam kehidupannya sehari-hari telah membaur ke dalam golongan Indonesia pribumi dengan cara hidup bersama dengan wanita pribumi, melalui nikah atau tidak.
Bahwa Mahkamah Agung dalam putusannya juga membenarkan pendirian judex facti yang telah menciptakan “kaidah hukum” yang didasarkan atas “asas kepatutan “ dan “ asas keadilan “ yang menyatakan : bahwa anak luar kawin yang dilahirkan dari seorang wanita Indonesia pribumi dari pria keturunan Cina, maka meskipun anak ini tidak diakui) maka anak luar kawin ini adalah ahli waris dari pria yang membenihkannya dan berhak atas bagian dari harta peninggalan si pria tersebut.
Bahwa bilamana kasusu tersebut akan diselesaikan menurut ketentuan kewarisan menurut Burgerlijk Wetboek (BW) maka anak luar kawin yang tidak diakui oleh pria yang membenihkannya (almarhum Thio Kim Ho), status hukum anak luar kawin ini adalah bukan merupakan ahli waris almarhum Thio Kim Ho dan anak ini tidak berhak untuk memperoleh bagian harta warisan dari Thio Kim Ho Tersebut. Anak luar kawin ini hanya bisa memperoleh “nafkah hidup” dengan status sebagai kreditur terhadap harta peninggalan Thio Kim Ho almarhum (ex pasal 867 Jo 868 J0 869 Burgerlijk Wetboek).

Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 01/Pdt/G/1985, tgl 9 Mei 1985.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, No. 359/Pdt/1985/PT/DKI, tgl 31 Okt 1985.
Mahkamah Agung RI No. 1545 K/Pdt/1986, tgl 18 Okt 1989 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 55 April 1990).

KEABSAHAN JUAL BELI TANAH
      Abstrak Hukum
Pengadilan Negeri, menyatakan : bahwa transaksi jual-beli tanah adalah sah menurut hukum, bila transaksi ini dilakukan dihadapan P.P.A.T ex pasal 19 P.P.10/1961. Jo UUPA No 5 /1960.
Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa sahnya jual-beli tanah tidak selalu harus didasarkan ex pasal 19 P.P.10/1961. Bilamana transaksi ini telah memenuhi syarat dalam Hukum Adat : Kontan (tunai) dan terang (disaksikan Kepala desa), maka transaksi ini harus dinilai sah menurut hukum.
Mahkamh Agung dalam pertimbangan hukum yang singkat ini, kita hanya dapat mengambil kesimpulan, yang bila tidak salah  demikian : bahwa penyelesaian kasus ini, bukan berpangkal pada ex pasal 19 PP 10/1961 seperti pendirian judex facti, melainkan MA-RI nampaknya berpijak pada alasan lain yaitu : dasar hukum pemilikan tanah sengketa oleh pihak penjualnya. Karena tanah sengketa terbukti bukan milik penjual, maka transaksi jual-beli tanah ini adalah batal demi hukum. Dan tanah tersebut harus dikembalikan oleh pembeli (tergugat Asal I) kepada pihak pemiliknya (Penggugat) tanpa adanya ganti rugi lagi.

Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang No. 09/Pdt/G/1984, tgl  3 November 1984.
Pengadilan Tinggi Sulawesi selatan No.167/Pdt/1986/PTUJ. Pdg, tgl 8 Juli 1986.
Mahkamah Agung RI No. 1132.K/Pdt/1987, tgl 23 Desember 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 56 Mei 1990).

KREDIT MACET PERANAN BADAN URUSAN PIUTANG NEGARA
      Abstrak hukum :
MA –RI sependapat dengan Hakim Pertama bahwa terhadap kasus, dimana para pihaknya orang Indonesia Bumiputera, diterapkan ketentuan Hukum Perdata Eropa (Bugerlijk Wetboek).
Rumah yang masih dikuasai oleh Kepala Daerah, dengan diterbitkannya S.I.P oleh Kantor Urusan Perumahan (K.U.P Pemda DKI Jakarta), maka tercipta hubungan hukum sewa-menyewa rumah yang bersangkutan, antara penghuni sebagai penyewa dengan pemilik rumah. Penghuni rumah tersebut adalah Penyewa rumah yang sah.(P.P No. 49/1963 Jo P.P 55/1981).
Rumah yang dihuni oleh orang yang memiliki SIP dari KUP (dimana hubungan hukum sewa-menyewa tercipta karenanya), maka bilamana rumah ini dijual lelang oleh BUPN dan jatuh pada pemilik yang baru (pemenang lelang), maka berlaku asas hukum perdata dalam pasal 1576 B>W yaitu : “koop breekt geen huur”. Hubungan sewa menyewa rumah tidak terputus, karena adanya jual-beli rumah (melalui lelang umum.)
Perlu ditambahkan disini sebagai catatan bahwa eksekusi riil pengosongan rumah yang dibeli melalui kantor lelang Negara, hanya dimungkinkan bilamana rumah yang dilelang tersebut, penghuninya adalah orang yang tereksekusi sendiri (debitur). Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat 11 HIR atau pasal 218 (2) RBG. Yang intinya demikian : jika pihak tereksekusi (orang yang barangnya /rumahnya dijual lelang) enggan mengosongkan rumah tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan perintah pengosongan ) ketentuan yang demikian ini tidak berlaku bilamana penghuni rumah yang dilelang tersebut adalah pihak ketiga (penyewa rumah), dasarnya adalah pasal 1576 BW. Prosedur yang harus ditempuh yaitu pembeli rumah melalui lelang ini, harus mengajukan gugatan perdata terhadap penghuni/penyewa tersebut di Pengadilan.
Menurut pasal 4 dan 5 Undang-Undang 49/Prp/1960 : BUPN adalah badan pemerintah yang diberi wewenang untuk mengurusi dan menyelesaikan setiap hutang terhadap Negara. Atas kuasa undang-undang BUPN berwenang memberi peringatan melakukan sita eksekusi dan menjual barang melalui lelang Negara, guna memperoleh pembayaran kembali atas piutangnya Negara terhadap debitur yang wanprestasi (kredit macet). Tindakan BUPN yang demikian itu, diatur hukum acarnya dalam Undang-undang 19/1959- Surat Paksa – yang mirip dalam pasal 195 HIR (eksekusi).

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 442/Pdt/G/1984, tgl 27 Maret 1985.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 29/Pdt/1986/PT DKI, tgl 20 Februari 1986.
Mahkamah Agung RI No. 2939.K/Pdt/1987, tgl 16 Nov. 1989.(Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 57 Juni 1990).

SENGKETA PEMBEBASAN TANAH UNTUK PROYEK PEMBANGUNAN
      Abstrak hukum :
Bahwa seseorang yang memiliki tanah pertanian yang melebihi batas luas maximum teneh yang ditentukan oleh Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960 beserta Peraturan Pelaksanaanya, maka tanah kelebihannya jatuh menjadi tanah Negara.
Bahwa karena “tanah kelebihan” ini sudah menjadi tanah Negara dan dibagikan kepada para petani penggarap, maka pembebasan tanah ini untuk kepentingan proyek pembangunan, ganti rugi uangnya bukan lagi diberikan kepada pemilik tanah semula, melainkan diberikan kepada para petani penggarap atas tanah tersebut.
Bahwa kasus sengketa tanah untuk proyek pembangunan ini, diselesaikan oleh MA-RI dengan bersandar pada UUPA No.5/1960 Jo UU No.56/Prp/1960 dan S.K Menteri Agraria yang mengatur masalah Landreform. (S.K. No.978/Ka/1960). – Menurut Peraturan Premarital No.224/1961 ditentukan : bahwa atas tanah kelebihan yang harus diserahkan kepada Negara, maka kepada bekas pemilik akan diberikan uang ganti rugi oleh Negara.Dalam kasus ini belum nampak adanya pelaksanaan P.P. 224/61 tersebut.

Pengadilan Negeri Lhokseumawe N0. 18/Perd.G/1986, tgl 23 Mei 1987.
Pengadilan Tinggi Banda Aceh No. 191/Perd/1987, tgl 16 februari 1988
Mahkamah Agung RI No. 1967 K/Pdt/1988, tgl 28 Okt 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 57 Juni 1990).

HUKUM WARIS JANDA
      Abstrak hukum :
Kasus ini merupakan sengketa mengenai masalah “Harta Asal” antara janda dan anak-anak pewaris.
Mahkamah Agung menolak pendirian Pengadilan Tinggi dan sebaliknya dapat menerima pendirian Pengadilan Negeri yang menyelesaikan kasus ini menurut “Hukum yang hidup” dimana sengketa ini terjadi di Jawa Timur. Hukum yang hidup dikalangan rakyat Jawa Timur ini adalah hukum adapt setempat.
Seorang suami yang meninggal dunia maka jandanya dan anak-anak kandungnya adalah ahliwarisnya. Mereka ini (janda dan anak) sama-sama berhak atas bagian dari “harta Asal” almarhum. Besarnya bagian hak janda terhadap “harta Asal” suaminya adalah sebesar 1/8 dari seluruh Harta Asal, karena janda ini mempunyai anak.
Dalam putusan Hakim Pengadilan Negeri yang diambil alih oleh Mahkamah Agung tersebut diatas, ada satu hal yang masih belum jelas yaitu tidak dipertimbangkannya angka 1/8 bagian sebagai ukuran bagian hak janda atas harta peninggalan tersebut. Darimana angka 1/8 tersebut diketemukan ?

Pengadilan Negeri Kabupaten Probolinggo di Kraksaan Jatim, No. 15/Pdt/G/1986, tgl 20 Nov tahun 1986.
Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya No. 242/Pdt/1987, tgl 25 Mei 1987.
Mahkamah Agung RI No. 357.K/Pdt/1988, tgl 31 Januari 1990 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 57 Juni 1990).

ANIAYA MATI TAHANAN DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ONRECHTMATIGE OVERHEIDS DAAD
      Abstrak hukum :
Mahkamah Agung RI menilai bahwa Premarital RI. Cq. Departemen Kehakiman RI., telah melakukan : Perbuatan Melawan Hukum atau Onrechmatige overheidsdaad, ex pasal 1367 BW. Dengan alasan : bahwa Premarital RI cq Departemen Kehakiman,secara yuridis harus turut bertanggung jawab atas perbuatan penganiayaan terhadap tahanan yang ditempatkan di Rumah Tahanan Negara, (Lembaga Pemasyarakatan), yang dilakukan oleh para pegawai Aparat Bawahannya di lingkungan Departemen Kehakiman. Tanggung jawab juridis ini timbul karena perbuatan penganiayaan itu dilakukan oleh para pegawai dan didalam gedung Rumah Tahanan Negara. Karena itu maka kerugian yang tinbul akibat dari perbuatan para pegawai/aparat bawahannya itu, Premarital (Departemen Kehakiman) sebagai pihak atasan, wajib turut serta membayar uang ganti kerugian kepada korban atau ahliwarisnya.
Dalam menentukan berapa besar kecil uang ganti kerugian tersebut karena tiadanya surat bukti yang memperincinya, maka besarnya ganti kerugian ini ditentukan sendiri oleh Hakim, dengan berpedoman pada ukuran-asas patut-asas laras-asas adil-, sehingga dapat diketemukan suatu jumlah uang tertentu yang dipandang tepat diberikan kepada korban atau ahliwarisnya.

Pengadilan Negeri di Binjai No.16/Perd/1983, tgl 16 Januari 1983
Pengadilan Tinggi di Medan No.168/Perd/184, tgl 24 Mei 1984
Mahkamah Agung RI : No.2826.K/Pdt/1984, tgl 16 Nov 1989. 
     (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 58 Juli 1990).

Status Hukum Kodam Dalam Gugatan Perdata ( Sengketa tanah shopping centre).
Abstrak Hukum
Dalam suatu gugatan perdata, maka KODAM (Komando Daerah militer) secara yuridis adalah tidak berwenang untuk menjadi subject atau partai dalam gugatan tersebut. Mengenai masalah ini yang berwenang untuk menjadi partai adalah Negara Republik Indonesia yang diwakili oleh Menteri Departemen Pertahanan dan Keamanan RI.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak (dibawah tangan – bukan akta notaries), yang berisikan para pihak saling mengikatkan diri, akan melakukan jual beli tanah sengketa, merupakan suatu perjanjian yang berlakunya seperti undang-undang bagi para pihaknya. Karena itu bila salah satu pihak ingkar janji, maka pihak lainnya berhak untuk menuntut :
1. pelaksanaan berlakunya perjanjian tersebut, atau
2. pembatalan perjanjian tersebut dengan menerima ganti rugi uang, (Pasal 1338 jo 1266 jo 1267 BW).
Mengenai gugat interventie, maka hukum Acaranya tidak terdapat dalam H.I.R melainkan dalam Rv.
MA RI No. 1523.K/Sip/1982, tgl 28 Feb 1983.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 159/1975, tgl 19 Mei 1976.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, No. 212/1971/G, tgl 20 Januari 1972.
     (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 59 Agustus 1990).

PEMBATALAN AKTA NOTARIS
      Abstrak Hukum
Bahwa Hakim dalam menyusun pertimbangan suatu putusan perdata adalah : tidak boleh menyimpang dari dasar gugatan yang didalilkan oleh penggugat dalam surat gugatannya (fundamentumpetendi).
Fokus pertimbangan Hakim dalam kasus ini harus tetap bertumpu pada dalil gugatan penggugat dengan mengupayakan : apakah terbukti ataukah tidak terbukti, dalil gugatan penggugat tersebut. Pertimbangan putusan hakim perdata yang tidak berdasar pada dalil gugatan penggugat, dinilai sebagai putusan judex facti yang “onvoldoendegemotiveerd” dan merupakan dasar bagi MA untuk membatalkannya.
MA RI No. 2827.K/Pdt/1987 tgl 24 Feb 1988.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 16/Pdt/1987, tgl 21 Feb 1987.
PN Jakarta Barat No. 102/Pdt/G/1986, tgl 13 Nov 1986.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 59 Agustus 1990).

PENJUALAN BARANG AGUNAN LOAN AGREEMENT – MASALAH GROSSE ACTA-
Abstrak Hukum :
Bahwa Akta Notaris yang berisikan Loan Agreement. Akta Notaris berisikan Acknowledgement of Indebtedness and Security Agreement. Akta Notaris pemberian kuasa kepada bank untuk memasang Hipotik.
Akta Notaris pemberian kuasa kepada bank untuk menjual barang agunan dan Akta Pernyataan Debitur. Semua akta Notaris tersebut diatas adalah tidak dapat dipergunakan oleh pihak bank (kreditur) untuk mengajukan permohonan eksekusi menjual lelang barang agunan, karena adanya wanprestasi dari nasabah bank ybs (debitur). Semua akta Notaris tersebut adalah bukan merupakan ‘ gross acte’. Karena itu, akta tersebut tidak dapat dimohonkan eksekusi kepada PN berdasar atas Pasal 224 H.I.R.
Pihak bank selaku kreditur yang hanya memiliki akta-akta tersebut diatas, bila debitur wanprestasi, maka bank harus mengajukan “gugatan perdata” terhadap nasabah tersebut di PN. Bukan mengajukan permohonan eksekusi ex pasal 224 H.I.R seperti dalam kasus ini.
Masalahnya menjadi lain, bilamana bank selaku kreditur, kemudian memiliki “grosse acta hipotik” yang diterbitkan dengan menggunakan “Kuasa Memasang Hipotik” yang dimilikinya untuk berbuat demikian itu. Dengan adanya “grosse acta hipotik” ini, maka pihak Bank dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk eksekusi penjualan lelang tanah yang manjadi agunan kredit tsb, ex pasal 224 H.I.R.
Bahwa bantahan/verzet terhadap eksekusi penjualan lelang barang agunan (atas permintaan bank), maka pihak pembantah dapat dibenarkan untuk mengajukan bantahan tsb di Pengadilan Negeri yang akan melaksanakan eksekusi dimana barang tetap terletak (dalam kasus ini di Cianjur), meskipun PN Cianjur ini hanya memberikan bantuan kepada PN lain (Jakarta) yang menerbitkan putusan eksekusi.
MA RI No. 3992.K/Pdt/1986, tgl 25 Sep 1989.
PN Cianjur, N0. 01/Pdt/BTH/1985, tgl 19 AGUSTUS 1985.
PN Jkt Pusat, No. 093/1983/Eksekusi tgl 12 Nov 1984.
       (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 59 Agustus 1990).

SENGKETA TANAH PALANG MERAH INDONESIA
      Abstrak Hukum :
      Dari Putusan dalam tingkat Kasasi
Putusan Hakim yang menerapkan Hukum Perdata Eropa (BW) ex pasal 1320 jo 1471) untuk menilai sah tidaknya transaksi jual beli tanah adalah suatu putusan yang salah menerapkan hokum.
Hakim seharusnya menerapkan hokum Adat tanah yang menjadi dasar dari UU Pokok Agraria No. 5/1960 jo P.P.10/1960.

Dari Putusan dalam tingkat Peninjauan Kembali
Pembeli tanah, yang kemudian diatas tanah tersebut dibangun sebuah gedung oleh pihak ketiga. Gugatan perdata yang diajukan oleh pembeli untuk menuntut ganti rugi harga tanah tersebut, maka pihak pembeli harus menarik pihak penjual sebagai pihak dalam proses gugatan perdata tersebut. Karena itu maka gugatan perdata yang tidak menarik pihak penjual sebagai pihak dalam perkara ini, gugatanny aharus dinyatakan sebagai : “gugatan yang tidak dapat diterima”.
Transaksi jual-beli tanah yang tidak memperoleh izin dari pihak instansi yang berwenang memberi izinnya adalah batal.
MA RI (Putusan PK) No. 318.P.K/Pdt/1988, tgl 21 Sep 1989.
MA RI (Putusan Kasasi) No. 2373.K/Pdt/1986, tgl 18 Februari 1988.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 101/Pdt/1986/P.T, tgl 19 Februari 1986.
PN Jakarta Selatan No. 126/Pdt/G/1985, tgl 31 Oktober 1985.
(Majalah Hukum Varia Peradilan No. 60 September 1990)

AKTA KUASA MUTLAK PERPINDAHAN HAK TANAH (Kasus PT. Astra International INC)
Abstrak Hukum :
Menurut pendirian Judex facti (Pengadilan Tinggi) : Peralihan hak atas tanah dalam kasus ini, ternyata tidak melalui procedure : Pembuatan Akta P.P.A.T, ex pasal 19 PP No. 10/1961, yang dinilai imperatip. Karena hanya dilakukan dengan cara “Akta Kuasa Mutlak” saja maka “penerima kuasa” bukan sebagai pemilik, yang memiliki tanah yang bersangkutan, sehingga ia tidak dapat menuntut agar tanah tersebut diserahkan kepadanya.
Menurut pendirian MA RI : merupakan perbuatan yang sah menurut hukum, bahwa seorang pemilik yang mengalihkan haknya/kekuasaannya atas tanah yang dimilikinya itu kepada pihak lain, melalui cara pembuatan “Akta Kuasa Mutlak” dimana pihak “penerima kuasa” menjadi berhak dan berkuasa penuh atas tanah tersebut, seperti halnya “seorang pemilik” dan ia dapat menuntut pihak ketiga yang dinilai mengganggu haknya itu. Dasar pemikiran ini menjadi landasan menyelesaikan kasus ini.
Pembuatan “Akta Kuasa Mutlak” seperti yang terjadi dalam kasus ini mengandung materi, bahwa pemilik tanah selaku “Pemberi Kuasa” memberi kuasa penuh kepada “Penerima Kuasa” untuk menguasai dalam arti luas, yaitu mengasingkan (Vervreenden) dan/atau melakukan perbuatan hokum macam apapun juga terhadap tanah yang bersangkutan, seperti halnya seorang yang berstatus sebagai “Pemilik Tanah”. Kuasa mutlak ini tidak dapat dicabut kembali, sehingga merupakan penyimpangan ex pasal 1813 BW.
Pemerintah dengan alasan untuk menghindari akibat negatif telah menerbitkan Peraturan yang berisi larangan pembuatan/pengesahan “Akta Kuasa Mutlak” yang dituangkan dalam Instruksi Menteri dalam Negeri No. 14/1982 tanggal 6 Maret 1982.
- Surat Dirjen Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri RI No. 594/493/AGR, tgl 31 Maret 1982 yang intinya melarang pengesahan “Akta Kuasa Mutlak” yang menyangkut tanah dengan beberapa pengecualian seperti antara lain :
- Kuasa dalam pasal 3 Akta Jual Beli P.P.A.T.
- Kuasa memasang hipotik.
Dalam putusan terhadap kasus ini, tidak nampak dipertimbangkan bagaimana keterkaitan antara “Akta Kuasa Mutlak” yang diakui sah dalam putusan tsb dengan Peraturan tentang Larangan Pemerintah tersebut diatas.
Mahkamah Agung RI 
- No. 3176 K/Pdt/1988, tgl 19 April 1990 (Kasus PT. ASTRA INTERNATIONAL INC)
- No. 3172 K/Pdt/1988, tgl 19 April 1990 (Kasus PT. UNITED TRACTOR)
Pengadilan Tinggi DKI Jkt No. 527/Pdt/1987, tgl 22 Oktober 1987.
PN Jakarta Pusat No. 439/Pdt/G/1984, tgl 28 Maret 1985.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 61 Oktober 1990)

Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 61 Oktober 1990)

USAHA BANK GELAP – RENTENIR
      Abstrak Hukum :
Bahwa seorang yang telah memberikan pinjaman uang kepada sejumlah orang (masyarakat) dengan cara : Hutang pokok dikembalikan dengan kewajiban membayar bunga serta dimintai pula jaminan barang untuk pinjaman uang tersebut, baik berupa barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak, maka kegiatan yang demikian ini dapat dikwalifisir sebagai usaha menghimpun dana dan menyalurkannya kepada orang lain (masyarakat). Usaha semacam ini adalah sama atau menyerupai usaha suatu “Bank” yang harus memperoleh izin dari Pemerintah cq menteri Keuangan RI.
Bilamana usaha tersebut tidak atau belum ada izin dari Yang Berwajib maka usaha itu tergolong sebagai suatu perbuatan pidana (delict kejahatan) yang harus dipidana, ex pasal 38 UU No. 14/1967.
Bahwa Akta Notaris yang berisi “Perjanjian Jual Beli Tanah dengan Hak Membeli Kembali” ex- pasal 1519 BW yang dipergunakan sebagai tutup atau kamuflage atau schijn handeling, terhadap Perjanjian yang sebenarnya yaitu Hutang Piutang uang dengan jaminan tanah, adalah merupakan suatu perjanjian yang sudah tidak diatur lagi dalam sistem Hukum Pertanahan Nasional (UU No. 5/1960), sehingga perjanjian yang demikian adalah batal demi hukum.
Bahwa perbuatan terdakwa ini juga dapat dikategorikan sebagai “Praktek Rentenir” (Riba) yang melanggar Geldschieter Ordonanntie Stb 1938/523 dan Woeker Ordonanntie Stb 1938/524.
Bahwa putusan MA RI terhadap kasus ini sudah merupakan suatu “Jurisprudensi tetap” (Periksa putusan MA-RI No. 316.K/Pid/1983 dalam Varia Peradilan No. 60).
Bahwa putusan judex facti (Pengadilan Tinggi) yang didalamnya tidak memuat :
1. Surat Dakwaan Jaksa
2. Surat Requisitoir Jaksa, merupakan suatu putusan Hakim yang melanggar Hukum Acara Pidana, ex pasal 197 (1) huruf “c” dan “e” UU No. 8/1981, sehingga putusan Hakim ini tidak bernilai dan adalah batal demi hukum.
MA RI No. 924. K/Pid/1987, tanggal 6 November 1989.
Pengadilan Tinggi Denpasar No. 103/Pid/B/1986, tgl 6 November 1986.
PN Denpasar No. 55/Pid/B/1985, tgl 15 maret 1986.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 61 Oktober 1990)

BANK JUAL TANAH AGUNAN TANPA LELANG
      Abstrak Hukum :
Bahwa Cessie- penyerahan dan pemindahan hak atas tanah yang dilaksanakan pada saat yang bersamaan dengan ditanda-tanganinya suatu ‘Perjanjian Kredit bank”, maka hakekat status tanah tersebut, hanyalah sebagai jaminan (agunan) atas adanya Perjanjian Hutang Piutang tersebut. Dengan demikian maka adanya “Akta Cessie” yang mengiringi ‘perjanjian kredit” itu, hanyalah merupakan suatu Perbuatan semu atau Schijnhandeling.
Karena ternyata Bank (Kreditur) tidak memperoleh “Kuasa Khusus” dari yang berhak untuk dapat memindahkan tanah tersebut sebagai tindak lanjut dari perjanjian kredit itu, maka Bank menjadi tidak berhak untuk melakukan penyerahan dan pemindahan hak atas tanah tersebut (cessie) kepada pihak ketiga.
Akibatnya perbuatan Bank dan Direktur bank tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Dan selanjutnya “Akta Cessie” yang dibuat oleh notaries menjadi batal demi hokum. Selanjutnya pihak ketiga harus mengembalikan surat tanah kepada bank untuk diserahkan kepada debitur yang telah melunasi hutangnya.
Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 021/1981/G/ tgl 3 maret 1982.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 300/1982/PT.Pdt. tgl 15 Desember 1982.
Mahkamah Agung RI No. 1726.k/Pdt/1986, tgl 31 Mei 1990.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 65 Februari 1991)

NOTARIS GUGAT PEMERINTAH
      Abstrak Hukum :
Seorang Notaris dalam menyelesaikan tugas kenotariatannya ia dibantu oleh sejumlah tenaga administrasi. Tenaga administrasi ini bukan tergolong sebagai pegawai negeri, melainkan tenaga pekerja swasta.
Hubungan antara notaris dengan tenaga administrasi ini ternyata tidak diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris. Hubungan antara notaris dengan para tenaga administrasi ini, merupakan suatu ‘hubungan kerja” antara atasan dengan bawahan yang statusnya adalah sama dengan hubungan majikan dengan buruh yang menerima upah.
Oleh karena sifat hubungan itu merupakan suatu hubungan kerja (perburuhan), maka bilamana ada sengketa tentang pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh notaris terhadap tenaga administrasinya, maka notaris sebagai pengusaha wajib mengikuti prosedur PHK yang diatur dalam UU No. 12/1964.
Pengadilan Negeri tidak berwenang menerima memeriksa dan mengadili sengketa PHK.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 508/1983/G, tgl 12 september 1982.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta no. 319/Pdt/1985, tgl 13 Agustus 1985.
MA RI No. 296.K/Pdt/1986, tgl 26 Juni 1990.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 65 Februari 1991)

AKTA HIBAH WASIAT BATAL DEMI HUKUM
      Abstrak Hukum :
Sepasang suami-istri yang semasa perkawinannya mempunyai harta bersama, akan tetapi mereka tidak mempunyai keturunan anak kandung seorang pun, maka perbuatan suami (semasa hidupnya) yang dilakukannya tanpa persetujuan istrinya berupa menghibah wasiat-kan seluruh harta bersama (harta gono-gini) tersebut kepada pihak ketiga adalah merupakan perbuatan melawan hukum. Akibatnya, Akta Hibah yang dibuat oleh Notaris tentang hal tersebut adalah batal menurut hukum.
Janda tanpa anak kandung yang demikian itu adalah ahliwaris dan berhak atas seluruh harta bersama tersebut (incasu rumah sengketa).
PN di Surabaya No. 114/1982/Pdt.G, tgl 7 Agustus 1982.
PT Jawa Timur di Surabaya, No. 443/1983-Perdata, tgl 21 Februari 1984.
MA RI No. 2002.K/Pdt/1986, tgl 11 Juni 1990.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 66 Maret 1991)

PEMERINTAH DAERAH MELAWAN HUKUM KASUS LUBANG RIOOL
      Abstrak hukum :
Penguasa, Walikota Kepala Daerah Tingkat II Kotamadya, beserta Aparatnya yang lalai berbuat sesuatu yang menjadi kewajiban hukumnya yaitu : tidak menutup atau memberi tanda peringatan pada lubang yang sengaja dibuatnya untuk mangalirkan genangan air hujan ke riool, maka kerugian yang timbul akibat langsung dari adanya kelalaian dari penguasa tersebut, adalah menjadi tanggung jawab penguasa, Walikota, Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya setempat. Dengan demikian maka penguasa (walikota) tersebut telah melakukan “ Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa atau disebut Onrechmatige Overheidsdaad ex pasal 1366 BW.
PN di Medan, No. 60/Pdt.G/1986/Pn.Mdn, tgl 11 Agustus 1986.
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan, No. 212/Pdt/1987/PT. Mdn, tgl 30 april 1988.
MA RI, No. 2947.K/Pdt/1988, tgl 28 November 1990.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 67 April 1991)

HUKUM WARIS PRIA PUNYA BANYAK ISTERI
      Abstrak hukum :
Anak kandung selaku Ahli Waris tidak dapat menuntut dibatalkannya perbuatan hibah tanah yang dilakukan oleh mendiang ayahnya kepada anak angkat, selama hibah tanah tersebut tidak merugikan Hak Waris dari pada ahli waris anak kandungnya. Hibah oleh orang tua ini harus dihormati oleh ahli warisnya.
Tanah bekas tanah golongan desa, yang berdasar S.K Gubernur , dikonversikan menjadi tanah hak milik, maka tanah ini statusnya sebagai harta bersama (barang gono-gini) antara suami yang memperoleh hak milik tersebut dengan wanita yang saat itu menjadi isterinya.
Sebagai harta gono-gini, maka janda berhak menguasai dan menikmati herta ini untuk jaminan hidupnya sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi.
Harta asal (barang gawan) dari ayah berhak diwarisi oleh anak kandung sebagai ahli warisnya.
PN Jombang di Jawa Timur, No. 5/1984/Pdt/G, tanggal 1 Mei 1985.
PT Jawa Timur di Surabaya, No. 696/Pdt/1985, tgl 30 November 1985.
Mahkamah Agung RI, No. 3293.K/Pdt/1986, tgl 30 Maret 1986.
      (Majalah Hukum Varia Peradilan No. 67 April 1991)













PASAL 335 TTG PEMAKSAAN

SALAH MENAFSIRKAN “UNSUR MEMAKSA”  DALAM PASAL 335 (1) le KUHPIDANA
Abstrak Hukum:
Kasus posisi
Di dalam persidangan Pengadilan Negeri di Tanjung Pinang, terdakwa yang telah berkeluarga, telah didakwa Jaksa Penuntut Umum, melakukan perbuatan pidana:
- Primair : pasal 285 KUHPidana
- Subsidiair : pasal 286 KUHPidana
- Lebih Subsidiair : pasal 378 KUHPidana
- Lebih Subsidiair lagi : pasal 335 (1) KUHPidana
Jaksa dalam Requisitoirnya menuntut agar terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana ex pasal 335 (1) sub 1 KUHP dan dihukum satu bulan dipotong selama dalam tahanan.
Pengadilan Negeri, dalam putusannya pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: Terdakwa tidak bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya pada dakwaan subsidiair – lebih subsidiair dan lebih subsidiair lagi. Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan tersebut.

Jaksa mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi atas putusan ini.
Mahkamah Agung RI, dalam putusan kasasi telah mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang.
Mahkamah Agung selanjutnya mengadili sendiri kasus ini, dengan amar putusan yang pada pokoknya:
- Terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan: melakukan sesuatu dengan perbuatan yang tidak menyenangkan dengan perbuatan lain, ex pasal 335 (1)  le KUHP.
- Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara lima bulan ….. dst.
Putusan Mahkamah Agung di atas ini didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum dengan membebaskan terdakwa dari dakwaan, Lebih Subsidiair lagi, ex pasal 335 (1) le KUHP dengan alasan tidak terbuktinya unsue “memaksa”.
- Bahwa Pengadilan Negeri menafsirkan unsur “memaksa” tersebut sebagai memaksa dalam arti phisik, pada hal menurut pasal tersebut, “paksaan” tersebut juga dapat dengan perbuatan yang tidak menyenangkan.
- Bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut adalah salah menafsirkan salah satu unsur pasal yang didakwakan. Dengan demikian, maka pembebasan dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut, adalah pembebasan yang tidak murni, sehingga permohonan kasasi formil dapat diterima oleh Mahkamah Agung. 

Pengadilan Negeri Tanjung Pinang: No. 15/Pid/B/1984, tanggal 16 Desember 1984
Mahkamah Agung RI: No. 371 K/Pid/1985, tanggal 21 Januari 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 19 April 1987; hal. 71). 

KWALIFIKASI DELICT MENURUT MAHKAMAH AGUNG
Kasus Pembantu Rumah Tangga
Abstrak Hukum:  
Kasus Posisi:
Dalam persidangan Pengadilan Negeri Surabaya, para Terdakwa Suseno Kurniawan dan isterinya Yuliana Muntu, oleh Jaksa telah didakwa melakukan perbuatan pidana denga materi kelakuan yang ditujukan kepada saksi korban, Markamah dan Widarti sebagai berikut: Para terdakwa telah memukuli dan mencambuki saksi, pembantu rumah tangga tersebut dengan rotan, menyetrika lengan hingga lengan para pembantu tersebut luka bakar, menyuruh saksi menggigit batu sebesar telot sepanjang hari, menyuruh saksi korban mengambil kotoran manusia dari closet dengan sendok dan memasukkannya ke dalam mulut para saksi, memberikan lombok/cabe ke mata saksi serta menyekap saksi dilarang keluar rumah serta memberikan makan hanya beberapa sendok dalam sehari penuh.
Dengan materi kelakuan tersebut di atas, para terdakwa telah didakwa melanggar:
Kesatu I,
- Primair: pasal 355 (1) jo 64 KUHP.
- Subsidiair: pasal 354 (1) jo 64 KUHP.
- Lebih subsidiair: pasal 351 (2) jo 64 KUHP.
Kedua II
- Primair: pasal 333 (2) KUHP.
- Subsidiair: pasal 333 (1) KUHP.
Ketiga III
- Primair: pasal 306  KUHP.
- Subsidiair: pasal 304 KUHP.
Keempat IV: pasal 335 KUHP.

Pengadilan Negeri:
Dalam putusannya atas kasus ini menyatakan bahwa para terdakwa bersalah melanggar pasal 355 (1) jo 64 – pasal 333 (2) – pasal 306 (1) – pasal 335 (1) KUHP dan memberikan pidana penjara kepada masing-masing terdakwa: selama 15 tahun penjara dipotong selama dalam tahanan.
Pengadilan tinggi:
Hakim Banding dalam putusannya telah memperbaiki putusan Hakim Pertama di atas, sekedar mengenai kwalifikasi tindak pidananya (delict) serta lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa yaitu masing-masing selama 12 tahun penjara potong tahanan.
Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan kasasinya, telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh para terdakwa. Penolakan ini didasarkan atas alasan bahwa putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum. Makamah Agung dalam kasus ini hanya memperbaiki amar putusan judex facti sekedar mengenai “kwalifikasi delict” pada dakwaan I dan dakwaan IV serta mengenai “rumusan pengurangan masa tahanan”. 
Menurut Mahkamah Agung, kwalifikasi yang benar adalah sebagai berikut:
Penganiayaan berat yang direncanakan lebih dulu yang dilakukan beberapa kali sebagai perbuatan berlanjut.
Dengan melawan hukum memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dengan perbuatan yang tidak menyenangkan.
Menetapkan bahwa pada waktu menjalankan putusan ini, lama para terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini menjadi tetap akan dikurangkan segenapnya dari pidana yang telah dijatuhkan itu. 

Pengadilan Negeri Surabaya: No. 149/Pid/B/1986, tanggal 15 Desember 1986. 
Pengadilan Tinggi Jawa Timur: No. 53/Pid/1987, tanggal 23 Maret 1987.
Mahkamah Agung RI: No. 1164 K/Pid/1987, tanggal 5 September 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 27 Desember 1987; hal. 87). 




PENERAPAN HUKUM PASAL 335 K.U.H. PIDANA
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri
Para Terdakwa I s/d IX, dalam persidangan Pengadilan Negeri di Ende, oleh Jaksa telah didakwa melakukan delict yaitu:
Primair; ex pasal 335 (1) jo pasal 55 (1) kel-2 KUH Pidana, yang intinya pada sekitar 1983 di desa Lokobako, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, bersama-sama atau sendiri-sendiri, secara melawan hukum telah memaksa saksi Moh. Abubakar Pela, pemilik kebon sawah Tiwu Poa, supaya membiarkan mereka para terdakwa menggarap kebon sawah tersebut dengan memakai kekerasan atau suatu perbuatan lain, maupun perlakuan yang tidak menyenangkan dan atau memakai ancaman kekerasan … dan seterusnya, yaitu para terdakwa tanpa izin dari saksi telah mendatangi kebon sawah Tiwu Poa dengan membawa pacul, sekop, parang, langsung bekerja pada kebon sawah tersebut seluas 30 petak untuk ditanami padi.
Subsidiair ex pasal 2 jo 6 UU No. 51/PRP/1960 jo pasal 55 (1) KUHPidana. Pada waktu dan di tempat dalam dakwaan primair, bersama-sama atau sendiri, dengan sengaja dan dengan melawan hukum, telah memakai tanah kebon sawah Tiwu Poa, tanpa izin dari yang berhak.
Hakim Pertama setelah memeriksa perkara tersebut, memberikan putusan bahwa para terdakwa tidak terbukti secara sah meyakinkan, melakukan perbuatan pidana baik pada dakwaan primair, maupun dakwaan subsidiair, karena itu para terdakwa tersebut harus dibebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan hukum.
Putusan Hakim ini didasari alasan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa untuk dapat menerapkan pasal 335 KUHPidana, tidaklah cukup fakta bahwa para saksi hanya mendengar saja adanya berita bahwa para terdakwa dengan membawa pacul, sekop dan parang bersama-sama pergi menuju ke Kebon sawah untuk menggarap sawah sengketa, kemudian timbul perasaan takut pada saksi korban, tanpa adanya perlakuan yang benar-benar terjadi dan dialami oleh para saksi tersebut.
Bahwa untuk dakwaan subsidiair, Hakim meragukan surat bukti yang diajukan saksi berupa putusan perdata no.21/1973, dimana saksi merasa berhak atas tanah sengketa. Surat putusan ini telah diteliti Hakim, ternyata tidak sesuai dengan aslinya/eksekusinya.

Mahkamah Agung RI:
Dalam putusan Kasasi atas kasus ini, Mahkamah Agung telah memberikan putusan yang membatalkan putusan judex facti, karena menurut penilaiannya terdapat kesalahan dalam menerapkan hukum. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini dengan menyatakan bahwa para terdakwa terbukti dengan sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwaan primair, ex pasal 335 KUHPidana yaitu dengan kwalifikasi: “dengan sesuatu perbuatan, secara melawan hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu”. Putusan Mahkamah Agung tersebut didasari oleh pertimbangan hukum yang pada pokoknya dapat disarikan sebagai berikut:
Bahwa untuk menerapkan pasal 335 KUHPidana, “unsur paksaan” tidak selalu harus berbentuk paksaan fisik, dapat pula merupakan paksaan psyichis, seperti yang dialami para saksi.
Bahwa para terdakwa dengan membawa pacul-sekop-parang telah bersama-sama memasuki tanah sawah sengketa, yang sejak 1980 sudah digarap para saksi, menurut pendirian Mahkamah, perbuatan tersebut adalah merupakan “suatu perbuatan lain” atau (einige andere feitelijkheid) dengan mana para saksi telah dipaksa dengan melawan hukum (pada hal, hak para terdakwa atas tanah sengketa belum tentu benar) untuk membiarkan para terdakwa menguasai/menggarap tanah sawah tersebut.
Bahwa dengan demikian para terdakwa tersebut, harus dianggap telah melakukan suatu perbuatan tanpa hak.
Bahwa dengan tidak jelasnya surat bukti putusan perdata no.21/th 1971 tentang tanah sengketa, dimana terdakwa juga merasa dirinya berhak, maka masalah tanah ini menurut Mahkamah Agung, perlu diperkarakan lagi. Adanya kenyataan ini menurut Mahkamah, dapat dianggap sebagai faktor yang meringankan hukuman para terdakwa.
Bahwa dengan pertimbangan di atas, maka Mahkamah memberikan putusan yang amarnya seperti disebut diatas. 

Pengadilan Negeri Ende: No. 15/Pid/B/1984, tanggal 26 Maret 1985. 
Mahkamah Agung RI: No. 675 K/Pid/1985, tanggal 4 Agustus 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 31; April 1988; hal. 8).

BANTAHAN RALATIVE COMPETENTIE PENGADILAN BUKAN DITINGKAT KASASI
Abstrak Hukum:
Kasus posisi:
Bahwa hubungan antara terdakwa dengan saksi R. Sujatto adalah hubungan sebagai suami – istri. Terdakwa dalah isteri kedua dari R. Sujatto disamping isteri Pertama yang telah mempunyai 9 orang anak.
Bahwa hubungan antara R. Sujatto dengan istrinya yang kedua ini, pada suatu saat diliputi oleh perselisihan yang menjurus akan diceraikannya terdakwa sebagai istri kedua.
Bahwa terdakwa bersedia dicerai asal diberikan uang cerai Rp 3 juta. Suaminya menolak. Karena penolakan ini, terdakwa dengan membawa pisau dapur mendatangi kantor BPK. Dimana suaminya bekerja menuntut uang cerai tersebut dari suaminya. Tuntutan mana diulangi lagi di rumah dengan mengancam suaminya, bila tidak dipenuhi akan dibunuh dengan pisau dapur tersebut.

Pengadilan Negeri:
Dalam persidangan, terdakwa oleh Jaksa, didakwa melakukan perbuatan pidana: I. Pertama, ex pasal 2 (1) Undang-Undang Darurat 12/1951: Tanpa hak menguasai, memiliki dan membawa senjata tajam penusuk/penikam. Dakwaan II, Kedua, ex pasal 335 (1) KUHPidana, dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu …. dan seterusnya dengan perbuatan yang tidak menyenangkan ….. dan seterusnya.
Bahwa Hakim Pertama dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan pidana dalam dakwan I dan II, karena itu dihukum penjara selama 7 bulan dipotong tahanan dalam masa percobaan selama satu tahun.

Pengadilan Tinggi:
Hakim Banding dalam putusannya telah membatalkan putusan Hakim Pertama, selanjutnya mengadili sendiri kasus ini dengan dictum putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dibebaskan dari dakwaan ke I, ex pasal 2 (1) Undang-Undang Darurat 12/1951. dan menyatakan bersalah dalam dakwaan II, ex pasal 335 (1) KUHPidana. Putusan bebas atas dakwaan ke I tersebut, didasarkan oleh alasan bahwa pisau untuk keperluan rumah tangga sehari-hari (pisau dapur), tidak termasuk dalam pengertian sebagai senjata penusuk/penikam ex pasal 2 (1) UU. No. 12/Drt/1951.

Mahkamah Agung RI:
Bahwa terdakwa telah mengajukan pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung RI dengan alasan antara lain: bahwa Pengadilan Negeri Yogyakarta tidak berwenang mengadili kasus ini, karena locus delicti terletak di Kabupaten Sleman, sehingga Pengadilan Sleman yang berwenang memeriksa dan mengadili kasus ini.
Bahwa Majelis Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi, telah menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Terdakwa tersebut, dengan pertimbangan yang pada intinya dapat disimpulkan: bahwa bantahan pemohon kasasi terhadap “ketidawenangan Pengadilan Negeri” untuk memeriksa kasus ini (relative Competentie), menurut pendapat Mahkamah Agung, tidak dapat diajukan pada tingkat pemeriksaan kasasi.
Bahwa bantahan tidak wenangnya pengadilan memeriksa perkara (relative compentie) harus diajukan pada peradilan tingkat Pertama yaitu pada waktu perkara ini mulai diperiksa oleh Pengadilan tersebut.
Bahwa disamping alasan tersebut, oleh karena menurut penilaian Mahkamah, putusan judex facti, dalam menangani kasus ini tidak diketemukan hal lain yang bertentangan dengan hukum atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi ini harus ditolak. 

Pengadilan Negeri Yogyakarta: No. 3/Pid/S/85, tanggal 21 Januari 1985. 
Pengadilan Tinggi Yogyakarta: No. 15/Pid/85, tanggal 27 Agustus 1985. 
Mahkamah Agung RI: No. 1275 K/Pid/1985, tanggal 30 Juli 1987 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 32; Mei 1988; hal. 89).  

MACETNYA ANGSURAN KREDIT KENDARAAN BERMOTOR
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas kita dapat menarik “abstrak Hukum” sebagai berikut:
Dalam hubungan hukum sewa beli barang atau huurkoop, bilamana Pihak pembeli belum membayar lunas harga barang, maka Pihak penjual tidak dapat dibenarkan untuk mengambil barang tersebut dari tangan pembeli tanpa izinnya, meskipun penjual memiliki surat kuasa dari pembeli yang memberikan wewenang untuk berbuat demikian itu. Pengambilan barang harus tetap mendapat izin dari pembeli.
Bilamana ketentuan diatas tidak diindahkan oleh penjual barang, maka ia terkena pasal 335 KUHPidana. 

Pengadilan Negeri Surabaya No.201/1986/Pid.S. tgl 12 Mei 1986.
Mahkamah Agung RI No.1241. K/Pid/1986, tgl 30 Maret 1989.  (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun V. No. 52, Januari 1990; hal. 48).

PERBUATAN YANG TIDAK MENYENANGKAN
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat diangkat kwalifikasi kejahatan ex Pasal 335 (1) ke 1 KUHP yaitu: Secara melawan hukum dengan perlakuan yang tidak menyenangkan memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu. 

Pengadilan Negeri Indramayu: No.51/Pid/B/1987, tanggal 9 April 1988.
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung: No. 116/Pid/B/1988/PT.Bdg, tanggal 12 September 1988.
Mahkamah Agung RI: No. 160.K/Pid/1989, tanggal 30 Juni 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IX, No.97. Oktober 1993; hal. 5).

MENAGIH HUTANG DENGAN PAKSA
      Abstrak Hukum:
Hubungan hukum hutang-piutang uang pada saat jatuh tempo, ternyata pihak debitur masih belum dapat melunasi hutangnya. Pihak kreditur dalam melakukan penagihan piutangnya tersebut, kemudian menggunakan cara-cara kekerasan, keributan dan paksaan dengan maksud agar debitur menjadi takut atau malu bersedia menyerahkan barang miliknya kepada kreditur sebagai pembayaran hutangnya.
Meskipun fakta ini dalam ruang lingkup pelaksanaan hubungan keperdataan, namun perbuatan kreditur yang bersifat kekerasan memaksa membuat keributan, terhadap debitur tersebut, maka perbuatan menagih hutang dengan cara memaksa ini adalah merupakan perbuatan pidana ex pasal 368 (1) KUH Pidana yaitu pemerasan.
Dewasa ini dalam masyarakat sering terdengar adanya kejadian penagihan hutang terhadap debitur oleh kreditur dengan memakai dept collector dalam menagih hutang dengan cara dan memakai kekerasan-kekerasan. Kiranya putusan Mahkamah Agung ini dapat dipakai sebagai acuan dalam menangani para dept collector.

Pengadilan Negeri di Pontianak: No. 43/Pid/B/1990, tanggal 18 Oktober 1990. 
Mahkamah Agung RI: No. 59 K/Pid/1991, tanggal 29 Oktober 1993. (Majalah Varia Peradilan, Tahun X, No. 117, Juni, Tahun 1995; hal. 70)

DELIK PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN
Abstrak hukum:
Kasus posisi sebagaimana diuraikan diatas, menurut Putusan Mahkamah Agung RI yang membenarkan putusan Judex fakti, dinilai telah memenuhi unsur pidana ex Pasal 335 (1) Jo. Pasal 55 (1) KUHPidana dan Kwalifikasi delictnya di Rumuskan sebagai berikut: “Secara bersama – sama dan malawan hukum dengan perlakuan yang tidak menyenangkan memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu”.

Pengadilan Negeri Kabupaten Pasuruan di Bangil: No. 297 / Pid / S / 1988 / PN. Kab. Pasuruan, tanggal 3 November 1989.
Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya: No. 26 / Pid / 1990 / PT. Sby, tanggal 31 Mei 1990.
Mahkamah Agung RI: No. 1036 K/Pid/1991, tanggal 28 Oktober 1993 (Majalah Varia Peradilan, Tahun XI, No. 132, September 1996; hal. 5).

PENERAPAN PASAL 335 K.U.H.P.
Abstrak Hukum:
Seseorang yang mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri untuk menuntut haknya, diikuti dengan mengirimkan surat ke Kantor BPN (Untuk Penyitaan jaminan atas tanah) serta pemuatan di Harian terhadap bekas Partner bisnisnya dalam perusahaan properti, adalah bukan merupakan suatu perbuatan pidana, ex pasal 335 (1) ke 1 KUHP.

Pengadilan Negeri di Pontianak: No. 47/Pid/B/1995/PN.PTK, tanggal 23 Nopember 1995. 
Pengadilan Tinggi: No. 06/Pid/1996/PT. PTK, tanggal 8 Maret 1996.
Mahkamah Agung RI:  863 K/Pid/1996, tanggal 30 Mei 1997. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.155 Agustus 1998; hal. 35). 


PIDANA SUBVERSI

TINDAK PIDANA SUBVERSI. 
Abstrak Hukum:
“Tindak Pidana Subversi sesuai dengan Undang-Undang No. 11/PNPS/1963, menentukan sebagai elemen/unsur adanya latar belakang politik, tetapi hal tersebut oleh Pembuat Undang-Undang tidak dirumuskan sebagai bagian yang essensil dari tindak pidana subversi, karena tentang latar belakang politik tersebut diuraikan dalam memori penjelasannya.
Istilah “politik” sesuai dengan memori penjelasan Undang-Undang No.11/PNPS/1963, harus dipandang dalam arti yang luas yaitu: bukan semata-mata sebagai practical politics (partai politik), melainkan sebagai kebijaksanaan Negara baik dibidang ekonomi (politik ekonomi), bidang sosial (politik sosial) maupun dalam bidang kebudayaan (politik kebudayaan).
Apakah suatu tindak pidana yang didakwakan sebagai tindak pidana subversi dapat merusak atau merong-rong Kekuasaan Negara atau kewibawaan Pemerintah yang sah atau Aparatur Negara atau mengganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industri, distribusi, perdagangan, Koperasi … dan seterusnya, Mahkamah Agung memperhatikan perumusan sebagai berikut: “Suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi maupun berfungsinya negara atau hak-hak penduduk yang timbul dari berfungsinya Negara”. 

Mahkamah Agung RI: No. 346 K/KR/1980, tanggal 25 Januari 1984. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun I No. 5 Februari 1986; hal. 30).

PERTIMBANGAN HUKUM YANG BERTENTANGAN DENGAN AMAR PUTUSAN 
Abstrak Hukum:
Terdakwa Timsar Zubil al. Sudirman (27) oleh Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya telah menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan subversi dan menghukum terdakwa dengan hukuman mati.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut, tidak diajukan permohonan banding atau kasasi, melainkan telah diajukan permohonan peninjauan kembali, baik yang diajukan oleh isteri Terpidana maupun oleh Terpidana sendiri. 
Permohonan peninjauan Kembali tersebut didasarkan atas alasan bahwa dalam pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri dinyatakan ada hal-hal yang meringankan, akan tetapi dalam amar putusannya telah dijatuhkan hukuman maksimal yaitu pidana mati. Hal ini merupakan kekhilafan dari Hakim.
Mahkamah Agung RI dalam putusannya atas permohonan Peninjauan Kembali tersebut:
Menyatakan tidak dapat menerima permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh istri Terpidana dengan pertimbangan, karena ia sebagai istri masih belum menjadi ahli waris berhubung terpidana masih hidup. Sehingga ia sebagai istri belum berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Negeri terhadap suaminya (terpidana). 
Menyatakan menerima permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Terpidana dengan dasar pertimbangan yang pada pokoknya menunjuk pasal 263 (2) huruf c jo pasal 266 (2) huruf b (4) KUHAP
Mahkamah Agung RI menilai, karena terdapat pertentangan antara pertimbangan hukum judex Facti dengan Amar putusannya, maka alasan permohonan Peninjauan Kembali (Terpidana) dapat dibenarkan dan Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan.
Mahkamah Agung RI mengadili sendiri atas kasus tersebut dengan menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana Subversi dan mengubah hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup. 

Pengadilan Negeri Medan: No. 1457/KTS/1977, tanggal 7 Maret 1978
Mahkamah Agung RI: No. 1 PK/Pid/186, tanggal 19 September 1986. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun II No. 14, November 1986; hal. 65). 

MASALAH YURIDIS PENYELUNDUPAN DAN SUBVERSI
Abstrak Hukum:
Dari kasus ini dapat diangkat abstrak hukum sebagai berikut:
Bahwa Latar Belakang dan tujuan politik adalah merupakan unsur esensiil yang terdapat dalam Tindak Pidana Subversi. UU No.11/PNPS/1963. Unsur yang esensiil ini harus dibuktikan dalam persidangan yang memeriksa perkara terdakwa yang dituduh melakukan delict tersebut. Hal ini sudah merupakan “Jurisprudensi Tetap” dari Mahkamah Agung RI – (MARI No.89.K/Kr/1968 tgl. 22 Februari 1969 dan putusan MARI tahun berikutnya).
Bilamana dalam dakwaan Tindak Pidana Subversi ini, “unsur latar belakang politik” tersebut, tidak dapat dibuktikan, maka putusan Hakim adalah Membebaskan terdakwa, bukan putusan yang amarnya berbunyi melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 18/Pid.Subs/1976, tgl. 5 Februari 1977.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 16/1978/Pid, tgl 1 Mei 1980.
Mahkamah Agung RI: No.577.K/Kr/1980 tgl. 7 Februari 1983. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 47. Agustus 1989; hal. 7).

MASALAH JURIDIS PENYELUNDUPAN DAN SUBVERSI
Abstrak Hukum:
Dari putusan Mahkamah Agung diatas kita dapat mencatat beberapa hal yang penting:
Bahwa tindak pidana subversi, UU No. 11/1963/PNPS menentukan adanya unsur “latar belakang politik”. Tetapi menurut Undang-Undang ini, unsur tersebut tidak dirumuskan sebagai bagian esensiil dari tindak pidana subversi, sebabnya ia hanya diuraikan dalam memori penjelasan Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu bila unsur ini tidak terbukti, maka amar putusan seharusnya: “Lepas dari segala tuntutan hukum”.
Latar belakang politik, dalam UU No. 11/1963/PNPS, sesuai dengan Memori Penjelasan, maka pengertian “politik” disini, haruslah diartikan secara luas yaitu: bukan hanya semata-mata sebagai “practical politics” atau partai politik, melainkan harus dipandang juga sebagai suatu kebijaksanaan Negara atau Pemerintah dibidang perekonomian (politik ekonomi) maupun dalam bidang sosial (politik sosial). 
Bahwa perbuatan terdakwa dalam kasus ini, selain merupakan Tindak Pidana Ekonomi juga termasuk dalam Tindak Pidana Subversi, karena kejahatan tersebut dilakukan oleh terdakwa secara teroganisir rapi, melibatkan unsur orang dalam Bea Cukai, sehingga sebagai aparatur negara tidak berdaya lagi melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan undang – undang. Akibat yang ditimbulkannya selain kerugian uang negara bermiliyard rupiah, juga mengacaukan kebijaksanaan Pemerintah dibidang perekonomian Negara.
Bahwa permohonan kasasi terhadap “putusan bebas” yang diberikan oleh Pengadilan Tinggi, dapat diterima oleh Mahkamah Agung, karena “bebas” ini merupakan putusan “bebas tidak murni”.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 12/Subv/1977 tgl. 8 November 1977.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No. 2/79/PT/subv. tgl. 25 Okt. 1979
Mahkamah Agung RI: No. 346.K/Kr/1980, tgl. 26 Jauari 1984. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun IV, No. 49. Oktober 1989; hal. 83).

KRITIK YANG SUBVERSI
Abstrak Hukum:
Klompok study sosial bersifat ilmiah yang kegiatannya menyelenggarakan diskusi-diskusi dengan berbagai macam tema diskusi. Topik diskusi  ini membahas kenyataan sosial yang ada dewasa ini, dengan melancarkan kritik-kritik sosial, yang cukup tajam atau vokal terhadap pemerintah. Bilamana kritik sosial yang vokal tersebut, dipublisir untuk masyarakat, maka akan dapat menimbulkan akibat terganggunya stabilitas nasional berupa: tumbuhnya rasa permusuhan, pertentangan, perpecahan, kekacauan di kalangan masyarakat luas. Kemungkinan akan timbulnya akibat ini, disadari penyaji makalah dalam diskusi tersebut. Kritik sosial yang tidak dapat dibenarkan dalam tatanan masyarakat Indonesia adalah:
- Kritik yang tidak rasional.
- Kritik sosial yang disampaikan secara tidak sopan.
- Kritik yang bersifat konfrontatif.
- Kritik yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.
- Kritik yang merusak kesatuan dan persatuan rakyat.
- Kritik yang bertentangan dengan pancasila.
- Kritik yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Sedangkan penyaji makalah diskusi, ternyata terpengaruh oleh buku novel karya Pramudya Ananta Toer, yang dilarang oleh Pemerintah, karena berisi ajaran Komunisme. Maka segala kegiatan diskusi kelompok study sosial  yang melahirkan kritik sosial, yang memenuhi criteria tersebut diatas, adalah merupakan: Tindak Pidana Subversi, ex pasal 1 ayat 1 sub c jo pasal 13 UU 11/PNPS/1963. 
Apakah masih diperlukan tambahan alat bukti ataukah tidak, disamping bukti yang sudah diajukan di persidangan; hal itu adalah wewenang dari Hakim Ketua Sidang.
Bahwa menurut Fatwa Mahkamah Agung RI tanggal 22 September 1990, tentang: “Kewajiban Hakim” untuk mendengar para saksi baik a’charge maupun saksi a’decharge, yang diajukan oleh Jaksa atau Terdakwa, sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 160 ayat (1) huruf  “c” KUHAP, maka menurut pendirian Mahkamah Agung: perkataan “wajib” dalam pasal tersebut diatas, harus diartikan: sepanjang terhadap para saksi yang telah disetujui oleh Hakim Ketua untuk didengar keterangannya dalam persidangan pengadilan.
Pengadilan Tinggi berwenang untuk terus memeriksa secara tuntas perkara  yang dimohon banding dengan tidak tergantung pada: ada atau tidak adanya memori banding yang diajukan oleh pemohon banding.

Pengadilan Negeri di Jogjakarta: No. 02/Pid/Sus/1989/PNYK, tanggal 7 September 1989.
Pengadilan Tinggi Propindi Daerah Istimewa Yogyakarta: No. 71/Pid/1989/PTY, tanggal 18 Oktober 1989.
Mahkamah Agung RI: No.85 K/Pid/1990, tanggal 26 Februari 1990 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 63; Desember 1990; hal. 26). 

LOTERIJ BUNTUT SUBVERSI
      Abstrak Hukum:
Seseorang yang mengusahakan dan sekaligus bertindak sebagai Bandar “Loterij Buntut”, diselenggarakan tanpa izin dari Pemerintah cq Departemen Sosial RI, yang cara kerjanya diorganisir secara tertutup dan pelaksanaannya dilakukan dengan membonceng. Undian Resmi yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI: SDSB. Loterij buntut tersebut, dapat merongrong kebijaksanaan Pemerintah dalam mengumpulkan dana dari masyarakat untuk pembinaan prestasi Olahraga Nasional. Maka perbuatan mengusahakan “Loterij buntut” (dan bertindak sebagai Bandar) adalah termasuk tindak pidana Subversi.
Kwalifikasi delict dalam pasal 1 ayat 1 sub 1.b jo 13 UU 11/PNPS/1963 adalah SUBVERSI.
Rumusan pengurangan hukuman dengan masa tahanan oleh MA RI dirumuskan sebagai berikut:
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya   dari pidana yang dijatuhkan.
Pengadilan Tinggi berwenang mengambil alih pertimbangan putusan Hakim pertama, bila dinilainya sudah benar dan tepat.

Pengadilan Negeri Yogyakarta: No. 03/Pid/sus/1989. PNyk, tgl 25 Oktober 1989.
Pengadilan Tinggi Yogyakarta: No. 81/Pid/1989/PTY, tgl 6 Desember 1989.
Mahkamah Agung RI: No. 408. K/Pid/1990, tgl 19 Juni 1990. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 64 Januari 1991; hal. 5)

TINDAK PIDANA SUBVERSI HUKUMAN NIHIL
Abstrak Hukum:
Pada tahun 1984 seseorang telah dijatuhi hukuman penjara selama 19 tahun karena dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dalam putusannya tanggal 15 Mei 1984 No. 055/Pid/B/1984 jo Mahkamah Agung RI No.1291.K/Pid/1985.
Pada tahun 1986, orang yang sama pula oleh Hakim Pengadilan Negeri lainnya,  yakni Jakarta Pusat, dalam putusannya tanggal 4 September 1986 dijatuhi hukuman penjara selam 20 tahun, karena dipersalahkan melakukan tindak pidana yang sama yakni Subversi, yang dilakukan sebelum ia dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat (1984). 
Putusan Hakim yang belakangan ini (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) merupakan putusan judex facti yang salah menerapkan hukum, ex pasal 71 (1) jo pasal 12 (4) KUHPidana.
Berdasar pada pasal 71 (1) KUHPidana ditentukan bahwa jika seseorang sesudah dijatuhi hukuman, lalu dipersalahkan pula berbuat kejahatan yang dilakukan sebelum ia dihukum itu, maka hukuman yang terdahulu itu, adalah turut diperhitungkan seperti kalau perkara-perkara itu diadili secara serentak. Dikaitkan dengan pasal 12 (4) KUHPidana, ditentukan bahwa “penjara sementara” itu tidak boleh melebihi 20 tahun.
Berpegang pada ketentuan ex pasal 71 (1) jo pasal 12 (4) KUHPidana, maka “hukum penjara” terhadap “terdakwa yang sama” dalam perkara yang belakangan (1986) adalah Nihil, karena hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim dalam perkara terdahulu (1984) adalah sudah mendekati maksimum hukuman “Penjara Sementara” yang diperbolahkan oleh Undang-Undang (ex Pasal 12 (4) KUHPidana).
Dalam menghadapi kasus semacam ini, maka Mahkamah Agung RI menggariskan, bahwa judex facti tidak perlu lagi memberikan hukuman penjara dan cukup hanya menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah atas delict yang didakwakan, bila hukuman terdahulu sudah maksimum atau mendekati maksimum yang diizinkan Undang-Undang.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat: No.055/Pid/B/1984PNJB, tanggal 15 Mei 1984.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No.051/Pid/B/1986/PN.JP – tanggal 4 September 1986.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No.02/Pid/Subv/1988/PT.DKI, tanggal 29 Februari 1988.
Mahkamah Agung RI: No.1177.K/Pid/1986, tanggal 18 Maret 1993. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No.93. Juni 1993; hal. 5).

PENGIBARAN BENDERA PAPUA MERDEKA MERUPAKAN TINDAK PIDANA MAKAR 
MA-RI ROBAH BERATNYA PEMIDANAAN
Abstrak Hukum:
Setiap putusan Judex facti dalam mengadili perkara pidana wajib menyebutkan dan mencantumkan dalam putusannya pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum untuk pemidanaannya terhadap terdakwa. Tidak cukup hanya menyebutkan “undang-undang yang bersangkutan”. Bila terjadi demikian, maka putusan Judex facti tersebut adalah batal demi hukum. Selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dalam pemeriksaan ditingkat kasasi.
Beberapa orang bersama-sama dan bersekutu satu sama lain, membuat “Bendera Papua Merdeka”, kemudian dikibarkan diatas Tower Air Kota Biak – Irian Jaya selama beberapa hari diikuti pula dengan pembuatan dan penggelaran diberbagai tempat beberapa poster/spanduk agar diketahui oleh khalayak ramai, yang isinya antara lain sebagai berikut:
- Dengan Tiga Nama – Bapak Anak dan Roh Kudus – Papua Barat Merdeka.
- Rakyat Papua Barat ingin merdeka.
- “Freedom”, - “Kini saatnya Papua Barat Merdeka”.
- We are Nation of West Papua standing with Agreement of New York 15-8-1962. Kami Bangsa Papua.
Pengibaran Bendera Papua merdeka dan penggelaran beberapa spanduk diatas disertai adanya “Sumpah Perjuangan Papua Barat dalam mencapai Kemerdekaan”, maka semua perbuatan para terdakwa tersebut, berniat untuk memisahkan Propinsi Irian Jaya dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjadi “Papua Barat Merdeka”,  sehingga perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana ex pasal 106 jo Pasal 55 (1) ke 1 jo pasal 64 (1) KUH Pidana yaitu: “Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Makar, secara berlanjut”.
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana seperti dalam kasus ini berwenang untuk menilai dan/atau meninjau kembali pemidanaan (berat ringannya pidana) yang dijatuhkan oleh Judex facti terhadap terdakwa, yang dalam kasus ini, dengan menggunakan alasan “dalam Era Reformasi”, mendorong Mahkamah Agung merubah pemidanaan yang dinilainya amat berat menjadi pidana yang lebih ringan.
Putusan Mahkamah Agung yang telah menilai berat ringannya pemidanaan terhadap terdakwa yang dijatuhkan oleh Judex facti dalam kasus diatas, adalah merupakan perubahan atas “Yurisprudensi tetap” yang selama ini diikuti tentang masalah pemidanaan yaitu (berat ringannya pidana) adalah wewenang Judex facti dan tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi Mahkamah Agung. Vide putusan Mahkamah Agung No. 857. K/Pid/1982 – No.797. K/Pid/1983 – No. 57.K/Pid/1983 – No. 1432.K/Pid/1999.
Perubahan Yurisprudensi tentang pemidanaan seperti kasus ini, memang telah terjadi dan diawali dengan adanya putusan MA-RI No.143.K/Pid/1993, yaitu MA-RI memperberat pidana, karena pidana yang dijatuhkan oleh Judex facti dinilai tidak proporsional bertentangan dengan prinsip edukasi, koreksi, prefentif dan represif pemidanaan vide: v.p. No. 156/tahun 1998.

Pengadilan Negeri Biak: No. 54/Pid.B/1998/PN.Biak, tanggal 4 Februari 1999 
Pengadilan Tinggi Irian Jaya di Jayapura: No. 12/Pid.B/1999/PT. IRJA, tanggal 17 Mei 1999.
Mahkamah Agung RI: No. 908 K/Pid/1999, tanggal 19 November 1999. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XVI No.189 Juni 2001; hal. 4).

“FRONT KEDAULATAN MALUKU”
“REPUBLIK MALUKU SELATAN” DELIK MAKAR
Abstrak Hukum:
Terdakwa telah mendirikan Organisasi Sosial bernama “FKM” = Front Kedaulatan Maluku” yang berkedudukan di Ambon, Maluku dengan susunan Pengurus Pusat yang terdiri dari Pimpinan Eksekutif (Terdakwa) – Pimpinan Legislatif dan Judikatif serta Sekretariat Jendral. Selanjutnya dibentuk beberapa “Cabang FKM” diberbagai kota di dalam Negeri dan di Luar Negeri.
“Organisasi FKM” tersebut dibentuk sebagai wadah, dalam rangka usaha untuk memperjuangkan pengembalian Kedaulatan Republik Maluku Selatan (RMS) sebagai suatu Negara yang sah dan berdaulat, lepas/terpisah dari Wilayah Negara Kesatuan RI (Separatisme).
Kegiatan yang dilakukan oelh Terdakwa selaku pimpinan eksekutif “FKM” dan kawan-kawannya dalam usaha mewujudkan tujuan “FKM” antara lain:
1. Membuat surat-surat tentang tujuan “FKM” kembalinya RMS sebagai Negara yang sah terpisah dari NKRI; surat tersebut ditujukan kepada Pejabat-Pejabat di Dalam Negeri maupun Badan-Badan Internasional.
2. Mengadakan pertemuan-pertemuan untuk memberikan Pengarahan kepada para anggota/simpatisan FKM
3. Mempersiapkan HUT proklamasi “RMS” yang ke 52 dengan membagi-bagikan “Surat Terbuka” dan menyerahkan “Bendera RMS”.
4. Mengibarkan “Bendera RMS” diberbagai desa dan kecamatan Maluku Tengah sewaktu HUT RMS ke 52 tersebut.
Semua perbuatan terdakwa dan kawan-kawannya tersebut diatas, telah memenuhi semua unsur delik “Tindak Pidana Makar”, secara bersama-sama dan berlanjut. Ex pasal 106 jo pasa 55 ayat (1) jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara: No. 906/PID.B/2002/PN.Jkt.Ut, tanggal 28 Januari 2003.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No.44/PID/2003/PT. DKI, tanggal 10 April 2003.
Mahkamah Agung RI: No.1180.K/Pid/2003, tanggal 29 Oktober 2003.
(Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIX No. 224 Mei 2004; hal. 4). 

“PROBLEM YURIDIS DELIK MAKAR” KASUS JAMA’AH AL. ISLAMIYAH ABU BAKAR BA’ASYIR.
Abstrak Hukum:
Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir didalam persidangan Pengadilan Negeri dengan Dakwaan sebagai berikut:
Dakwaan Kesatu:
Primair: Pasal 107 (2) KUHPidana “Makar” dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah yaitu untuk mewujudkan niat mendirikan “Negara Islam Indonesia” yang menggantikan Pemerintah N.K.R.I yang sah berdasar UU Dasar 1945.
Subsidiair Pasal 107 (1) jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana “Turut serta melakukan Tindak Pidana Makar” yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pemerintah untuk mewujudkan niat mendirikan Negara Islam Indonesia” yang menggantikan Pemerintah N.K.R.I. yang sah berdasar UU Dasar 1945.


Dakwaan Kedua: pasal 266 (1) KUHPidana.
“Memasukkan keterangan palsu tentang kewarganegaraan Terdakwa sebagai WNI ke dalam Akta Otentik yaitu: KTP atas nama Terdakwa ………dst…….dst.
Dakwaan Ketiga: Pasal 263 (1) KUHPid
“Membuat Surat Palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak…… dst………..dst………….dst.
Dakwaan Keempat:
Primair: Pasal 53 UU No.9/tahun 1992 (Kimigrasian).
Subsidiair: Pasal 84 UU No.9/tahun 1992 (Keimigrasian).
Requisitoir Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana: 
a. Dakwaan Kesatu Primair: Pemimpin dan Pengatur Makar – pasal 107 (2) KUHPidana.
b. Dakwaan Kedua – Menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam Akta Otentik Pasal 266 (1) KUHPidana;
c. Dakwaan Ketiga: Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) KUHPidana.
d. Dakwaan Keempat: Selaku Orang Asing berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah, pasal 53 UU No.9/tahun 1992 keimigrasian.
Menuntut Terdakwa dengan Pidana Penjara 15 tahun.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat:
Terdakwa dinyatakan terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah:
a. Dakwaan Kesatu Subsidiair: Turut Serta Makar pasal 107 (1) jo 55 (1) ke 1 KUHPidana.
b. Dakwaan Ketiga: membuat Surat Palsu pasal 263 (1) KUHPidana.
c. Dakwaan keempat Subsidiair: Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan Pejabat Imigrasi……….dst……….dst. pasal 48 UU No.9/tahun 1992.
d. Dakwaan yang lain dinyatakan tidak terbukti.
Terdakwa dipidana: 4 (empat) tahun penjara.
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta:
Terdakwa dinyatakan terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah:
a. Dakwaan Ketiga: membuat Surat Palsu, pasal 263 (1) KUHPidana.
b. Dakwaan Keempat: Subsidiair:
Masuk ke Wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan oleh Pejabat Imigrasi ….dst. Pasal 48 UU No.9/tahun 1992 (Keimigrasian).
c. Dakwaan yang lain:
1. Dakwaan Kesatu Primair: Pimpinan dan Pengatur Makar pasal 107 (2) KUHPid.
2. Dakwaa Kesatu Subsidiair (Turut Serta Makar) pasal 107 (1) jo 55 (1) ke 1 KUHPid.
3. Dakwaan Keempat Primair (sebagai Orang Asing berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah.
Dinyatakan tidak terbukti.
Terdakwa dipidana 3 (tiga) tahun penjara.
Mahkamah Agung dalam putusan Kasasinya yang pertimbangan hukumnya sependapat denganpertimbangan Hukum Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebutmenyatakan terdakwa tidak terbukti: melakukan tindak Pidana Makar atau Turut Serta Melakukan Makar, ex pasal 107 (2) KUHP subs. Pasal 107 (1) jo 55 (1) ke 1 KUHpid. (Dakwaan Kesatu Primasir dan Subsidiair).
Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana:
a. Membuat Surat Palsu (Dakwaan Ketiga).
b. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia tanpa melalui Pemeriksaan Pejabat Imigrasi …………….dst……………… (Dakwaan Keempat Subsidiair).
Abstrak hukum yang dapat diangkat dari putusan Mahkamah Agung yang membenarkan pertimbangan hukum putusan Pengadilan Tinggi DKI tersebut adalah sebagai berikut:
Menyetujui/memberi restu atas rencana peledakan bom di Gereja di beberapa tempat di Indonesia, peledakan bom di Paddy’s Club dan Sari Café di Bali serta Mall di Atrium Plaza dan penyerangan atas kepentingan Amerika Serikat di Singapore.
Menyetujui/merestui keberangkatan saksi Suyadi Mas’ud – Utomo Pamungkas dll ke Afghanistan dan Mindanao Philipina (jihad).
Dakwah-Dakwah oleh Terdakwa.
Bukan merupakan perbuatan pelaksanaan niat untuk menggulingkan pemerintah yang sah sebagai MAKAR, sebagaimana yang disebutkan dalam: Dakwaan Kesatu Primair: Pemimpin dan Pengatur Makar, ex pasal 107 (2) KUHPid dan Dakwaan Kesatu Subsidiair: Turut Serta Makar, ex pasal 107 (1) jo pasal 55 (1) ke 1 KUHPidana, karena sasaran/target peledakan bom-bom termaksud bukan ditujukan kepada symbol-symbol Negara RI atau Pemerintah atau Pimpinan Pemerintah yang sah. Peledakan bom-bom tersebut adalah terorisme bukan makar.
Dari segi lain, judex facti salah dalam menerapkan hukum tentang penjatuhan pidana/hukuman kepada Terdakwa. Judex facti tidak memberi pertimbangan yang cukup tentang hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan seperti yang ditentukan dalam pasal 97 (1) huruf  “f” KUHAP. Karena salah menerapkan hukum tersebut, maka konsekwensi yuridisnya putusan judex facti – Pengadilan Tinggi – a’quo dibatalkan oleh Mahkamah Agung kemudian mengadili sendiri perkara ini.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No.547/Pid.B/2003/PN.Jkt.Pst, tanggal 01 September 2003
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No.168/Pid/2003/PT.DKI, tanggal 21 Oktober 2003.
Mahkamah Agung RI: No. 29.K/Pid/2004, tanggal 3 Maret 2004 (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIX, No.225. Juni 2004; hal. 4). 



PIDANA ADAT DAN WARIS

MELANGGAR HUKUM ADAT PIDANA DI BALI
LOGIKA SENGGEREHA 
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
Terdakwa dalam persidangan Pengadilan Negeri di Klungkung Bali, telah didakwa melakukan perbuatan pidana yang pada pokoknya sebagai berikut.
Primair: …. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak telah membujuk D.P. Megawati agar bersedia disetubuhi, dengan rangkaian kata-kata bohong, ia tersangka menyatakan dirinya cinta dan ingin memperistrinya. Karena itu saksi tersebut lalu terbujuk dan bersedia disetubuhi sehingga menjadi hamil ….. dst. Melanggar pasal 378 KUHPidana.
Subsidiair: ………….terdakwa telah bersetubuh dengan saksi D.P.M. sehingga menjadi hamil dan ia, tersangka tidak bersedia lagi mengawini saksi tersebut sebagai istrinya……dst. Melanggar logika Sanggraha dari Peswara Bali dan Lombok jo pasal 5 ayat 3 sub “b” Undang-Undang No.1/Drt/1951.  

Pengadilan Negeri: 
Telah memberikan putusannya yang berisi diktum Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan, primair dan subsidiair, karena perbuatan pidana yang didakwakan tidak terbukti dengan sah meyakinkan Hakim. Atas putusan ini, Jaksa mengajukan permohonan Kasasi pada Mahkamah Agung RI.

Mahkamah Agung:
Dalam putusan kasasi telah membatalkan putusan Hakim Pertama karena dinilai Hakim Pertama telah salah dalam menerpakan hukum. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri kasus ini. Yang menjadi pertimbangan hukum putusan kasasi tersebut pada intinya:
Hakim Pertama ternyata tidak mempertimbangkan Keterangan para saksi lainnya yang pada hakekatnya memberikan petunjuk tentang kebenaran dakwaan bahwa terdakwa telah bersetubuh dengan saksi korban.
Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung, seorang laki-laki yang terbukti tidur bersama dengan seorang perempuan dalam satu kamar dan pada satu tempat tidur, merupakan bukti petunjuk bahwa laki-laki tersebut telah bersetubuh dengan wanita itu.
Berdasar keterangan saksi korban dan bukti petunjuk dari para saksi-saksi lainnya, maka terbukti bahwa terdakwa telah bersetubuh dengan saksi korban sebagaimana yang dimaksud dalam dakwaan subsidiair.
Mengenai dakwaan primair, Mahkamah Agung berpendirian bahwa dakwaan ini tidak terbukti dengan sah, karena unsur barang didalam pasal 378 KUHPidana, tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan, dengan demikian maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair ex pasal 378 KUHPidana. 
Berdasarkan atas pertimbangan di atas maka Mahkamah Agung dalam diktum putusannya berbunyi demikian:
Membebaskan terdakwa dari Dakwaan Primair.
Menyatakan terdakwa bersalah terhadap Dakwaan Subsidiair melakukan tindak pidana adat: LOGIKA SANGGRAHA.
Hukum Adat Pidana Logika Sanggraha (Sanggeraha) di Bali Peswara Bali, merupakan satu perbuatan seorang pria yang memiliki unsur-unsur 
- Bersetubuh dengan seorang gadis. 
- Gadis tersebut menjadi hamil karenanya.
- Pria tersebut tidak bersedia mengawini gadis tersebut sebagai istrinya yang sah.  

Pengadilan Negeri di Klungkung Bali: No. 33/Pid/Sumir/1983, tanggal 31 Oktober 1983. 
Mahkamah Agung RI: No.854 K/Pid/1983, tanggal 30 Oktober 1984. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No.25 Oktober 1987; hal. 85). 

ADAT DELICT GAMIA GAMANA
-hubungan kelamin ayah dengan anak kandung.
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
I Komang Lanus dengan isterinya pertama, yang kemudian meninggal dunia, diperoleh keturunan dua orang anak. Kemudian kawin lagi. Dengan isterinya yang kedua, yang kemudian juga meninggal dunia, diperoleh keturunan tujuh orang anak.
I Komang Lanus, 50 th, sebagai duda berdiam serumah dengan anak perempuan sulungnya yang dilahirkan dari istrinya yang kedua yang bernama Ni. Nyoman Kerti (23th), sedangkan anak-anak lainnya sudah mencar berumah tangga dan sebagian ada yang ikut berdiam di rumah pamannya.
I Komang Lanus sebagai duda tersebut, pada suatu ketika telah berhubungan kelamin dengan anak perempuan kandungnya, Ni Nyoman Kerti. Si anak melayani keinginan ayahnya tersebut semula terasa aneh dan canggung, akan tetapi lama kelamaan menjadi biasa sehingga seperti hubungan suami-isteri. Keduanya merasa senang satu sama lain dan tiada paksaan satu sama lain.
Hubungan kelamin antara ayah dengan anak kandung ini berlangsung bertahun-tahun, sehingga Ni Nyoman Kerti akhirnya menjadi hamil dan melahirkan anak. Anak ini lahir mati dan dikuburkan secara sembunyi-sembunyi agar tak diketahui umum. 
Hubungan sebagai “suami-istri”  antara ayah dengan anak perempuan kandungnya ini, berlanjut terus tanpa diketahui masyarakat sekelilingnya, sehingga akhirnya Ni Nyoman Kerti menjadi hamil lagi untuk kedua kalinya dan melahirkan anak. Anaknya lahir kemudian mati. Kejadian ini kemudian diketahui masyarakat, yang pada akhirnya melaporkan kepada Pihak sesepuh Desa dan kepada yang berwajib.

Pengadilan Negeri Mataram
Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam memeriksa dan mengadili kasus ini, telah memberikan putusan bahwa Terdakwa I, Komang Lanus dan Terdakwa II, Ni Nyoman Kerti, keduanya dinyatakan bersalah melakukan delict Adat Gamia Gamana dan memberikan hukuman penjara kepada para terdakwa tersebut masing-masing selama dua dan satu tahun penjara dipotong selama mereka ditahan sementara. Dasar hukum yang dipakai oleh Hakim untuk memberikan putusan tersebut adalah Delik Adat Gamia Gamana yang diatur dalam Kitab Hukum PASWARA th 1910/No. 6-huruf “a” jo pasal 5 ayat ke 3 sub “b” Undang-Undang Darurat N.1/1951.
Putusan Hakim di atas didukung oleh pertimbangan hukum yang intinya pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa perbuatan terdakwa ini menurut Adat Suku Bali di wilayah Lombok, dinamakan Delik adat Gamia Gamana, yang diatur dalam Kitab Hukum Paswara tahun 1910/No.6-a- yang berlaku bagi masyarakat adat Suku Bali, baik yang berdiam di Bali maupun di Lombok. Perbuatan yang demikian itu di kalangan Suku Sasak, Lombok, dinamakan: BERO.
Bahwa perbuatan tersebut tidak saja bertentangan dengan Agama Hindu dan ketentuan hukum adat, melainkan juga bertentangan dengan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat Adat Bali. Perbuatan tersebut juga dapat menimbulkan ketidak seimbangan magis yang dapat menimbulkan kegoncangan dan bencana bagi masyarakat luas. Sehingga untuk ini diharuskan adanya upacara koreksi adat/reaksi adat berupa bersih desa – parisada desa atau meracu.
Bahwa perbuatan terdakwa ini tidak ada aturan hukumnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bahwa meskipun demikian, Hakim berpendirian bahwa terdakwa harus dinyatakan bersalah melakukan delict adat tersebut dengan menggunakan dasar hukum Kitab Hukum Paswara dikaitkan dengan masih berlakunya pasal 5 ayat 3 sub ‘b’ Undang-Undang Darurat No.1/1951 serta pasal 29 Undang-Undang No.14/1970.
Bahwa dengan pertimbangan ini, maka Hakim memberikan putusan atas kasus tersebut seperti yang diuraikan di atas.
Bahwa putusan Hakim ini telah memperoleh kekuatan hukum pasti, in kracht van gewijsde, karena baik terdakwa maupun Jaksa menerima baik putusan Hakim tersebut. 

Pengadilan Negeri Mataram di Lombok: tanggal 29 Oktober 1987.  (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun III No. 30; Maret 1988; hal. 51).

MELANGGAR HUKUM ADAT SUKU SASAK “NAMBARAYANG”
Abstrak Hukum:
Kasus Posisi:
Seorang gadis, Mariam Satriani (18 th), menjalin kasih sayang dengan seorang pria Erfan (20 th) keduanya suku sasak, Lombok. Hubungan semakin mesra dan saling mencintai satu sama lain. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk melaksanakan perkawinan menurut Adat: “Merarik” (kawin lari). Segala persiapan diadakan. Pada hari “H”, pria Erfan dengan motornya menjemput si gadis tersebut untuk dibawa lari ke tempat persembunyiannya di desa lain di wilayah Kabupaten Lombok Barat, sedang gadis tersebut berasal dari desa di Lombok Tengah (Praya). Melarikan gadis ini, Pihak pria diiringkan oleh 6 orang temannya semuanya bersepeda motor.
Desa yang dituju adalah desa Belek, Kecamatan Gerung, dirumah kawannya bernama Makrip. Di rumahnya Makrip inilah, sigadis tersebut dititipkan dan disembunyikan untuk beberapa waktu lamanya (Bale peseboan = rumah persembunyian). Pria Erfan menyatakan maksudnya kepada pemilik rumah, Makrip, bahwa mereka berdua akan kawin secara Adat Merarik. Makrip bersedia membantu dan segera melaporkannya kepada Kepala Adat – Tetua Adat – Kepala Kampung serta Penghulu Kampung atas terjadinya peristiwa “Merarik” tersebut. Pria Erfan kemudian pulang dan gadis tersebut ditinggalkan di desa itu.
Para Tetua Adat – Kepala Kampung dan Penghulu Desa, kemudian bermusyawarah atas terjadinya “Merarik” ini dan diputuskan segera mengirimkan utusan pergi kerumah orang tua gadis untuk memberitahukan secara resmi kepada kaum kerabat gadis tersebut, bahwa gadis tersebut saat ini dalam perlindungan Tetua Adat desa dimana ia disembunyikan untuk melakukan kawin Merarik. Pemberitahuan ini disebut: “sejati selabar”. Pihak orang tua dan kerabat sigadis menerima baik “Sejati Selabar” ini. Gadis yang disembunyikan tadi kemudian dipindahkan dari rumah Makri ke rumah Penghulu Desa dan di sini gadis tersebut berdiam selama seminggu.
Gadis Mariam sudah seminggu lamanya di “Bale peseboan” dan sudah pula diadakan “Sejati Selabar”, akan tetapi si pria Erfan yang akan mengawini gadis tersebut, lama sekali tidak muncul lagi menemui Penghulu Desa tersebut. Semua merasa gelisah. Pada akhirnya si pria muncul pula ke desa tersebut dan menemui Penghulu Desa – Tetua Adat – dengan mengatakan: bahwa sebenarnya ia Erfan, bukan jejaka, melainkan seorang pria yang sudah beristeri beranak. Karena tidak mendapat izin istrinya untuk kawin lagi, mak ia membatalkan niatnya untuk mengawini Gadis Mariam tersebut. Disamping itu juga tidak punya uang untuk biaya perkawinan dan upacara adatnya. Semua orang menjadi terkejut karena persiapan lanjutan untuk tahap upacara adat berikutnya tengah disiapkan a.l. pemberian wali untuk akad nikah serta upacara adat “Sorong Serah Adji Krama” dengan upacara penutup “Yongkol”.
Gadis Mariam merasa malu kepada kaum kerabatnya dan masyarakat desanya, demikian pula para Tetua Adat yang melindungi gadis tersebut di rumah persembunyiannya, lebih-lebih orang tua si gadis tersebut. Semua Pihak merasa malu-wirang-martabat dan harga diri dirusak dan direndahkan oleh perbuatan pria Erfan tersebut yang telah membohongi bahwa dia msih jejaka dan telah ingkar janji mengawini si gadis setelah gadis tersebut dilarikannya. Perbuatan pria Erfan ini dinilai oleh Tetua Adat sebagai perbuatan melanggar hukum Adat Suku Sasak Lombok yaitu: “Nambarayang atau Ngampesake”.
Pria Erfan tersebut lalu dilaporkan kepada polisi, yang kemudian diajukan ke Sidang Pengadilan Negeri di Mataram untuk diperiksa dan diadili dengan dakwaan melanggar Hukum Adat Pidana:”Nambarayang atau Ngampesake” dikaitkan dengan pasal 5 ayat 3 sub “b” Undang-Undang Darurat No. 1/1951.
Hakim Pengadilan Negeri di Mataram setelah memeriksa perkara ini memberikan pertimbangan yang pokoknya sebagai berikut:
Bahwa di kalangan Suku Sasak Lombok, salah satu bentuk perkawinan yang masih hidup dan berlaku saat ini adalah “kawin Merarik”. Dan terdakwa telah memilih kawin merarik dengan gadis Mariam.
Bahwa tujuan perkawinan menurut adat, bukan saja mempertemukan kedua calon mempelai sebagai suami istri, melainkan juga mempertautkan kedua kerabat calon suami-stri tersebut. Masalah perkawinan juga masalah kerabat. 
Bahwa orang tua gadis dan kerabatnya telah menerima baik “Sejati Selabar” yang dilakukan oleh utusan Tetua Adat dari desa dimana gadis Mariam disembunyikan dan dilindunginya. Bahwa dengan ingkarnya si pria yang membatalkan niatnya mengawini gadis tersebut, maka masyarakat adat desa yang bersangkutan menjadi malu dan direndahkan harga diri dan martabatnya. Sehingga Tetua Adat masayarakat adat yang bersangkutan menilai perbuatan terdakwa ini sebagai perbuatan yang melanggar hukum adat yang disebut “Nambarayang atau Ngampesake” dan untuk pelanggaran adat ini ada sanksi adatnya.
Bahwa menurut Tetua Adat, unsur-unsur yang terkandung dalam hukum adat delik Nambarayang ini adalah: “Setiap sikap-tindakan-kata-kata yang bersifat menyepelekan, mengenyampingkan, atau meniadakan kaidah adat istiadat yang dapat menimbulkan keonaran, kekacauan dan keresahan masyarakat” (Ngorayang).
Bahwa terdakwa dengan sadar telah melanggara hukum adat sadar pula akan akibat yang timbul dengan adanya pelanggaran adat tersebut yaitu aib dan malu bagi si gadis serta kaum kerabatnya serta membuat aib pula masyarakat adat yang melindungi gadis yang disembunyikan itu.
Bahwa validitas berlakunya hukum adat sebagai hukum positip di Negara kita sampai saat ini masih diakui oleh masyarakat Indonesia serta diberikan dasar hukum dalam pasal 5 (3) sub “b” UU Darurat No. 1/1951 jo pasal 23 (1) dan pasal 29 UU No.14/1970.
Bahwa perbuatan terdakwa yang melanggar hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat adat berupa: Nambarayang, ternyata tidak diatur di dalam KUHPidana, karena itu berdasar atas pasal 5 (3) sub “b” UU Dar. No.1/1951, maka Hukum Adat Delict tersebut harus dianggap diancam dengan pidana tidak lebih dari tiga bulan penjara atau denda Rp 500,-, sebagai pengganti bilaman hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh yang dihukum.
Bahwa karena hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti melanggar Hukum Adat Delict Nambarayang atau Ngampesake sebagai yang didakwakan, maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 21 hari, dan membayar ongkos perkara.
Catatan: 
Bahwa Pengadilan dalam pertimbangannya telah menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap Hukum Adat Delict berupa Nambarayang atau Ngampesake ini ada sanksi adatnya.
Bahwa timbul pertanyaan, apakah sebelum perkara ini diperiksa oleh Pengadilan, para Tetua Adat sudah memberikan sanksi adat dan reaksi adat atas pelanggaran tersebut. Kalau sudah, bagaimana macam reaksi adat yang diberikan oleh Para Tetua Adat tersebut. Hal ini tidak nampak dalam putusan Pengadilan di atas. Bisa juga terjadi, Tetua adat belum memberikan reaksi adat, perkaranya langsung ditangani Pihak kepolisian sebagai perbuatan Kriminal tanpa menunggu adanya reaksi adat yang diberikan oleh Tetua Adat atas masalah tersebut.

Pengadilan Negeri Mataram:  No. 51/Pid.Rin/1988, tanggal 23 Maret 1988. (Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun IV. No. 39, Desember 1988; hal. 66).


DELICT ADAT PERBUATAN A’SUSILA PIDANA GANDA DILARANG
Abstrak Hukum:
Seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan, yang menurut hukum yang hidup (Hukum Adat) di daerah tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum adat yaitu “delict adat”. Kepala dan para Pemuka adat memberikan rekasi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh si terhukum.
Terhadap si Terhukum yang sudah dijatuhi – “sanksi adat” oleh kepala adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya), sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut ketentuan KUH Pidana (pasal 5(3).b UU No. 1/Drt/1951). Dalam keadaan yang demikian itu, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri, harus dinyatakan: “Tidak dapat diterima”. (niet ontvankelijk Verklaard).
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia, sampai saat ini masih tetap menghormati putusan/penetapan Kepala adat (pemuka adat) yang memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya terhukum yang melanggar Hukum Adat tersebut, dengan cara memberikan hukuman penjara (ex pasal 5 (3) b. UU No. 1/Drt/1951 jo pasal-pasal KUH Pidana).        
Secara a contrario dapat dikatakan bahwa bila kepala adat tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap si pelanggar hukum adat, maka Hakim Badan peradilan Negara berwenang penuh mengadilinya, berdasar atas kekuatan ex pasal 5 (3) b. UU No. 1/Drt/1951 jo KUH Pidana. 

Pengadilan Negeri Kendari: No. 17/Pid/B/1987/PN.Kdi, tanggal 15 Juni 1987.
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara di Kendari: No. 32/Pid/B/1987/ PT.SULTRA, tanggal 11 November 1987
Mahkamah Agung RI: No. 1644.K/Pid/1988, tanggal 15 Mei 1991.(Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 72 September 1991; hal. 77).


BUKTI FOTOCOPY SERTIFIKAT DALAM PERKARA PIDANA
Abstrak Hukum:
Seoroang yang mengajukan permohonan Penetapan Ahli Waris kepada Hakim Pengadilan Negeri, agar ia ditetapkan sebagai anak kandung dan Ahli waris dari suami isteri almarhum. Hakim mengabulkan dan menerbitkan “Penetapan Ahli Waris” tersebut. Kemudian ternyata bahwa keterangannya kepada Hakim tersebut adalah palsu dan t idak benar. Dari segi hukum Pidana, maka pemohon tersebut tidak dapat dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana ex pasal 266 (1) KUHPidana, yaitu: “Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu Akta Otentik” (Penetapan Hakim).
Dalam Perkara Pidana, suatu barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, berupa fotocopy sertifikat Hak Milik Tanah/HGB, yang sudah disahkan oleh Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan aslinya, maka bukti fotocopy sertifikat HGB ini dapat diterima sebagai bukti yang sah dan merupakan bukti yang sempurna.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No.91/Pid/S/1990/PN.Jkt.Pst, tanggal 13 April 1991.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta: No.60/Pid/1991/PT.DKI, tanggal 6 Juli 1991.
Mahkamah Agung RI: No.1490.K/Pid/1991, tanggal 31 Agustus 1992. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII, No.95. Agustus 1993; hal. 40).

PERSELINGKUHAN SUAMI – ISTRI SANKSI ADAT HAPUSKAN PENUNTUTAN JAKSA
Abstrak Hukum:
Perbuatan perselingkuhan suami-istri dengan pihak lain yang selama ini dikenal dengan kualifikasi delik perzinahan, ex pasal 284.K.U.H.P. dari kasus ini ternyata bahwa bilamana pelaku (dader) telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat dari para pemangku Dewan Adat, dimana Hukum Adat, masih dihormati dan hidup subur di dalam masyarakat adat yang bersangkutan, maka Penuntutan Jaksa terhadap para pelaku (dader) ex pasal 284, K.U.H.P. secara juridis, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Undang – Undang No.1/Drt/1951, pasal 5 (3) sub “b” telah mengatur hubungan antara delik adat dengan delik dalam K.U.H.P. 

Pengadilan Negeri di Poso: No. 83/Pid/B/1994, tanggal 28 Pebruari 1995. 
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu: No. 23/Pid.B/1995 PT. Palu, tanggal 30 Januari 1996.
Mahkamah Agung RI: No. 984 K/Pid/1996, tanggal 15 Nopember 1996. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIII No.151 April 1998; hal. 27).

“JUAL – BELI TANAH WARISAN” BERAKIBAT PIDANA PENJARA
Judex Facti Salah Menerapkan Hukum
Abstrak Hukum:
Permohonan Kasasi Jaksa dapat diterima Mahkamah Agung karena Jaksa dapat membuktikan bahwa putusan Pengadilan tersebut merupakan “bebas tidak murni”.
Majelis Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi atas perkara pidana tersebut diatas, berpendirian bahwa putusan Judex Facti dinilai salah dalam menerapkan “Hukum Pembuktian”, khususnya pembuktian unsur-unsur delict yang diatur dalam pasal 263 KUHPidana, sehingga putusan Judex Facti a’quo harus dibatalkan. Selanjutnya, Majelis Mahkamah Agung dalam kasus tersebut, telah meneliti, mengurai dan menganalisa kembali semua bukti saksi dan surat-surat yang ada dalam Berita Acara Persidangan untuk dipertimbangkan dan dimasukkan kedalam masing-masing unsur delict pasal 263 KUHPid, yang didakwakan pada terdakwa. Akhirnya Mahkamah Agung berpendapat bahwa bukti-bukti tersebut dinilai telah memenuhi semua unsur pasal 263 KUHPid, sehingga perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dinilai telah terbukti secara sah dan meyakinkan, bahwa terdakwa bersalah melakukan Tindak Pidana: “Pemalsuan Surat”, ex pasal 263 KUHPid. 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: No. 1817/Pid.B/2001/PN.Jkt.Pst, tanggal 12 Juli 2002.
Mahkamah Agung RI: No. 1739.K/Pid.B/2002, tanggal 25 Juni 2003. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XX 233 Februari 2005; hal. 82).